iklan banner

Makalah Aturan Internasional




Dalam pembahasan wacana Lingkungan Internasional ini saya akan menjabarkan bagaimana perkembangan pengaturan pencemaran lingkungan maritim dalam aturan lingkungan internasional.

A. United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

Konvensi Laut 1982 ialah merupakan puncak karya dari PBB wacana aturan laut, yang disetujui di montego Bay, Jamaica tanggal 10 Desember 1982. Konvensi Laut 1982 secara lengkap mengatur proteksi dan pelestarian lingkungan maritim (protection and preservation of the marine environment) yang terdapat dalam Pasal 192-237.

Pasal 192 berbunyi : yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 menggariskan prinsip penting dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut, yaitu prinsip yang berbunyi : "bahwa setiap Negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut".

Konvensi Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melaksanakan upaya-upaya guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan maritim dari setiap sumber pencemaran, menyerupai pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi dan eksploitasi. Dalam banyak sekali upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan tersebut setiap Negara harus melaksanakan kolaborasi baik kolaborasi regional maupun global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Laut 1982. Negara penerima Konvensi Laut 1982 mempunyai kewajiban untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut berkenaan dengan proteksi dan pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :

1. Kewajiban menciptakan peraturan perundang-undangan wacana proteksi dan pelestarian lingkungan maritim yang mengatur secara komprehensif termasuk penanggulangan pencemaran lingkungan maritim dari banyak sekali sumber pencemaran, menyerupai pencemaran dari darat, kapal, dumping, dan lainnya. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu proses pengadilannya

2. Kewajiban melaksanakan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut,

3. Kewajiban melaksanakan kolaborasi regional dan global, jika kolaborasi regional berarti kolaborasi ditingkat negara-negara anggota ASEAN, dan kolaborasi global berarti dengan negara lain yang melibatkan negara-negara di luar ASEAN lantaran kini masalah pencemaran lingkungan maritim ialah masalah global, sehingga penanganannya harus global juga.

4. Negara harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai serpihan dari contingency plan

5. Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akhir terjadinya pencemaran laut.

Dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan maritim tersebut, setiap Negara diharuskan melaksanakan kolaborasi baik kolaborasi regional maupun global. Keharusan untuk melaksanakan kolaborasi regional dan global (global and regional co-operation) diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Laut 1982. Pasal 197 Konvensi berbunyi : “Negara-negara harus bekerja sama secara global dan regional secara eksklusif atau melalui organisasi internasional dalam merumuskan dan menjelaskan ketentuan dan standard internasional serta mekanisme dan praktik yang disarankan sesuai dengan Konvensi bagi perlindingan dan pelestarian lingkungan maritim dengan memperhatikan keadaan regional tersebut”.

Kerja sama regional dan global tersebut sanggup berupa kolaborasi dalam pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama ancaman atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta menciptakan kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur mekanisme dan praktik bagi pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan maritim sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 198-201 Konvensi Laut 1982. Di samping itu, Pasal 207-212 Konvensi Laut 1982 mewajibkan setiap Negara untuk menciptakan peraturan perundang-undangan yang mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran maritim dari banyak sekali sumber pencemaran, menyerupai sumber pencemaran dari darat (land-based sources), pencemaran dari kegiatan dasar maritim dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari kegiatan di Kawasan (pollution from activities in the Area), pencemaran dari dumping (pollution by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from or through the atmosphere).

Tanggung Jawab Dan Kewajiban Ganti Rugi

Konvensi Laut 1982 mengatur masalah tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi berkenaan dengan proteksi dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 235 Konvensi menegaskan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai proteksi dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan aturan internasional.

Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan wacana kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan maritim yang dilakukan orang (natural person) atau tubuh aturan (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya. Oleh lantaran itu, setiap Negara harus bekerja sama dalam mengimplementasikan aturan internasional yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akhir pencemaran lingkungan laut, dan juga mekanisme pembayarannya menyerupai apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi.

Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung jawab Negara (state sovereignty) merupakan prinsip mendasar dalam aturan internasional, sehingga jika terjadi pelanggaran kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban internasional tersebut menyerupai tidak melaksanakan ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam Konvensi Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya. Belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur tanggung jawab Negara dalam aturan internasional. Selama ini masalah tanggung jawab Negara mengacu pada Draft Articles on Responsibility of States for International Wrongful Acts yang dibentuk oleh Komisi Internasional yang menyatakan: setiap tindakan negara yang salah secara internasional membebani kewajiban Negara yang bersangkutan.

B. International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil Liability Convention).

Konvensi Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage). CLC 1969 merupakan konvensi yang mengatur wacana ganti rugi pencemaran maritim oleh minyak lantaran kecelakaan kapal tanker. Konvensi ini berlaku untuk pencemaran lingkungan maritim di maritim territorial Negara peserta. Dalam hal pertanggungjawaban ganti rugi pencemaran lingkungan maritim maka prinsip yang digunakan ialah prinsip tanggung jawab mutlak.

Tanggung Jawab Mutlak

Pemilik kapal tangki mempunyai kewajiban ganti rugi terhadap kerusakan pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak dan kapalnya akhir kecelakaan. Pemilik sanggup terbebas dan kewajiban tersebut hanya dengan alasan :

1. Kerusakan sebagai akhir perang atau peristiwa alam.

2. Kerusakan sebagai akhir dan sabotase pihak lain, atau

3. Kerusakan yang disebabkan oleh lantaran pihak berwenang tidak memelihara alat bantu navigasi dengan baik.

Alasan pengecualian tersebut diatas sangat terbatas, dan pemilik boleh dikatakan berkewajiban menunjukkan ganti rugi akhir kerusakan pencemaran pada hampir semua kecelakaan yang terjadi.

C. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter 1972 (London Dumping Convention).

London Dumping Convention merupakan Konvensi Internasional untuk mencegah terjadinya Pembuangan (dumping), yang dimaksud ialah pembuangan limbah yang berbahaya baik itu dari kapal laut, pesawat udara ataupun pabrik industri. Para Negara konvensi berkewajiban untuk memperhatikan tindakan dumping tersebut. Dumping sanggup mengakibatkan pencemaran maritim yang mengakibatkan ancaman kesehatan bagi manusia, merusak ekosistem dan mengganggu kenyamanan lintasan di laut.

Beberapa jenis limbah berbahaya yang mengandung zat terlarang diatur dalam London Dumping Convention ialah air raksa, plastik, materi sintetik, sisa residu minyak, materi adonan radio aktif dan lain-lain. Pengecualian dari tindakan dumping ini ialah apabila ada “foce majeur”, yaitu dimana pada suatu keadaan terdapat hal yang membahayakan kehidupan insan atau keadaan yang sanggup mengakibatkan keselamatan bagi kapal-kapal.

D. The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And Cooperation 1990 (OPRC).

OPRC ialah sebuah konvensi kerjasama internasional menanggulangi pencemaran maritim dikarenakan tumpahan minyak dan materi beracun yang berbahaya. Dari pengertian yang ada, maka sanggup kita simpulkan bahwa Konvensi ini dengan cepat menunjukkan proteksi ataupun pertolongan bagi korban pencemaran maritim tersebut, pertolongan tersebut dengan cara penyediaan peralatan proteksi semoga upaya pemulihan dan penyelamatan korban sanggup ditanggulangi dengan segera.

Pencemaran maritim oleh tumpahan minyak bukan merupakan hal yang gres bagi Negara-negara Asia Tenggara khususnya di Indonesia, semenjak tahun 2003 hingga dengan tahun 2009 pencemaran maritim dikarenakan tumpahan minyak berulang kali terjadi di Kepulauan Seribu, korbannya ialah para masyarakat pesisir dan nelayan, pengaruh pencemaran maritim oleh minyak sangatlah luas, maritim yang terkotori oleh minyak akan mengakibatkan gangguan pada fungsi ekosistem di pesisir laut, kehidupan aquatic pantai menyerupai terumbu karang, hutan mangrove dan ikan akan terganggu. Pada sisi ekonomi, hasil tangkapan menyerupai udang dan ikan tentu akan beraroma minyak yang berdampak pada nilai jual yang rendah dan mutu ataupun kualitas menurun. Dengan adanya gelombang, arus dan pergerakan massa air pasang surut, residu minyak akan tersebar dengan cepat. Bila tidak ditangani dengan segera, pencemaran limbah minyak ini akan membawa pengaruh kesehatan bagi masyarakat yang mengkonsumsi ikan yang tercemar.

Indonesia juga mempunyai aturan mengenai pencemaran maritim yang disebabkan oleh tumpahan minyak dilaut tersebut. Bagi pelaku pencemaran maritim oleh tumpahan minyak, dalam hal ini kapal-kapal tanker wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak yang berasal dari kapalnya, yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut.

E. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution).

Marpol 73/78 ialah konvensi internasional untuk pencegahan pencemaran dari kapal,1973 sebagaimana diubah oleh protocol 1978. Marpol 73/78 dirancang dengan tujuan untuk meminimalkan pencemaran maritim , dan melestarikan lingkungan maritim melalui pembatalan pencemaran lengkap oleh minyak dan zat berbahaya lainya dan meminimalkan pembuangan zat-zat tersebut tanpa disengaja.

KASUS

Kasus tumpahan minyak kapal Showa Maru

Pada bulan Januari 1975 kapal tanker Showa Maru yang berbendera Jepang, yang membawa minyak mentah dari Teluk Persia menuju Jepang, kandas dan menumpahkan minyak di Selat Malaka sehingga menumpahkan minyak mentah sebanyak 7300 ton. Berdasar keterangan dari Mahkamah Pelayaran Indonesia, kandasnya kapal Showa Maru bermula dari kelalaian nakhkoda yang mana tanker membentur karang sehingga mengakibatkan dasar kapal sepanjang 160 meter sobek.

Sebagai akhir tumpahan minyak tersebut, langkah cepat segera diambil oleh pemerintah Indonesia dengan membentuk 3 Satuan Tugas di bawah koordinasi tiga menteri, yaitu Menteri Perhubungan menangani segi teknis operasional, Menristek menangani urusan penelitian dan Menteri Kehakiman mempersiapkan perangkat aturan dan ganti ruginya.

Dari segi hukum, masalah Showa Maru di waktu itu justru menempatkan Indonesia pada posisi sangat lemah dan sulit dalam penyelesaian aturan dan tuntutan ganti rugi. Karena selain belum ada UU Nasional wacana Pencemaran Laut, juga lantaran konvensi-konvensi internasional yang ada menyerupai Konvensi Brussel tahun 1969 belum diratifikasi.

Untuk mengatasinya, delegasi Indonesia berkonsultasi ke Malaysia, Singapura, Thailand dan Philipina. Namun upaya delegasi tidak berhasil lantaran penanggulangan aturan pencemaran maritim di negara-negara tersebut juga masih pada tahap awal, kecuali Singapura yang sistem hukumnya telah memakai referensi Konvensi London tahun 1954.

Sementara itu pakar aturan Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH, menyampaikan bahwa ketika itu kerusakan ekologi maritim di Indonesia sangat sedikit dituntut ganti rugi, lantaran kerusakan akhir penemaran oleh tumpahan minyak berada di luar jangkauan asuransi. Peristiwa Showa Maru yang melemahkan posisi Indonesia, berdasarkan Komar lantaran kriteria kerusakan, metode survei dan dasar aturan nasional maupun internasional kurang jelas. Maka klaim Indonesia -berkaitan kerusakan mata rantai makanan akhir terganggunya ekosistem kelautan oleh tumpahan minyak- atas kerusakan ekologi maritim dalam jangka panjang tidak sanggup diterima.

Akibat jangka eksklusif maupun tidak eksklusif atas insiden ini ialah nelayan setempat masih saja mengalami kesulitan menerima hasil tangkapan ikan menyerupai sebelum insiden kecelakaan kapal dan bahkan penduduk yang biasa mengandalkan hidupnya pada mencari kayu bakar pun tak luput dari kesusahan. Sebab hutan bakau yang menjadi sumber penghasil kayu bakar mengalami kerusakan dan kekeringan.

ANALISA

Penanggulangan terhadap pencemaran lingkungan maritim merupakan hal yang tidak gampang menyerupai membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kordinasi dari semua Negara-negara khusunya Negara-negara yang berada dikawasan asia tenggara untuk berhubungan secara regional menanggulangi pengaruh dari pencemaran tersebut, menyerupai yang disebutkan dalam UNCLOS 1982 sebagai berikut :

"Negara-negara harus berhubungan atas dasar global dan dimana perlu, atas dasar regional secara eksklusif atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompoten, dalam merumuskan dan mejelaskan ketentuan-ketentuan, standar-standar dan praktek-praktek yang disarankan secara internasional serta prosedur-prosedur yang konsisten dengan konvensi ini untuk tujuan proteksi dan pelestarian lingkungan laut, dengan memperhatikan cirri-ciri regional yang khas".

Dari ketentuan pasal diatas dapatlah kita lihat bahwa aturan lingkungan internasional menunjukkan proposal kerjasama untuk menanggulangi pencemaran lingkungan maritim baik ditingkat global maupun ditingkat regional. Ditinjau dari kerjasama Negara-negara Asia Tenggara di tinggkat regional dimana kerjasama tersebut dimulai di tahun 1977 ketika naskah ASEAN disiapkan mengenai aktivitas lingkungan sub-regional (ASEP ) yang dibantu oleh UNEP (United Nations Environment Programme) untuk membicarakan masalah lingkungan, dimana prioritas dari aktivitas kerjasama dibidang lingkungan meliputi 6 (enam) pembahasan yaitu:
  1. Pengelolaan Lingkungan termasuk Analisis Dampak Lingkungan (Environmental Impact Assessment)
  2. Pelestarian Alam dan ekosistem Terrestrial,
  3. Industri dan lingkungan hidup
  4. Lingkungan laut
  5. Pendidikan dan latihan lingkungan
  6. Penerangan lingkungan hidup

Terkait dengan kerjasama Negara-negara Asia Tenggara dibidang lingkungan maritim dilaksanakan melalui tiga tubuh regional yaitu :
  1. The coordinating Body on the seas of east timur (COBSEA)
  2. The ASEAN Experts Group on the Environment (AEGE)
  3. The working Group on marine science (WGMS)

Apa yang dipaparkan diatas merupakan citra dari pada usaha-usaha Negara-negara asia tenggara untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan maritim yang sifatnya lintas batas Negara. Disamping itu pula kerjasama bilateral maupun multilateral sangat diharapkan menyerupai kerjasam tripartite antara Negara Indonesia, singapura dan Malaysia dalam penanggulangan pencemaran maritim di selat malaka. Secara umum terdapat tiga faktor yang dijadikan landasan sebagai untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu aspek legalitas, aspek kelengkapan dan aspek kordinasi.

a. Aspek Legalitas

Undang-undang No 23 Tahun 1997 diganti dengan Undang-undang No 32 tahun 2009 Tentangan Pengelolaan lingkungan hidup mengatur terperinci aspek-aspek pengelolaan dan hukuman bagi pelaku polusi dilaut, namun fakta dilapangan terkadang pegawanegeri yang berwenang justru bermain kotor dengan pelaku pencemaran disamping itu sulitnya untuk mencari bukti-bukti untuk meyeret mereka kepengadilan. Dari aspek internasional pada tahun 1945 Badan Maritim Internasional (IMO) menghasilkan konvensi internasional mengenai pencegahan pencemaran di maritim oleh minyak kemudian kenvensi ini diperbaharui 1973 merupakan awal untuk mengatasi pengaruh pencemaran laut, menjadi kiprah bagi negara-negara yang tergabung dalam IMO untuk menegakan peraturan-peraturan tersebut.

b. Aspek Perlengkapan

Kita ketahui bahwa penanggulangan terhadap pencemaran minyak sangat sulit untuk dilakukan contohnya tumpahan minyak showa maru dimana lebih dari 30 kapal militer dan sipil ambil serpihan dalam perjuangan menyelamatkan pantai sebelah barat Singapore disamping itu perjuangan untuk penyelamatan maritim dari pencemaran minyak memerlukan biaya yang banyak. Untuk itu diharapkan bioremediation menyerupai menyemprotkan nitrat dan phosphere ketumpahan minyak untuk mempercepat kerja kuman pengurai minyak. Dalam aspek ini yang paling utama ialah pentingnya penguasaan mekanisme dan teknik-teknik penanggulangan tumpahan minyak oleh petugas pelaksaan lapangan harus dimiliki oleh Negara-negara yang terkena pengaruh pencemaran lingkungan

c. Aspek Kordinasi

Dalam hal penanggulangan polusi tumpahan minyak dilaut, aspek kordinasi memegang peranan penting mengingat bahwa pencemaran maritim ini merupakan pencemaran yang bersifat lintas batas Negara sehingga perlu adanya kerjasama antara Negara-negara khususnya Negara-negara tetangga yang pantainya saling berdekatan harus saling sebenarnya untuk menanggulangi pencemaran lingkungan tersebut. Dengan demikian maka sanggup teratasi pencemaran maritim hingga tuntas

menjadi kewajiban semua Negara tidak hanya Negara Asia Tenggara tetapi seluruh Negara-negara didunia untuk menegakkan aturan-aturannya semoga sanggup meminimalisir dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan yang lebih parah karna penyumbang terbesar protein hewani berasal dari laut, untuk menegakkan pencemaran lingkungan tersebut haruslah memenuhi tidak aspek yang penulis telah jelaskan diatas.

PENUTUP

Berdasarkan analisa diatas sanggup ditarik beberapa kesimpulan, Perlindungan pencemaran lingkungan maritim merupakan suatu permasalahan yang bersifat lintas batas Negara sehingga diharapkan kerjasama diantara Negara-negara dalam hal ini Negara-negara dikawasan asia tenggara sebagaimana yang diamanatkan oleh aturan lingkungan internasional yang terdapat dalam konvensi aturan maritim 1982. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya ialah tiga faktor yang dijadikan sebagai landasan untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu aspek legalitas, aspek kelengkapan dan aspek kordinasi yang telah dipaparkan diatas sehingga masalah pencemaran lingkungan sanggup diatasi secara tuntas.


Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Makalah Aturan Internasional"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel