iklan banner

✔ Pengintegrasian Pendidikan Aksara Dalam Pembelajaran Di Sekolah

Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. 
FIS Universitas Negeri Yogyakarta

Pendidikan ialah proses memanusiakan manusia. Untuk meraih derajat insan seutuhnya sangatlah mustahil tanpa melalui proses pendidikan. Pendidikan harus sanggup menghasilkan insan-insan yang mempunyai karakter mulia, di samping mempunyai kemampuan akademik dan keterampilan yang memadai. Salah satu cara untuk mewujudkan insan yang berkarakter ialah dengan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap pembelajaran. Nilai-nilai karakter utama yang harus terwujud dalam sikap dan sikap penerima didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter ialah jujur (olah hati), cerdas (olah pikir), tangguh (olah raga), dan peduli (olah rasa dan karsa). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran sanggup dilakukan dengan pemuatan nilai-nilai karakter dalam semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Untuk itu guru harus mempersiapkan pendidikan karakter mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasinya. Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah perlu didukung oleh keteladanan guru dan orang renta murid serta budaya yang berkarakter. 


# PENDAHULUAN

Pendidikan ialah sebuah perjuangan yang ditempuh oleh insan dalam rangka memperoleh ilmu yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku. Karena itu, pendidikan merupakan salah satu proses pembentukan karakter manusia. Pendidikan bisa juga dikatakan sebagai proses pemanusiaan manusia. Dalam keseluruhan proses yang dilakukan insan terjadi proses pendidikan yang akan menghasilkan sikap dan sikap yang kesudahannya menjadi watak, kepribadian, atau karakternya. Untuk meraih derajat insan seutuhnya sangatlah mustahil tanpa melalui proses pendidikan.

Pendidikan juga merupakan perjuangan masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif penerima didik menyebarkan potensi dirinya, melaksanakan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, menyebarkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta menyebarkan kehidupan bangsa yang bermartabat.

Sejalan dengan laju perkembangan masyarakat, pendidikan menjadi sangat dinamis dan disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Kurikulum pendidikan bukan menjadi patokan yang baku dan statis, tetapi sangat dinamis dan harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Dalam rangka ini reformasi pendidikan menjadi urgen biar pendidikan tetap kondusif. Reformasi pendidikan harus terprogram dan sistemik. Reformasi terprogram menunjuk pada kurikulum atau acara suatu institusi pendidikan, contohnya dengan melaksanakan penemuan pendidikan. Inovasi dilakukan dengan memperkenalkan pandangan gres baru, metode baru, dan sarana prasarana gres biar terjadi perubahan yang mencolok dengan tujuan dan maksud tertentu. Adapun reformasi sistemik terkait dengan hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini sering terjadi di luar sekolah dan berada pada kekuatan sosial dan politik. Reformasi sistemik menyatukan inovasi-inovasi yang dilakukan di dalam sekolah dan di luar sekolah secara luas (Zainuddin, 2008: 33-34).

Beberapa tahun terakhir pendidikan kita telah mengalami perubahan kurikulum mirip diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 yang disusul dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Di samping itu, juga telah dilakukan aneka macam penemuan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional mirip tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional (lihat potongan 2 pasal 3). Salah satu bentuk penemuan ini ialah dicanangkannya pendidikan karakter bangsa melalui aneka macam proses pendidikan. Dari fungsi dan tujuan yang ingin dicapai, pendidikan karakter tidak hanya merupakan penemuan pendidikan, tetapi juga merupakan reformasi pendidikan yang harus dipersiapkan dan dilaksanakan dengan benar serta melibatkan setiap pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, terang bahwa pendidikan di setiap jenjang, mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, harus dirancang dan diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Dalam rangka pembentukan karakter penerima didik sehingga beragama, beretika, bermoral, dan sopan santun dalam berinteraksi dengan masyarakat, maka pendidikan harus dipersiapkan, dilaksanakan, dan dievaluasi dengan baik dan harus mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya guna mewujudkan insan-insan Indonesia yang berkarakter mulia.

Pendidikan karakter seharusnya membawa penerima didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan kesudahannya ke pengamalan nilai secara nyata. Inilah rancangan pendidikan karakter (moral) yang oleh Thomas Lickona disebut moral knowing, moral feeling, dan moral action (Lickona, 1991: 51). Karena itulah, semua mapel yang dipelajari oleh penerima didik di sekolah harus bermuatan pendidikan karakter yang bisa membawanya menjadi insan yang berkarakter mirip yang ditegaskan oleh Lickona tersebut.


# KAJIAN TEORI

Pengertian Karakter dan Pendidikan Karakter Istilah karakter ialah istilah yang gres digunakan dalam wacana Indonesia dalam lima tahun terakhir ini. Istilah ini sering dihubungkan dengan istilah akhlak, etika, moral, atau nilai. Karakter juga sering dikaitkan dengan duduk kasus kepribadian, atau paling tidak ada hubungan yang cukup erat antara karakter dengan kepribadian seseorang.

Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan & Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols & Shadily, 1995: 214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budpekerti atau kebijaksanaan pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang sanggup dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan demikian, karakter merupakan watak dan sifat-sifat seseorang yang menjadi dasar untuk membedakan seseorang dari yang lainnya.

Dengan makna mirip itu karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, contohnya keluarga pada masa kecil dan bawaan semenjak lahir (Doni Koesoema, 2007: 80). Seiring dengan pengertian ini, ada sekelompok orang yang beropini bahwa baik buruknya karakter insan sudah menjadi bawaan dari lahir. Jika bawaannya baik, insan itu akan berkarakter baik, dan sebaliknya jikalau bawaannya jelek, insan itu akan berkarakter jelek. Jika pendapat ini benar, pendidikan karakter tidak ada gunanya, alasannya tidak akan mungkin merubah karakter orang yang sudah taken for granted. Sementara itu, sekelompok orang yang lain beropini berbeda, yakni bahwa karakter bisa dibuat dan diupayakan sehingga pendidikan karakter menjadi bermakna untuk membawa insan sanggup berkarakter yang baik.

Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona yang mendefinisikan karakter sebagai “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Karakter mulia (good character), dalam pandangan Lickona, mencakup pengetahuan perihal kebaikan (moral khowing), kemudian menyebabkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan kesudahannya benar-benar melaksanakan kebaikan (moral behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta sikap (behaviors) dan keterampilan (skills).

Dalam proses perkembangan dan pembentukannya, karakter seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Secara psikologis sikap berkarakter merupakan perwujudan dari potensi Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural pada kesudahannya sanggup dikelompokkan dalam empat kategori, yakni 1) olah hati (spiritual and emotional development), 2) olah pikir (intellectual development), 3) olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan 4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Keempat proses psiko-sosial ini secara holistik dan koheren saling terkait dan saling melengkapi dalam rangka pembentukan karakter dan perwujudan nilai-nilai luhur dalam diri seseorang (Kemdiknas, 2010: 9-10).

Secara mudah karakter dipahami sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik kasatmata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Secara koheren, karakter memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Pemerintah RI, 2010: 7).

Dari klarifikasi di atas sanggup dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai sikap insan yang universal yang mencakup seluruh acara manusia, baik dalam rangka berafiliasi dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan budbahasa istiadat. Menurut Ahmad Amin (1995: 62) bahwa kehendak (niat) merupakan awal terjadinya budpekerti (karakter) pada diri seseorang, jikalau kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education).

Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan semenjak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama dikala ia menulis buku yang berjudul Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (1991) yang kemudian disusul oleh tulisan-tulisannya mirip The Return of Character Education yang dimuat dalam jurnal Educational Leadership (November 1993) dan juga artikel yang berjudul Eleven Principles of Effective Character Education, yang dimuat dalam Journal of Moral Volume 25 (1996). Melalui buku dan tulisan-tulisannya itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter, menurutnya, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), menyayangi kebaikan (desiring the good), dan melaksanakan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51).

Di pihak lain, Frye (2002: 2) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, “A national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through an emphasis on universal values that we all share”. Jadi, pendidikan karakter harus menjadi gerakan nasional yang menjadikan sekolah (institusi pendidikan) sebagai distributor untuk membangun karakter penerima didik melalui pembelajaran dan pemodelan. Melalui pendidikan karakter sekolah harus berpretensi untuk membawa penerima didik mempunyai nilai-nilai karakter mulia mirip hormat dan peduli pada orang lain, tanggung jawab, jujur, mempunyai integritas, dan disiplin. Di sisi lain pendidikan karakter juga harus bisa menjauhkan penerima didik dari sikap dan sikap yang tercela dan dilarang.

Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) perihal yang baik sehingga penerima didik paham, bisa merasakan, dan mau melaksanakan yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan budpekerti atau pendidikan moral.

Nilai-Nilai Dasar dalam Pendidikan Karakter Pemerintah Indonesia telah merumusan kebijakan dalam rangka pembangunan karakter bangsa. Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025 ditegaskan bahwa karakter merupakan hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa. Olah hati terkait dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan, olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan memakai pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif, olah raga terkait dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan acara gres disertai sportivitas, serta olah rasa dan karsa berafiliasi dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan (Pemerintah RI, 2010: 21).

Nilai-nilai karakter yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila pada masing-masing potongan tersebut, sanggup dikemukakan sebagai berikut:
  1. Karakter yang bersumber dari olah hati antara lain beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik; 
  2. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif; 
  3. Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain bersih, dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih; dan 
  4. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patriotis), gembira memakai bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.


Dari nilai-nilai karakter di atas, Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mencanangkan empat nilai karakter utama yang menjadi ujung tombak penerapan karakter di kalangan penerima didik di sekolah, yakni jujur (dari olah hati), cerdas (dari olah pikir), tangguh (dari olah raga), dan peduli (dari olah rasa dan karsa).

Dengan demikian, ada banyak nilai karakter yang sanggup dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Menanamkan semua butir nilai tersebut merupakan kiprah yang sangat berat. Oleh alasannya itu, perlu dipilih nilai-nilai tertentu yang diprioritaskan penanamannya pada penerima didik.

Direktorat Pembinaan SMP Kemdiknas RI menyebarkan nilai-nilai utama yang disarikan dari butir-butir standar kompetensi lulusan (Permendiknas No. 23 tahun 8 2006) dan dari nilai-nilai utama yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Depdiknas RI (Pusat Kurikulum Kemdiknas, 2009). Dari kedua sumber tersebut nilai-nilai utama yang harus dicapai dalam pembelajaran di sekolah (institusi pendidikan) di antaranya adalah: 
  1. Kereligiusan, yakni pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau aliran agamanya. 
  2. Kejujuran, yakni sikap yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu sanggup mengemban amanah dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain. 
  3. Kecerdasan, yakni kemampuan seseorang dalam melaksanakan suatu kiprah secara cermat, tepat, dan cepat. 
  4. Ketangguhan, yakni sikap dan sikap pantang mengalah atau tidak pernah frustasi dikala menghadapi aneka macam kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau kiprah sehingga bisa mengatasi kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan. 
  5. Kedemokratisan, yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 
  6. Kepedulian, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan kerusakan (manusia, alam, dan tatanan) di sekitar dirinya. 
  7. Kemandirian, yakni sikap dan sikap yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menuntaskan tugas-tugas. 
  8. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, yakni berpikir dan melaksanakan sesuatu secara kenyataan atau nalar untuk menghasilkan cara atau hasil gres dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki. 
  9. Keberanian mengambil risiko, yakni kesiapan mendapatkan risiko/akibat yang mungkin timbul dari tindakan nyata. 
  10. Berorientasi pada tindakan, yakni kemampuan untuk mewujudkan gagasan menjadi tindakan nyata. 
  11. Berjiwa kepemimpinan, yakni kemampuan mengarahkan dan mengajak individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan berpegang pada asas-asas kepemimpinan berbasis budaya bangsa. 
  12. Kerja keras, yakni sikap yang memperlihatkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi aneka macam kendala guna menuntaskan kiprah (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya. 
  13. Tanggung jawab, yakni sikap dan sikap seseorang untuk melaksanakan kiprah dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya ia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan YME. 
  14. Gaya hidup sehat, yakni segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam membuat hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang sanggup mengganggu kesehatan. 
  15. Kedisiplinan, yakni tindakan yang memperlihatkan sikap tertib dan patuh pada aneka macam ketentuan dan peraturan. 
  16. Percaya diri, yakni sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya. 
  17. Keingintahuan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 
  18. Cinta ilmu, yakni cara berpikir, bersikap dan berbuat yang memperlihatkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan. 
  19. Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, yakni sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain. 
  20. Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, yakni sikap berdasarkan dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum. 
  21. Menghargai karya dan prestasi orang lain, yakni sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang mempunyai kegunaan bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. 
  22. Kesantunan, yakni sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang. 
  23. Nasionalisme, yakni cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang memperlihatkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
  24. Menghargai keberagaman, yakni sikap memperlihatkan respek/hormat terhadap aneka macam macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
D24 nilai dasar karakter di atas, guru (pendidik) sanggup menentukan nilai-nilai karakter tertentu untuk diterapkan pada penerima didik disesuaikan dengan muatan materi dari setiap mata pelajaran (mapel) yang ada. Guru juga sanggup mengintegrasikan karakter dalam setiap proses pembelajaran yang dirancang (skenario pembelajaran) dengan menentukan metode yang cocok untuk dikembangkannya karakter penerima didik.

# PEMBAHASAN 

Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Merespons sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan budpekerti dan kebijaksanaan pekerti (pendidikan karakter), terutama melalui dua mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan penemuan pendidikan karakter. Inovasi tersebut adalah: 
  1. Pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran. Integrasi yang dimaksud mencakup pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap acara di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran. 
  2. Pendidikan karakter juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan training penerima didik. 
  3. Selain itu, pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga sekolah (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
Dari ketiga bentuk penemuan di atas yang paling penting dan pribadi bersentuhan dengan acara pembelajaran sehari-hari ialah pengintegrasian pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Pengintegrasian pendidikan karakter melalui proses pembelajaran semua mata pelajaran di sekolah kini menjadi salah satu model yang banyak diterapkan. Model ini ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru ialah pendidik karakter (character educator). Semua mata pelajaran juga disasumsikan mempunyai misi dalam membentuk karakter mulia para penerima didik (Mulyasa, 2011: 59)

Di samping model ini, ada juga model lain dalam pendidikan karakter di sekolah, mirip model subject matter dalam bentuk mata pelajaran sendiri, yakni menjadikan pendidikan karakter sebagai mata pelajatan tersendiri sehingga memerlukan adanya rumusan tersendiri mengenai standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, silabus, RPP, materi ajar, seni administrasi pembelajaran, dan penilaiannya di sekolah. Model ini tidaklah mudah dan akan menambah beban penerima didik yang sudah diberi sekian banyak mata pelajaran. Karena itulah, model integrasi pendidikan karakter dalam mata pelajaran dinilai lebih efektif dan efisien dibanding dengan model subject matter.

Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai penilaian pembelajaran pada semua mata pelajaran. Tahap-tahap ini akan diuraikan lebih detail berikut ini.

1. Tahap Perencanaan

Pada tahap perencanaan yang mula-mula dilakukan ialah analisis SK/KD, pengembangan silabus berkarakter, penyusunan RPP berkarakter, dan penyiapan materi latih berkarakter. Analisis SK/KD dilakukan untuk mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang secara substansi sanggup diintegrasikan pada SK/KD yang bersangkutan. Perlu dicatat bahwa identifikasi nilai-nilai karakter ini tidak dimaksudkan untuk membatasi nilai-nilai yang sanggup dikembangkan pada pembelajaran SK/KD yang bersangkutan. Guru dituntut lebih cermat dalam memunculkan nilai-nilai yang ditargetkan dalam proses pembelajaran.

Secara mudah pengembangan silabus sanggup dilakukan dengan merevisi silabus yang telah dikembangkan sebelumnya dengan menambah komponen (kolom) karakter sempurna di sebelah kanan komponen (kolom) Kompetensi Dasar atau di kolom silabus yang paling kanan. Pada kolom tersebut diisi nilai(-nilai) karakter yang hendak diintegrasikan dalam pembelajaran. Nilai-nilai yang diisikan tidak hanya terbatas pada nilai-nilai yang telah ditentukan melalui analisis SK/KD, tetapi sanggup ditambah dengan nilai-nilai lainnya yang sanggup dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran (bukan lewat substansi pembelajaran). Setelah itu, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, dan/atau teknik penilaian, diubahsuaikan atau dirumuskan ulang dengan penyesuaian terhadap karakter yang hendak dikembangkan. Metode menjadi sangat urgen di sini, alasannya akan menentukan nilai-nilai karakter apa yang akan ditargetkan dalam proses pembelajaran.

Sebagaimana langkah-langkah pengembangan silabus, penyusunan RPP dalam rangka pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pembelajaran juga dilakukan dengan cara merevisi RPP yang telah ada. Revisi RPP dilakukan dengan langkah-langkah: 
  • Rumusan tujuan pembelajaran direvisi/diadaptasi. Revisi/adaptasi tujuan pembelajaran sanggup dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) rumusan tujuan pembelajaran yang telah ada direvisi sampai satu atau lebih tujuan pembelajaran tidak hanya menyebarkan kemampuan kognitif dan psikomotorik, tetapi juga afektif (karakter), dan (2) ditambah tujuan pembelajaran yang khusus dirumuskan untuk karakter. 
  • Pendekatan/metode pembelajaran diubah (disesuaikan) biar pendekatan/metode yang dipilih selain memfasilitasi penerima didik mencapai pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan, juga menyebarkan karakter. 
  • Langkah-langkah pembelajaran juga direvisi. Kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam setiap langkah/tahap pembelajaran (pendahuluan, inti, dan penutup), direvisi atau ditambah biar sebagian atau seluruh kegiatan pembelajaran pada setiap tahapan memfasilitasi penerima didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan dan menyebarkan karakter. Prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning), pembelajaran kooperatif (Cooperatif Learning), dan pembelajaran aktif (misal: PAIKEM/Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) cukup efektif untuk menyebarkan karakter penerima didik. 
  • Bagian penilaian direvisi. Revisi dilakukan dengan cara mengubah dan/atau menambah teknik-teknik penilaian yang telah dirumuskan. Teknik-teknik penilaian dipilih sehingga secara keseluruhan teknik-teknik tersebut mengukur pencapaian penerima didik dalam kompetensi dan karakter. Di antara teknik-teknik penilaian yang sanggup digunakan untuk mengetahui perkembangan karakter ialah observasi, Penilaian kinerja, penilaian antar teman, dan penilaian diri sendiri. Nilai karakter sebaiknya tidak dinyatakan secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif, misalnya:
  1. BT: Belum Terlihat,apabila penerima didik belum memperlihatkan gejala awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator. 
  2. MT: Mulai Terlihat,apabila penerima didik sudah mulai memperlihatkan adanya gejala  awal  perilaku/karakter  yang  dinyatakan  dalam  indikator  tetapi belum konsisten. 
  3. MB: Mulai Berkembang,apabila penerima didik sudah memperlihatkan aneka macam tanda perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten. 
  4. MK: Menjadi Kebiasaan atau membudaya, apabila penerima didik terus menerus memperlihatkan  perilaku/karakter  yang  dinyatakan  dalam  indikator  secara konsisten (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
  • Bahan latih disiapkan. Bahan latih yang biasanya diambil dari buku latih (buku teks) perlu disiapkan dengan  merevisi  atau menambah  nilai-nilai  karakter ke dalam pembahasan  materi  yang ada di dalamnya. Buku-buku yang ada selama ini meskipun telah memenuhi  sejumlah  kriteria kelayakan buku  ajar,  yaitu kelayakan isi,  penyajian,  bahasa,  dan  grafika,  akan  tetapi materinya  masih belum secara memadai mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya. Apabila guru sekedar mengikuti atau melaksanakan embelajaran dengan berpatokan pada kegiatan kegiatan pembelajaran pada buku-buku  tersebut,  pendidikan  karakter  secara memadai belum berjalan. Oleh alasannya itu, sejalan dengan apa yang telah dirancang pada silabus dan RPP yang berwawasan pendidikan karakter, materi latih perlu diadaptasi. Adaptasi yang paling mungkin dilaksanakan oleh guru ialah dengan cara menambah kegiatan pembelajaran yang sekaligus sanggup menyebarkan karakter. Cara lainnya ialah dengan mengadaptasi atau mengubah kegiatan mencar ilmu pada buku latih yang dipakai. Selain  itu, pembiasaan sanggup dilakukan dengan merevisi substansipembelajarannya.
2.  Pelaksanaan Pembelajaran

Kegiatan  pembelajaran  dari  tahapan  kegiatan  pendahuluan,  inti, dan epilog dipilih  dan dilaksanakan biar penerima didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Sebagaimana disebutkan di depan, prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning disarankan  diaplikasikan  pada semua  tahapan pembelajaran alasannya prinsip-prinsip pembelajaran tersebut sekaligus sanggup memfasilitasi terinternalisasinya nilai-nilai karakter pada penerima didik. Selain itu, sikap guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi penerima didik.

Dalam  pembelajaran  ini  guru  harus  merancang  langkah-langkah  pembelajaran yang memfasilitasi penerima didik aktif dalam prosesmulai dari pendahuluan, inti, sampai penutup. Guru dituntut  untuk menguasai aneka macam metode, model, atau seni administrasi pembelajaran aktif sehingga langkah-langkah pembelajaran dengan mudah disusun dan sanggup dipraktikkan dengan  baik dan benar. Dengan  proses mirip  ini  guru  juga  bisa melaksanakan pengamatan sekaligus melaksanakan penilaian (penilaian) terhadap proses yang terjadi, terutama terhadap karakter penerima didiknya.

3.  Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi  atau  penilaian  merupakan  bagian  yang  sangat  penting  dalam  proses pendidikan. Dalam pendidikan karakter, penilaian harus dilakukan dengan baik dan benar. Penilaian tidak hanya menyangkut pencapaian kognitif penerima didik, tetapi juga pencapaian afektif dan psikomorotiknya. Penilaian karakter lebih mementingkan pencapaian afektif dan psikomotorik penerima didik dibandingkan pencapaian kognitifnya. Agar hasil penilian yang dilakukan guru bisa benar dan objektif, guru harus memahami prinsip-prinsip  penilaian  yang  benar  sesuai  dengan  standar  penilaian  yang sudah ditetapkan oleh para hebat penilaian. Pemerintah (Kemdiknas/Kemdikbud) sudah memutuskan Standar Penilaian Pendidikan yang sanggup  dipedomani  oleh  guru  dalam melaksanakan penilaian di sekolah, yakni Permendiknas RI Nomor 20 Tahun 2007 perihal Standar Penilaian Pendidikan. Dalam standar ini banyak teknik dan bentuk penilaian yang ditawarkan untuk melaksanakan penilaian, termauk dalam penilaian karakter. Dalam penilaian karakter, guru hendaknya membuat instrumen penilaian yang dilengkapi dengan rubrik penilaian untuk menghindari penilaianyang subjektif, baik dalam bentuk instrumen penilaian pengamatan (lembar pengamatan) maupun instrumen penilaian skala sikap (misalnya skala Likert).


# SIMPULAN

Jika  pelaksanaan  pendidikan  karakter  di  sekolah  sebagai  bagian  dari  reformasi pendidikan,  maka reformasi  pendidikan  karakter  bisa diibaratkan  sebagai  pohon  yang mempunyai empat potongan penting, yaitu akar, batang, cabang dan daun. Akar reformasi ialah landasan filosofis (pijakan) pelaksanaan pendidikan karakter harus terang dan dipahami oleh masyarakat penyelenggara dan pelaku pendidikan. Batang reformasi berupa mandat dari pemerintah selaku penanggung jawab penyelenggara pendidikan nasional. Dalam hal ini standar dan tujuan dilaksanakannya pendidikan karakter harus jelas, transparan, dan akuntabel. Cabang reformasi  berupa  manajemen pengelolaan pendidikan karakter, pemberdayaan guru, dan pengelola pendidikan harus ditingkatkan.

Sedang  daun  reformasi  adalah  adanya  keterlibatan  orang  tua  peserta  didik  dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang didukung pula dengan budaya dan  kebiasaan  hidup masyarakat yang aman yang sekaligus menjadi pola bagi penerima didik dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Keempat pilar reformasi pendidikan karakter di atassaling terkait dan jikalau salah satunya tidak maksimal  akan sanggup mengganggu pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah  dan  institusi pendidikan lainnya. Karena itulah, pelaksanaan pendidikan karakter harus dipersiapkan dengan baik dan  melibatkan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaannya serta harus dilakukan penilaian yang berkesinambungan.

Lingkungan sosial dan budaya bangsa Indonesia  adalah  Pancasila, sehingga pendidikan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dan yang tidak kalah pentingnya, sebagai bangsa yang beragama, pengembangan karakter bangsa tidak bisa dilepaskan dari aliran agamanya. Karena itulah, pendidikan karakter yang religius (religious based character) harus didasarkan pada nilai-nilai karakter yang terkandung dalam keseluruhan aliran agama yang dianut penerima  didik. Pengembangan karakter di sekolah  menjadi  sangat penting  mengingat di sinilah penerima  didik  mulai  berkenalan dengan aneka macam bidang kajian keilmuan. Pada masa ini pula penerima didik mulai sadar akan jati dirinya sebagai insan yang mulai beranjak pintar balig cukup akal dengan aneka macam problem yang menyertainya. Dengan berbekal nilai-nilai karakter mulia yang diperoleh melalui proses  pembelajaran di kelas  dan di luar kelas, penerima didik dibutuhkan menjadi insan yang berkarakter sekaligus mempunyai ilmu pengetahuan yang siap dikembangkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.


# DAFTAR PUSTAKA
  1. Ahmad  Amin.  1995.  Etika  (Ilmu  Akhlak).  Terj.  oleh  Farid  Ma’ruf.  Jakarta:  Bulan Bintang. Cet. VIII. 
  2. Dit PSMP Kemdiknas. 2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajarandi Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Direktorat PSMP Kemdiknas. 
  3. Doni  Koesoema  A.  2007.  Pendidikan  Karakter:  Strategi  Mendidik  Anak  di  Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I. 
  4. Echols, M. John & Shadily, H. 1995. Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia. Cet. XXI. 
  5. Frye, Mike at all. (Ed.) 2002. Character Education: Informational Handbook and Guide for Support  and  Implementation  of  the  Student  Citizent  Act  of  2001.  North Carolina: Public Schools of North Carolina. 
  6. Kemdiknas. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. 
  7. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility.  New  York,  Toronto,  London,  Sydney,  Aucland:  Bantam books. 
  8. Mulyasa, H.E. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. 
  9. Pemerintah  Republik  Indonesia.  2010.  Kebijakan  Nasional  Pembangunan  Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas. 
  10. Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Republik  Indonesia  Nomor  23  Tahun  2006 perihal  Standar  Kompetensi  Lulusan  untuk  Satuan  Pendidikan  Dasar  dan Menengah. 
  11. Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Republik  Indonesia  Nomor  20  Tahun  2007 perihal Standar Penilaian Pendidikan. 
  12. Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Republik  Indonesia  Nomor  41  Tahun  2006 perihal Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. 
  13. Pusat  Bahasa  Departemen  Pendidikan  Nasional.  2008.  Kamus  Bahasa  Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Cet. I. 
  14. Pusat Kurikulum Kemdiknas. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas. 
  15. Ryan, Kevin & Bohlin, K. E. 1999. Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass. 
  16. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional. 
  17. Zainuddin.  2008.  Reformasi  Pendidikan:  Kritik  Kurikulum  dan  Manajemen  Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumber http://magister-pendidikan.blogspot.com

0 Response to "✔ Pengintegrasian Pendidikan Aksara Dalam Pembelajaran Di Sekolah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel