iklan banner

Keadilan Dan Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan

Salam cerdas…..

Keadilan dan kesetaraan ialah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban insan untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi yang sangat besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas. Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai insan semoga bisa berperan dan berpartisipasi dalam acara politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Kesetaraan gender menuntut adanya suatu perlakuan adil terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis tidak sanggup dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, aturan dan politik terhadap satu jenis kelamin tertentu.

Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga mereka mempunyai akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam segala lapisan masyarakat di sepanjang zaman, dimana perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sini muncullah iktikad ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Ketidaksetaraan tersebut diantaranya adalah:

a. Marginalisasi terhadap perempuanMarginalisasi berarti menempatkan atau menggeser perempuan kepinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani, sehingga tidak pantas atau tidak sanggup memimpin. Akibatnya perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. Contoh marjinalisasi terhadap perempuan ini diantaranya:
1)   dalam proses pembangunan, perempuan diikutsertakan tetapi tidak pernah diajak turut mengambil keputusan dan pendapatnya jarang didengarkan,
2)  dalam keluarga perempuan tidak diakui sebagai kepala keluarga. Perempuan dihentikan memimpin dan memerintah suami sekalipun suami tidak bisa memimpin,
3)  dalam diri perempuan sendiri terdapat perasaan tidak mampu, lemah, menyingkirkan diri sendiri lantaran tidak percaya diri, dan masih banyak contoh lainnya.
b. Steorotip masyarakat terhadap perempuanPandangan stereotip masyarakat, yakni pembakuan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah mempunyai sifat masing-masing yang sepantasnya, sehingga tidak sanggup keluar dari qodrat yang telah ada. Sebagai contoh: a) urusan rumah tangga diserahkan kepada istri dan anak perempuan, pendidikan bawah umur menjadi tanggungjawab ibu, dan mengurus suami diserahkan sepenuhnya kepada istri tanpa adanya upah, b) kebanyakan perempuan menentukan pekerjaan yang sudah dibagikan sesuai sec tanpa mempedulikan kemampuan atau potensi sebetulnya yang dimiliki, c) jikalau seorang laki-laki memperkosa seorang perempuan, maka perempuan ini yang bertanggung jawab, lantaran ia keluar dari rumahnya, dan lantaran kiprah seorang perempuan ialah tinggal di rumah, dan lain sebagainya.
c.  Subordinasi terhadap perempuan. Pandangan ini memposisikan perempuan dan karya-karyanya lebih rendah dari laki-laki, sehingga mengakibatkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai pembantu, nomor dua, sosok bayangan, dan tidak berani memperlihatkan kemampuannya sebagai pribadi. Laki-laki menganggap perempuan tidak bisa berpikir menyerupai ukuran mereka, sehingga mereka selalu khawatir apabila memberi pekerjaan berat kepada perempuan.
d. Beban ganda terhadap perempuanPekerjaan yang diberikan kepada perempuan lebih usang pengerjaannya bila diberikan kepada laki-laki, lantaran perempuan yang bekerja disektor publik masih mempunyai tanggungjawab pekerjaan rumah tangga yang tidak sanggup diserahkan kepada pembantu rumah tangga sekalipun pembantu rumah tangga sama-sama perempuan.
e. Kekerasan terhadap perempuanKekerasan terhadap perempuan sanggup berupa kekerasan psikis, menyerupai pelecehan, undangan hubungan sec ditempat umum, senda gurau yang melecehkan sec perempuan. Dan kekerasan fisik, menyerupai pembunuhan, perkosaan, penganiayaan terhadap perempuan dan lain sebagainya.
f.  Sementara itu dalam pendidikan dasar persamaan pendidikan menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapat pendidikan sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman Djojonegoro menyatakan bahwa ciri pendidikan kerakyatan ialah perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik. Dalam kerangka ini, pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal hingga pendidikan dasar. Sebab insan mempunyai hak yang sama dalam mendapat pendidikan yang layak. Apabila ada sebagian anggota masyarakat yang tersingkir dari kebijakan kependidikan berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi kemanusiaan yang setiap ketika harus diperjuangkan.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah pendidikan, antara anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak perempuan, sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah lebih tinggi. Bukan menjadi alternatif kedua jikalau kekurangan biaya untuk sekolah. Hal ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang lantaran mereka akan segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu orang renta dalam pekerjaan rumah. Pendirian menyerupai ini melanggar etika Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang materialistik. Islam menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan yang sama antara yang kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping abolisi sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu serta memperlihatkan kepada setiap muslim itu segala macam jalan untuk belajar, bila mereka memperlihatkan adanya minat dan bakat.

Dengan demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memperlihatkan mata pelajaran yang sesuai dengan talenta dan minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan juga duduk kasus pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan santunan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut akan menimbulkan nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.

Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu kualitas yang mempunyai keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, bisa mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan semoga mendapat kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.

Ungkapan Athiyah perihal pendidikan perempuan seakan menyadari kondisi riil historisitas kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali dirugikan oleh sikap sosialnya. Seperti perempuan-perempuan  harus putus sekolah lantaran diskriminasi gender (sebab kesepakatan nikah atau hamil diluar nikah) atau lantaran keterbatasan ekonomi, anak laki-laki mendapat prioritas utama walau potensinya tidak lebih tinggi daripada anak perempuan.

Kesetaraan dan keadilan gender sanggup juga disebut dengan istilah kemitra sejajaran yang serasi antara laki-laki dengan perempuan dalam pendidikan, artinya laki-laki dan perempuan mempunyai hak, kewajiban, kedudukan, peranan dan kesempatan yang sama dalam aneka macam bidang kehidupan terlebih dalam pendidikan dan pembangunan. Semua itu dilandasi atas dasar saling menghormati, saling menghargai, saling membantu, saling mengisi dan sebagainya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Sementara itu bila ditinjau dari tinjauan Yuridis konsep pendidikan berperspektif gender telah dirumuskan oleh pemerintah, lantaran melihat kesetaraan dan keadilan gender masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum wanita. Untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender itu, dalam instansi pemerintah telah mengambil kebijakan, pendidikan yang berwawasan kesetaraan dan keadilan gender menyerupai yang tertuang dalam:

Konvensi Wanita Tahun 1981. Konvensi perempuan tahun 1981, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB, sebagian isinya adalah:

Pasal 1, “...istilah diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibentuk atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai efek atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, terlepas dari status perkawinan mereka, dan dasar persamaan antara laki-laki dan wanita.

Pasal 2: mewajibkan negara untuk menjamin melalui peraturan perundang-undangan atau dengan cara-cara lainnya untuk melakukan prinsip persamaan antara perempuan dan pria.

Pasal 3: negara-negara penerima mengambil langkah-langkah yang sempurna termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya dibidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan kemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melakukan dan menikmati hak-hak asasi insan dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan pria.

Pasal 4: pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta, termasuk peraturan-peraturan yang dimuat dalam konvensi, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, dianggap sebagai diskriminasi.

Pasal 5: negara-negara penerima wajib wajib menciptakan peraturan-peraturan:
a. Untuk mengubah pola sikap sosial budaya pria  dan perempuan dengan maksud untuk mencapai abolisi prasangka, atau kebiasaan yang menurut peran stereotipe pria dan wanita, dan 
b. Untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga mencakup pengertian mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengukuhan tanggung jawab bersama antara laki-laki dan perempuan dalam membesarkan bawah umur mereka ....”.

Hasil konvensi perempuan tahun 1981 dan telah disetujui PBB tersebut menunjukan bahwa kesetaraan gender sudah menjadi kebutuhan atau tuntutan bagi umat insan diseluruh dunia. Konvensi tersebut sanggup dijadikan referensi semua pihak semoga kesetaraan gender dilaksanakan di semua negara.

Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27Undang-undang Dasar 1945, BAB X perihal warga negara, pasal 27 ayat (1) berbunyi: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam aturan dan pemerintahan dan wajib menjunjung aturan dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya.

Pasal tersebut terang menentukan, semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka aturan dan pemerintah tanpa ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Sejak tahun 1945 prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan sebetulnya telah diakui, terbukti dalam ketentuan Undang-undang Dasar 1945 perihal pengukuhan warga negara dan penduduk terang tidak membedakan jenis kelamin.

Tap MPR No. IV/1999Tap MPR No. IV/1999 perihal GBHN mengamanatkan perihal Kedudukan dan Peranan Perempuan sebagai berikut: a) Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh forum yang bisa memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dan b) Meningkatkan kualitas kiprah dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan serta historis usaha kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Tap MPR No. IV/1999 tersebut mendukung untuk meningkatkan kiprah dan kedudukan perempuan perlu dikembangkan kebijakan nasional yang diemban oleh suatu forum yang bisa mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) serta bisa meningkatkan kualitas kiprah dan kemandirian organisasi perempuan.

Inpres No. 9 Tahun 2000Inpres No. 9 Tahun 2000 ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid yang berisi perihal pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional. Secara rinci presiden menginstruksikan:

a)   Melakukan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian atas kebijakan dan jadwal pembangunan nasional yang berspektif gender sesuai dengan bidang kiprah dan fungsi serta kewenangan masing-masing,
b)  Memperhatikan secara sungguh-sungguh pedoman pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional sebagaimana terlampir dalam dalam Instruksi Presiden ini sebagai pola dalam melakukan pengarusutamaan gender dan
c)  Khusus ditujukan Menteri Pemberdayaan Perempuan semoga memperlihatkan santunan teknis kepada instansi dan forum pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender kepada presiden.

Berdasarkan Inpres tersebut menegaskan bahwa gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi jawaban dari dan dan sanggup berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Sedangkan kesetaraan gender ialah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, semoga bisa berperan dan berpartisipasi dalam acara politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.


Sumber http://pintubelajarcerdas.blogspot.com

0 Response to "Keadilan Dan Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel