iklan banner

Dampak Perkawinan Tidak Di Catatkan Pada Anak

Dampak Perkawinan Tidak di Catatkan pada Anak - Anugerah itu senantiasa dikabarkan, bahkan sukacita yang dirayakan. Jangan heran kalau seorang ibu melahirkan anak, sang ayah mengabarkan ke segenap kerabat, keluarga dan komunitas sosial. Waras dan manusiawi apabila insiden kebahagiaan itu dikabar-kabarkan. Pemberitahuan kelahiran anak, insiden perkawinan juga kesukacitaan. Masuk budi kalau insiden perkawinan maupun insiden kelahiran anak dikabarkan, sebagai cara mencatatkan insiden ke dalam “memori publik”.

Itulah alasan logis maupun sosiologis yang paling inti mengapa mencatatkan perkawinan dan kelahiran anak. Tidak logis dan janggal sosial kalau perkawinan disembunyikan atau tidak dicatatkan, walaupun sekedar ke dalam “memori publik”. diakui sebagai sistem norma yang mengutamakan “norm and logic” (Austin dan Kelsen) yang terwujud sebagai sistem perilaku.

Kua-normatif dalam pemikiran agama Islam, perkawinan ialah sunnah Rasullulah dan perbuatan itu dalam rangka mencapai taqwa dan beribadah kepada Allah SWT. Kompilasi Islam (KHI) menyebutkannya sebagai “untuk menaati perintah Allah” dan sebagai sarana “ibadah” kepada Allah. Perbuatan yang mulia, sukacita dan waras kalau dikabarluaskan.

Sebagai suatu perbuatan mengikuti sunnah, maupun insiden kontraktual yang tidak biasa namun bersifat sakral maka tidak relevan kalau perkawinan sengaja dirancang sehingga menimbukan mudharat, dengan menyembunyikan (pencatatan) insiden aturan perkawinan itu. Menurut Prof.Dr.T.Jafizham,SH., perkawinan bukan suatu hubungan secara diam-diam. Perkawinan berdasarkan agama Islam salah satu tandanya mengumumkan informasi perkawinan secara terbuka, bahkan dibenarkan dengan suatu upacara dan permainan music [T.Jafizham, “Persintuhan di Indonesia dengan Perkawinan Islam”, Mestika, Jakarta, 2006, hal. 272].

Apalagi kalau dengan menyelundupkan aturan untuk memperoleh keabsahan perkawinan. Adalah faktual dan bukan persangkaan, masih banyak anak yang lahir dari perkawinan tidak dicatatkan yang mengalami diskriminasi pemenuhan dan proteksi hak anak, meliputi kekerabatan dalam aturan keluarga, termasuk hak-hak anak atas pelayanan sosial, pendidikan, dan pencatatan kelahiran. Tentu saja hal itu vis a vis dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).

Dalam menganalisis permasalahan aturan atas perkawinan yang tidak dicatatkan, tidak bisa ditolak merupakan perbuatan aturan yang dilakukan dan terjadi dalam masyarakat. Untuk itu perlu diperiksa apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dikehendaki, atau perkawinan yang tidak dicatatkan dan tidak dikehendaki, atau perkawinan yang tidak dicatatkan yang disembunyikan.

Padahal, anak yang dilahirkan membawa hak-hak anak (rights of the child) yang pada prinsipnya dilarang diperlakukan berbeda atau diskriminasi. Anak dari kekerabatan perkawinan bagaimanapun (dicatatkan, atau tidak dicatatkan, ataupun anak yang lahir tidak dalam hubungan perkawinan sah atau non-marital child), namun anak tetap otentik sebagai subyek aturan yang mempunyai hak-hak anak yang serata (equality on the rights of the child).

Apapun kondisi kekerabatan perkawinan atau kendala yuridis dalam perkawinan orangtuanya, tidak absah dibebankan dampaknya diturunkan kepada anak. Selain itu, anak mempunyai hak atas tanggungjawab orangtuanya, walaupun akhir dari perkawinan tidak dicatatkan, bahkan non marital child sekalipun. Hubungan anak dengan seorang pria sebagai bapaknya tidak semata-mata disebabkan ikatan perkawinan.

Hal ini bersesuaian dengan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010. Menurut MK, menjadi tidak sempurna dan tidak adil apabila aturan tetapkan bahwa anak yang dilahirkan dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan wanita tersebut sebagai ibunya. Mahkamah Konstitusi tetapkan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan pria sebagai ayahnya yang sanggup dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain berdasarkan aturan mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.


Walau demikian tanggungjawab dan kewajiban Negara memenuhi, melindungi, memajukan, penegakan hak asasi insan yang direalisasikan kepada setiap anak.

Hak anak itu otentik menempel pada setiap anak. Hak anak merupakan anugerah yang diberikan tanpa membedakan anak itu sendiri. Tidak bertanggungjawab kalau kendala yuridis atas status legal perkawinan orangtuanya mengganjal realisasi hak-hak anak. Hak anak ialah “anugerah” atau otorisasi yang otentik diberikan kepada setiap anak (every child), dan atas semua hak-hak termasuk hak privatnya – yang sudah formal dalam dokumen instrumen hak anak. Tanpa menoleh status aturan dari perkawinan yang menempel pada orangtuanya. John Gray dalam buku “Children are from Heaven” menuturkan betapa bawah umur dilahirkan baik dan tidak berdosa.

Asas atau prinsip non discrimination ini berkelindan dengan asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangan utama dalam memahami, membedah dan membangun hukum. Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak sudah menegaskan prinsip the best interest of the child sebagai pertimbangan paling puncak (paramount consideration).

Elaborasi dan analisis dalam makalah ini memakai kedua prinsip atau asas tersebut untuk membedah permasalahan aturan atas perkawinan yang tidak dicatatkan dan dampaknya terhadap anak.


Bentuk dan Konstruksi Kasus.

Perkawinan yang tidak dicatatkan ternyata, defacto dan dalam masalah konkrit bukan bentuk yang sederhana dan tunggal. Bahkan, dalam bentuk tertentu sudah merupakan perbuatan sindikasi yang bersentuhan dengan aspek sosial, ekonomi, kultural dan tentu saja hukum. Berbagai masalah kejahatan perdagangan orang yang terungkap ke media, ternyata perkawinan yang tidak dicatatkan karena kesepakatan nikah paksa, atau perbudakan berkedok kesepakatan nikah (servile marriage) sebagai modus perdagangan anak dan perempuan.

Mencermati banyak sekali masalah konkrit, perkawinan yang tidak dicatatkan itu mempunyai konstruksi aturan yang bermacam-macam yang sanggup dibedakan antara:

Perkawinan yang tidak dicatatkan namun anak diinginkan, dengan ciri dan keadaan antara lain: anak diakui nasabnya, dukungan biaya kebutuhannya, diakui dalam status/pergaulan sosial orangtuanya, namun masih disembunyikan atau belakang layar (misalnya karena perkawinan poligami, namun tidak mempunyai izin poligami).

Perkawinan yang tidak dicatatkan dan anak tidak diinginkan, dengan ciri dan keadaan antara lain: anak tidak diakui memakai nasab ayah, dukungan biaya kebutuhan (ada yang tidak), penerlantaran, tidak diakui dalam pergaulan sosial orangtuanya, kadangkala diceraikan.

Perkawinan yang tidak dicatatkan karena kesulitan jalan masuk pencatatan, dengan ciri dan keadaan antara lain: anak diakui nasabnya, dibiayai, diakui dalam pergaulan sosial orangtuanya, namun tidak tercatat karena biaya mahal atau sulit jalan masuk pencatatan perkawinan.

Perkawinan yang tidak dicatatkan karena penyelundupan aturan “kawin kontrak”, atau modus penjualan bayi dengan ciri dan keadaan antara lain: ada kontroversi dalam pengakuan nasab, sesudah kawin kontrak berakhir anak tidak dibiayai, tidak diakui dalam pergaulan sosial orangtuanya (hampir menyerupai non marital child).

Perkawinan dini yang tidak dicatatkan, karena belum memenuhi syarat umur dan dengan modus memperlihatkan pembayaran uang atau bentuk lainnya.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), konstruksi sosial dari perbuatan perkawinan tidak dicatatkan dibedakan antara 3 (tiga) bentuk:

  1. Perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah siri) yang bersifat eksploitatif berbentuk “kawin kontrak” yang dalam masalah tertentu terjadi antara warga negara abnormal dengan wanita lokal.
  2. Perkawinan yang tidak dicatatkan karena tidak mempunyai jalan masuk terhadap pelayanan publik.
  3. Perkawinan yang tidak dicatatkan yang bertujuan hanya sebagai pelampiasan hasrat seksual semata.



Pendapat KPAI disampaikan ketika bertemu dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, yang disampaikan oleh Hadi Supeno (Ketua KPAI ketika itu) yang diterima oleh segenap jajaran pengurus MUI Pusat diantaranya K.H. Ma’ruf Amin, K.H. Kholil Ridwan, Dr. Anwar Abbas, dan Sekretaris Umum MUI Pusat Ichwan Syam [Warta KPAI, “KPAI Ingatkan Pernikahan Siri – Dampak Problem Sosial Anak”, Jakarta, Edisi II, 2010, hal. 21].

Pembedaan ini berkhasiat untuk identifikasi permasalahan hukumnya, dan menelaah bagaimana pencatatan kembali atau pengakuan dan ratifikasi atas perkawinan yang tidak dicatatkan, yang berimplikasi pada pengakuan status hukum, status sosial, hak pewarisan, dukungan biaya hidup, hak atas identitas serta hak-hak anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak dicatatkan.

Dalam hal perkawinan yang tidak dicatatkan yang bersifat eksploitatif berbentuk “kawin kontrak”, mengandung kontroversi perihal anak yang dilahirkan karena itu secara sosiologis maupun yuridis tipis sekali perbedaannya dengan non marital child. Perihal anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan karena “kawin kontrak” ini hampir menyerupai dengan non marital child yang status aturan dan sosialnya lemah, mengalami diskriminasi dan mempunyai imbas jelek atau mudharatbagi anak maupun ibunya.

Dari bentuk dan konstruksi masalah perkawinan tidak dicatatkan tersebut, yang dalam banyak sekali modus memakai ratifikasi aturan formil untuk mengesahkan perkawinan, namun maksud aslinya untuk eksploitasi seksual. Oleh karena itu, menelaah perkawinan tidak dicatatkan ialah tidak sempurna kalau hanya mengandalkan pengujiannya berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai itsbatnikah, namun lebih dalam menelaah system nilai dan hak konstitusional proteksi anak Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai acuannya.


Mengulas Prinsip Hak Anak, Mencermati Dampak.

Asas atau prinsip ialah pemberi arah dan indikasi otentiknya bagi suatu norma hukum. Apabila hendak merujuk dan takluk kepada aliran aturan alam, berdasarkan Mahadi, norma aturan yang tidak sesuai dengan asas dilarang disebut norma hukum. Jika norma aturan yang dibuatkan sesuai dengan asas, maka laksana seorang bayi dalam kandungan, norma aturan itu telah masak untuk dilahirkan, telah matang untuk dilepaskan ke dalam masyarakat.


Prinsip Non Diskriminasi.

Alinea pertama dari Pasal 2 KHA membuat kewajiban mendasar negara penerima (fundamental obligations of state parties) yang mengikatkan diri dengan KHA untuk menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Prinsip nondiskriminasi ini diartikulasikan pada umumnya konvensi dan atau instrumen internasional HAM utama, menyerupai Universal Declaration of Human rights, International Covenant on Civil and Political Rights, and Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, Convention on Elimination of All Form Discrimination Against Women (CEDAW).

Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya pembedaan (distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour), kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau pendapat lain (other opinion), asal usul sosial atau nasionalitas, kemiskinan (proverty), kelahiran atau status lain.

Prinsip nondiskriminasi yang terdapat pada banyak sekali konvensi internasional mengindikasikan pemahaman bahwa kerapkali diskriminasi dalam setiap aspek dan kelompok manusia, termasuk anak-anak.

Acuan terhadap rumusan diskriminasi sanggup pula dikutip dari Pasal 1 Konvensi Internasional perihal Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang memperlihatkan definisi atas “racial discrimination”, sebagai berikut: “any distinction, exclusion, restriction or preference base on race, colour, descent or national ethnic origin wich has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and mendasar freedoms in the political, economic, social, cultural or any other field of public life”.

Dalam aturan nasional, pengertian diskriminasi sanggup diperoleh dari Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 perihal Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), yang berbunyi sebagai berikut: “Diskriminasi ialah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang pribadi ataupun tidak pribadi didasarkan pada pembedaan insan atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi insan dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.

Bahkan, dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, dirumuskan secara eksplisit hak setiap anak atas proteksi dari diskriminasi, yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas proteksi dari kekerasan dan diskriminasi”.

Prinsip nondiskriminasi menjadi sentral dalam setiap konvensi HAM internasional, dan senantiasa dipertanyakan dalam penilaian pelaksanaan dan kemajuan konvensi, termasuk pelaksanaan KHA. Berdasarkan penilaian atas sejumlah 168 Initial Report Negara penerima KHA yang dilakukan Komite PBB perihal Hak Anak (United Nations’s Committee on the Rights of the Child), teridentifikasi lingkup diskriminasi dan kelompok yang terkena imbas diskriminasi termasuk anak dari perkawinan tidak dicatatkan yang menjadikan anak yang tidak dicatatkan kelahiran (children not registered at birth), non-marital child, dan sebagainya.


Asas Kepentingan Terbaik bagi Anak

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun tubuh legislatif.

Pasal 3 ayat 1 KHA meminta negara dan pemerintah, serta badan-badan publik dan privat memastikan imbas terhadap bawah umur atas semua tindakan mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of the child menjadi pertimbangan utama, memperlihatkan prioritas yang lebih baik bagi bawah umur dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society).

Jika dirunut dalam sejarahnya, prinsip the best interest of the child ini pertama kali dikemukakan pada Declaration of the Rights of the Child tahun 1959. Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak itu, dikemukakan prinsip the best interest of the child sebagai paramount consideration yang berbunyi sebagai berikut, “The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and by other means, to enable him to develop physically in a healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enacment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the paramount considerations”.

Menurut Lord McDermont, “paramountcy means more than that the child’s welfare is to be treated as the top item in a list of terms relevan to be matter in question…”. Dengan demikian, kepentingan kesejahteraan anak ialah tujuan dan penikmat utama dalam setiap tindakan, kebijakan, dan atau aturan yang dibentuk oleh forum berwenang.

Guna menjalankan prinsip the best interest of the child ini, dalam rumusan Pasal 3 ayat (2) KHA ditegaskan bahwa negara penerima menjamin proteksi anak dan memperlihatkan kepedulian pada anak dalam wilayah yurisdiksinya. Negara mengambil tugas untuk memungkinkan orangtua bertanggungjawab terhadap anaknya, demikian pula lembaga-lembaga aturan lainnya.

Dalam situasi dimana tanggungjawab dari keluarga atau orangtua tidak sanggup dijalankannya, maka negara mesti menyediakan kegiatan “jaminan sosial” (“savety net”). Perihal jaminan sosial ini, diharmonisasikan ke dalam Pasal 8 UU No. 23/2002 yang secara eksplisit menyebutkannya sebagai hak anak yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah.

Bahkan dengan rumusan Pasal 3 ayat (3) KHA, Negara mesti menjamin institusi-institusi, pelayanan, dan akomodasi yang diberikan tanggungjawab untuk kepedulian pada anak atau proteksi anak yang sesuai dengan standar yang dibangun oleh forum yang berkompeten. Negara mesti membuat standar pelayanan sosial anak, dan memastikan semua institusi yang bertanggung-jawab mematuhi standar dimaksud dengan mengadakan monitoring atas pelaksanaannya. Maksudnya, tidak semestinya anak berjuang sendiri namun Negara harus ikut campur dalam urusan proteksi hak-hak anak, karena Negara berkepentingan akan mutu warganya.


Evolusi kapasitas anak.

KHA memposisikan tugas penting dan strategis dari orangtua (parent) dalam memastikan realisasi hak-hak anak. Beberapa pasal relevan dengan isu ini, yakni pasal 5, 9, 12, 14, 18 KHA. Pasal 5 KHA menghormati tanggungjawab, hak, dan kewajiban orangtua. Bahkan, keluarga besar (extended family) atau komunitas yang disediakan dalam etika setempat, wali ataupun orang-orang lain yang secara hokum yang bertanggungjawab atas anak. Pasal 5 KHA memilih tugas orangtua, yakni: memperlihatkan pengarahan (direction) dan panduan (guidance) guna pelaksanaan hak anak dalam KHA, sesuai dengan perkembangan kemampuan anak (evolving capacities of the child).

Dengan demikian, pasal 5 KHA, mengemukakan konsep orangtua (parent), dan konsepn “responsibilities” for their child. Dalam Implementation handbook of CRC, pasal 5 KHA menjelaskan esensi parental direction and guidance ialah tidak tak terbatas (not unlimited). Hal ini mesti dipahami secara konsisten dengan “evolving capacitities of the child”. Dalam hal pelaksanaan tugas orangtua ini (pasal 5), maka negara penerima (state party) mengupayakan hal terbaik biar prinsip bahwa kedua orangtua (ibu dan bapak) memikul tanggungjawab bersama untuk membesarkan dan membuatkan anak.

Konsep “Evolving capacities” dari anak ialah satu dari konsep penting KHA yang mengakui dalam perkembangan anak menjadi orang cerdik balig cukup akal yang independen mesti dengan penghormatan dan pemajuan masa kanak-kanak. Menurut The Manual on Human Rights Reporting (1977), memperlihatkan keterkaitan antara “evolving capacities” anak dengan pasal 12 ( hak membentuk pandangan sendiri – own views the right to express those view freely) dan 13 KHA (hak secara bebas menyatakan pendapat = right to freedom of expression).

Pasal 9 ayat 3 KHA, negara menjamin hak anak yang terpisah dari orangtuanya (separated children) untuk mempertahankan hubungan pribadi (personal relations) dan hubungan pribadi (direct contact) secara tetap dengan orangtuanya.

Pasal 12 KHA, menjamin hak anak beropini secara bebas dalam segala masalah (all matters), namun pandangan anak itu dilakasanakan dengan mempertimbangkan 2 kriteria kembar (twin criteria), yakni: umur (age) dan kematangan anak (maturity).

Pasal 14 ayat 2 KHA, menghormati hak dan kewajiban orangtua memperlihatkan pengarahan kepada anak (provide direction the child) dalam menerapkan haknya sesua dengan perkembangan kemampuan anak (evolving capacities of the child).

Pasal 18 KHA, mengupayakan secara ternaik biar prinsip kewajiban dan tanggungjawab kedua orangtua (both parent) yakni ibu dan bapak secara bersama-sama– untuk membesarkan dan membuatkan anak.

Namun pengakuan tugas orangtua, dalam KHA dipahami sebagai bentuk dukungan untuk realisasi dan pemenuhan hak anak. Akan tetapi, bukan dipahami sebagai bentuk dari pengakuan atas hak sewenang-wenang orangtua atas anaknya.

Tidak diterima peradigma “non intervention” terhadap tanggungjawab orangtua atas anaknya. Sehingga, diakui adanya ruang bagi Negara dan masyarakat untuk memperlihatkan intervensi melindungi anak, kalau hak-hak anak terabaikan. Dalam konteks ini, yang dipertimbangkan paling utama ialah kepentingan terbaik bagi anak.

Prinsip the best interest of the child ini, memperlihatkan ruang bagi Negara dan masyarakat untuk intervensi, dan memperlihatkan ruang bagi anak untuk berpartisipasi. KHA sebagai instrumen hak anak juga memikirkan pengurangan hak orangtua dan keluarga untuk mengakomodir proses “evolving capacities of the child”. Karenanya, kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangan yang utama.

Dalam masalah atau keadaan kontras, argumentasi atupun prinsip the best interest of the child ini, penting dan relevan dalam memperlihatkan hak-hak privat anak, contohnya hak atas pemeliharaan (hadhonah) anak yang masih mumayyiz, yang (demi kepentingan terbaik bagi anak) tidak sewenang-wenang dan imperatif HANYA diberikan kepada ibu saja.


Implikasi Perkawinan Tidak Dicacatkan pada Anak

Perkawinan yang tidak dicatatkan akan merugikan kepentingan dan mengancam pemenuhan, proteksi dan penegakan hak anak. Sebagai insiden hukum, perkawinan tentu berkorelasi pribadi dengan bawah umur yang dilahirkan. Baik menyangkut aturan keluarga maupun hak-hak anak yang dijamin sebagai hak asasi insan (child’s rights are human rights).


Hak dalam aturan keluarga.

Adanya perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam bentuk dan konstruksi apapun, merupakan kendala dan mengandung resiko bagi pengakuan dan pemenuhan hak-hak anak dalam aturan keluarga. Walaupun secara biologis anak yang dilahirkan berasal dari proses reproduksi pertemuan antara ovum si ibu dengan spermatozoa si ayah dan telur ibunya, apakah itu dengan hubungan seksual (coitus) atau cara lain sesuai teknologi, namun atas perkawinan yang tidak dicatatkan (apalagi yang tidak dikehendaki, tidak diakui, dan non marital child), berdampak pada hubungan perdata, pengakuan nasab atau garis keturunan (formal), hak mewaris, pemeliharaan dan biaya hidup, bahkan kasih sayang dan tanggungjawab orangtuanya untuk tumbuh dan kembang anak. Apalagi anak dalam periode evolusi kapasitas yang membutuhkan tugas ganda orangtua menjaga keturunannya.

Menjaga keturunan termasuk hak insani yang dikenal sebagai kepingan dari hak asasi dalam Islam, Konsep hak-hak insani, yang dikenal umum sebagai HAM, dalam pendapat al Ghazali menyebutkan al-Kulliyat/al-Maqashid al-Khamsah, atau 5 (lima) hak-hak dasar universal, yaitu (1) bekerjasama dengan proteksi jiwa dan tubuh (Hifdz an-Nafs); (2) berhubungn dengan proteksi budi (Hifdz al-Aql); (3) proteksi atas agama/keyakinan (Hifdz ad-Din); (4) proteksi atas harta benda (Hifdz al-Mal); (5) proteksi atas kehormatan dan keturunan (Hifdz al-Irdl wa al-Nasl). [Masdar Farid Mas’udi, “Syarah Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Perspektif Islam”, Pustaka Alvabet dan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), Jakarta, 2011, hal. 141-142].

Kemungkinan besar terjadinya penerlantaran anak dalam hal perkawinan tidak dicatatkan karena mengancam hak atas nasab, mewaris, pemeliharaan dan biaya hidup, serta pengasuhan.

Dalam kenyataannya, terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak pada pemenuhan hak-hak anak dalam aturan keluarga, dan secara bersamaan berdampak pula bagi pemenuhan hak-hak anak sebagai HAM dan sebagai subyek warganegara, menyerupai hak atas identitas (akte kelahiran, kekerabatan kekerabatan, kewarganegaraan.

Lebih parah lagi terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan dengan indikasi eksploitatatif, atau yang tidak diakui nasab dan dikucilkan dari pergaulan sosial dengan keluarga/kerabat sehingga menghilangkan status sosial sebagai anak dari ayahnya, maka mungkin sekali keadaan sedemikian seolah-olah merupakan non marital child.

Secara faktual, realitas bawah umur yang lahir dari perkawinan yang lalu dikualifikasi non marital child merupakan fakta sosial yang tidak terbantahkan dan tidak tersembunyikan. Karena itu Negara tidak semestinya abai dan tidak melindungi dengan regulasi. Kenyataan itu sudah menyerupai kebiasaan dunia manusia, karena tak cuma permasalahan spesifik Indonesia.

Bahkan, dalam banyak sekali masalah yang dilaporkan kepada KPAI justru perkawinan tidak dicatatkan untuk poligami dilakukan oleh orang yang berpendidikan, mempunyai jabatan, dan kemampuan ekonomi yang karenanya berakibat panjang terhadap masalah aturan lainnya.


Hak mengetahui asal usul orangtua dan pengasuhan anak.

Anak berhak mengetahui (asal usul) orangtuanya, dibesarkan dan diasuh orangtuanya sendiri [Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002]. Dalam banyak kasus, kerabat non marital child mengadukan dan meminta pengakuan dan tanggungjawab orangtua biologis. Hal ini yang bersesuaian dengan Putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010.

Sebaliknya kerapkali terjadi pula perebutan anak dan pengasuhan anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak dicatatkan, ataupun mengubah identitas anak yang tidak diinginkan (unwanted child) dengan menitipkan pada orang atau forum yang tidak berizin, sehingga dalam banyak sekali masalah terjadi pemalsuan asal usul anak, identitas dan bahkan penjualan anak/bayi. Tak jarang juga dilakukan dengan modus pengangkatan anak yang tidak sah, karena tidak dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Hak atas identitas.

Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dengan demikian tidak tercatatkan ke dalam sistem pencatatan, dan karenanya tidak mempunyai dokumen formal yang diterbitkan Pemerintah. Hal ini menjadi kendala yuridis dalam pemenuhan hak atas identitas, yakni hak atas akte kelahiran. Oleh karena rezim aturan manajemen kependudukan versi UU Nomor 23 tahun 2006 perihal Administrasi Kependudukan, dan banyak sekali Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Bupati mengenai akte kelahiran menganut stelsel aktif bagi Penduduk. Selain itu juga mensyaratkan dokumen formal (surat nikah, Kartu Tanda Penduduk-KTP, Kartu Keluarga-KK) untuk menerbitkan akte kelahiran, membatasi jangka waktu pelaporan, dan penarikan biaya sebagai retribusi sehingga menghambat pencatatan kelahiran anak.

Alih-alih untuk anak yang dari perkawinan tidak dicatatkan, pemenuhan hak identitas yakni akte kelahiran atas anak dari perkawinan yang sah (dicatatkan) saja masih belum memadai atau cenderung gagal dilaksanakan. Anak Indonesia yang mempunyai sertifikat kelahiran sekitar 54,79 persen, dari jumlah tersebut 14,57 persen tidak sanggup memperlihatkan sertifikat kelahiran, sedangkan jumlah anak yang tidak mempunyai sertifikat kelahiran 44,09 persen (Susenas 2010, BPS). Jika dibanding dengan data kependudukan tahun 2005, pencatatan kelahiran sesudah disahkannya UU Nomor 23 Tahun 2006 bisa dikatakan gagal. Karena tidak ada kenaikan signifikan dalam pencatatan kelahiran anak yang memakai asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk”, sebagaimana data berikut ini. Data Penduduk Usia 0-4 Tahun yang Memiliki Akta Kelahiran berdasarkan Provinsi (Sensus BPS, 2005), sebelum UU No. 23 Tahun 2006 disahkan, sebanyak 42,82%. Sedangkan data Penduduk Usia 0-4 Tahun yang Memiliki Akta Kelahiran, (BPS, Susenas 2011), sesudah UU Nomor 23/2006 disahkan sebanyak 59%.

Terbukti pula dengan pengakuan Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri RI perihal kegagalan stelsel aktif pada Penduduk, dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri RI No. 472.11/3444/SJ tanggal 13 September 2011, yang pada pokoknya memilih bahwa “anak-anak yang lahir sesudah UU No 23/2006 dan belum mengurus sertifikat kelahiran sanggup dilayani dan diterbitkan sertifikat kelahirannya tanpa penetapan pengadilan”.

Jika ditelaah secara mendalam UU Nomor 23 Tahun 2006, maka terdapat banyak sekali faktor yang menghambat anak memperoleh hak identitas atas akte kelahiran, yakni:

  • Asas “stelsel aktif bagi Penduduk”.
  • Syarat-syarat formal pencatatan kelahiran (surat nikah/akte perkawinan, KK, KTP).
  • Pembatasan waktu 60 (enam puluh) hari melaporkan kelahiran menjadi kendala dalam jalan masuk pencatatan kelahiran, kalau melewatinya akan menjalani mekanisme lebih panjang.
  • Pengenaan hukuman denda atas keterlambatan.
  • Tidak adanya fasilitasi dan derma Pemerintah.


Tidak adanya tindakan affirmatif untuk anak dari tempat terisolir, anak berkesulitan khusus, anak tanda dokumen perjalanan (paspor) yang mengikuti orangtuanya bekerja di luar negeri.

  • Belum bebas biaya akte kelahiran.
  • Hak atas jaminan sosial, dan pendidikan.


Oleh karena akte kelahiran ialah yang yang pertama, maka ketiadaan akte kelahiran berimplikasi luas kepada pemenuhan hak-hak anak lain, terutama hak atas jaminan sosial dan pendidikan. Dalam hal perkembangan regulasi dan kebijakan jaminan sosial yang cenderung mengarah kepada dokumen formil, maka bawah umur yang tidak memperoleh akte kelahiran karena tiadanya perkawinan tidak dicatatkan akan semakin tersingkirkan dari akese jaminan sosial. Namun, Pemerintah semestinya tidak mengabaikan bawah umur dari perkawinan tidak dicatatkan, ataupun non marital child karena tidak absah kalau diabaikan hak-haknya.

Formalitas dokumen, syarat dan mekanisme penyelenggaraan jaminan sosial dan pendidikan akan menghambat jalan masuk bawah umur tanpa akte kelahiran. Sehingga perlu terobosan untuk mengatasi imbas dari perkawinan tidak dicatatkan terhadap anak.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menyatakan sekitar 70% anak yang belum mempunyai akte kelahiran itu ialah anak usia sekolah. Itulah sebabnya Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri RI perihal kegagalan stelsel aktif pada Penduduk, dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri RI No. 472.11/3444/SJ tanggal 13 September 2011, yang pada pokoknya memilih bahwa “anak-anak yang lahir sesudah UU No 23/2006 dan belum mengurus sertifikat kelahiran sanggup dilayani dan diterbitkan sertifikat kelahirannya tanpa penetapan pengadilan”. Walaupun kebijakan ini tidak banyak membantu karena hanya “jembatan darurat” saja, yang tidak mengatasi kendala yuridis dalam pemenuhan hak identitas anak. Oleh karena itu tidak memadai mengatasi kegagalan pencatan kelahiran di Indonesia.


Hak proteksi dari eksploitasi dan kesepakatan nikah dini.

Dalam banyak sekali bentuk eksploitasi anak, termasuk perdagangan anak, penyebab terjadinya termasuk tidak adanya akte kelahiran anak. Banyak bawah umur yang menjadi korban eksploitasi akhir tidak adanya dokumen identitas yang sah.

Selain itu, perkawinan usia dini juga berkorelasi dengan praktik perkawinan tidak dicatatkan, sehingga berdampak pula pada anak dan eksploitasi anak. Mencegah kesepakatan nikah pada usia bawah umur atau perkawinan dini merupakan kewajiban orangtua yang ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) karakter c UU Nomor 23 Tahun 2002, karena dikuatirkan menjadi pintu masuk banyak sekali bentuk eksploitasi anak. Oleh karena itu perlu merevisi batas usia perkawinan biar mencegah perkawinan usia anak-anak.

Menurut data, secara nasional sebesar 1,59 persen anak wanita berumur 10-17 tahun berstatus kawin dan pernah kawin (Perdesaan 2,17%; Perkotaan 0,98%), dari jumlah tersebut kawin pertama usia


Diskusi

Masalah perkawinan tidak dicatatkan bukan masalah sederhana, dan urusan personal namun menjadi isu hak-hak anak dan HAM, yang karenanya tidak lepas dari tanggungjawab dan tugas Negara. Berbagai situasi dan analisis terhadap masalah perkawinan tidak dicatatkan dalam kaitan dengan dampaknya pada anak, sanggup kemukakan beberapa butir diskusi:

Perkawinan tidak dicatatkan mempunyai akhir pribadi pada anak sebagai subyek aturan dan pribadi yang dijamin, diakui, dan dilindungi hak-haknya. Karena itu, permasalahan tersebut bukan hanya berkisar aturan keluarga semata namun berkenaan HAM dan hak-hak anak sehingga menjadi tanggungjawab dan kewajiban Pemerintah sebagai penanggungjawab pemenuhan, perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM sesuai amanat Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;

Pemberitahuan dan pencatatan perkawinan merupakan keniscayaan dan mendukung pemenuhan dan hak anak. Perkawinan secara belakang layar tidak kompatibel dengan hak anak, karenanya perkawinan tidak dicatatkan itu vis a vis dengan segenap aspek proteksi anak, baik dalam kekerabatan dan hal ihwal aturan keluarga maupun pemenuhan hak-hak anak.

Akibat dan kendala yuridis yang timbul dari perkawinan tidak dicatatkan tidak adil kalau dibebankan kepada anak-anak, oleh karena akhir dan resiko atas perkawinan tidak dicatatkan itu tidak menjadi kendala bagi pemenuhan hak anak. Negara mesti membuat melaksanakan perubahan aturan yang masih membebankan resiko dan akhir perkawinan tidak dicatatkan pada anak.

Kekosongan aturan dalam banyak sekali dilema yang muncul dari/akibat perkawinan tidak dicatatkan harus diatasi. Karenanya perlu kajian aturan dan harmonisasi aturan mengatasi permasalahan perkawinan yang tidak dicatatkan termasuk segala aspek yang melingkupinya termasuk perkawinan usia anak, penyelundupan aturan atas nama perkawinan, eksploitasi anak, anak tanpa akte kelahiran, penerlantaran anak, dan reaktualisasi aturan keluarga.

Anak yang dilahirkan dalam perkawinan tidak dicatatkan tetap mempunyai hubungan aturan dengan kedua orangtuanya, dan tidak sanggup dihapuskan atau dipungkiri dengan penyeludupan hukum. Alih-alih anak dari perkawinan tidak dicatatkan, anak yang merupakan non marital child sekalipun mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya, kerabat ibunya, dengan ayah biologisnya dan kerabat ayah biologisnya.

Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Dampak Perkawinan Tidak Di Catatkan Pada Anak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel