iklan banner

Cyber Crime In Cyber Law Era


Telah lahir rezim aturan gres yang dikenal dengan cyber law (hukum siber). Itilah ini sering dipakai untuk aturan yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Selain itu juga ada istilah lain seperti, aturan teknologi gosip (Law of Information Technology) dan aturan dunia maya (virtual world law).

Cyber law ini bertumpu pada disiplin ilmu aturan yang terdahulu antara lain: HAKI, aturan perdata, aturan perdata internasional dan aturan internasional. Hal ini mengingat ruang lingkup cyber law yang cukup luas. Karena dikala ini perkembangan transaksi on line (e-commerce) dan jadwal e-government pada 9 Juni 2003 pasca USA E-Government Act 2002 Public Law semakin pesat.

Kejahatan yang paling marak dikala ini ialah di bidang HAKI yang mencakup hak cipta, hak paten, hak merek, diam-diam dagang, desain industri, dsb. Kejahatan itu adakalanya dengan carding, hacking, cracking dan cybersquanting. Terdapat tiga pertahanan untuk meminimalisir tindak kejahatan di dalam bidang ini, yaitu melalui beberapa pendekatan teknologi, pendekatan social dan pendekatan hukum.

Salah satu kasus di bidang hak cipta dan merek ialah kasus linux dan colinux. Pakar aturan berbeda pendapat dalam mendefinisikan tindak kejahatan menyerupai ini, antara lain : Cyber Crime ialah upaya memasuki/menggunakan kemudahan computer/jaringan computer tanpa ijin dan melawan aturan atau tanpa mengakibatkan perubahan atau kerusakan pada kemudahan computer yang dimasuki atau dipakai tersebut. Sedang berdasarkan The U.S Department of justice, cyber crime is any illegal act requiring knowledge of computer technology for it perpetration, investigation or prosecution.

Dengan ruang lingkup yang cukup luas dan tanpa batas perlu sebuah produk aturan yang mengcover semua aspek cyber law. Dalam aturan internasional ada 3 jenis yuridiksi yaitu : yuridiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe), yuridiksi untuk penegakan aturan (the jurisdiction to enforce) dan yuridiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate). 

Dalam the jurisdiction to adjudicate ada beberapa asas yang harus dipertimbangkan ketika memakai yuridiksi ini antara lain :

a. Asas Subjective Territoriality
Keberlakuan aturan berdasarkan daerah perbuatan dan penyelesaian tindak pidana dilakukan di Negara lain.
b. Asas Objective Territoriality
yang berlaku ialah dimana akhir utama perbuatan itu terjadi dan menawarkan efek kerugian bagi Negara yang bersangkutan.
c. Asas Nationality
hukum berlaku berdasarkan kewarganeraan pelaku.
d. Asas Passive Nationality
berlaku berdasarkan kewarganeraan korban.
e. Asas Protective Principle
Berlakunya berdasarkan atas cita-cita Negara untuk melindungi kepentingan Negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya.
f. Asas Universality

Asas ini diberlakukan untuk lintas Negara terhadap kejahatan yang dianggap sangat serius seprti pembajakan dan terorisme (crimes against humanity).
Selain mempertimbangkan asas-asas aturan diatas, pembuatan aturan cyber law juga membutuhkan keselarasan dengan aturan nyata (ius contitutum) yang sudah ada sebelumnya antara lain : UU HAKI (paten, merek, hak cipta, desiain industri), UU Perbankan, UU Penyiaran. KUHPerdata & KUHAPer (Materiil & Formil), KUHPidana, UU pinjaman Konsumen, UU HAM, UU Kekuasaan kehakiman, UU Pasar Modal, UU telekomunikasi, UU Penyiaran, UU Persaingan Usaha, UU tindak pidana Pencucian Uang, UU Alternatif Penyelesaian Sengketa ADR, dll.

Ruang lingkup yang cukup luas ini menciptakan cyber law bersifat kompleks, khususnya dengan berkembangnya teknologi. Dengan kemajuan teknologi masyarakat sanggup memberi kemudahan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia. Seiring dengan kemajuan inipun menjadikan banyak sekali permasalahan, lahirnya kejahatan-kejahatan tipe baru, khususnya yang mengugunakan media internet, yang dikenal dengan nama cyber crime, sperti teladan di atas. Cyber crime ini telah masuk dalam daftar jenis kejahatan yang sifatnya internasional berdasarkan United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime (Palermo convention) Nopember 2000 dan berdasarkan Deklarasi ASEAN tanggal 20 Desember 1997 di Manila. 

Jenis-jenis kejahatan yang termasuk dalam cyber crime diantaranya ialah :

1. Cyber-terrorism : National Police Agency of Japan (NPA) mendefinisikan cyber terrorism sebagai electronic attacks through computer networks against critical infrastructure that have potential critical effect on social and economic activities of the nation.
2. Cyber-pornography : penyebaran obscene materials termasuk pornografi, indecent exposure, dan child pornography.
3. Cyber Harrasment : pemerkosaan melalui email, website atau chat programs.
4. Cyber-stalking : crimes of stalking melalui penggunaan computer dan internet.
5. Hacking : penggunaan programming abilities dengan maksud yang bertentangan dengan hukum.
6. Carding (credit card fund), carding muncul ketika orang yang bukan pemilik kartu kredit memakai kartu credit tersebut secara melawan hukum.

Dari kejahatan-kejahatan akan memberi implikasi terhadap tatanan social masyarakat yang cukup signifikan khususnya di bidang ekonomi. Mengingat bergulirnya juga kala e-commerce, yang kini telah banyak terjadi. Meski berdasarkan prinsip-prinsip yuridiksi yang dianut Kitab Undang-undang Pidana (KUHP), cyber crime sanggup diatasi, namun dalam bebrapa hal masih terdapat kekurangan salah satu misalnya ialah mengenai pembuktian tindak pidana dunia maya (cyber crime).

Apabila masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang benar akan tindak pidana cyber crime maka baik secara pribadi maupun tidak pribadi masyarakat akan membentuk pola penataan. Pole penataan ini sanggup berdasarkan alasannya ialah ketakutan akan bahaya pidana ynag dikenakan apabila melaksanakan perbuatan cyber crime atau pola penataan ini tumbuh atas kesadaran mereka sendiri sebagai masyarakat hukum.

Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Cyber Crime In Cyber Law Era"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel