iklan banner

Analisis Empiris Efektivitas Prosedur Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia Melalui Jalur Nilai Tukar Kala 1990:2–2007:1




Dr. M. Natsir,SE.MSi

Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo Kendari

Abstract

The aim of this research is to analyze the effectiveness of monetary policy transmission mechanism in Indonesia through the exchange rate channel on period 1990:2-2007:1. This research use time series secondary data take from BI, BPS and IFS from many publications. Analysis technique that used was properties of Vector Auto Regression (VAR) model: Impulse Response Function (IRF) and Variance Decomposition (VD)


The result of this research indicated that transmission mechanism of monetary policy through exchange rate channel work effectively with time lag about 16 quarterly. Exchange rates variable in this channel can be experience final sasaran (inflations) about 19.69 % and interest rates differential about 43.36%. The result of this research is useful for Government and Bank of Indonesia to formulate and implementations the monetary policy effectively. This study result also can be used as reference for the researchers that want to hold further research.

Keywords: effectiveness, transmission mechanism and monetary policy.

1.1 Latar Belakang

Informasi mengenai perubahan kebijakan moneter menjadi sangat penting dan selalu menjadi perhatian bagi seluruh pelaku ekonomi. Misalnya, pernyataan Gubernur BI pada tanggal 18 Mei 2004 bahwa kalau tekanan inflasi terus-menerus berlangsung, maka akan ada kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (rSBI). Akibat dari pernyataan tersebut nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menjadi stabil dan harga saham meningkat yang sempat melemah setelah adanya info perubahan kebijakan moneter oleh bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve of the USA).

Setiap perubahan kebijakan bank sentral akan direspons baik oleh perubahan sikap perbankan maupun pelaku dunia perjuangan lainnya. Perubahan sikap tersebut akhirnya tercermin dalam perubahan jumlah uang beredar, suku bunga, nilai tukar dan ekspektasi para pelaku ekonomi (Blinder,1998:6). Perubahan-perubahan tersebut menggambarkan suatu prosedur yang dalam teori ekonomi moneter dinamakan prosedur transmisi kebijakan moneter (MTKM). Karena menyangkut perubahan sikap dan ekspektasi masyarakat, maka MTKM merupakan proses yang bersifat kompleks dan sulit diprediksi. Untuk alasan itu, para andal ekonomi moneter sering menggambarkan proses transmisi moneter sebagai ”kotak hitam” yang penuh dengan teka-teki.

Permasalahan mengenai MTKM masih merupakan topik yang menarik dan menjadi perdebatan,





baik di dunia akademis maupun para praktisi di bank sentral. Menariknya MTKM selalu dikaitkan dengan dua pertanyaan Bernanke dan Blinder (1992) dan Taylor (1995). Pertama, apakah kebijakan moneter sanggup menghipnotis ekonomi riil di samping pengaruhnya terhadap harga. Kedua, kalau jawabannya ya, melalui prosedur transmisi apa dampak kebijakan moneter terhadap ekonomi riil tersebut terjadi.

Penelitian ini menganalisis efektivitas MTKM melalui jalur nilai tukar. Jalur nilai tukar menjadi sangat penting bagi perekonomian Indonesia, lantaran merupakan perekonomian terbuka (open economy). Efektivitas kebijakan moneter diukur dengan dua indikator yaitu (1). Berapa besar kecepatan atau tenggat waktu (time lag) dan (2). Berapa kekuatan variabel-variabel pada masing-masing jalur merespons adanya perubahan (shock) instrumen kebijakan moneter (rSBI) dan variabel lainnya hingga terwujudnya sasaran tamat kebijakan moneter. Kedua indikator tersebut diperoleh dari hasil Uji Impulse Response Function dan Uji Variance Decomposition. Bertolak dari uraian-uraian tersebut, maka peneliti termotivasi untuk pembuat penelitian dengan judul: Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia Melalui Jalur Nilai Tukar Periode 1990:2 – 2007:1

1.2 Tujuan Penelitian

Mengacu pada latar belakang maka tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis dan menandakan efektivitas prosedur transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar dalam mewujudkan sasaran tamat kebijakan moneter (inflasi) di Indonesia periode 1990:2-2007:1.

1.3 Manfaat Penelitian:

1.3.1 Manfaat Teoritis

1.       Memberikan bantuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu ekonomi moneter khususnya kebijakan moneter dan lebih khusus lagi prosedur transmisi kebijakan moneter di Indonesia.

2.       Memberikan bantuan berupa klarifikasi yang lebih komprehensif, terutama menyajikan bukti empirik perihal jalur apa yang lebih efektif di antara tiga jalur utama prosedur transmisi kebijakan moneter dalam mewujudkan sasaran tamat kebijakan moneter di Indonesia.

3.       Menjadi materi rujukan bagi peneliti lainnya, sehingga sanggup melanjutkan studi ini dan studi lanjutan untuk jalur transmisi moneter lainnya, misalnya: jalur kredit dan jalur harga aset.

1.3.2 Manfaat Praktis

Temuan penelitian ini secara mudah sanggup menjadi masukan bagi pemerintah dan Bank Indonesia serta peneliti lainnya di bidang kebijakan moneter, khususnya prosedur transmisi kebijakan moneter:

1.       Evaluasi terhadap efektivitas kebijakan moneter yang dijalankan oleh Bank Indonesia sesuai amanat Pasal 7 UU No.3/2004 perihal Bank Indonesia yang menugaskan BI untuk mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah, baik stabilitas nilai rupiah terhadap harga barang-barang domestik yaitu inflasi maupun stabilitas nilai rupiah terhadap mata uang absurd (kurs).

2.       Merumuskan dan memilih waktu implementasi yang optimal bagi kebijakan moneter dalam upaya





meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter

3.       Diharapkan hasil studi ini akan menambah khasanah ilmu pengetahuan yang sanggup dipakai untuk mengukur atau mengidentifikasi efektivits suatu jalur dalam prosedur transmisi kebijakan moneter di Indonesia, sehingga sanggup menjadi pola bagi peneliti lain dengan cara menambah atau memasukkan variabel-variabel yang dianggap relevan sesuai dengan kondisi dan perkembangan terkini serta makin memperkuat efektivitas kebijakan moneter.

2. Landasan Teori

2. 1 Kebijakan Moneter (Monetary Policy)

Kebijakan moneter ialah semua upaya atau tindakan bank sentral untuk menghipnotis perkembangan moneter (uang beredar, suku bunga, kredit dan nilai tukar) untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu (Litteboy and Taylor, 2006: 198) dan Mishkin (2004: 457). Sebagai kepingan dari kebijakan ekonomi makro, maka tujuan kebijakan moneter ialah untuk membantu mencapai sasaran-sasaran makroekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, stabilitas harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran tersebut merupakan tujuan/sasaran tamat kebijakan moneter (final target).

Idealnya, semua sasaran tamat kebijakan moneter harus sanggup dicapai secara bersamaan dan berkelanjutan. Namun, pengalaman di banyak negara termasuk di Indonesia memperlihatkan bahwa hal yang dimaksud sulit dicapai, bahkan ada kecenderungan bersifat kontradiktif. Misalnya kebijakan moneter yang kontraktif untuk menekan laju inflasi sanggup kuat negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Pengalaman di banyak negara memperlihatkan bahwa perekonomian suatu negara memburuk lantaran kebijakan moneternya mempunyai tujuan ganda (multiple objectives). Untuk alasan ini, dominan bank sentral termasuk BI memfokuskan tujuan kebijakan moneternya pada sasaran tunggal (single objective) yaitu mewujudkan dan memelihara kestabilan moneter (Ismail, 2006).

2.2 Kerangka Operasi kebijakan Moneter.

Kerangka operasi kebijakan moneter terdiri dari: instrumen-instrumen moneter, sasaran operasional dan sasaran antara serta sasaran akhir. Penjelasan perihal kerangka operasi kebijakan sanggup disimak pada uraian berikut:

2.2.1 Instrumen-Instrumen Moneter

Instrumen pengendalian moneter merupakan alat-alat atau media operasi moneter yang sanggup dipakai oleh bank sentral dalam menghipnotis sasaran operasional dan sasaran tamat yang telah ditetapkan (Warjiyo, 2005:14) dan (Ascarya, 2002:51). Instrumen-instrumen kebijakan moneter terdiri dari: (1). Operasi Pasar Terbuka (OPT): operasi bank sentral di pasar keuangan dilakukan dengan cara menjual dan membeli (lelang) surat-surat berharga, contohnya Surat Berharga Indonesia (SBI). (2). Tingkat Bunga Diskonto: akomodasi dukungan jangka pendek dari bank sentral kepada bank-bank komersial dalam pengendalian likuiditasnya (3). Giro Wajib Minimum (Reserve requirement): giro wajib minimum yang harus dipelihara bank-bank komersial di bank sentral. Ketiga instrumen tersebut bersifat kuantitatif





atau instrumen moneter kuantitatif (4). Himbauan Moral (moral suation). Instrumen ini bersifat kualitatif lantaran hanya berupa himbauan yang sifatnya mengarahkan atau memperlihatkan info makro untuk dijadikan masukan bagi bank-bank umum dalam administrasi aset dan kewajibannya (Ascarya, 2002: 45).

2.1.2.2  Sasaran Operasional (Operational Target)

Sasaran operasional atau sasaran segera yang dicapai dalam operasi moneter. Variabel sasaran operasional dipakai untuk mengarahkan sasaran antara. Penetapan sasaran operasional tergantung pada jalur mana yang diyakini efektif dalam transmisi kebijakan moneter. Kriteria sasaran operasional antara lain: 1. Dipilih dari variabel moneter yang mempunyai hubungan yang stabil dengan sasaran antara, 2. Dapat dikendalikan oleh bank sentral, 3. Tersedia lebih segera dibanding sasaran antara, akurat dan tidak sering direvisi (Ascarya, 2002: 15).
2.1.2. 3 Sasaran Antara (Intermediate Target)

Hubungan antara sasaran operasional dan sasaran tamat kebijakan moneter bersifat tidak eksklusif dan kompleks. Untuk alasan itu, para andal moneter dan praktisi bank sentral mendesain simple rule untuk membantu pelaksanaan kebijakan moneter dengan cara menambahkan indikator yang disebut sebagai sasaran antara. Sasaran antara merupakan indikator untuk menilai kinerja keberhasilan kebijakan moneter, sasaran ini dipilih dari variabe-variabel yang mempunyai keterkaitan stabil dengan inflasi, cakupannya luas, sanggup dikendalikan oleh bank sentral, tersedia relatif cepat, akurat dan tidak sering direvisi, antara lain: agregat moneter (M1dan M2), kredit perbankan dan nilai tukar (Bofinger, 2001:125).

2.1.2.4 Sasaran Akhir (Final Target)

Tujuan atau sasaran tamat kebijakan moneter tergantung pada tujuan yang dimandatkan oleh undang-undang bank sentral suatu negara. Misalnya Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2004 perihal BI secara eksplisit mencantumkan bahwa tujuan tamat kebijakan moneter ialah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (stabilitas moneter).

2.1.3 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MTKM).

Taylor (1995) menyatakan bahwa prosedur transmisi kebijakan moneter ialah “ the process through which monetary policy decision are transmitted into changes in real GDP and inflation” . Artinya, mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan moneter dalam menghipnotis sasaran tamat kebijakan moneter yaitu inflasi. Kotak hitam sanggup dilihat pada Skema 1.1.

Jika ingin menggambarkan bagaimana proses prosedur transmisi kebijakan moneter melalui jalur-jalur transmisi semenjak dari perubahan kebijakan moneter melalui shock instrumen kebijakan moneter hingga terwujudnya tujuan/sasaran tamat kebijakan moneter, maka Skema 1.1 dikembangkan menjadi Skema 1.2. Pada sketsa tersebut terlihat bahwa konsep standar prosedur transmisi kebijakan moneter dimulai dari ketika bank sentral mengubah instrumen-instrumennya yang selanjutnya menghipnotis sasaran operasional, sasaran antara dan sasaran akhir. Misalnya bank sentral atau BI meningkatkan suku bunga SBI. Peningkatan tersebut mendorong naiknya suku bunga PUAB, suku bunga deposito, kredit





perbankan, harga aset, nilai tukar dan ekspektasi inflasi di masyarakat. Perkembangan ini mencerminkan bekerjanya jalur-jalur transmisi moneter yang akan selanjutnya kuat terhadap konsumsi dan investasi, ekspor dan impor yang merupakan komponen ajakan eksternal dan keseluruhan ajakan agregat.





Kebijakan
?
Tujuan Akhir:
Moneter
Inflasi

Sumber: Mishkin (2004:357).

Skema 1.1

MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER SEBAGAI ” BLACK BOX


Secara empiris, besarnya ajakan agregat tidak selalu sama dengan penawaran agregat. Jika terjadi selisih antara ajakan dan penawaran atau terjadi outpt gap maka akan memberi tekanan terhadap kenaikan harga-harga (inflasi) dari sisi domestik. Proses ini yang disebut sebagai indirect exchange rate pass-through. Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi luar negeri terjadi melalui pengaruh langsung perubahan nilai tukar terhadap perkembangan harga barang-barang yang diimpor, proses ini yang disebut direct exchange rate pass-through.





INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER


Jalur Uang

(moneter)


Kredit Bank


Harga Aset


Suku bunga


Ekspektasi


Nilai Tukar


Uang

Beredar

Permintaan

Domestik


Tekanan
AD          Inflasi

Domestik


Permintaan

Output
Asing

Gap




Harga

Traded Goods









INFLASI



Sumber: Warjiyo (2005:5)

Skema 1.2

MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER





2.1.4 Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel)

Transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar merupakan konsekuensi dari suatu sistem perekonomian terbuka. Dalam jalur ini yang ditekankan ialah peranan nilai tukar terhadap terwujudnya tujuan tamat kebijakan moneter, sehingga disebut jalur nilai tukar.

Pengaruh kebijakan moneter tidak saja terjadi pada perubahan nilai tukar, tetapi juga pada fatwa modal (capital flow) dalam neraca pembayaran. Dengan tingginya suku bunga dalam negeri (dengan perkiraan suku bunga luar negeri tidak berubah), maka akan terjadi perbedaan suku bunga nominal domestik dan suku bunga luar negeri atau paritas suku bunga domestik dengan suku bunga luar negeri (interest rate diffierential). Artinya, paritas suku bunga domestik dan luar negeri akan kuat terhadap nilai tukar dan fatwa modal dan selanjutnya perubahan nilai tukar dan fatwa dana akan kuat terhadap inflasi di negara yang bersangkutan., khususnya, negara yang perekonomiannya semakin terbuka dan disertai dengan sistem devisa bebas.

Kebijakan moneter yang ditransmisikan melalui jalur nilai tukar sanggup diuraikan sebagai berikut: Pertama, transmisi di sektor moneter. Kebijakan moneter berawal dari perubahan instrumen moneter (rSBI) yang akan kuat terhadap paritas suku bunga domestik dan luar negeri (interest rate differential). Selanjutnya, paritas suku bunga akan kuat terhadap fatwa modal (capital flow). Semakin tinggi tingkat suku bunga akan menarik fatwa modal masuk (capital inflow) sehingga menambah persedian valas di dalam negeri. Akibatnya nilai tukar rupiah akan menguat. Sementara itu, kalau suku bunga turun lebih rendah dibanding luar negeri, maka akan terjadi capital outflow hasilnya rupiah akan terdepresiasi.

Kedua, transmisi dari sektor moneter ke sektor riil terjadi melalui dampak perubahan nilai tukar terhadap inflasi baik secara eksklusif (direct pass-through effet) maupun tidak eksklusif (indirect pass-through effet). Pengaruh eksklusif terjadi lantaran perkembangan nilai tukar menghipnotis pola pembentukkan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi di masyarakat, khususnya terhadap barang dan jasa yang diimpor.

Sementara itu, dampak tidak eksklusif terjadi lantaran perubahan nilai tukar menghipnotis komponen ekspor dan impor dalam ajakan agregat. Perubahan ini akan terhadap besarnya output riil dan pada akhirnya akan memilih besarnya inflasi dari sisi kesenjangan output. Inflasi yang tercipta melalui jalur nilai tukar mencakup inflasi tekanan ajakan dan inflasi yang berasal dari impor.

3. Metode Penelitian

3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel-variabel penelitian ialah sebagai berikut:

1.  Inflasi inti (INF) ialah jenis inflasi yang sepenuhnya dikontrol oleh kebijakan moneter yang diukur dalam persen, yaitu IHK yang telah direduksi dari dampak noise yang bersumber dari guncangan sisi penawaran. Data inflasi inti merupakan data triwulan periode tahun 1990:2- 2007:1. Data tersebut diperoleh dari: SEKI, Laporan Tahunan BI dan International Financial statistic (IFS) banyak sekali edisi penerbitan





2       Kurs (ER) ialah nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS (Rp/US$) atas dasar kurs tengah mata uang Rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (Julihah dan Insukindro, 2004). Data Kurs merupakan data triwulan periode tahun 1990:2 -2007:1. Data tersebut diperoleh dari: SEKI dan Laporan Tahunan BI

serta International Financial statistic (IFS) banyak sekali edisi penerbitan

3.  Capital Inflow (CAPIN). Variabel ini merupakan jumlah fatwa modal yang masuk ke Indonesia yang terdiri dari: hutang luar negeri baik pemerintah maupun swasta, ditambah dengan investasi eksklusif dari pihak absurd yang dinyatakan dalam rupiah. Data CAPIN merupakan data triwulan periode tahun 1990:2- 2007:1, data tersebut diperoleh dari: IFS banyak sekali edisi penerbitan dan Laporan Tahunan Bank Indonesia serta SEKI
4.  Output Gap (OG). OG ialah selisih antara PDB faktual dengan PDB potensial. PDB potensial di-proxy dari isu terkini PDB faktual yang dihitung dengan metode Hodrick-Prescott Filter (HPF). Metode ini merupakan metode smoothing yang lazim dipakai untuk estimasi yang akurat mengenai komponen kecenderungan jangka panjang suatu data time series (Maski, 2005). Data OG merupakan data triwulan periode 1990:2-2007:1, data tersebut diperoleh dari: Laporan Tahunan Bank Indonesia dan BPS serta SEKI.

5.    Paritas Suku Bunga (PSB). Variabel ini merupakan selisih suku bunga domestik, yaitu rDEPO dengan tingkat suku bunga luar negeri (SIBOR). Variabel PSB diukur dalam satuan persen. Data PSB merupakan data triwulan periode tahun 1990:2-2007:1, data tersebut diperoleh dari: SEKI dan Laporan Tahunan BI serta IFS banyak sekali edisi penerbitan.

6.     Suku bunga SBI (rSBI). Suku bunga SBI ialah tingkat suku bunga yang ditentukan atau dikenakan oleh BI atas penerbitan SBI, suku bunga SBI tersebut diukur dalam persen. Data rSBI merupakan data triwulan periode tahun 1990:2-2007:1. Data tersebut diperoleh dari: SEKI dan Laporan Tahunan Bank Indonesia serta International Financial statistic (IFS) banyak sekali edisi penerbitan

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini ialah data runtun waktu (time series) periode tahun 1990:2-2007:1. Sementara sumber data untuk penelitian ini ialah sumber sekunder atau data yang telah dipublikasikan oleh forum yang relevan dengan penelitian ini.

3.3 Alat Analisis

Alat analisis yang dipakai dalam penelitian ini ialah model Vector Auto Regression (VAR). Model ini mengasumsikan dan memperlakukan semua variabel sebagai variabel endogen. Model ini mensayratkan adanya beberapa pengujian antara lain: Uji Stasioneritas, Uji Kausalitas Granger, Uji Kointegrasi dan Penentuan Lag Optimal.





4.  Analisis Hasil dan Pembahasan 4.1 Analisis Hasil
4.1.1 Hasil Uji Stasioneritas

Uji stasioneritas dimaksudkan untuk menganalisis dan menandakan apakah masing-masing variabel mempunyai pola yang stabil/normal/stasioner atau tidak. Data time series di bidang ekonomi umumnya merupakan data yang tidak stasioner, sehingga ketika dipergunakan sebagai suatu variabel dalam regresi akan menghasilkan estimasi yang palsu atau spurious regression, yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang sepertinya signifikan secara statistik padahal kenyataannya atau tidak sebesar sebagaimana yang tampak dari regresi tersebut. Akibatnya, memperlihatkan isyarat yang keliru (misleading) dalam kesimpulan dan implikasi kebijakan.

.Pengujian stasioneritas memakai ADF test dilakukan dengan cara membandingkan antara ADF statistic dengan critical values Mac Kinnon pada derajat signifikansi 1%, 5% dan 10%. Hasil pengujian dengan ADF ditampilkan pada Tabel 1.1. Tabel tersebut mengindikasikan bahwa masing-masing level tidak stasioner. Kesimpulannya tidak menolak Ho artinya keenam variabel (series data) mengandung akar unit, kecuali untuk variabel PSB dan INF yang sudah stasioner pada level. Untuk alasan itu, maka perlu dilakukan uji stasioner dengan memakai first difference untuk masing-masing variabel.

Hasil uji stasioner dengan memakai first difference untuk masing-masing variabel tersebut memperlihatkan bahwa masing-masing variabel ialah stasioner pada first difference atau masing-masing variabel tersebut berintegrasi order 1(I(1)). Artinya, series data tersebut valid dipakai untuk pengujian kointegrasi.

Tabel 1.1

HASIL UJI AKAR UNIT TERHADAP VARIABELPENELITIAN

DENGAN PENDEKATAN ADF


N0
Nama

ADF
ADF


Variabel

Statistic (level)
Statistic (first difference)







1
SBI

-3.198487
-8.808292**







2
INF

-4.327632*
-6.657305**







3
PSB

-4.633796*
-10.68173*







4
Nilai Tukar

-3.579997
-4.390453**







5
OG

-2.395833
-8.502471**







6
CAPIN

-3.915701
-4.083147**






Sumber:  Natsir (2008).

Keterangan: Nilai kritis
1% :  -4.103198




5% :  -3.479367




10% : -3.167404


*  signifikan pada level

** signifikan pada difference





4.1.2 Hasil Pengujian Kausalitas Granger

Uji kausalitas antar variabel penelitian dimaksudkan untuk mengetahui dan menandakan arah hubungan jangka pendek antar variabel (Widarjono, 2007: 244) dan (Hirawan, 2007). Hasil uji kausalitas antar variabel pada jalur suku nilai tukar sanggup dilihat pada Tabel 1.2. Pada tabel tersebut terlihat bahwa hubungan antara rSBI dengan PSB, rSBI dengan KURS, CAPIN dengan KURS, CAPIN dengan INF dan PSB dengan CAPIN memperlihatkan adanya hubungan ” Granger cause” atau ada hubungan saling menghipnotis di antara variabel-variabel tersebut. Sementara itu, rSBI dengan CAPIN, PSB dengan KURS, INF dengan PSB dan KURS dengan INF merupakan hubungan yang satu arah. Sedangkan hasil Uji Kausalitas untuk variabel OG dengan PSB, KURS dengan OG dan INF dengan OG serta CAPIN dengan OG tidak ditemukan adanya hubungan di antara variabel tersebut. Artinya, tidak terdapat saling ketergantungan (no causality) antar kedua variabel.

Tabel 1.2

RINGKASAN HASIL UJI KAUSALITAS VARIABEL JALUR NILAI TUKAR

No

Hubungan Antarvariabel

Keterangan











1

rSBI

PSB

Terdapat hubungan kausalitas dua arah dari rSBI ke PSB dan










sebaliknya
2

PSB

KURS

Terdapat hubungan kausaliats satu arah dari PSB ke KURS











3

rSBI

KURS

Terdapat hubungan kausalitas dua  arah dari rSBI ke KURS










dan sebaliknya
4

KURS


CAPIN

Terdapat hubungan kausalitas dua arah dari KURS ke CAPIN










dan sebaliknya
5

KURS


INF

Terdapat hubungan kausalitas satu arah dari KURS ke INF











6

rSBI

CAPIN

Terdapat hubungan kausalitas satu arah dari rSBI ke CAPIN











7

CAPIN


INF

Terdapat hubungan kausalitas dua arah dari CAPIN ke INF










dan sebaliknya
8

PSB


INF

Terdapat hubungan kausalitas satu arah dari PSB ke INF











9

PSB



OG

Kedua variabel tidak saling bekerjasama sama sekali atau no-















direction
10

PSB

CAPIN

Terdapat hubungan kausalitas dua arah dari PSB ke CAPIN










dan sebaliknya
11

KURS



OG

Tidak terdapat hubungan kausalitas antara kedua varaibel.
















12

OG


CAPIN

Kedua variabel tidak saling bekerjasama sama sekali atau no-














direction
Sumber: Natsir (2008).










4.1.3 Hasil Uji Kointegrasi: Johansen

Pasangan variabel yang berkointegrasi memperlihatkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai hubungan jangka panjang. Hal ini senada dengan pendapat Granger dalam Baltagi (2004: 89) menyatakan bahwa kalau variabel-variabel yang diamati mempunyai derajat integrasi yang sama, maka variabel-variabel tersebut telah berkointegrasi atau mempunyai hubungan jangka panjang. Tapi untuk lebih meyakinkan mengenai hal tersebut, maka perlu dilakukan pengujian Kointegrasi dengan memakai metode Johansen. Hasil Uji Kointegasi terhadap variabel-variabel jalur nilai tukar ditampilkan pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3

HASIL UJI KOINTEGRASI VARIABEL JALUR NILAI TUKAR


Hypothesized





Trace

5 Percent

1 Percent

No. of CE(s)


Eigenvalue

Statistic

Critical Value

Critical Value















None **
0.842883

275.4390

114.90

124.75

At most 1 **
0.685528

162.5424

87.31

96.58

At most 2 **
0.514878

91.97389

62.99

70.05

At most 3 *
0.345987

47.84922

42.44

48.45

At most 4
0.232853

21.94692

25.32

30.45

At most 5
0.090362

5.777233

12.25

16.26





























*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 4 cointegrating equation(s) at the 5% level Trace test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 1% level
Sumber: Natsir (2008).

Pada Tabel 1.3 terlihat bahwa semua persamaan dalam model VAR untuk jalur nilai tukar berkointegrasi pada level 1%. Hal ini memperlihatkan bahwa variabel-variabel melalui jalur nilai tukar mempunyai kestabilan jangka panjang.

4.1.4 Penentuan Lag Optimal

Lag optimal merupakan jumlah lag yang memperlihatkan dampak atau respons yang signifikan. Isu tentang penentuan panjang lag optimal semakin penting seiring dengan anggapan bahwa pemilihan lag yang sempurna akan menghasilkan residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari permasalahan autokorelasi dan heterokedastisitas. Penentuan panjang lag optimal dalam studi ini memakai beberapa krietria info antara lain: Likelihood Ratio Test (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Criterion (SC) serta Hannan-Quinn (HQ).

Dalam penentuan lag optimal perlu pula diperhatikan adanya trade off bahwa kalau lag yang dipergunakan semakin panjang, maka semakin banyak pula parameter yang harus diestimasi dan semakin





sedikit derajat kebebasannya (degrees of freedom). Peneliti akan menghadapi trade off antara mempunyai lag yang memadai dan mempunyai derajat bebas yang cukup. Karena, kalau jumlah lag terlalu sedikit maka model akan mispesifikasi, sementara kalau lag terlalu banyak maka akan menyedot derajat bebas. Karena itu, dalam praktik seringkali peneliti memakai persamaan model VAR dengan lag yang direkomendasikan oleh satu kriteria atau lag yang kurang dari seharusnya.

Hasil perhitungan lag optimal yang ditampilkan pada Tabel 1.4 memperlihatkan bahwa lag optimal untuk jalur nilai tukar masing-masing kriteria mempunyai nilai tumpuan lag optimal yang berbeda. Tiga kriteria yaitu FPE dan AIC serta HQ mereferensikan lag enam sebagai lag optimal. Sedangkan kriteria SC mereferensikan lag tiga dan kriteria LR mereferensikan lag empat sebagai lag yang optimal. Kriteria SC merekomendasikan lag dua sebagai lag optimal. Berdasarkan kriteria dan pertimbangan yang dijelaskan sebelumnya, maka dipakai lag 3 (tiga) sebagai lag optimal untuk jalur nilai tukar.

Tabel 1.4

HASIL PEMILIHAN LAG MODEL VAR JALUR NILAI TUKAR

Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ







0
-1338.560
NA
2.77E+11
43.37291
43.57876
43.45373
1
-975.0110
645.0065
7169484.
32.80681
34.24777
33.37256
2
-898.7469
120.5464
2019946.
31.50797
34.18404*
32.55866
3
-849.5834
68.19453
1437117.
31.08334
34.99452
32.61897
4
-796.1341
63.79437*
969392.0
30.52046
35.66675
32.54102
5
-747.8932
48.24086
882046.4
30.12559
36.50699
32.63109
6
-688.1040
48.21714
678137.1*
29.35819*
36.97471
32.34863*








* indicates lag order selected by the criterion

Sumber: Natsir (2008).


4.1.5 Estimasi Model VAR

Dari persamaan 1.1 terlihat bahwa pada lag satu atau satu triwulan sebelumnya (INF(-1)) inflasi dipengaruhi oleh inflasi sendiri dengan dampak positif signifikan dan pada lag dua atau dua triwulan sebelumnya (INF(-2)) dengan dampak positif signifikan. Sementara, pada lag tiga atau tiga triwulan sebelumnya (INF(-3)) dampak inflasi terhadap dirinya sendirinya negatif signifikan.

Pada lag satu atau satu riwulan sebelumnya (rSBI(-1)) inflasi dipengaruhi oleh rSBI dengan dampak positif signifikan. Selanjutnya pada lag dua atau dua triwulan sebelumnya (rSBI(-2)) dengan dampak negatif signifikan. Selanjutnya untuk lag tiga atau tiga triwulan sebelumnya (rSBI(-3)) dengan dampak negatif signifikan.





Pada semua lag atau (PSB(-1) dan (PSB(-2)) serta (PSB(-3)) inflasi dipengaruhi oleh PSB dengan dampak positif signifikan. Inflasi dipengaruhi oleh nilai tukar pada lag satu atau satu triwulan sebelumnya (nilai tukar(-1)) dengan dampak negatif signifikan dan pada lag dua atau dua triwulan sebelumnya (nilai tukar(-2)) dengan dampak poistif signifikan. Inflasi dipengaruhi oleh CAPIN pada lag dua atau dua triwulan sebelumnya dengan dampak positif signifikan. Sementara, pada lag tiga atau tiga triwulan sebelumnya (CAPIN(-3)) dengan dampak negatif signifikan. Variabel OG tidak kuat signifikan terhadap inflasi.


INF = -0.473493 + 0.899105rSBIt-1 -0.539739rSBIt-2
-0.952312rSBIt-3  + 0.062682PSBt-1
[-0.07361]
[ 4.91586]*
[-1.92735]*
[-3.66281]*
[ 3.99796]*
+ 0.071182PSBt-2
+ 0.059724PSBt-3    + 0.053784OGt-1

-0.069387OGt-2
[ 2.78552]*
[ 2.15375]*
[ 1.18003]

[-1.17808]

+ 0.032270OGt-3
-1.903043Kurst-1 + 1.535783Kurst-2 + 0.488210Kurst-3

[ 0.74580]

[-4.23627]*
[ 3.55476]*

[ 1.46448]

+ 0.391373INFt-1 + 0.319550INFt-2
-0.156585INFt-3 + 0.444356CAPINt-1

[ 3.05221]*

[ 2.10072]*
[-1.71619]*
[ 0.70300]

+ 1.684947CAPINt-2
-1.634288CAPINt-3………………………………………
….
(1.1)
[ 2.05749]*
[-2.57223]*




Adj. R-squared = 0.967224

F-statistic = 105.9240


Keterangan: * memperlihatkan signifikan














Sumber: Natsir (2008).

4.1.6 Efektivitas Mekanisme Transmisi Moneter Melalui Jalur  Nilai Tukar.

Secara individu parameter hasil estimasi pada sistem persamaan model VAR sulit untuk diinterpretasikan dan tidak mempunyai makna khususnya untuk tujuan analisis efektivitas kebijakan moneter. Untuk alasan itu, para andal moneter dan praktisi di bank sentral fokus pada impulse response function (IRF) dan variance decomposition (VD) ( Solikin dkk, 1996) dan (Widarjono, 2007:380).

Analisis efektivitas kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar didasarkan pada hasil Uji IRF yang terangkum pada Gambar 1.1. Analisis tersebut dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap pertama: Panel (a).

Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara perubahan instrumen kebijakan moneter (rSBI) dengan Paritas Suku Bunga (PSB). Gambar 1.1 panel (a) memperlihatkan bahwa respon PSB terhadap perubahan (shock) mengalami penurunan sebesar satu standar deviasi rSBI yang mencapai titik terendah pada triwulan kedua setelah terjadi shock. Setelah periode tersebut PSB berangsur-angsur bergerak menuju posisi keseimbangan (konvergen) dan selanjutnya shock rSBI direspon negatif oleh PSB. Panel (a) juga





menunjukkan bahwa dibutuhkan time lag satu triwulan bagi PSB untuk merespon shock rSBI dan respon PSB terhadap shock rSBI relatif kuat.

Tahap kedua: panel (b).

Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara Paritas Suku Bunga (PSB) dengan CAPIN. Gambar 1.1 panel (b) memperlihatkan bahwa respon CAPIN terhadap shock PSB mengalami peningkatan satu standar deviasi PSB yang mencapai titik tertinggi pada periode ke lima setelah terjadi shock. Setelah periode tersebut CAPIN berangsur-angsur bergerak menuju posisi keseimbangan (konvergen) dan selanjutnya respon CAPIN terhadap shock PSB mengalami penurun (negatif) hingga periode kesepuluh. Panel (b) juga memperlihatkan bahwa dibutuhkan time lag tiga triwulan bagi CAPIN untuk sanggup merespon perubahan PSB dan respon CAPIN terhadap shock PSB relatif lemah.

Tahap ketiga: (panel c).

Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara CAPIN dengan Kurs yang diillustrasikan pada Gambar 1.1 panel (c). Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa respon nilai tukar terhadap shock CAPIN mengalami peningkatan sebesar satu standar deviasi CAPIN yang mencapai titik tertinggi pada periode ke lima setelah terjadi shock. Setelah periode tersebut, nilai tukar berangsur-angsur menuju ke posisi keseimbangan (konvergen). Panel (c) juga memperlihatkan bahwa dibutuhkan time lag 3 triwulan bagi nilai tukar untuk sanggup merespon shock CAPIN dan respon nilai tukar terhadap shock CAPIN relatif lemah.

Tahap keempat: Panel (d).

Pada tahap ini diuraikan analisis hubungan antara nilai tukar dengan inflasi (INF) sebagai sasaran tamat kebijakan moneter. Hubungan ini dikenal sebagai direct pass-through effect yakni hubungan eksklusif antara nilai tukar dan inflasi. Dari Gambar 1.1 panel (d) memperlihatkan respons INF terhadap shock nilai tukar mengalami peningkatan satu standar deviasi nilai tukar yang mencapai titik tertinggi pada periode ke empat setelah terjadi shock.

Setelah triwulan ke empat, INF berangsur-angsur menunju ke posisi keseimbangan dan selanjutnya mengalami penurunan yang mencapai titik terendah pada periode keenam, kemudian berangsur-angsur kembali menuju posisi keseimbangan (konvergen). Panel (d) juga memperlihatkan bahwa dibutuhkan time lag dua triwulan bagi inflasi untuk sanggup merespon shock nilai tukar dan respon inflasi terhadap shock nilai tukar relatif lemah.

Tahap kelima: Panel (e).

Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara Kurs dengan OG. Gambar 1.1 panel (e) memperlihatkan bahwa respons OG terhadap shock Kurs mengalami peningkatan satu standar deviasi nilai tukar yang mencapai titik terendah pada periode kelima hingga periode kesepuluh. Panel (e) juga mengindikasikan bahwa dibutuhkan time lag tiga triwulan bagi OG untuk sanggup merespons shock nilai tukar dan respons OG terhadap shock nilai tukar relatif lemah.

Tahap Keenam: Panel (f).

Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara inflasi (INF) dengan OG. Gambar 1.1 panel

(f)  menunjukkan bahwa respon inflasi sebagai tujuan tamat kebijakan moneter terhadap perubahan (shock) OG mengalami penurunan satu standar deviasi OG yang mencapai titik terendah periode kelima setelah





terjadi shock. Setelah periode tersebut INF berangsur-angsur menuju posisi keseimbangan dan seterusnya menurun kembali hingga periode kesepuluh. Panel (f) juga memperlihatkan bahwa dibutuhkan time lag empat triwulan bagi inflasi untuk merespon shock OG dan respon inflasi terhadap shock OG relatif lemah.











(a)                                                                  (b)









(c)                                                                 (d)









(e)
(f)



Sumber: Sumber: Natsir (2008).


Gambar 1.1

HASIL UJI IRF JALUR NILAI TUKAR


Hasil uji Impulse Rresponse Function (IRF) prosedur transmisi kebijakan moneter melalui jalur jalur nilai tukar yang terangkum pada Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa prosedur transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar membutuhkan tenggat waktu (time lag) atau dengan kecepatan 16 triwulan himgga tercapainya sasaran tamat kebijakan moneter (inflasi)

Untuk jelasnya mengenai tenggat waktu (time lag) atau kecepatan respons variabel pada jalur tersebut semenjak dari perubahan (shock) instrumen kebijakan moneter (rSBI) hingga terwujudnya sasaran tamat kebijakan moneter (inflasi) sanggup dilihat pada Skema 1.1







1

3











rSBI

PSB



CAPIN





























3







sert






2










KURS
Sasaran akhir:





















INFLASI

































3


Output














Gap






























4





























Sumber: Natsir (2008).

Keterangan: Angka-angka pada jalur merupakan time lag atau kecepatan

Skema 1.1

FLOWCHART TIME LAG TRANSMISI MONETER JALUR NILAI TUKAR

Tabel 1.5

HASIL UJI VD INF JALUR NILAI TUKAR

Period
S.E.
SBI
PSB
OG
KURS
INF
CAPIN








1
2.668337
2.223401
3.523940
23.67578
0.510947
70.06593
0.000000
2
4.117150
20.01942
10.34396
15.78201
14.08929
39.65621
0.109108
3
7.486919
10.74397
66.03650
6.108354
4.574178
12.01153
0.525463
4
10.86451
6.820957
79.81660
2.953137
2.819121
5.757671
1.832514
5
14.83835
7.068979
67.20016
2.475712
17.31945
4.669429
1.266276
6
16.91292
8.900256
52.40162
2.125298
26.10307
9.494648
0.975106
7
18.17431
16.97954
46.38889
1.995669
23.55369
9.667474
1.414734
8
19.09836
23.42714
42.48803
1.908831
21.37231
8.895051
1.908632
9
19.60156
24.44862
42.28078
1.830530
20.29708
8.839136
2.303841
10
19.95707
23.91305
43.36649
1.766104
19.69671
8.787907
2.469741








Sumber: Natsir (2008).

Hasil Uji VD terangkum pada Tabel 1.5 yang memperlihatkan bahwa pada periode pertama, variasi inflasi yang sanggup dijelaskan oleh inflasi sendiri ialah sebesar 70,07%. Sementara porsi yang sanggup dijelaskan oleh OG (23,68%) dan PSB (3,52%) serta nilai tukar (0,51%). Selanjutnya pada periode kelima variasi inflasi yang sanggup dijelaskan oleh inflasi sendiri sebesar 4,67%. Sementara yang dijelaskan oleh OG menurun menjadi sebesar 2,48% dan nilai tukar meningkat menjadi sebesar 17,32% serta PSB meningkat menjadi sebesar 67,20%. Sampai sepuluh periode mendatang variasi inflasi yang sanggup dijelaskan oleh inflasi sendiri semakin menurun menjadi sebesar 8,79% sementara porsi yang sanggup dijelaskan oleh PSB meningkat menjadi 43,37%, porsi Kurs meningkat menjadi sebesar 19,70% dan OG menurun menjadi sebesar 1,77%. Hasil ini menyimpulkan bahwa variabel PSB mempunyai predictive power atau Granger





causality yang kuat dalam menjelaskan variasi inflasi (43,37%). Sementara predictive power untuk variabel

nilai tukar hanya sebesar 19,70%.


4.2 Pembahasan

Pada kepingan ini dilakukan pembahasan terhadap efektivitas prosedur transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar. Sebagaimana klarifikasi sebelumnya bahwa jalur nilai tukar berpandangan bahwa perubahan nilai tukar/kurs merupakan variabel yang kuat terhadap tercapainya sasaran tamat kebijakan moneter, khususnya perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar mengambang bebas

Apabila bank sentral menjalankan kebijakan moneter yang kontraktif, maka suku bunga nominal domestik akan meningkat. Jika pada ketika yang sama suku bunga absurd (SIBOR) tidak berubah, maka perbedaan antara suku bunga domestik dengan absurd (interest rate differential) meningkat, hal ini akan medorong capital inflow. Akibatnya, nilai tukar mata uang domestik (rupiah) akan terapresiasi yang selanjutnya mengakibatkan acara ekspor akan menurun sebaliknya acara impor meningkat. sehingga current account dalam neraca pembayaran akan membaik. Akibatnya, ajakan agregat akan menurun dan selanjutnya kuat terhadap inflasi (Boediono, 1998).

Pembahasan efektivitas kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar didasarkan pada hasil Uji IRF yang diillustrasikan pada Gambar 1.1 dan hasil Uji VD yang terangkum pada Tabel 1.4. Hasil analisis Uji IRF memperlihatkan bahwa variabel-variabel dalam jalur nilai tukar telah bekerja dalam mentransmisikan perubahan kebijakan moneter melalui shock instrumen kebijakan (rSBI) hingga tercapainya sasaran tamat kebijakan moneter dengan kecepatan atau time lag dan kekuatan yang berbeda antara variabel yang satu dengan variabel lainnya.

Hasil Uji IRF pada Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa shock instrumen kebijakan (rSBI) direspons dengan cepat oleh variabel PSB dengan time lag satu triwulan. Cepatnya respon variabel PSB terhadap shock rSBI memperlihatkan bahwa stance kebijakan moneter melalui shock rSBI segera direspons oleh sektor keuangan/perbankan. Hal ini disebabkan lantaran terdapat hubungan kausalitas dua arah di antara kedua variabel, baik dari rSBI ke PSB maupun dari PSB ke rSBI menyerupai yang disajikan pada Tabel 1.2

Selanjutnya perubahan (shock) PSB direspons secara cepat oleh CAPIN dengan tenggat waktu (time lag) tiga triwulan dan mencapai titik tertinggi pada triwulan ke lima setelah terjadinya shock, setelah periode tersebut respons perubahan CAPIN berangsur-angsur menuju ke posisi keseimbangan (konvergen) dan pada periode ke delapan perubahan PSB direspons secara negatif oleh CAPIN. Respons negatif CAPIN terhadap shock PSB memperlihatkan bahwa tingginya paritas suku bunga (PSB) tidak bisa mendorong arus modal masuk (capital inflow), namun sebaliknya terjadi tanda-tanda pembalikan (Solikin dkk, 1996) dan (Nasution, 2004)

Hasil ini merupakan konfirmasi yang baik bahwa kondisi paritas suku bunga (PSB) yang terjadi Indonesia tidak sesuai dengan yang disyaratkan dalam teori interest rate parity. Hal ini disebabkan karena





tingkat inflasi di Indonesia relatif tinggi dibanding dengan negara lain, contohnya Singapura dan nilai tukar rupiah mengalami tren depresiasi serta Indonesia masih tergolong sebagai risk country kategori BB (Maski, 2005).

Hasil studi sejalan dengan penelitian BI menyimpulkan bahwa belum membaiknya persepsi investor terhadap dunia perjuangan mengakibatkan investor lebih terpokus pada kegiatan-kegiatan finansial yang bersifat jangka pendek. Struktur fatwa modal masuk (capital inflow) lebih banyak terkait dengan investasi portofolio di pasar finansial. Investasi di sektor riil masih dipandang terlalu berisiko dibandingkan dengan return yang diekspektasikan sanggup diraih dari investasi di sektor finansial (keuangan). Jika kondisi terus berlangsung, maka sangat mungkin terjadi merenggangnya (decoupling) hubungan antara sektor riil dan sektor moneter yang selanjutnya akan memperlemah efektivitas kebijakan moneter dalam mewujudkan tujuan akhirnya.

Perubahan CAPIN direspons oleh nilai tukar dengan time lag tiga triwulan dan mencapai titik tertinggi pada periode ke lima setelah terjadi shock. Hasil ini memperlihatkan bahwa respons nilai tukar terhadap CAPIN membutuhkan time lag relatif lambat yaitu sekitar tiga triwulan. Di samping itu, respons Kurs terhadap CAPIN relatif lemah.

Hubungan antara Kurs dengan inflasi sanggup terjadi, baik secara eksklusif (direct passthrough) maupun tidak eksklusif (indirect pass-through). Hasil Uji IRF memperlihatkan respon inflasi terhadap shock Kurs dengan time lag dua triwulan dan mencapai titik tertinggi pada periode keempat setelah terjadi shock. Setelah periode tersebut inflasi berangsur-angsur menuju posisi keseimbangan (konvergen). Granger causality antara nilai tukar dengan inflasi relatif kuat (Ilyas, 1992).

Sementara itu, hubungan indirect passthrough antar Kurs dengan inflasi terjadi melalui perubahan OG. Hasil Uji IRF pada Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa respons OG terhadap shock Kurs mengalami peningkatan sebesar satu standar deviasi Kurs yang mencapai peningkatan pada periode ke empat setelah terjadinya shock. Setelah periode tersebut berangsur-angsur menuju titik keseimbangan (konvergen). OG membutuhkan time lag sekitar tiga triwulan untuk sanggup merespons perubahan Kurs.

Hasil Uji IRF juga memperlihatkan bahwa lemahnya hubungan antara Kurs dengan OG, lemahnya hubungan kedua variabel mengindikasikan adanya tanda-tanda decoupling, yaitu tanda-tanda merenggangnya hubungan antara variabel di sektor moneter (khususnya nilai tukar) dengan variabel di sektor riil (OG dan inflasi). Gejala ini sanggup dikonfirmasi dengan hasil uji VD yang memperlihatkan bahwa Granger causality antara kedua variabel sangat lemah.

Selanjutnya, hasil uji IRF Pada Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa respons inflasi terhadap shock OG dengan time lag sekitar empat triwulan. Respons inflasi terhadap OG mengalami penurunan satu standar deviasi OG yang mengalami penurunan terendah pada peride triwulan kelima setelah terjadi shock dan selanjutnya berangsur-angsur menunju ke posisi keseimbangan (konvergen). Hasil ini memperlihatkan bahwa hubungan kedua variabel relatif lemah.

Hasil studi ini relevan dengan penelitian BI yang menemukan bahwa depresiasi rupiah kuat terhadap menurunnya ajakan domestik. Hal ini disebabkan lantaran struktur industri di





Indonesia baik yang berbasis ekspor maupun berbasis domestik mempunyai kandungan impor yang tinggi pada komponen produksinya. Selain itu, struktur kredit di Indonesia sebelum krisis moneter mempunyai bantuan dukungan luar negeri sekitar 20%. Akibatnya, biaya modal (capital cost) di Indonesia sangat lentur terhadap perubahan nilai tukar. Dengan adanya depresiasi rupiah mengakibatkan biaya produksi pengusaha di Indonesia meningkat yang selanjutnya mengakibatkan pendapatan menurun yang pada

gilirannya mengakibatkan ajakan agregat domestik menurun.

Hasil uji VD pada Tabel 1.4 memperlihatkan bahwa variasi inflasi yang sanggup dijelaskan oleh nilai tukar ialah sebesar 19,67%. Kontribusi ini lebih kecil dibandingkan dengan variasi inflasi yang sanggup dijelaskan oleh PSB yaitu sebesar 43,37%. Hasil ini memperlihatkan bahwa Granger causality dan predictive power yang tidak kuat antara inflasi dan nilai tukar. Hasil uji VD tersebut berbeda dengan hasil studi Ramlogan (2005) di empat negara daerah Karibia yang menyimpulkan bahwa jalur nilai tukar efektif dalam transmisi kebijakan moneter dari sektor moneter ke sektor riil dan nilai tukar bisa menjelaskan variabilitas inflasi secara signifikan.

Hasil studi ini berbeda dengan kondisi yang disyaratkan dalam teori purchasing power parity

(PPP) bahwa gejolak nilai tukar kuat terhadap variablitas harga barang-barang yang diperdagangkan (tradeable) yang selanjutnya kuat terhadap variabilitas inflasi tidak relevan

dengan kondisi perekonomian Indonesia dalam periode studi ini. Hal ini terjadi lantaran nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS selain dipengaruhi oleh faktor ekonomi juga dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi contohnya faktor sentimen pasar dan gejolak politik. Di samping itu, teori PPP hanya berlaku dalam jangka panjang (Dornbusch dkk, 2004: 127) dan (MacDonald, 1989: 74) serta (Mankiw, 2003: 206).

Hasil uji IRF dan uji VD relevan dengan hasil uji Kausalitas Granger pada Tabel 1.4 memperlihatkan bahwa tidak ditemukan hubungan atau arah kausalitas antara perubahan variabel OG dan perubahan PSB dan perubahan OG dan nilai tukar. Hasil ini memperlihatkan mengenai rendahnya kemampuan sektor keuangan untuk meneruskan shock instrumen kebijakan moneter dari sektor moneter ke sektor riil. Artinya, arah atau signal kebijakan moneter yang dijalankan oleh BI tidak diteruskan/tidak ditransmisikan dengan baik oleh sektor moneter ke sektor riil.

Implikasi dari hasil tersebut ialah Bank Indonesia harus sanggup mengelola dengan baik volatilitas variabel nilai tukar biar inflasi sanggup dikendalikan pada tingkat yang rendah dan stabil. Karena UU No.3 Tahun 2004 perihal BI Pasal 7 Ayat (1) memberi mandat kepada BI untuk menjaga kestabilan nilai rupiah, stabilitas nilai rupiah dalam kaitannya dengan harga barang-barang dalam negeri (inflasi) maupun stabilitas nilai rupiah yang dikaitkan dengan mata uang negara absurd yaitu nilai tukar rupiah.

5.  Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar membutuhkan time lag atau kecepatan sekitar 16 triwulan hingga terwujudnya sasaran tamat kebijakan moneter (inflasi). Respons variabel-variabel pada jalur nilai tukar terhadap perubahan instrumen moneter (Suku Bunga SBI) relatif lemah dan variabel utama jalur ini yaitu nilai tukar/kurs hanya bisa menjelaskan variasi inflasi sebesar





19,70% lebih kecil dibandingkan dengan porsi yang sanggup dijelaskan oleh Paritas Suku Bunga (PSB) yakni

sebesar 43,27%. Hasil ini memperlihatkan Granger causality dan predictive power yang lemah antara Kurs

dan Inflasi.

5.2 Saran

Meskipun studi ini dan penelitian-penelitian terdahulu, contohnya Maski (2005) tidak menemukan

Granger causality kuat antara nilai tukar      dan inflasi. Tapi, pada kesempatan ini peneliti menyarankan

kepada BI untuk tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, lantaran pencapaian stabilitas harga (stabilitas

moneter) hanya sanggup dicapai bila terdapat kestabilan nilai tukar/kurs mata uang suatu negara. Secara

teoritis dan empiris ditemukan bahwa baik di negara-negara maju maupun negara berkembang lainnya

ternyata variabel nilai tukar dan inflasi mempunyai Granger causality yang signifikan atau hubungan yang

kuat satu sama lain (one-to-one) (Hartawan dkk, 2002) dan (Ramlogan, 2005) serta Majardi ( 2002).


6. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Halim, Agung, Juda, Budiman, A dan Affandi, Yoga., 2003. Perubahan Struktural dan Kebijakan Moneter Pasca Krisis: Retrosfek dan Framework ke Depan. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Jakarta: Bank Indonesia.

Allen, William A., 2000. Some Aspects of Inflation Targeting. Conference on “ Monetary Policy and Inflation Targeting in Emerging Countries”: Jakarta Indonesia. Juli, 13-14, 2000.

Alexander, William E., Thomas J.T, and Charles, Enoch. 1995. The Adopting of Indirect Instruments of Monetary Policy, IMF Occasional Paper No. 126, Washington: International Monetary Fund, pp. 17-47

Arin, KP and Jolly, SP. 2005. Trans-Tasmanian Transmission of Monetary Shock: Evidence From a VAR

Approach. Atlantic Economic Journal. Vol.33. No.10.pp: 267-283

Ascarya, 2002. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Buku Seri Kebanksentralan No.3. Pusat Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia

Baltagi, B.H., 2004. Econometrics. Second. Revised Edition. Texas: Springer.

Bernanke, B.S and Blinder, A.S. 1992. The Federal Funds Rate and the Channel Monetary Transmission, The American Economic Review, Vol. 2, No.12, pp. 90-121. September 1992

Boediono,1998. Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter Di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1. Hal. 3- 26.

Bofinger,  Peter.,  2001. Monetary  PolicyGoal,  Institutions,  Strategies  and  Instrument.  New

York: Oxford University Press

Dornbusch, Rudiger, Fisher, Stanley, Startz,Richard, 2004. Makro Ekonomi. Edisi Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Yusuf Wibisono dan Roy Indra Mizaruddin. Jakarta: PT.Media Global Edukasi Indonesia.

Ego, Michael A. 2000. Setting monetary policy instruments in Uganda. Dalam Mahadeva, Lavan and Sterne, Gabriel (editor). 2000. Monetary Frameworks in a Global Context. Centre for Central Banking Studies. Bank of England

Hartawan, A., Indratno,H., Handayani, D.E., Idris, R.Z., dan Majardi, P, 2002. Kestabilan Harga Sebagai Sasaran Kebijakan Moneter. Pengalaman di Sejumlah negara dan Indonesia. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.

Hirawan, Fajar Bambang,. 2007. Efektifitas Quantum Channel Dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter: Studi Kasus Indonesia Tahun 1993-2005. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. Vol. VII No.2, hal. 53-73.





Iljas, Achyar. 1992. Suatu Tinjauan Mengenai Penggunaan Nilai Tukar Sebagai ”Nominal Anchor” Dalam Pengendalian Inflasi Di Indonesia. Makalah yang Disampaikan Pada Sekolah Staf dan Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI) Angkatan ke XVII.

Ismail, M. 2006. Inflation Targeting dan Tantangan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia (Journal of Indonesian Economy & Business). Volume 21, No. 2, April 2006. Hal. 105 – 121.

Junggun Oh, 1999. Inflation Targeting, Monetary Transmission Mechanism and Policy Rules in Korea, Economic Paper, Vol.2, No.1, pp. 2- 34, March 1999

Litteboy, Bruce and Taylor, B John. 2006. Macroeconomics. 3RD Edition. Australia: John Wiley & Sons Ltd.

MacDonald, Ronald., 1989. Floating Exchange Rate: Theory and Evidence. London: Unwin Hyman.

Mahadeva, Lavan and Sterne, Gabriel (editor). 2000. Monetary Frameworks in a Global Context. Centre for Central Banking Studies. Bank of England.

Mahadeva and Smidkova. 2000. Modelling the transmission mechanism of monetary policy in the Czech Republic. Dalam Mahadeva, Lavan and Sterne, Gabriel (editor). 2000. Monetary Frameworks in a Global Context. Centre for Central Banking Studies. Bank of England.

Majardi,  Fajar.,  2002.  Dampak  Pergerakan  Nilai  Tukar  Rupiah  Terhadap  Laju  Inflasi  Di  Indonesia.

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia.
Mankiw, N.G., 2003. Macroeconomic. 5th Edition. New York: Worth Publisher Inc.
Maski, Ghozali, 2005. Studi Efektifitas Jalur-Jalur Transmisi Kebijakan Moneter Dengan Sasaran Tunggal Inflasi (Pendekatan VAR). Disertasi Program Studi Ilmu Ekonomi Minat Ilmu Ekonomi & Studi Pembangunan.(Unpublished) Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur

Misaico, ZQ. 2000. Monetary Policy in a dollarised economy The case of Peru. Dalam Monetary Frameworks in Global Context. Edit by Mahadeva and Sterne. Centre for Central Banking Studies Bank of England.

Mishkin, F.S, 2004. The Economics of Money, Banking and Financial Markets. Seventh Edition.

International Edition, New York: Pearson Addison Wesley Longman.

Nasution, Anwar. 2004. Prospek Perkembangan Ekonomi dan Arah Kebijakan Moneter Tahun 2004. Disampaikan Pada Kuliah Umum FE Unhalu Kendari, 30 Desember 2003.

Natsir, M. 2008. Studi Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia melalui Jalur Suku Bunga, Jalur Nilai Tukar dan Jalur Ekspektasi Inflasi Periode 1990:2-2007:1. Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (tidak dipublikasikan).

Ramlogan, Carlyn. 2005. The Transmission Mechanism of Monetary Policy: Evidence From Caribbean.

Journal of Economic Studies. Vol.17. No.31.pp: 435-447.

Siswanto, B., Kurniati, Y., Gunawan., Binhadi, S.H., 2000. Exchange Rate Channel of Monetary Transmission in Indonesia. Dalam Perry Warjiyo dan Yuda Agung (editor) Transmission Mechanism Of Monetary Policy In Indonesia. Directorate of Economic Research and Monetary Policy Bank Indonesia.

Solikin, Alamsyah, Halim., Widodo, Triono, 1996. Dampak fleksibilitas Nilai Tukar Terhadap Pengendalian Moneter di Indonesia. Kelompok Perencanaan dan analisis Kebijakan Moneter. Desk Penelitian dan Pengembanagn Urusan Ekonomi dan Statistik. Jakarta: Bank Indonesia.

Taylor, J.B. 1995. The Monetary Transmission Mechanism: An Empirical Framework.

Journal of Economic Perspective. Vol.09.Number.04.pp:11-26.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia. Bandung:

Penerbit “Citra Umbara”

Warjiyo, Pery. 2005. Ekonomi Moneter dan Perbankan: Teori, Model Empiris dan Kebijakan. Pascasarjana Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Ekonomi. Depok Jakarta

Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika: Teori Dan Aplikasi Untuk Ekonomi Dan Bisnis, Edisi


Kedua. Yogyakarta: Penerbit Ekonisia Fak.Ekonomi UII.

Sumber http://defantri.blogspot.com

0 Response to "Analisis Empiris Efektivitas Prosedur Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia Melalui Jalur Nilai Tukar Kala 1990:2–2007:1"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel