iklan banner

Memahami Konsep Kemiskinan

Masalah kemiskinan merupakan warta yang sudah usang didiskusikan, juga telah dilakukan banyak sekali upaya untuk mengatasinya. Meskipun demikian, hingga dengan dikala ini kasus tersebut terus terjadi diberbagai wilayah. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengatakan tinjauan ihwal konsep kemiskinan.

the Sustainable Development Goals (SDGs). Maka tidak heran muncul pernyataan bahwa kemiskinan akan selalu berjalan berdampingan dengan pembangunan.

Dalam salah satu studinya, Towsend membagi kemiskinan menjadi dua aspek, yakni kemiskinan diktatorial (absolute poverty) dan kemiskinan relatif (relative poverty).



Yang dimaksud dengan kemiskinan diktatorial yaitu apabila tingkat kemiskinan tersebut dinyatakan dengan standar yang serupa untuk tiap negara dan tidak berubah setiap waktu (absolute standard). Dalam hal ini digunakan patokan tertentu ibarat standar pendapatan (income) per hari, contohnya pendapatan sebesar US$ X/hari.

Sedangkan yang disebut dengan kemiskinan relatif ialah apabila tingkat kemiskinan diukur dengan memakai standar yang ditentukan berdasarkan lingkungan daerah tinggal individu, sehingga bisa bervariasi antara negara satu dengan negara lain. Konsep ini biasanya digunakan untuk memantau terjadinya ketidakadilan dalam distribusi pendapatan (Townsend, P. Measuring Poverty, British Journal of Sociology, 1954).

Berdasarkan konsep diatas sanggup disimpulkan bahwa dalam perspektif tradisional, kemiskinan dilihat dari besarnya pendapatan yang dihasilkan oleh individu atau rumah tangga. Seseorang dikatakan miskin apabila pendapatannya berada dibawah level yang sudah ditetapkan (misalnya: US$ 1/hari). Banyak negara mengadopsi alat ukur ini untuk memantau jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, sebab dimensi kemiskinan hanya melihat sisi pendapatan sehingga tidak sulit dalam penghitungan.

Dalam perkembangan selanjutnya, dimensi kemiskinan mulai bervariasi, bukan sekadar dilihat dari pendapatan seseorang. Kemiskinan juga ditentukan dari hilangnya kesempatan untuk memilih pilihan dan kesempatan untuk sanggup hidup lebih lama, sehat, cukup asupan gizi, serta terpenuhi atau tidak'nya kebutuhan akan pendidikan, standar hidup yang layak, kebebasan, harga diri, kehormatan, dan partisipasi dalam komunitas.

Kemudian mulai muncul instrumen yang lebih komprehensif dalam mengukur angka kemiskinan. Salah satu contohnya yaitu Human Poverty Index (HDI). HPI memakai indikator seperti: tingkat kehidupan (usia) yang pendek, tidak terpenuhinya pendidikan dasar, serta tidak tersedianya jalan masuk untuk kepentingan publik maupun privat.

Aspek tingkat kehidupan (usia) berkaitan dengan risiko janjkematian usia dini. Di negara berkembang, indikator ini menggambarkan persentase individu yang meninggal dunia sebelum berumur 40 tahun, sementara untuk negara maju memakai patokan umur 60 tahun.

Sementara indikator pendidikan menyangkut level pengetahuan yang dihitung dengan mengukur tingkat buta pengetahuan (illiteracy) pada orang dewasa. Sedangkan untuk indikator yang terakhir bekerjasama dengan standar hidup secara umum. Dimensi ini direpresentasikan dalam tiga variabel, yaitu: persentase masyarakat yang mendapat jalan masuk layanan kesehatan, jalan masuk air sehat, serta persentase anak balita kekurangan gizi.

Akan tetapi, HPI tidak mengukur seluruh dimensi kemiskinan. Selain itu HPI tidak bisa pertanda kemiskinan yang terjadi pada kelompok masyarakat tertentu, sebab penghitungannya secara agregat (keseluruhan). Walaupun begitu, alat ukur ini bisa memperlihatkan penyebab umum kemiskinan disuatu negara dan bisa dijadikan teladan dalam upaya pengentasan kemiskinan (Mowafi, Mona. The Meaning and Measurement of Poverty: A Look into the Global Debate, 2014).

Berikutnya, dalam upaya untuk mengukur tingkat kemiskinan secara lebih akurat, the Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) bekerjasama dengan UNDP melaksanakan beberapa adaptasi dan perbaikan dalam penentuan aspek-aspek yang digunakan untuk menilai tingkat kemiskinan. Alat ukur ini dinamai the Global Multidimensional Poverty Index (MPI).

MPI juga menerapkan tiga dimensi kemiskinan, yakni kesehatan, pendidikan, dan standar hidup. Untuk kemiskinan mempunyai dua dimensi, yaitu gizi dan tingkat janjkematian bayi, kemudian dimensi pendidikan memuat usang (dalam tahun) bersekolah dan tingkat kehadiran di sekolah, sedangkan dimensi standar kehidupan berisi indikator-indikator ibarat listrik, kebersihan (sanitasi), air, lantai, materi bakar untuk memasak, serta harta.

MPI memutuskan bahwa seseorang dikatakan miskin apabila setidaknya salah satu dari dimensi tersebut tidak terpenuhi (pengukuran memakai metode rata-rata tertimbang/dengan bobot tertentu, untuk masing-masing indikator) (www.ophi.org.uk).

Ada pula studi-studi lain yang memperlihatkan instrumen-instrumen dalam penentuan indeks kemiskinan, namun pemanfaatannya masih terbatas secara konseptual, sehingga hingga dengan dikala ini belum dijadikan teladan secara global.

Demikian beberapa tinjauan mengenai kasus kemiskinan dan upaya untuk mengukur sejauh mana problem itu terjadi. Yang perlu digarisbawahi yaitu bahwa kemiskinan merupakan kasus riil yang terus terjadi seiring dengan pembangunan. **



ARTIKEL TERKAIT :
Melihat Progress Pelaksanaan SDGs (the Sustainable Development Goals)
Tantangan UNDP Mewujudkan Agenda the Sustainable Development Goals (SDGs)
Pertumbuhan Populasi Penduduk Dunia beserta Permasalahannya
Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development)
Sumber http://www.ajarekonomi.com

0 Response to "Memahami Konsep Kemiskinan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel