iklan banner

Konsep Perbandingan Islam Dengan Positif


Perbandingan sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan usianya relatif masih muda, lantaran gres tumbuh secara pesat pada final kala XIX atau awal kala XX. Perbandingan yakni salah satu sumber pengetahuan yang sangat penting. Perbandingan sanggup dikatakan sebagai suatu teknik, disiplin, pelaksanaan dan metode di mana nilai-nilai kehidupan manusia, kekerabatan dan aktivitasnya dikenal dan dievaluasi. Pentingnya perbandingan telah mendapat penghargaan di setiap potongan oleh siapapun dalam bidang studi dan penelitian. Nilai penting tersebut direfleksikan pada pekerjaan dan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para jago ilmu pengetahuan, jago sejarah, jago ekonomi, para politisi, jago aturan dan mereka yang terkait dengan kegiatan penyelidikan dan penelitian. Apapun gagasan, ide, prinsip dan teorinya, kesemuanya sanggup diformulasikan dan sanggup dikatakan sebagai hasil dari metode studi perbandingan. 

Perbandingan konsep antara konsep aturan islam dengan konsep aturan positif nampaklah jelas.

Term aturan Islam merupakan terjemahan dari kata ‘al-fiqh al-islami’ yang dalam literatur Barat disebut ‘the Islamic Law’ atau dalam batas-batas yang lebih longgar “the Islamic Jurisprudence’. Yang pertama lebih cenderung kepada syariah sedangkan yang kedua kepada fiqh, namun keduanya tidak tidak sanggup digunakan secara konsisten. Begitu juga term aturan Islam mengalami ambigiutas antara fiqh yaitu aturan mudah yang diambil dari dalil-dalil tafsili (rinci) dan syari’ah, yaitu peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada insan semoga dipedomani dalam berafiliasi dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya dan dengan kehidupannya. Akan tetapi term aturan islam ini saat ditelusuri dalam rumusan para ulama ushul fiqh memiliki pengertian yang berbeda dari kedua term tersebut diatas. Islam dalam diskursus ushul fiqh lebih sebagai al hukm asy-syar’I yang diartikan sebagai khitab Allah (titah/sapan Allah ), yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa taklif,tahyir (pilihan) maupun penetapan. Dalam diskursus ushul fiqh, sumber aturan Islam dapt berupa dalil nash ( tekstual ) dan dalil ghairu nash (paratekstual). Dalil nash yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan dalil ghairu nash yaitu diantaranya qiyas,ijma’, istihsan, istislah, istishab, ‘urf, pendapat para sobat dan syari’at umat terdahulu.

Konsep aturan Islam ini memiliki beberapa perbedaan dengan konsep aturan positif, namun dalam hakikatnya ( hakikat aturan ) mengalami persamaan-persamaan. Begitu juga mengenai sumber aturan terdapat perbedaan antara sumber aturan Islam dan sumber aturan positif. Karena itu, goresan pena ini akan membahas perihal konsep dan sumber aturan Islam dengan memakai analisis perbandingan dengan aturan positif.

2.1. Hakikat

Dalam ilmu aturan terdapat beberapa pengertian mengenai aturan yang berbeda-beda. Diantaranya berdasarkan E.Utrecht,seorang sarjana aturan bangsa Indonesia yang beropini bahwa aturan yakni himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan”. Sedangkan berdasarkan J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto aturan yakni peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laris insan dalam lingkungan masyarakat yang dibentuk oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut berakibat diambilnya tindakan yaitu hukuman tertentu ( hukuman ) ,serta masih banyak definisi aturan yang berbeda-beda. Dari definisi yang berbeda-beda itu,dapat dirumuskan bahwa aturan mengandung unsur-unsur : 1) Peraturan mengenai tingkah laris insan dalam pergaulan masyarakat, 2) Peraturan itu dibentuk oleh tubuh yang berwajib, 3) Peraturan itu bersifat memaksa 4) Ada Sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.

Pengertian aturan yang dibahas dalam ilmu aturan tersebut hanyalah merupakan pengertian aturan secara lahiriah ( das ding furmich ), lantaran ilmu aturan melihat aturan sebagaimana adanya. Adapun hakikat aturan merupakan suatu yang tidak terpapar dalam ilmu hukum, melainkan terdapat dalam pembahasan filsafat hukum. Kedua disiplin tersebut sama-sama menjawab pertanyaan perihal apakah aturan itu? Namun balasan yang diberikan oleh ilmu aturan dan filsafat aturan berbeda. Ilmu aturan menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat kepada aturan positif. Sedangkan filsafat aturan mengkaji aturan secara mendalam, komperhensif dan radikal, menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat kepada hakikat aturan ( das ding unsich ).

Karena itu untuk mengetahui perihal hakikat aturan perlu membahas aturan secara filosofis.

Dari segi hakikatnya, aturan sanggup dilihat sebagai :

1.Perintah dan Penilaian

merupakan norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai impian serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan,maka aturan sanggup digolongkan kepada norma kultur . Norma yakni sarana yang digunakan oleh masyarakatnya untuk menertibkan, menuntun dan mengarahkan tingkah laris anggota masyarakat dalam hubungannnya satu sama lain. Untuk sanggup menjalankan fungsi tersebut, norma harus memiliki kekuatan yang bersifat memaksa. Dengan demikian aturan juga memiliki caranya sendiri untuk menerapkan ciri khas dari norma tersebut ( yaitu sifat memaksa ).

Norma aturan bertujuan untuk mengarahkan tingkah laris anggota masyarakat, sesuai dengan keinginan dan kehendak masyarakat itu. Kehendak masyarakat untuk mengarahkan tingkah laris anggotanya itu dilakukan dengan menciptakan suatu pilihan antara tingkah laris yang disetujui dan yang ditolak, maka norma aturan merupakan persyaratan dari penilaian-penilaian.

Oleh lantaran itu norma aturan bukan hanya merupakan perintah melainkan memiliki nalar-nalar tertentu, yaitu penilaian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap tingkah laris dan perbuatan-perbuatan orang dalam masyarakat. Adapun penilaian tersebut tidaklah bangkit sendiri melainkan merupakan potongan dari ilham yang lebih besar yaitu masyarakat bagaimana yang diinginkan. Hal ini sesuai sesuai dengan pendapat bahwa aturan merupakan alat untuk mengatur masyarakat ( law is tool of social engineering ). Dari paparan tersebut sanggup dinyatakan bahwa norma aturan dalam dirinya mengandung dua hal yaitu patokan penilaian ( dimana aturan menilai kehidupan masyarakat dengan menyatakan apa yang dianggap baik dan tidak baik ) dan patokan tingkah laris ( petunjuk perihal perbuatan mana yang harus dikerjakan dan yang harus ditinggalkan ).

2. Hubungan

Terdapat beberapa pandangan perihal aturan diantaranya :

a. yakni kekerabatan diantara suatu persona dan suatu hal ( benda, urusan ) yang mengakibatkan hal itu berada dalam suatu kekerabatan tertentu dengan persona, menyerupai menjadi miliknya.

b. yakni undang-undang atau suatu perundang-undangan.

c. yakni suatu ilmu yang memperlihatkan pengetahuan perihal hukum, pengetahuan perihal undang-undang ,dan pengetahuan perihal kekerabatan tersebut diatas.

Dari beberapa pemahaman perihal aturan tersebut, Lili Rasjidi lebih cenderung bahwa arti utama dari aturan yakni hubungan. Menurutnya undang-undang disebut aturan lantaran undang-undang menjadi penyebab dan norma dari hubungan-hubungan tersebut di atas. Sedangkan arti ilmu yakni arti turunan dari hukum, yaitu ilmu yang subjeknya yakni aturan atau undang-undang.

mengatur perbuatan jikalau perbuatan tersebut merupakan perbuatan terhadap orang lain, dan jikalau kita memiliki hak berarti kita memiliki hak terhadap orang lain atau suatu persona. Karena itu sanggup dikatakan bahwa objek dari hak yakni perbuatan orang lain.

Dari paparan diatas sanggup ditetapkan bahwa aturan yakni suatu kekerabatan diantara seseorang dengan suatu perbuatan ( sesuatu atau tidak melaksanakan sesuatu ) dari seseorang yang lain, yang menciptakan orang ini menghubungkan dirinya dengan perbuatan ini ( tidak melaksanakan ini ) sebagai dengan kepunyaannya sebagai sesuatu yang menjadi miliknya.

2.2. Konsep Islam ( al hukm asy syar’i )

Dalam diskursus aturan islam, term aturan berasal dari bahasa arab ‘al-hukm” ( tanpa u antara karakter k dan m ) yang berarti norma atau kaidah yakni ukuran, tolak ukur, patokan,pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laris atau perbuatan insan dan benda . juga merupakan kategori dan penilaian tingkah laku. sebagai titah Allah berakibat pada pengkategorian terhadap perbuatan. Misalnya titah Allah untuk menepati janji, berakibat pada tuntutam perbuatan menepati komitmen yang berarti perbuatan menepati komitmen termasuk tuntutan atau wajib. Maka sering terjadi penyebutan aturan sebagai wajib, haram dan sebagainya.

Dari pengertian aturan syar’i ( secara umum ) diatas, sanggup diketahui bahwa aturan secara syar’i terdiri dari aturan taklifi,tahyiri,dan aturan wad’li. taklifi yaitu aturan yang menjelaskan perihal perintah,larangan dan pilihan untuk menjalankan sesuatu dan meninggalkannya. Adapun aturan wadl’i yaitu berupa alasannya yang mewajibkan, syarat yang mesti dipenuhi dan man’i. Sebab yakni sesuatu yang lahir dan terang batasan-batasannya, yang oleh Allah ( syar’i ) dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum.

Dalam sistem aturan islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan insan baik dibidang ibadah maupun dilapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut al-ahkam al-khamsah atau penggolongan aturan lima ( Sayuti Thalib,1986:16 ) yaitu :
  1. Ja’iz atau Mubah
  2. Sunnat
  3. Makruh
  4. Wajib,dan
  5. Haram

Penggolongan aturan yang lima atau yang disebut juga kategori aturan atau lima jenis ini, didalam kepustakaan Islam disebut juga aturan taklifi. taklifi yaitu aturan yang menjelaskan perihal perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Sedangkan bentuk perintah dan larangan itu ada yang niscaya dan ada yang tidak pasti. Jika bentuk perintah itu niscaya maka disebut wajib ( yaitu suatu perintah yang harus dilakukan dan jikalau orang meninggalkannya berdosa ) dan jikalau tidak niscaya maka disebut mandb atau sunnah ( yaitu suatu perintah yang dianjurkan oleh syar’I, jikalau dikerjakan mendapat pahala dan jikalau ditinggalkan tidak berdosa ). Demikian pula jikalau larangan berbentuk niscaya maka disebut makruh. Adapun tahyir ( pilihan ) yakni aturan mubah. Mubah ini yakni suatu aturan yang memperlihatkan kebebasan kepada orang mukallaf untuk menentukan antara mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya.

Dari uraian diatas nampak perbedaan konsep penilaian berdasarkan Romawi yang melandasi aturan barat pada umumnya,dengan konsep aturan islam. Islam memiliki penilaian sunnah dan makruh. Sunnah sebagai pengaman wajib,sedangkan makruh sebagai pengaman haram. Kalau seseorang sudah membiasakan diri melaksanakan sunnah, maka ia tidak akan pernah meninggalkan kewajibannya, sebaliknya kalau ia sudah biasa meninggalkan makruh, maka ia tidak akan pernah melaksanakan yang haram.

Perhatikan bagaimana Islam menganjurkan supaya jangan berduaan antara yang berlainan jenis laki-laki dan perempuan tanpa mahram ( Khalwat ). Hal itu dihentikan dalam rangka menjauhi perbuatan Zina. Perhatikan pula Islam ( Qur’an ) memakai kata-kata jangan melaksanakan zina.

Dari perbedaan konsep itu, mengakibatkan produk aturan yang berbeda. Umpamanya perihal pengertian dan hukuman aturan zina. barat/positif memandang kekerabatan seks diluar nikah yang dilakukan oleh mereka yang sama-sama tidak terikat perkawinan dengan orang lain bukan merupakan zina, jadi bukan delik, tidak sanggup dieksekusi selama tanpa paksaan dan tidak mengganggu ketertiban umum. Menurut aturan Barat ( termasuk yang dianut kitab undang-undang hukum pidana dan BW ) yang dikatakan zina yakni kekerabatan seksual diluar nikah yang dilakukakn oleh mereka ( atau salah satu dari mereka ) yang sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Perbuatan zina tersebut termasuk delik aduan ( klachtendelik ), artinya tidak secara otomatis sanggup dituntut, apabilla ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, yaitu suami atau istrinya.

Konsep Islam berbeda dengan konsep aturan Barat. Islam memandang bahwa setiap kekerabatan seks di luar nikah secara mutlak yakni terlarang. Hubungan seks di luar nikah, apakah dilakukan oleh mereka yangs sedang terikat perkawinan dengan orang lain atau tidak, apakah dilakukan secara sukarela atau tidak, perbuatan tersebut secara mutlak merupakan tindak pidana ( zarimah hudud ) yang diancam hukuman.

2.3. Sumber Syar’i

Sumber aturan biasanya disebut dengan dalil. Secara bahasa dalil yaitu membuktikan kepada sesuatu yang baik yang kasatmata maupun abstrak. Dalil secara istilah yakni sesuatu yang didalamnnua dicari petunjuk dengan penglihatan yang benar perihal aturan syar’i amali ( mudah ) baik secara qath’i maupun dhanni. Dalil yang disepakati oleh jumhur ulama yaitu Al-Qu’ran, Sunnah, Ijma dan Qiyas . Disamping itu terdapat beberapa dalil yang masih menjadi ikhtilaf bagi umat islam yaitu istihsan , maslahah mursalah , istishab , syaddu ad-dari’ah , urf , pendapat sahabat, dan syari’at umat terdahulu.

Sumber aturan ( dalil – dalil ) tersebut sanggup dikelompokkan menjadi dua, yaitu dalil nash ( tesktual ) dan ghairu nash ( paratekstual ). Dalil nash ( tekstual ) yaitu Al-Qur’an dan As – sunnah, sedangkan dalil-dalil yang lainnya termasuk dalil ghairu nash ( paratekstual ). Dalil nash ( tesktual ) yakni teks yang merupakan sumber aturan atau daerah dimana aturan ditemukan. Sedangkan dalil-dalil ghairu nash ( paratekstual ) tidak berupa teks. Dalil – dalil ghairu nash ( paratekstual ) menyerupai qiyas, istihsan, istishlah dan sebagainya, nampak lebih merupakan metode penetapan aturan atau pengambilan aturan dari sumber tekstual., disamping metode kebahasaan yaitu metode ta’lili. 

Hal ini telah diperbedatkan semenjak masa deretan aturan awal. Oleh lantaran itu, terdapat pembedaan pengertian antara – misalnya- qiyas sebagai sumber aturan dan qiyas sebagai metode inovasi hukum. Qiyas dalam pengertian al-istiwa’ ( dalam bentuk kerja atau masdarnya ) yang berarti menyamakan, merupakan metode inovasi hukum. Sedangkan qiyas dalam pengertian at-taswiyah ( dalam bentuk kata benda ) yang berarti persamaan, merupakan sumber hukum. Begitu juga istishlah merupakan metode inovasi aturan sedangkan mashlahah merupakan sumber hukum

2.4.Perbandingan Konsep Islam dan Positif

Dari uraian perihal konsep aturan dan aturan Islam di atas akan dipaparkan beberapa fokus perbandingan yakni sebagai berikut :

2.4.a. Unsur – unsur

Unsur – unsur dalam aturan positif berbeda dengan unsur-unsur aturan Islam, di antaranya adalah:

1. Pembuat

Dalam aturan Islam pembuat aturan ( al-hakim ) atau Syar’i yaitu Tuhan Allah sendiri, maka aturan merupakan titah Allah. Sedangkan aturan positif dibentuk oleh tubuh yang berwajib sebagai representasi masyarakat dimana aturan itu berlaku. Dalam perspektif sejarah aturan Barat, di kala pertengahan berkembang aturan agama menyerupai aturan Islam dan aturan Kristen. Pada masa ini yang berlaku yakni aturan Tuhan ( kedaulatan Tuhan ). agama ini yang bersumber dari wahyu. Dalam perkembangan zaman selanjutnya muncul pandangan bahwa aturan dari Raja atau kedaulatan negara, lalu masa Renaissance bahwa aturan yakni kedaulatan rakyat, hingga kala XIX muncul pandangan positivisme yuridis bahwa aturan sama dengan undang-undang . Adapun konsep aturan positif yang dianut Indonesia merupakan adopsi dari konsep aturan Barat Modern yang telah mengalami perubahan dari masa ke masa tersebut.

2. Subjek

Subjek aturan ( mahkum ‘alaih ) dalam aturan Islam yakni mukallaf yaitu orang yang telah memenuhi syarat-syarat kecakapan untuk bertindak aturan ( ahliyah al-ada’ ). Dalam hal ini terdapat persamaan dengan konsep subjek aturan dalam aturan positif dengan adanya pengecualian atau perihal cacat aturan yaitu lantaran paksaan ( dwang, dures ), kekhilafan ( bedrog, fraud ), dan penipuan ( dwaling, mistake ).

Dalam aturan positif, terdapat subjek aturan selain orang ( persoon ) yaitu tubuh aturan ( rechpersoon ). Islam juga mengenal adanya tubuh aturan sebagai subjek hukum, menyerupai adanya baitul mal.

3. Wilayah ( objek yang diatur oleh aturan )

positif merupakan peraturan yang mengatur tingkah laris insan dalam pergaulan masyarakatnya. Sedangkan aturan Islam mengatur perbuatan-perbuatan mukallaf ( sebagai subjek aturan ).

Islam mengatur semua perbuatan mukallaf baik dalam hubungnannya dengan Tuhan ( Allah ), insan dan lingkungan sekitarnya atau semua makhluk Tuhan, sedangkan aturan positif hanya mengatur tingkah laris insan dalam pergaulannya di masyarakat. Bahkan dalam diskursus ilmu hukumn dan teori aturan terdapat pembedaan norma agama, kesusilaan, sopan santu dan norma hukum. Adapun dalam aturan Islam tidak terdapat pemisahan, lantaran aturan Islam mengatur kehidupan insan dalam segala aspeknya, bahkan aturan Islam tidak memisahkan antara duduk masalah aturan dan moralitas.

4. Daya Paksa

Peraturan aturan positif berisi perintah dan larangan yang bersifat mengikat dan memaksa, sehingga hukuman terhadap pelanggarannya dinyatakan dengan tegas. Sedangkan aturan Islam tidak hanya berisi perintah dan larangan, melainkan berisi taklif, takhyir ( pilihan ) dan penetapan. Adapun hukuman tidak dinyatakan dengan tegas, bahkan dalam beberapa hal hanya diberikan hukuman eskatologis.

2.4.b.Hakikat

sebagai perintah. Dalam hal ini aturan Islam dan aturan positif berbeda yaitu bahwa aturan Islam merupakan titah Allah yang berisi taklif, tahyir ( pilihan ) dan penetapan. Sedangkan hakikat aturan positif adalahg suatu perintah dengan disertai sanksi. sebagai penilaian. Dalam hal ini terdapat persamaan antara aturan Islam dan aturan positif, bahwa aturan merupakan penilaian. Dalam aturan terdapat kategori perbuatan insan menjadi wajib ( harus dikerjakan ), haram ( harus ditinggalkan ) dan sebagainya, yang berarti terdapat penilaian perbuatan baik dan jelek berdasarkan hukum.


sebagai hubungan. Hakikat aturan sebagai kekerabatan ini merupakan hasil telaah terhadap apa yang diatur dalam aturan atau dalam diskursus aturan disebut aturan subjektif. Dalam aturan Islam terdapat aturan wadl’I yang berupa sebab, syarat dan man’i yang juga memperlihatkan kepada makna hubungan. Misalnya Sebab yakni sesuatu yang lahir dan terang batasan-batasannya, yang oleh Allah ( syar’i ) dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya aturan , yang berarti Sebab merupakan penyebab lahirnya hukum. Oleh lantaran itu aturan wadl’i dalam konsep aturan Islam memiliki persamaan dengan hakikat aturan sebagai kekerabatan dalam konsep aturan positif.

2.4.c. Sumber

Sumber aturan positif dibagi menjadi sumber aturan material dan formal. Sumber aturan material merupakan materi-materi aturan berupa sikap dan realitas yang ada di masyarakat, termasuk aturan adat. Sedangkan sumber aturan formil yakni undang-undang, kebiasaan, Yurisprudensi, traktat dan doktrin.

islam juga memiliki sumber aturan material, namun perbedaan dengan aturan positif. Yaitu bahwa sumber aturan Islam berasal dari wahyu,sedangkan aturan positif bersumber kepada sikap dan realitas dalam masyarakat. Adapun Urf sebagai kebiasaan yang sanggup disebut juga sikap masyarakat, masih harus dipilah menjadi ‘urf shahih ( yang sesuai dengan nash atau sumber aturan tekstual ) dan ‘urf bathil ( yang tidak sesuai dengan nash ), sehingga yang sanggup dijadikan sumber aturan hanyalah ‘urf shahih.

3.1. Kesimpulan

Dari paparan di atas sanggup diambil beberapa pemahaman. Pertama, aturan pada hakikatnya yakni perintah dan penilaian yaitu penilaian terhadap suatu perbuatan yang baik atau tidak baik ( berdasarkan aturan ), serta kekerabatan yaitu kekerabatan diantara seseorang dengan suatu perbuatan ( sesuatu atau tidak melaksanakan sesuatu ) dari seseorang yang lain, yang menciptakan orang ini menghubungkan dirinya dengan perbuatan ini ( tidak melaksanakan ini ) sebagai dengan kepunyaannya, sebagai dengan sesuatu yang menjadi miliknya atau dengan kata lain suatu kekerabatan yang memiliki akhir hukum. Sementara aturan Islam merupakan sapaan Allah perihal perbuatan mukallaf baik berupa taklif, takhyir ( opsi ) maupun wadl’i. Islam berdasarkan Ushuliiyin yakni kategori agresi ( agresi Tuhan dalam memutuskan aturan ), namun berdasarkan Fuqaha aturan merupakan kategorin penderita yaitu efek atau akhir dari titah Allah. juga sebagai kategorisasi dan penilaian hukum.

Kedua, aturan Islam bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber aturan tekstual ( nash ) serta sumber aturan paratekstual ( ghairu nash ) yaitu Ijma, Qiyas, Istihsan, Maslahah mursalah, Istishab, Syaddi ad-dariah, ‘Urf, Pendapat Sahabat, dan Syariat umat terdahulu.

Ketiga, pada hakikatnya aturan Islam dan aturan positif memiliki beberapa persamaan yaitu bahwa aturan sebagai kekerabatan dan penilaian atau pengkategorian perbuatan insan ke dalam baik/tidak baik, dianjurkan/dilarang, serta perintah, walaupun dalam konsep aturan Islam terdapat aturan takhyiri ( opsi ).

Keempat,perbedaan dalam hal sumber yang signifikan antara aturan Islam dan aturan positif yaitu bahwa aturan Islam bersumber kepada wahyu Tuhan sedangkan aturan positif bersumber pada realitas kehidupan masyarakat.


Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Konsep Perbandingan Islam Dengan Positif"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel