iklan banner

Sifat Program Perdata

Sifat Acara Perdata yaitu bahwa inisiatif masalah ada pada penggugat yaitu seorang yang merasa haknya dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu masalah kedepan hakim. Dalam aturan program perdata bahwa orang yang merasa haknya itu dilanggar disebut sebagai penggugat sedang bagi orang yang ditarik kemuka pengadilan lantaran ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang itu disebut tergugat. Acara Perdata memang mula-mula sifatnya mengatur namun apabila sudah digunakan, maka sifatnya menjadi memaksa.


A. Pengertian Acara Perdata

materiil, sebagaimana terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat ihwal sebagaimana selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat. bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati.

Harus dilaksanakan. Pelaksanaan aturan materiil, khususnya aturan materiil perdata, dapatlah berlangsung secara belakang layar diantara para pihak yang bersangkutan tanpa melalui pejabat atau instansi resmi. Akan tetapi, sering terjadi bahwa hokum materiil perdata itu dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan didalam masyarakat. Dala, hal ini, hokum materiil perdata yang telah dilanggar itu haruslah ditegakkan atau dipertahankan.

Untuk melakukan aturan materiil perdata, terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya aturan materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak, diharapkan rangkaian peraturan-peraturan lain disamping aturan materiil perdata itu sendiri. Peraturan aturan inilah yang disebut hokum formil atau aturan program perdata. program perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya hokum materiil perdata.

program perdata berdasarkan Sudikno Mertokusumo yaitu peraturan hokum yang mengatur sebagaimana caranya menjamin ditaatinya hokum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain hokum program perdata yaitu peraturan hokum yang memilih bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hokum perdata materiil. Lebih kasatmata lagi dapatlah dikatakan bahwa hokum program perdata mengatur ihwal bagaimana caranya mengajukan, tuntutan hak, menilik serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya.

Selain pengertian dari Sudikno mertokusumo, terdapat pendapat beberapa andal hokum yang lain juga menyerupai Menurut Wirjono Prodjodikoro, aturan program perdata ialah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melakukan berjalanya peraturan aturan perdata. Sedangkan Retno wulansari beropini bahwa aturan program perdata yang juga disebut aturan perdata formil yaitu semua kaidah aturan yang memilih dan mengatur cara bagaimana melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam aturan perdata materiil.

Jadi berdasarkan pendapat para andal sanggup diketahui bahwa aturan program perdata yang merupakan aturan formil secara umum yaitu peraturan aturan yang mengatur proses penyelesaian masalah perdata melalui hakim ( di pengadilan ) semenjak diajukan gugatan, dilaksanakanya gugatan, hingga pelaksanaan putusan hakim.

Contohnya sanggup kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, dalam Pasal 666 KUHPerdata ada ketentuan yang mengatur bahwa apabila dahan-dahan, ranting-ranting atau akar-akar dari pohon pekarangan seseorang tumbuh menjalar diatas atau masuk kepekarangan tetangganya, maka yang terakhir ini sanggup memotongnya berdasarkan kehendak sendiri sesudah tetangga pemilik pohon menolak atas permintaanya untuk memotongnya.

Tuntutan hak yang menyerupai diatas diuraikan sebagai tindakan yang bertujuan memperoleh proteksi aturan yang di berikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”, ada dua macam yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan, dimana hanya ada satu pihak saja. Peradilan dibagi menjadi dua, yaitu peradilan volunteryang disebut juga peradilan sukarela atau peradilan yang tidak sebetulnya dan peradilan contentieus atau peradilan sesungguhnya.

Tuntutan hak yang merupakan permohonan yang tidak mengandung sengketa termasuk dalam peradilan volunter sedangkan somasi termasuk peradilan contentieus. Dalam sifat aturan program perdata bahwa orang yang merasa haknya dilanggar disebut penggugat sedang bagi orang yang ditarik kemuka pengadilan lantaran ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang itu disebut dengan tergugat. Penggugat yaitu seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu masalah kedepan hakim.


B. Asas-Asas dalam Acara Perdata

Hakim Bersifat Menunggu

Asas dari aturan program perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaanya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak hakim. Demikianlah suara pemeo yang tidak absurd lagi ( wo kein klager ist, ist kein reichter, nemo judex sine actore ). Makara tuntutan hak yang mengajukan yaitu pihak yang berkepentingan, sedang hakim menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya “index ne procedat ex officio” ( lihat pasal 118 HIR, 142 Rgb.). Hanya yang menyelenggarakan proses yaitu negara. Akan tetapi sekali masalah diajukan kepadanya, Pengadilan dihentikan menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu masalah yang diajukan dengan dalih bahwa aturan tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk menilik dan mengadilinya (pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).
Hakim Pasif

Hakim didalam menilik masalah perdata bersikap pasif dala arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala kendala dan rintangan untuk sanggup tercapainya peradilan ( pasal 4 ayat (2) UU No.48 tahun 2009).

Hakim terikat pada kejadian yang diajukan oleh para pihak (secendum allegata iudicare). Hanya kejadian yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada kejadian yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk menandakan dan bukan hakim. Asas ini disebut verhandlungsmaxime. Makara pegertian pasif ini yaitu bahwa hakim tidak memilih luas dari pada pokok sengketa.

Hakim tidak boleh menambah atau menguraninya. Akan tetapi itu semuanya tidak berarti bahwa hakim tidak aktif sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang harus aktif memimpin dan menilik masalah dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak, danharuslah berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala kendala dan rintangan untuk sanggup tercapainya peradilan. Karenanya dikatakan bahwa sistem HIR yaitu aktif, berbeda dengan sistem Rv yang pada pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”. Asas hakim berdasarkan HIR itu sesuai dengan anutan pikiran tradisionil Indonesia.
Sifatnya Terbukanya Persidangan

Sidang investigasi pengadilan pada asasnya yaitu terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan investigasi di persidangan. Tujuan dari pada asas ini tidak lain untuk memperlihatkan proteksi hak-hak asasi insan dalam peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat.

Asas ini sanggup kita jumpai pada Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 : “Semua sidang investigasi pengadilan yaitu terbuka untuk umum, kecuali undang-undang memilih lain”. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk “social kontrol”. Asas terbukanya persidangan tidak memiliki arti bagi program yang berlangsung secara tertukis. Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam nerita program yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan ia lakukan dengan pintu tertutup.


Mendengar Kedua Belah Pihak (penggugat dan tergugat melalui surat-surat)

Didalamnya aturan program perdata kedua belah pihak diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Pengadilan mengadili berdasarkan aturan dengan tidak membedakan orang, menyerupai yang dimuat dalam pasal 4 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 mengandung arti bahwa didalam aturan program perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberi pendapatnya. Asas kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et alteram partem” atau “eines mannes redeist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide”. Bahwa hakim tidak boleh mendapatkan keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak di beri kesempatan untuk meneluarkan pendapatanya.


Putusan Harus Disertai Alasan-alasan

Semua putusan pegadilan harus memuat alsasn-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 184 ayat (1), 319 HIR, 618 Rgb.). alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebgai pertanggung tanggapan hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunya nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan yang memiliki wibawa dan bukan lantaran hakim tertentu yang menjatuhkanya. Putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertanggungjwabkan (onvoldoende gemotiveerd) mrupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.

Kenyataanya kini tidak sedikit hakim yang terikat oleh putusan pengadilan tinggi atau mahkamah agung mengenai masalah yang sejens. Bukan lantaran kita mengikuti asas “the binding force of precedent”, melainkan terikatnya hakim itu lantaran yakin bahwa putusan yang mengenai masalah yang sejenis itu meyaknkan putusan itu tepat. Ilmu pengetahuan aturan merupakan sumber pula untuk mendapatkan materi guna mempertanggung jawabkan putusan hakim didalam memeprtimbangakannya. Sifat objektif dari pada ilmu pengetahuan itu sendiri menjadikan putusan hakim yang bernilai objektif pula.
Beracara Dikenakan Biaya

Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya ( pasal pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rgb.). Biaya perkra ini mencakup biaya kepaniteraan dan biaya panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila diminta pemberian seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya. Namun bagi yang tidak bisa untuk membayar biaya perkara, sanggup mengajukan masalah secara Cuma-Cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak bisa yang dibentuk oleh kepala polisi (pasal 23 HIR, 273 Rgb.).
Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilakan masalah orang lain, sehingga pemerikasaan terjadi secara pribadi terhadap pihak yang pribadi berkepentingan. Akan tetapi para pihak sanggup dibantu atau di wakili oleh kuasanya bila dikehendakinya. Dengan demikian hakim tetap wajib menilik sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidakmewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan somasi dengan verbal tidak berlaku bagi kuasa. Dengan menilik para pihak yang berkepentingan secara pribadi hakim sanggup mengetahui lebih terang persoalannya.

Walaupun HIR menentukan, bahwa para pihak sanggup dibantu atau diwakili, akan tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau diwakil harus spesialis atau sarjana hukum. Menurut RO ada persyaratanya untuk bertindak sebagai prosedur. Antara lain ia harus sarjana aturan ( pasal 186). Pada hakikatnya tujuan dari pada perwakilan wajib oleh sarjana hukum(verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin investigasi yang objektif, melancarkan jalanya peradilan dan memperoleh putusan yang adil.

Adapun mengenai terjadinya perwakilan, antara lain: 
  • Ketentuan undang-undang, contohnya untuk anak dibawah umur oleh orangtua atau wali, sakit ingatan oleh pengampunya.
  • Perjanjian kuasa khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara atau penasehat hukum.
  • Tanpa surat kuasa khusus, untuk program somasi perwakilan kelompok oleh satu atau beberapa orang dari kelompoknya (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 ihwal Acara Gugatan Perwakilan Kelompok). Perlu diketahui bahwa wewenang untuk mengajukan somasi secara verbal tidak berlaku bagi kuasa.


C. Sifat Acara Perdata

Dari bahasan mengenai pengertian dan asas hokum program perdata sesuai optic teoritis dan praktik,maka sanggup ditarik konklusi dasar bahwa sifat aturan program perdata yaitu :
Jika ditinjau dari sifat asal dan muasal terjadinya masalah perdata, maka terhadap inisiatif timbulnya masalah perdata terjadi oleh lantaran adanya somasi dari orang yang merasa dan dirasa haknya telah dilanggar orang lain. Sehingga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kelangsungan masalah perdata tergantung kepada pihak pengugugat.

Jika ditinjau dari aspek pembagian hokum berdasarkan kekuatan sanksinya maka sifat hokum perdata berdasarkan kekuatan sanksinya maka sifat hokum program perdata bersifat memaksa (dwingend recht).Apabila dijabarkan lebih detail, sifat memaksa dari hokum program perdata ini lantaran disebabkan fungsinya, dalam rangka mempertahankan eksistensi hokum perdata materiil.

Ditinjau dari aspek pendapat Prof. Wirjono Projodikoro, S.H, maka sifat hokum program perdata yaitu kesederhanaan dalam beracara di depan siding pengadilan. Sifat hokum program perdata Indonesia dalam memohon peradilan semestinya harus sesuai dengan sifat dan cara rakyat Indonesia. Setiawan S.H berpendapat, sederhana yang dimaksud dalam hal ini yaitu proses beracara yang tidak rumit.

Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Sifat Program Perdata"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel