Raja-Raja Mataram Sesudah Dyah Balitung
Daftar Isi Artikel
Sepeninggal Dyah Balitung Kerajaan Mataram Lama diperintah oleh raja Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M), dan Wawa (924 -929 M). Namun tidak ada sumber berarti yang sanggup mengambarkan tugas ketiga raja tersebut.
Empu Sindok
Pada tahun 929 M sentra kerajaan Mataram Lama dipindahkan ke Watugaluh (Jawa Timur) oleh Empu Sindok. Ia dianggap sebagai pendiri Dinasti Isyana.
Menurut para sejarawan, perpindahan sentra kerajaan tersebut dilakukan lantaran wilayah Mataram ditimpa musibah letusan Gunung Merapi. Masa pemerintahan Empu Sindok berlangsung kondusif dan tenteram. Empu Sindok seringkali menawarkan pinjaman bagi pembangunan tempat-tempat suci. Dalam bidang sastra, muncul kitab suci agama Buddha Tantrayana, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan.
Raja Dharmawangsa
Pengganti Empu Sindok ialah Raja Dharmawangsa. Demi meningkatkan kesejarhteraan hidup rakyatnya, Dharmawangsa berupaya menguasai jalur perdagangan dan pelayaran yang ketika itu dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 990 M, ia mengirimkan tentaranya ke Sumatra dan Semenanjung Malaka. Misi pasukannya berhasil menaklukkan beberapa kawasan pantai di Sriwijaya. Upaya Dharmawagnsa dianggap telah membawa kemajuan yang berarti bagi kerajaannya.
Pada tahun 1016 M, kekeuasaan Dharmawangsa dilanda malapetaka yang mengerikan. Ketika ia sedang menikahkan putrinya dengan Airlangga (putra mahkota Kerajaan Bali), tiba-tiba istana kerajaan diserang tentara Wurawari, raja bawahan Dharmawangsa yang dihasut Sriwijaya.
Pada tahun 1016 M, kekeuasaan Dharmawangsa dilanda malapetaka yang mengerikan. Ketika ia sedang menikahkan putrinya dengan Airlangga (putra mahkota Kerajaan Bali), tiba-tiba istana kerajaan diserang tentara Wurawari, raja bawahan Dharmawangsa yang dihasut Sriwijaya.
Peristiwa Pralaya Medang
Dalam insiden tersebut, hampir semua pembesar Kerajaan Mataram Kuno gugur. Peristiwa penyerbuan Raja Wurawari terhadap Dharmawangsa ini populer dengan sebutan Pralaya Medang.
Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja oleh pra pendeta Buddha dan para brahmana dengan gelar Rake Halu Sri Lakeswara Mahabrahmana Airlangga Anantawikramattunggadewa. Sebagian besar masa pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukkan raja-raja bawahan yang memberontak dan melepaskan diri dari kekuasaan Mataram.
Perang yang berkecamuk pada zaman Airlangga, contohnya perang menghadapi Raja Bhismaprabhawa, Raja Wengker, dan seorang ratu di kawasan selatan Tulungagung. Semua peperangan ini dimenangkan pihak Airlangga.
Bahkan pada tahun 1033 M Airlangga berhasil membalaskan ajal mertuanya dengan mengalahkan raja Wurawari. Sejak ketika itu, Airlangga berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan yang telah terpecah-pecah untuk memulai upaya pembangunan negerinya, yaitu Mataram Lama/Mataram Kuno/Mataram Hindu.
Pemerintahan Airlangga
Di bidang pemerintahan, Airlangga melaksanakan perombakan dengan mengangkat orang-orang yang berjasa kepadanya. Dalam bidang ekonomi, Airlangga memeritahkan membangun waduk di kawasan Sungai Brantas. Di bidang sastra, muncul karya-karya bermutu menyerupai Kitab Arjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa. Di bidang sosial banyak dibangun tempat-tempat suci, pertapaan, dan asrama-asrama pendeta. Semua upaya pembangunan negeri hanya ditujukan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Airlangga merupakan seorang raja yang bijaksana. Tatkala puteri mahkota Sanggramawijaya Dharma Prosadottunggadewi (Sanggramawijaya Tunggadewi) menolak menggantikan tahta kerajaan, Airlangga tidak lantas marah. Ia justru membangun sebuah pertapaan di Pucangan, lantaran putrinya menentukan untuk menjadi seorang pertapa.
Setelah Sanggramawijaya Tunggadewi mengasingkan diri menjadi pertapa ia berganti nama menjadi Dewi Kili Suci. Bekas pertapaan Dewi Kili Suci berjulukan Goa Selo Mangleng. Dilihat dari katanya, Selo dalam bahasa Jawa berarti batu, sedangkan Mangleng berarti lubang menyerupai goa.
Sampai ketika ini menjadi tempat wisata yang masuk wilayah Kediri, Jawa Timur. Silahkan baca tempat wisata bersejarah : Wisata sejarah Goa Selo Mangleng Kediri
Selanjutnya Airlangga menemui kesulitan yang disebabkan putra Dharmawangsa, Samarawijaya menuntut hak atas Kerajaan Mataram. Dilain pihak, putra Airlangga yang kedua yaitu Mapanji Garasakan menginginkan pula tahta kerajaan. Hal ini mungkin akan berakibat timbulnya perebutan kekuasaan.
Pada tahun 1041 M, Airlangga tetapkan untuk membagi kerajaannya menjadi dua. Pembagian kerajaan itu dilakukan oleh seorang brahmana yang populer kesaktiannya berjulukan Empu Bharada. Dua kerajaan itu ialah Jenggala dan Panjalu.
Mengenai Jenggala dan Panjalu silahkan baca juga : Tentang Kerajaan Medang Kamulan
Pembagian kerajaan tersebut ternyata tidak menuntaskan persoalan. Tidak usang sesudah pembagian itu, raja Jenggala menyerang Panjalu. Mungkin lantaran perang saudara yang tidak henti-hentinya, ibukota Dhanapura berpindah-pindah, hingga kesudahannya terletak di wilayah Kediri.
Airlangga mengundurkan diri
Setelah pembagian kerajaan, Airlangga mengundurkan diri tahun 1042 M dan menjadi pertapa di Belahan, di lereng gunung Penanggungan. Di situ pula ia dimakamkan pada tahun 1049 M. Kemudian ditempat tersebut dibangun sebuah pemandian.
Di dasar pemandian tersebut, peti mati mati Arilangga dimakamkan. Di atasnya dibangun arca dalam wujud Whisnu yang mengendarai Garuda. Di sebelah kanannya berdiri arca Laksmi, permaisurinya yang pertama, dan di sebelah kirinya Sri Sanggramawijaya Tungga Dewi, permaisuri kedua putri raja Sriwijaya.
0 Response to "Raja-Raja Mataram Sesudah Dyah Balitung"
Posting Komentar