iklan banner

Forum Previlegiatum Di Indonesia


Salah satu dilema penting setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yaitu adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas undangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wapres disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.1 


Pendapat dewan perwakilan rakyat bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melaksanakan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wapres selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat dewan perwakilan rakyat tersebut memiliki landasan konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas pendapat dewan perwakilan rakyat tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak sanggup diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat dewan perwakilan rakyat apabila Presiden dan/atau Wapres terbukti melaksanakan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wapres tidak terbukti melaksanakan tindakan yang dituduhkan.

Munculnya ketentuan ini bersama-sama merupakan konsekuensi logis dari adanya cita-cita untuk lebih mempertegas sistem pemerintahan presidensial yang merupakan salah satu janji dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Penegasan sistem pemerintahan presidensial tersebut mengandaikan adanya lembaga kepresidenan yang memiliki legitimasi besar lengan berkuasa yang dicirikan dengan (1) adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term); (2) Presiden selain sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan; (3) adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment. Sebelum terjadinya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Presiden dan/atau Wapres sanggup diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial. 

Oleh sebab itu, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi. Selain itu, proses pemberhentian tersebut hanya sanggup dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat dewan perwakilan rakyat bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melaksanakan pelanggaran aturan berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya kemungkinan pemberhentian Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatannya oleh MPR atas undangan dewan perwakilan rakyat inilah yang secara teknis ketatanegaraan disebut dengan istilah impeachment. 

Akan tetapi, yang menjadi dilema selanjutnya, ketentuan-ketentuan mengenai impeachment yang terdapat di dalam konstitusi tidak mengatur lebih jauh persoalan-persoalan teknis, sehingga pada ketika ini masih diupayakan formulasi yang sempurna terhadapnya. Ada banyak persolan yang tidak atau belum sepenuhnya sanggup terjawab dengan sebaik-baiknya. 

Di antara beberapa dilema tersebut yaitu apakah proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat di dalam aturan pidana dan aturan program pidana, atau perlukah disusun satu aturan program tersendiri; apakah dibutuhkan semacam special prosecutor yang dibuat secara khusus untuk melaksanakan penuntutan terhadap Presiden di depan sidang yang digelar oleh MK; bagaimanakah tata cara dewan perwakilan rakyat mengumpulkan bukti-bukti, sehingga sanggup hingga pada suatu kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melaksanakan pelanggaran aturan berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; apakah yang dimaksud dengan kata “pendapat” yang terdapat di dalam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa “pendapat politik” yang berarti secara luas sanggup dilatarbelakangi dilema suka atau tidak suka (like and dislike) kepada Presiden dan/atau Wapres ataukah “pendapat hukum” yang berarti harus terukur dan terbingkai oleh norma-norma yuridis; apabila MK menetapkan bahwa Presiden dan/atau Wapres terbukti telah melaksanakan pelanggaran aturan atau tidak lagi memenuhi syarat dan dewan perwakilan rakyat telah menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan undangan pemberhentian Presiden dan/atau Wapres kepada MPR dan MPR pun mendapatkan tawaran tersebut, maka bisakah di kemudian hari, setelah tidak menjabat lagi, Presiden dan/atau Wapres diadili (lagi) di peradilan umum dan tidak melanggar asas ne bis in idem dalam aturan pidana; apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi Presiden dan/atau Wapres ini tidak bertentangan dengan asas persamaan di depan aturan (equality before the law); dan mengingat putusan MK yang menetapkan bahwa Presiden dan/atau Wapres terbukti telah melaksanakan pelanggaran aturan atau tidak lagi memenuhi syarat tidak mengikat MPR, apakah ini sanggup diartikan bertentangan dengan prinsip supremasi aturan (supremacy of law) yang dikenal dalam aturan tata negara. 

Lembaga perizinan dari Presiden, yang selama ini menjadi kendala prosedural investigasi korupsi, harus dihilangkan. Seseorang yang diduga melaksanakan korupsi harus sanggup eksklusif diperiksa oleh pihak yang berwenang tanpa perlu menunggu izin Presiden. Penghapusan lembaga perizinan ini bukan hal baru, ia telah diterapkan dalam Pasal 106 Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang telah mengatur bahwa izin Presiden tak dibutuhkan dalam hal anggota dewan legislatif tersangkut tindak pidana korupsi, terorisme atau tertangkap tangan.

Jenjang proses peradilan yang terlalu panjang, dari tingkat pengadilan negeri hingga di Mahkamah Agung (MA). Forum peradilan korupsi harus dipusatkan di peradilan tingkat pertama dan terakhir di MA. Pengadilan khusus ini disebut lembaga previlegiatum, satu proses peradilan khusus bagi pejabat negara yang tidak mengenal upaya banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.

Memang, dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dibuat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan batasan waktu investigasi yang dipercepat. Namun, untuk lingkungan peradilan yang juga sudah parah tercemar wabah korupsi peradilan (judicial corruption), gerakan radikal harus dilakukan dengan mengamputasi proses di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, eksklusif menyidangkan masalah korupsi dalam lembaga previlegiatum di tingkat MA.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1950 tidak melarang atau memerintahkan terbentuknya Pengadilan Tipikor (Pengadilan Khusus Korupsi). Kecuali aturan khusus untuk pembentukan "pengadilan kasus eksekusi ketentaraan" (Pasal 159 KRIS 1950). Pasal 147 Ayat (2) KRIS 1950 membuka peluang terbentuknya pengadilan tertentu sesuai kebutuhan, bahwa "pengadilan-pengadilan federal yang lain sanggup diadakan dengan undang-undang federal". dalam Pasal 148 Ayat (1) KRIS 1950, yaitu ketentuan khusus untuk para pajabat tinggi negara, baik yang masih aktif ataupun sudah berhenti. disediakan sistem pengadilan tingat pertama dan terakhir (forum previlegiatum) di Mahkamah Agung (MA) jika: "berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran-jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain ditentukan dengan undang-undang federal". Pasal yang menetapkan MA sebagai lembaga previlegiatum tersebut meliputi pula investigasi atas masalah korupsi, kendati tidak secara eksplisit dinyatakan demikian. UUDS 1950 melalui Pasal 106 ayat (1) juga mengadopsi konsep lembaga previlegiatum pada MA untuk mengadili para pejabat tinggi yang terlibat pelanggaran dan kejahatan, termasuk korupsi, meski tidak secara spesifik disebut masalah korupsi.

FORUM previlegiatum pernah diterapkan di Indonesia. Di masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan UUDS 1950, tugas MA sebagai lembaga khusus tingkat pertama dan terakhir investigasi tindak pidana yang dilakukan pejabat negara sudah pernah diadopsi. Dari sisi perbandingan hukum, lembaga khusus untuk pejabat negara juga sanggup ditemukan dalam konstitusi Thailand yang membentuk The Supreme Court’s Criminal Division for Person Holding Political Positions, yaitu divisi khusus di MA Thailand untuk menyidik pejabat negara yang terlibat tindak pidana. Divisi khusus pidana di MA Thailand ini melengkapi fungsi National Counter Corruption Commission, Komisi Pemberantasan Korupsi ala Thailand yang eksistensinya juga dijamin dalam konstitusi.

Forum previlegiatum pernah diperankan Mahkamah Agung menurut Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Pasal 106 Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang keduanya berbunyi: 'Presiden, wakil presiden, menteri-menteri, ketua, wakil ketua dan anggota-anggota DPR, ketua, wakil ketua dan anggota MA, Jaksa Agung, anggota-anggota majelis tinggi dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun setelah mereka berhenti'. Forum previlegitum juga diterapkan di Prancis yang dalam Pasal 68 konstitusinya mengatur bahwa presiden dan para pejabat pemerintah yang melaksanakan pengkhianatan terhadap negara disidangkan pada tingkat pertama dan terakhir di Mahkamah Agung Prancis. Di Indonesia, tugas Forum Previlegiatum sanggup diberikan kepada Mahkamah Agung melalui perpu yang kemudian menjadi UU. 

Dasar penambahan kewenangan kepada MA itu ialah Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan MA sanggup ditambah kewenangannya melalui aturan UU. Antimafia peradilan. Hal lain, di dalam perpu antikorupsi harus ditegaskan bahwa judicial corruption harus ditindak tegas. Dasar pemikirannya, penguasa banyak yang korup; pengusaha sanggup korupsi; tetapi kalau abdnegara aturan tegas menerapkan sanksi, koruptor akan jera. Sebaliknya, abdnegara aturan yang mengorupsi kewenangannya merupakan musuh utama pemberantasan korupsi. Memberantas korupsi tanpa lebih dulu membersihkan peradilan mirip mimpi di siang bolong. Karena itu, kepada penikmat praktik bandit peradilan amat pantas diterapkan eksekusi pidana yang diperberat 'minimal 3 kali lipat' dibandingkan pelaku korupsi biasa. Akhirnya, hanya dengan proklamasi merdeka dari korupsi yang menegaskan pemberantasan korupsi secara luar biasa dan secepat-cepatnya, Indonesia ke depan masih mungkin diharapkan tetap ada. Tanpa itu, Indonesia hanya menunggu waktu untuk menjadi tiada. Forum previlegiatum, sistem peradilan satu tingkat, yang memutus kasus pertama dan terakhir bagi pejabat negara ada baiknya diadopsi kembali.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Juli 2006 atas uji materi Pasal 53 UU Nomor 30/2002 wacana Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar 1945,sampai sekarang terus menyisakan kegelisahan terhadap kesungguhan pemerintah (plus DPR) memberantas korupsi. 

Betapa tidak, Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipkor) yang ketika ini sudah di tangan dewan perwakilan rakyat belum serius dibahas, meski waktu terus berjalan mengejar batas waktu pembentukan UU Pengadilan Tipikor.

Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Forum Previlegiatum Di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel