iklan banner

Analisis Ekonomi Atas Aturan Bisnis Indoensia


Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Bisnis Indonesia

Esei Peri Umar Farouk, pernah dipublikasi di jurnal 'Bank & Manajemen', Jakarta, 2001

Suatu masyarakat yang sehat cenderung menentukan atau membuat hukum-hukum yang sanggup mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur apakah aturan yang dipilih atau diciptakan turut mempromosikan efisiensi ekonomi, maka diharapkan pendekatan terhadap aturan yang tidak semata-mata aturan an sich. Oleh alasannya yaitu itu goresan pena ini membahas suatu pendekatan terhadap aturan yang semakin hari semakin berkembang, yakni “Economic Analysis of Law”.

Dalam goresan pena ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of Law di Indonesia, serta beberapa teladan aplikasi, sehingga sanggup dilihat bahwa pendekatan ekonomi atas aturan memang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan aturan di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus pembahasannya yaitu mengenai fenomena-fenomena yang menjadi kecenderungan di bidang aturan bisnis, yang secara implisit maupun eksplisit sanggup menyebabkan ketidakefisienan (inefficient). Kecenderungan-kecenderungan tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan profesi aturan tertentu dalam memenuhi syarat dan mekanisme peraturan perundang-undangan, ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang aturan bisnis, serta adanya ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan.
Analisis Ekonomi Atas
Bidang Analisis Ekonomi Atas , atau yang umumnya dikenal sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui pemikiran utilitarianisme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif aturan dan mengevaluasi hasil-hasilnya berdasarkan ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare). Pemikiran utilitarianisme aturan Bentham tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya berupa analisis atas aturan pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg hingga tahun 1960-an, dan gres berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker (1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum; Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai aturan kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of Legal Studies”.ii
Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas menerapkan pendekatannya untuk menawarkan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau ‘descriptive’, berkenaan dengan pertanyaan apa imbas aturan-aturan aturan terhadap tingkah laris orang yang bersangkutan (the identification of the effects of a legal rule); dan analisis yang bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan apakah imbas dari aturan-aturan aturan sesuai dengan harapan masyarakat (the social desirability of a legal rule). Pendekatan yang digunakan Analisis Ekonomi Atas terhadap dua permasalahan dasar tersebut, yaitu pendekatan yang biasa digunakan dalam analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah laku, baik insan secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi untuk menguji harapan masyarakat.iii
Steven Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih lanjut mengenai analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis Ekonomi Atas dengan mengemukakan manfaat atau tujuan selesai dari analisis dimaksud. Dengan analisis deskriptif sanggup dikatakan rasional, bilamana orang bertindak untuk memaksimalkan tujuan atau laba yang diharapkannya. Sebagai teladan yaitu pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya, walaupun contohnya orang tersebut mempunyai asuransi, sanggup dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka tanggapan kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko diajukan ke pengadilan. Sedangkan dengan analisis normatif sanggup diterangkan bahwa satu aturan aturan tertentu lebih baik dari aturan aturan lain bilamana menawarkan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang sanggup diberikan contohnya bilamana masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi jumlah kecelakaan kemudian lintas, maka aturan aturan yang terbaik yaitu yang menawarkan eksekusi atau hukuman bagi penyebab-penyebab kecelakaan.iv
Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas tidak terbatas pada dua permasalahan dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun meluas pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-permasalahan aturan dan kebijakan publik. Hal ini sanggup dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut :
“A study of many applications of economic reasoning to problems of law and public policy including economic regulation of business; antitrust enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and contract law and remedies, and civil or criminal procedures. No particular background in economics is required; relevan economic concepts will developed through analysis of various legal applications.”v
Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Di Indonesia
Tidak sanggup dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan kebijakan, baik pada tingkat pembentukan, implementasi maupun enforcement peraturan perundang-undangan telah sangat besar lengan berkuasa di Indonesia. Secara resmi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) memutuskan salah satu arah Kebijakan Program Pembangunan Nasional Bidang , yakni berbagi peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi kala perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan satu indikator kuatnya imbas atau tujuan ekonomi dalam perkembangan aturan di Indonesia.
Memang secara teoritis konseptual, pedoman Analisis Ekonomi Atas belum fenomenal dan melembaga di Indonesia, sebagaimana menimpa juga aliran-aliran aturan lain. Sehubungan dengan tanda-tanda tersebut, relevan mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim, bahwa di Indonesia kajian-kajian yang merupakan kritik-teori atau iman atas suatu paradigma atau pendekatan tertentu dalam kajian aturan kurang berkembang. Ahli-ahli aturan di Indonesia kurang bernafsu dalam melaksanakan penjelajahan teoritis atas aneka macam paradigma dalam ilmu aturan atau taking doctrine seriously.vi Meskipun demikian perbincangan mengenai Analisis Ekonomi Atas bukannya sama sekali tidak ada. Hal ini sanggup dilihat contohnya dalam teks oratio dies Universitas Kristen Parahyangan Bandung pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka berpikir :
Berdasarkan pengamatan empiris upaya proteksi lingkungan yang hanya digantungkan pada penggunaan instrumen aturan (legal instruments) terbukti kurang efektif.
Praktek-praktek proteksi lingkungan di negara lain, ternyata sudah menerapkan konsep mixed-tools of compliance, dimana instrumen ekonomi (economic instruments) merupakan salah satu insentif yang membuat potensial pencemar mematuhi ketentuan Lingkungan.
Terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup yang menawarkan dasar aturan yang kuat untuk menerapkan konsep mixed-tools of compliance.vii
Konsern atas pendekatan ekonomi terhadap aturan juga diberikan oleh Thee Kian Wie, yang menekankan perlunya aspek ekonomi diperhatikan dalam implementasi UU No. 5/1999 dengan mengemukakan bahasan pengkategorian monopoli, persaingan tidak sehat, kartel, price fixing, market division, merger, cross-shareholding, dan sebagainya.viii Tidak kalah menariknya juga pembahasan Heru Supraptomo terhadap Perbankan dengan pendekatan ekonomi. Sambil mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa :
“…, ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang sempurna (a powerfull tool) untuk melaksanakan analisis terhadap permasalahan-permasalahan aturan yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap aturan ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam aturan perbankan.”ix
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa harapan untuk melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan aturan di Indonesia telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang diharapkan. Kajian yang semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan lebih menawarkan manfaat bagi perancangan sistem hukum, pembentukan, penerapan dan enforcement peraturan perundang-undangan, mengingat sebagaimana perkembangan di Amerika Serikat, pendekatan ekonomi atas aturan telah menggejala di setiap bidang hukum.
Implementasi Dalam Bisnis
Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas , terutama implementasinya dalam bidang aturan bisnis di Indonesia, maka di bawah akan dikritisi beberapa permasalahan yang konkret yang dihadapkan dengan prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, alasannya yaitu tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian yaitu berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement dari peraturan perundang-undangan.
Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi aturan tertentu dalam memenuhi syarat dan mekanisme peraturan perundang-undangan. Hal ini contohnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 ihwal Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan sertifikat notaris. Sutan Remy Sjahdeini menawarkan komentar terhadap pasal tersebut dengan menyampaikan tidak jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil, mengingat di dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup dibentuk dengan sertifikat di bawah tangan.x
Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya berupa registrasi di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih sanggup dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan. Secara hemat pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para debitor, terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik kini ini, walaupun mengenai biaya pembuatan sertifikat telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun alasannya yaitu tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan jasa notaris yang ijin prakteknya di kawasan yang bersangkutan, maka notaris tersebut sanggup secara adikara untuk memutuskan besarnya biaya pembuatan akta.
Sebelumnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 ihwal Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) ditetapkan juga bahwa sumbangan Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Alasan penerapan ketentuan ini yaitu bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang membuat sertifikat pemindahan hak atas tanah dan sertifikat lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan aturan tertentu mengenai tanah yang terletak di kawasan kerjanya.
Terhadap ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama berkenaan dengan pembebanan yang secara hemat memberatkan debitor pengusaha lemah. Menanggapi hal tersebut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 ihwal Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, pemerintah menawarkan kemungkinan bagi SKMHT jenis kredit tertentu berlaku hingga berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Kecenderungan tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (RUU-PP) yang dibentuk oleh DPR, yang memutuskan bahwa sertifikat perjanjian kredit dibentuk di hadapan notaris.xi Oleh alasannya yaitu itu terdapat pandangan sinis di masyarakat dengan menyebutkan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan ibarat itu sebagai hasil dari ‘Notaris Connection”.
Kritik inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas juga menimpa profesi aturan lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang Kepailitan, memutuskan bahwa permohonan berkenaan dengan proses kepailitan harus diajukan oleh seorang penasehat aturan yang mempunyai izin praktek (dalam hal ini izin praktek pengacara kepailitan). Permohonan tersebut antara lain berupa permohonan pernyataan pailit, permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator, permohonan Kasasi, pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan Kembali, permohonan penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan syarat-syarat penangguhan, tuntutan penghapusan perdamaian, serta permohonan rehabilitasi di bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya penggunaan penasehat aturan yang mempunyai izin praktek tersebut, memang masuk di logika bilamana dihubungkan dengan singkatnya waktu yang diharapkan dalam proses program kepailitan serta diperlukannya spesialisasi dan professionalitas pengacara kepailitan. Namun ditinjau dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan tertentu untuk ikut dalam ujian kepengacaraan, ibarat kalangan internal corporate lawyer BUMN, maka secara hemat bagi perusahaan-perusahaan BUMN, Pasal 5 Undang-undang Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi alasannya yaitu dianggapnya pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga tidak diperkenankan ikut dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana internal corporate lawyer BUMN diperkenankan mempunyai sertipikat pengacara kepailitan, maka proses program kepailitan tidak perlu diwakili oleh external corporate lawyer yang berbiaya tinggi.
Kedua berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang aturan bisnis. Misalnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)xiii, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv yang dilakukan secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan menyebabkan pemborosan. Segala biaya untuk pelaksanaan kiprah lembaga-lembaga tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Padahal di Amerika Serikat sendiri sebagai negara penggagas persaingan perjuangan sehat dan proteksi konsumen, kiprah sebagaimana dibebankan kepada KPPU, BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan kiprah satu forum yang berjulukan Federal Trade Commission (FTC). Sebagai materi perbandingan di bawah ini dikutipkan posisi dan kiprah FTC antara lain sebagai berikut :
“The basic objective of the FTC is to promote free and fair trade competition in the American economy. … It provides guidance to business and industry on what they may do under the laws administered by the commission. It also gathers and makes available to Congress, the president, and the public factual data on economic and business conditions.The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.”xv
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan dikemukakan berkenaan dengan gagasan pembentukan forum penunjang aturan bisnis, sehingga nilai efisiensi dari pembentukan forum tersebut sanggup dimaksimalisasi. Contohnya bilamana suatu forum yang digagas, tugas-tugasnya mendekati atau sanggup dibebankan kepada forum yang sudah ada, maka tidak perlu membentuk forum baru.
Permasalahan lain yang sanggup menyebabkan inefisiensi yaitu ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini sanggup dikemukakan contohnya adanya ketentuan aturan yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan forum non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak kasus dimana para pihak sendiri telah menentukan penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 ihwal Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut :
“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, somasi melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”
Pasal ibarat ini tidak menawarkan kepastian hukum. Seyogyamya jika upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ihwal Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memutuskan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang sanggup menyebabkan inefisiensi yaitu mengenai wajib simpan dokumen perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 ihwal Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya sehabis lewat waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi jika hal tersebut ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam mendapatkan bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.
Penutup
Dengan memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas , serta melibatkannya dalam kebijakan dan praktik aturan di Indonesia, maka menjadi lebih terbuka kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak alternatif pemikiran yang sanggup disumbangkan dalam pengkajian aturan di Indonesia. Tulisan ini merupakan pengantar bagi studi yang lebih jauh terhadap Analisis Ekonomi Atas , namun demikan pada tingkatnya yang sangat minimal telah sanggup memunculkan salah satu kritik penting berkenaan dengan problem economic efficiency yang secara tidak sadar ada dalam perkembangan aturan bisnis di Indonesia. Oleh alasannya yaitu itu relevan kiranya untuk masa yang akan datang, memfungsikan model Analisis Ekonomi Atas disamping model teori aturan lain ke segenap proses aturan di Indonesia, baik dalam tingkat pembentukan, penerapan atau penegakan aturan dan dalam menganalisis iman serta menguji keabsahan suatu sistem sosial dan kebijakan-kebijakan tertentu.
Kepustakaan
Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian , No. 28 - Tahun VIII, Jakarta, 1997.
Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II, Jakarta, 2000.
Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999.
Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan, teks oratio dies, Jakarta, 1995.
Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/.
Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999 ihwal Jaminan Fidusia, Jurnal Bisnis, Vol. 10, Jakarta, 2000.
Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Bisnis, Vol. 7, Jakarta, 1999.
Endnote
i) Ronald Coase yaitu pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi. Pendekatannya populer dengan nama ‘the Coase Theorem’, yang memberi penafsiran gres terhadap teori eksternalitas (externality), yakni berkenaan dengan analisis situasi di mana tindakan seseorang menjadikan beban biaya (atau keuntungan) bagi orang lain.
ii) Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999, hal. 1.
iii) Ibid., dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/, Chapter 1, hal. 1.
iv) Steven Shavell, Economic Analysis of Law, Chapter 1, hal. 1.
v) Definisi yang diberikan website resmi William and Mary School of Law, http://www.wm.edu/.
vi) Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II - 2000, hal. 23.
vii) Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan, 1995, hal. 2.
viii) Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Bisnis, Vol. 7, 1999, hal 60.
ix) Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian , No. 28/Tahun VIII/Maret/1997, Jakarta, hal. 4.
x) Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999 ihwal Jaminan Fidusia, Jurnal Bisnis, Vol. 10, 2000, hal. 43.
xi) Pasal 27 Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (draft pertama).
xii) Dibentuk berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 5/1999 ihwal Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
xiii) Dibentuk berdasarkan Pasal 31 UU No. 8/1999 ihwal Perlindungan Konsumen.
xiv) Dibentuk berdasarkan Pasal 49 UU No. 8/1999 ihwal Perlindungan Konsumen.
xv) Microsoft Encarta Reference Suite 2001, CD-ROM Encyclopedia.

Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Analisis Ekonomi Atas Aturan Bisnis Indoensia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel