iklan banner

Analisis Perbandingan Peranan Jalur Suku Bunga Dan Jalur Nilai Tukar Pada Prosedur Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia 2005-2014


DAFTAR ISI
COVER
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
       I.            PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah.............................................................................................. 4
1.3  Tujuan Penelitian............................................................................................... 6
1.4  Manfaat Penelitian............................................................................................. 6
1.5 Kerangka Pemikirn............................................................................................ 6
1.6 Hipotesis............................................................................................................ 8
1.7 Sistematika Penulisan........................................................................................ 8

    II.            TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Tinjauan Teoritis................................................................................................ 9
2.2  Tinjaun Empiris................................................................................................ 15

 III.            METODE PENELITIAN
3.1  Ruang Lingkup Penelitian............................................................................... 16
3.2  Jenis Dan Sumber Data.................................................................................... 16
3.3  Definisi Operasional Variabel.......................................................................... 16
3.4  Metode Analisis............................................................................................... 17
3.4.1  Uji Stasioneritas...................................................................................... 19
3.4.2  Uji Lag.................................................................................................... 20
3.4.3  Uji Kointegras......................................................................................... 20
3.4.4  Impulse Responce Function (IRF).......................................................... 20
3.4.5  Variance Decomposition (VD)............................................................... 20
 IV.            HASIL DAN PEMBAHASAN
    V.            KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Peranan uang dalam peradaban insan hingga ketika ini dirasakan sangat penting, sehingga dampak jumlah uang beredar sanggup mempengaruhi perekonomian. Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan sanggup mendorong peningkatan harga yang melebihi tingkat yang diharapkan. Sebaliknya bila peningkatan jumlah uang beredar sangat rendah, maka akan menimbulkan kelesuan dalam perekonomian. Situasi ini melatarbelakangi perjuangan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas moneter dalam mengendalikan jumlah uang yang beredar. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter Bagehot bahwa “Money will not manage itself”, ini memperlihatkan pengendalian jumlah uang beredar merupakan faktor yang sangat penting dalam seluruh aktivitas ekonomi suatu negara.
Lembaga yang mempunyai kiprah dalam otoritas moneter ini di Indonesia ialah Bank Indonesia. Kebijakan yang diambil otoritas moneter sangat mewarnai bagaimana perkembangan ekonomi makro yang terjadi. Kebijakan moneter mempunyai tiga terminologi umum. Pertama, sasaran kebijakan moneter atau sering disebut sasaran akhir. Bank Indonesia telah memutuskan yang menjadi sasaran tunggal, ini tertuang dalam revisinya pada Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 Pasal 7 menyatakan bahwa Indonesia telah menganut kebijakan moneter dengan tujuan tunggal yakni mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan tunggal tersebut terangkum dalam kerangka strategis penargetan inflasi ( inflation targeting framework). Kedua, indikator kebijakan moneter atau sasaran antara, yang sanggup memberi petunjuk apakah perkembangan moneter tetap terarah pada perjuangan pencapaian sasaran selesai yang telah ditetapkan atau tidak. Ketiga, instrumen kebijakan moneter dalam mencapai sasaran.
Sejak Bulan Juli 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu. Gambar 1.1 memperlihatkan perkembangan inflasi semenjak tahun 2005 hingga 2015.

Gambar 1.1
Inflasi Periode 2005 hingga 2015 (%)
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

2005    2006    2007     2008    2009    2010     2011    2012     2013     2014     2015

Sumber: Badan Pusat Statistika (BPS), banyak sekali tahun, diolah
Gambar 1.1 menjelaskan pergerakan inflasi pada periode penelitian tahun 2005 hingga 2015. Dalam mencapai sasaran akhirnya, ada hal yang harus dilalui yaitu prosedur transmisi kebijakan moneter. Mekanisme transmisi kebijakan moneter intinya menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral bekerja dan mempengaruhi banyak sekali aktifitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya sanggup mencapai tujuan selesai yang ditetapkan. Mekanisme ini dimulai dari tindakan bank sentral memakai instrumen moneter, dalam melaksanakankebijaka


nnya. Bekerjanya kebijakan moneter dilihat dari prosedur transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga, kredit, harga aset, nilai tukar, dan ekspektasi inflasi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time lag setiap jalur berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam perjalanannya, prosedur transmisi kebijakan moneter kuat terhadap sektor perbankan, keuangan, dan bahkan sektor riil.
Dalam memulai prosedur transmisi kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga). Stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate). Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari suku bunga pasar uang jangka pendek yang merupakan sasaran operasional kebijakan moneter. Sejak 9 Juni 2008, BI memakai suku bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB)1 overnight (o/n) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Agar pergerakan suku bunga PUAB o/n tidak terlalu melebar dari anchor-nya, Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang masuk akal dan stabil melalui pelaksanaan operasi moneter.
pengaruh BI rate terhadap pasar uang yang diwakili oleh tingkat suku bunga deposito dan tingkat suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) oleh Prastowo (2007, 30) memperlihatkan bahwa tingkat suku bunga deposito secara signifikan merespon positif kenaikan BI rate, yang berarti kenaikan BI rate mendorong kenaikan tingkat suku bunga deposito. Hasil yang sama tidak berlaku untuk tingkat suku bunga PUAB yang tidak memperlihatkan respon signifikan terhadap kenaikan BI rate

Apabila kita amati pergerakan BI rate dan tingkat suku bunga deposito periode 2005:07–2014:12 yang ditunjukkan oleh gambar 1.2, terlihat bahwa BI rate dan tingkat suku bunga deposito cenderung bergerak ke arah yang sama. Dengan kata lain, kenaikan BI rate cenderung diikuti oleh kenaikan tingkat suku bunga deposito.
Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT merupakan aktivitas transaksi di pasar uang yang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga PUAB o/n. Sementara instrumen Standing Facilities merupakan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka membentuk koridor suku bunga di PUAB o/n. OPT dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia, sementara Standing Facilities dilakukan atas inisiatif bank.
Dari sisi prosedur jalur suku bunga dinyatakan bahwa efek suku bunga BI Rate yang ditransmisikan pada suku bunga SBI ke suku bunga PUAB O/N cukup mengalami peningkatan . Hal tersebut terkait dengan aspek positif dari penguatan kerangka operasional termasuk penyempitan koridor suku bunga khususnya semenjak awal tahun 2008. Pengaruh dari suku bunga PUAB ke suku bunga simpanan dan kredit serta efek dari suku bunga simpanan terhadap suku bunga kredit tidak sebesar efek BI Rate yang ditransmisikan pada suku bunga SBI terhadap suku bunga PUAB O/N. Hal ini antara lain terkait dengan banyak sekali kondisi mikro yang masih dihadapi pelaku pasar di tengah persepsi terhadap kondisi makroekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascakrisis keuangan global.
Pada pertengahan tahun 2010, jalur suku bunga merupakan lanjutan kebijakan pada tahun 2009 sebagai respons terhadap krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008, jalur suku bunga pada ketika itu dimaksudkan masih sanggup memberi sinyal kesiagaan dan kesepakatan untuk menjaga keberlangsungan pasar uang di tengah distribusi likuiditas antarbank yang belum merata. Tujuan utama kebijakan tersebut ialah meningkatkan keyakinan antarpelaku di pasar uang. Pada periode tersebut, efektivitas transmisi kebijakan moneter ke suku bunga pasar uang cukup kuat. (www.bi.go.id)
Pada tahun laporan 2010, respons suku bunga kredit dan suku bunga simpanan tidak sebesar respons suku bunga pasar uang terhadap BI Rate. Rigiditas suku bunga kredit antara lain disebabkan oleh banyak sekali variabel yang mempengaruhi penentuan suku bunga simpanan dan kredit ibarat faktor inefisiensi dan kompetisi perbankan. Dalam praktiknya, inefisiensi yang relatif tinggi di industri perbankan nasional cenderung dibebankan pada suku bunga kredit ibarat tercermin pada tingginya margin perbankan. Mengingat kompleksitas yang dihadapi, kebijakan suku bunga dilengkapi dengan kebijakan lainnya dalam rangka membantu pencapaian sasaran inflasi dengan tetap konsisten pada pencapaian sasaran makroekonomi lain. (www.bi.go.id)
Bila dibandingkan dalam perjalanan prosedur transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar, sistem yang dianut Indonesia sistemnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perjalanan sistem kurs mengambang terkendali di Indonesia bertahan cukup usang yaitu periode 1977 hingga dengan 1997. Selama periode tersebut pemerintah Indonesia menciptakan suatu indikator kurs mata uang dengan cara memutuskan spread pada pergerakan kurs di pasar uang. Sampai pada akhirnya terjadi krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang berawal pada bulan Juli 1997, kemudian pemerintah memutuskan sistem nilai tukar mengambang bebas (freely float) pada 14 Agustus 1997, yang artirnya mulai ketika itu pemerintah melepaskan pergerakan rupiah pada kekuatan undangan dan penawaran uang. (Rimsky, 2002).
Pergerakan nilai tukar selama ini mengalami fluktuatif. Dalam periode tahun 2010, nilai tukar rupiah menguat cukup signifikan terutama disebabkan oleh derasnya anutan masuk modal asing. Pergerakan nilai tukar rupiah juga ditopang oleh keseimbangan interaksi undangan dan penawaran valuta gila di pasar domestik serta mendasar perekonomian domestik yang kuat. Nilai tukar rupiah mulai mengalami apresiasi semenjak awal tahun dan mencapai level Rp 9.081 per dolar AS atau menguat secara rata-rata sebesar 3,8% dibandingkan dengan selesai tahun 2009. Secara point-to-point rupiah terapresiasi sebesar 4,4%. Apresiasi yang terjadi secara gradual tersebut disertai tingkat volatilitas sebesar 0,4%, lebih rendah dibandingkan volatilitas yang terjadi pada 2009 yaitu 0,9% . Di satu sisi, apresiasi rupiah sanggup membantu menurunkan tekanan inflasi melalui penurunan harga barang-barang impor. Di sisi lain, apresiasi rupiah juga berpotensi meningkatkan tekanan pada neraca transaksi berjalan jawaban peningkatan impor. (www.bi.go.id).

1.2 Perumusan Masalah
Pertumbuhan kredit yang disalurkan oleh perbankan di Indonesia terus mengalami peningkatan pada periode 2000 kuartal pertama hingga 2012 kuartal keempat. Hal tersebut sanggup memperlihatkan bahwa terjadinya peningkatan sumbangan yang dilakukan oleh sektor privat untuk aktivitas ekonomi, ibarat investasi atau konsumsi. Namun bila kita cermati lebih dalam, terjadi kelambatan pertumbuhan kredit perbankan pada awal periode pemulihan pasca krisis ekonomi. Periode pemulihan pasca krisis ekonomi ialah tahun 2000 hingga 2004 (Kuncoro, 2012).
Pertumbuhan jumlah kredit perbankan pada awal periode pemulihan sehabis krisis masih berjalan dengan lambat. Jika kita membandingkan, perubahan jumlah penyaluran kredit pada ketika awal periode pemulihan ekonomi pasca krisis dengan perubahan jumlah kredit pada periode setelahnya mempunyai perbedaan yang sanggup dijadikan persoalan. Rata-rata pertumbuhan kredit perbankan pada periode 2000- 2012 ialah 17,34% yang menjadi batas citra angka pertumbuhan kredit. Periode 2000-2004, pertumbuhan kredit perbankan hanya mencapai 15,97% yang berada dibawah rata-rata periode terpilih. Hal ini memperlihatkan adanya kelambatan penyaluran kredit di Indonesia pasca krisis. Perubahan instrumen kebijakan moneter suku bunga dan nilai tukar juga terjadi pada periode 2000-2001. Suku bunga SBI meningkat sebesar 3,7% dan suku bunga PUAB meningkat sebesar 1,2%, sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada tahun 2000 kuartal keempat sebesar Rp9.595,00/US$ dan mengalami depresiasi pada tahun 2001 kuartal keempat sebesar Rp10.400,00/US$. Instrumen-instrumen tersebut sanggup menjadi salah satu faktor yang menghambat penyaluran kredit.
Lambatnya kredit perbankan ini juga terjadi jawaban faktor-faktor penawaran ataupun undangan kredit. Dari sisi penawaran, fenomena ini bermula dari permasalahan likuiditas perbankan yang disebabkan oleh terjadinya bank run dan meningkatnya kewajiban luar negeri. Pada ketika yang sama ketika suku bunga dan nilai tukar meningkat (periode 2000-2001), perusahaan-perusahaan di Indonesia yang sebelum krisis telah mempunyai leverage yang sangat tinggi akan menambah duduk kasus bagi perbankan berupa meningkatnya non-performing loans (NPLs). Sementara itu, tingginya suku bunga mengakibatkan negative interest margin pada perbankan sehingga memunculkan financial distress yang menciptakan kebutuhan pendanaan dunia perjuangan semakin terbatas.
Credit crunch ialah penurunan kredit jawaban perbankan tidak mau menyalurkan kredit lantaran muncul persepsi tingginya resiko kredit (credit risk) di dunia perjuangan sehingga perbankan mempunyai sikap risk averse. Hal tersebut menjadi salah satu faktor melambatnya penyaluran kredit pasca krisis. Dari sisi permintaan, terjadi jawaban rendahnya prospek investasi dan belum pulihnya kondisi keuangan perusahaan non-keuangan, yang tercermin antara lain masih tingginya rasio hutang terhadap modal yang dimiliki.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kredit, terdapat beberapa faktor yang dipilih penulis semoga mendapat hasil analisis peranan kredit dalam transmisi kebijakan moneter. Instrumen kebijakan suku bunga dan nilai tukar merupakan indikator yang sanggup menjawab permasalahan diatas, terutama suku bunga. Beberapa penelitian yang sebelumnya menghasilkan beberapa kesimpulan, bahwa suku bunga PUAB yang seharusnya dijadikan instrumen andalan kebijakan moneter lantaran lebih mempengaruhi perubahan kredit dibandingkan dengan suku bunga SBI. Sebaliknya studi lain juga menemukan bahwa suku bunga SBI yang seharusnya dijadikan instrumen utama kebijakan moneter.
Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis bagaimana peranan jalur kredit dalam transmisi kebijakan moneter di Indonesia, dengan digambarkan oleh jumlah kredit yang disalurkan perbankan. Dengan mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya, penulis akan melihat bagaimana perubahan dari suku bunga dan nilai tukar mempengaruhi kredit di Indonesia. Dimana ibarat sebelumnya yang telah dijelaskan, terjadi kelambatan dalam penyaluran kredit perbankan dikarenakan faktor suku bunga dan nilai tukar.

1.3  Tujuan penelitian
1.      Untuk mengetahui bagaimana efek antara variabel dalam penelitian yaitu Suku bunga dan nilai tukar.
2        Untuk membandingkan efektifitas antara Suku bunga dan nilai tukar.
3        Untuk mengetahui perbandingan prosedur transmisi kebijakan moneter antara jalur suku bunga dan nilai tukar di Indonesia selama periode penelitian.

1.4  Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut :
1.      Sebagai perhiasan wawasan ilmiah dan ilmu pengetahuan bagi penulis dalam disiplin ilmu yang ditekuni penulis.
2.      Sebagai perhiasan warta dan perhiasan literatur bagi masyarakat dan mahasiswa/i yang ingin melaksanakan penelitian selanjutnya.
3.      Sebagai perhiasan warta dan perhiasan literatur bagi mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan.
4.      Sebagai materi masukan bagi otoritas moneter dalam kebijakan moneter yang dilaksanakan dalam prosedur transmisi kebijakan moneter.

1.5 Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini, terdapat 7 (Tujuh) variabel makroekonomi yang terbagi menjadi dua jalur yang diduga kuat terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia. Adapun variabel makroekonomi yang diprediksikan kuat terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia ialah Nilai tukar, net ekspor, suku bunga riil, suku bunga deposito, suku bunga pinjaman, inflasi, GDP.  Berdasarkan hasil dari pengujian IRF ditampilkan time lag dari jalur suku bunga dan jalur nilai tukar dalam prosedur transmisi kebijakan moneter. Jalur suku bunga membutuhkan time lag (kecepatan) respon variabel semenjak terjadi shock instrumen kebijakan moneter untuk mencapai sasaran selesai yaitu GDP ialah sebesar 5 tahun, sedangkan pada jalur nilai tukar membutuhkan time lag respon variabel semenjak terjadi shock instrumen kebijakan moneter untuk mencapai sasaran akhir ialah sebesar 5 tahun. Dengan demikian, dalam hal ini kecepatan respon variabel semenjak adanya shock untuk mencapai sasaran selesai (pertumbuhan ekonomi) ialah peranan jalur suku bunga dan jalur nilai tukar efektif dalam menstransmisikan kebijakan moneter di Indonesia







Suku Bunga Deposito
 
Nilai Tukar
 
Suku Bunga Pinjaman
 
Net Ekspor
 
Suku Bunga Riil
 
Suku Bunga Riil
 
Inflasi
 
Inflasi
 
GDP
 
GDP
 
 






















Gambar: 1.1 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan model pada Gambar 1.1. tersebut memperlihatkan bahwa variabel independen terdiri dari Nilai Tukar (X1), Net Ekspor (X2), Suku Bunga Riil (X3), Suku Bunga Deposito (X4), Suku Bunga Pinjaman (X5), Inflasi (X6), GDP (X7),  dan variabel dependennya Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (Y).







1.6. Hipotesis
Istilah hipotesis berasal dari bahasa Yunani, yaitu hupo dan thesis. Hupo berarti lemah, kurang atau di bawah dan thesis berarti teori, proposisi, atau pernyataan yang disajikan sebagai bukti. Jadi, hipotesis sanggup diartikan sebagai suatu pernyataan yang masih lemah kebenarannya dan perlu dibuktikan atau dugaan yang sifatnya masih sementara (Hasan, 2003: 140). Adapun hipotesis-hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:
1... Diduga nilai tukar mempunyai efek Negatif terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia tahun 2010-2015
2... Diduga Net Ekspor mempunyai efek Negatif terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia tahun 2010-2015
3... Diduga Suku Bunga Riil mempunyai efek Negatif terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia tahun 2010-2015
4... Diduga Suku Bunga Deposito mempunyai efek Negatif terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia tahun 2010-2015
5. Diduga Suku Bunga Pinjaman mempunyai efek Negatif terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia tahun 2010-2015
6. Diduga Inflasi mempunyai efek Positif terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia tahun 2010-2015
7. Diduga mempunyai efek Positif terhadap Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia tahun 2010-2015

1.7  Sistematika Penelitian
            Penelitian Ini Mengunakan VAR dan Verctor Autoregresion, digunakan sebagai peramalan keterkaitan data time series dan untuk menganalisis efek Nilai Tukar dan Suku Bunga terhadap variabel terkait dalam model bagi perekonomian







II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  TINJAUAN TEORITIS
1.      Kebijakan moneter           
Kebijakan moneter ialah semua upaya atau tindakan Bank Sentral dalam mempengaruhi perkembangan variabel moneter (uang beredar, suku bunga, kredit dan nilai tukar) untuk  mencapai tujuan ekonomi tertentu (Mishkin, 2004: 457). Sebagai pecahan dari kebijakan ekonomi makro, maka tujuan kebijakan moneter ialah untuk mencapai sasaran-sasaran kebijakan makroekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, stabilitas harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran tersebut merupakan tujuan selesai kebijakan moneter.
Dalam kajian literatur dikenal dua jenis kebijakan moneter, yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif14. Melalui dua jenis kebijakan inilah sasaran selesai kebijakan moneter dicapai secara bersamaan akan tetapi, pengalaman banyak negara termasuk Indonesia memperlihatkan hal tersebut sulit dicapai, bahkan bersifat kontradiktif. Misalnya pada pementingan laju inflasi sanggup kuat negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Sementara itu, dalam jangka panjang kebijakan moneter bersifat netral dan hanya sanggup mempengaruhi harga, oleh lantaran itu dalam Undang – Undang bank sentral ada kecenderungan bahwa sasaran selesai kebijakan moneter ialah stabilisasi harga.
Idealnya, semua sasaran selesai kebijakan moneter sanggup dicapai secara simultan dan berkelanjutan. Namun, pengalaman di banyak negara memperlihatkan bahwa hal yang dimaksud sulit dicapai, bahkan ada kecenderungan bersifat kontradiktif. Misalnya kebijakan moneter yang kontraktif untuk menekan laju inflasi sanggup kuat negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengalaman empiris memperlihatkan bahwa perekonomian memburuk lantaran kebijakan moneternya bertujuan ganda.Untuk alasan ini, secara umum dikuasai Bank Sentral termasuk BI fokus pada sasaran tunggal yaitu mencapai dan memelihara inflasi yang rendah dan stabil.

2.      Kerangka operasi kebijakan moneter

1.      Instrument-instrumen moneter
Instrumen pengendalian moneter merupakan alat-alat operasi moneter yang sanggup dipakai oleh Bank Sentral dalam mewujudkan tujuan selesai yang telah ditetapkan (Solikin dan Suseno, 2002: 26) (Ascarya, 2002:51). Instrumen-instrumen kebijakan moneter terdiri dari:
(1). Operasi Pasar Terbuka (OPT),
(2). Tingkat Bunga Diskonto,
(3). Giro Wajib Minimum (Reserve requirement),
(4). Himbauan Moral. 

a.       Operasi pasar terbuka
kebijakan ini merupakan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah dengan cara menjual atau membeli surat – surat berharga ibarat obligasi dari dan kepada masyarakat melalui bank
bank umum (commercial bank).
b.      Tingkat bunga diskonto
kebijakan bank sentral untuk mengatur tingkat bunga yang harus dibayar oleh bank umum dalam hal meminjam dana dari bank sentral. Dengan menaikkan diskonto, maka biaya meminjam dana dari bank sentral akan naik sehingga akan mengurangi impian bank untuk meminjam, kesudahannya jumlah uang beredar sanggup ditekan.
c.       Giro wajib minimum
merupakan kebijakan yang ditujukan pada pihak perbankan dan wajib dipenuhi menurut hukum bank sentral untuk menaikkan atau menurunkan cadangan minimumnya. Dengan mempengaruhi cadangan minimum, bank sentral sanggup mengontrol jumlah uang beredar dan besarnya money multiplier. Jika Bank Indonesia meningkatkan rasio cadangan minimum berarti akan terjadi penurunan pada jumlah deposito yang sanggup didukung oleh uang primer sehingga jumlah uang beredar akan berkurang. Sebaliknya, bila bank sentral menurunkan rasio cadangan minimum, maka jumlah uang beredar akan meningkat.
d.      Himbauan moral
himbauan moral ialah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya ibarat menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati – hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau semoga bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

2.        Sasaran operasional
Sasaran operasional merupakan sasaran yang ingin segera yang dicapai oleh Bank Sentral dalam operasi moneternya. Variabel sasaran operasional dipakai untuk mengarahkan tercapainya sasaran antara. Kriteria sasaran operasional antara lain: (1). Dipilih dari variabel moneter yang mempunyai korelasi yang stabil dengan sasaran antara, (2). Dapat dikendalikan oleh Bank Sentral, (3). Akurat dan tidak sering direvisi

3.   Sasaran antara
Hubungan antara sasaran operasional dan sasaran selesai kebijakan moneter bersifat tidak pribadi dan kompleks serta membutuhkan time lag yang panjang. Untuk alasan itu, para hebat moneter dan praktisi Bank Sentral mendesain simple rule  untuk membantu pelaksanaan kebijakan moneter dengan cara menambahkan indikator yang disebut sebagai sasaran antara.
Sasaran tersebut merupakan indikator untuk menilai kinerja keberhasilan kebijakan moneter, sasaran ini dipilih dari varibel-variabel yang mempunyai keterkaitan stabil dengan sasaran akhir, cakupannya luas, sanggup dikendalikan oleh bank sentral, tersedia relatif cepat, akurat dan tidak sering direvisi. Variabel sasaran antara meliputi:: agregat moneter (M1dan  M2), kredit perbankan dan nilai tukar

4.      Sasaran akhir
Sasaran selesai kebijakan moneter yang ingin dicapai oleh Bank Sentral tergantung pada tujuan yang dimandatkan oleh UU bank sentral suatu negara. Tujuan selesai kebijakan moneter di Indonesia mengacu pada Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2004 yang  secara eksplisit mencantumkan bahwa tujuan selesai kebijakan moneter ialah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah (stabilitas moneter).

5.      Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam mempengaruhi output perekonomian (pertumbuhan ekonomi dan inflasi) hingga ketika ini masih menjadi fokus perhatian, mengingat banyak jalur yang perlu diperhatikan. Apabila mengikuti alur pemikiran anutan Monetarist maka sanggup memakai besaranbesaran moneter atau jumlah uang beredar sebagai sasaran antara (biasanya M1 atau M2) maupun sasaran operasional (biasanya M0 atau komponennya). Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan quantity targeting. Dalam pandangan anutan ini, variabel uang dan perputaran uang (velocity of money) mempunyai keterkaitan yang stabil dengan aktivitas ekonomi dan laju inflasi. Bank sentral cukup mengendalikan laju pertumbuhan uang beredar yang besarnya konsisten dengan sasaran laju inflasi yang diinginkan. Perkembangan suku bunga dengan demikian ditentukan oleh prosedur pasar yang naik turunnya mengikuti perubahan jumlah uang beredar yang ditetapkan oleh bank sentral. Bila mengikuti anutan Keynesian maka uang beredar intinya tidak sanggup sepenuhnya dikendalikan oleh bank sentral. Perubahan atas undangan uang didasarkan kepada motif masyarakat untuk memegang uang yang dalam hal ini antara lain dipengaruhi oleh perkembangan suku bunga. Oleh lantaran itu, bank sentral harus mengendalikan suku bunga untuk mengendalikan pertumbuhan uang beredar semoga terjadi keseimbangan antara undangan dan penawarannya. Apabila situasi keseimbangan di pasar uang sanggup dipelihara maka tidak akan terjadi tekanantekanan terhadap kenaikan harga. Pendekatan ini sering disebut dengan price targeting.
Satu hal yang perlu dikemukakan ialah bahwa kedua pendekatan tersebut intinya percaya kepada adanya suatu jalur prosedur transmisi efek kebijakan moneter kepada sasaran akhir, contohnya inflasi, yang relatif stabil dan sanggup diprediksi dengan baik. Namun pandangan ini dalam praktik tentu saja tidak sepenuhnya benar.
Dalam kenyataannya, prosedur transmisi kebijakan moneter merupakan
proses yang kompleks maka dalam teori ekonomi moneter sering disebut dengan black box yang intinya diketahui bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi sasaran makroekonomi ibarat inflasi, tapi tidak diketahui secara niscaya bagaimana pergerakan kebijakan moneter hingga pada sasaran selesai tersebut.

1.      MTKM jalur nilai tukar
transmisi kebijakan moneter jalur nilai tukar melibatkan efek suku bunga riil, misalkan suku bunga riil dalam negeri turun, maka aset dalam negeri kurang menarik relatif terhadap aset dengan denominasi mata uang asing. Akibatnya, nilai tukar domestik terdepresiasi. Hal ini mengakibatkan naiknya net ekspor jawaban harga – harga dalam negeri menjadi lebih murah dibandingkan dengan luar negeri yang meningkatkan ekspor. Kenaikan net ekspor pada akhirnya bisa meningkatkan output dan mendorong tingkat harga.
Efektivitas kebijakan moneter dalam ekonomi terbuka sangat dipengaruhi oleh sistem nilai tukar yang digunakan. Dalam perekonomian terbuka dengan tingkat mobilitas modal yang tinggi, kebijakan moneter dalam floating exchange rate system akan lebih efektif dibandingkan dengan fixed exchange rate system.
Semakin efektifnya kebijakan moneter tersebut terkait dengan prosedur pembiasaan otomatis dari perubahan nilai tukar yang dimiliki oleh floating exchange rate system terhadap tingkat mobilitas arus modal dari dan ke luar negeri. Kondisi tersebut berbeda dengan fixed exchange rate system; nilai tukar relatif tetap sehingga tidak terdapat pembiasaan otomatis.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar merupakan konsekuensi dari suatu sistem perekonomian terbuka. Dalam jalur ini yang ditekankan ialah peranan nilai tukar terhadap terwujudnya sasaran selesai kebijakan moneter, sehingga disebut jalur nilai tukar. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat lantaran perubahan suku bunga akan segera direspon dengan perubahan nilai tukar. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat kuat pada kecepatan transmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat resiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan BI Rate biasanya sangat lambat.
2.      MTKM melalui jalur suku bunga
Pada awalnya pelaksanaan kebijakan moneter hanya ditransmisikan melalui Jalur Uang (money channel). Tapi, seiring dengan kemajuan di bidang ekonomi dan keuangan serta perubahan struktural dalam perekonomian, maka jalur-jalur MTKM bermetamorfosis enam jalur, salah satu di antaranya ialah Jalur Suku Bunga MTKM melalui Jalur Suku Bunga menekankan peranan perubahan struktur suku bunga di sektor keuangan. Pengaruh perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan kepada suku bunga menengah/panjang yang selanjutnya mempengaruhi undangan dan pada akhirnya kuat terhadap inflasi.
Kebijakan moneter yang ditransmiskan melalui Jalur Suku Bunga sanggup dijelaskan dalam dua tahap: 
Pertama, transmisi di sektor keuangan (moneter). Perubahan kebijakan moneter berawal dari perubahan instrumen moneter (rSBI) akan kuat terhadap perkembangan suku bunga PUAB, suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Proses transmisi ini memerlukan tenggat waktu (time lag) tertentu.
Kedua, transmisi dari sektor keuangan ke sektor riil tergantung pada pengaruhnya terhadap konsumsi dan investasi. Pengaruh suku bunga terhadap  konsumsi terjadi lantaran suku bunga deposito merupakan komponen dari pendapatan masyarakat (income effect) dan suku bunga kredit sebagai pembiayaan konsumsi (substitution effect). Sedangkan efek suku bunga terhadap investasi terjadi lantaran suku bunga kredit merupakan komponen biaya modal.
Pengaruh suku bunga terhadap konsumsi dan investasi selanjutnya akan berdampak pada jumlah undangan agregat. Jika peningkatan undangan agregat tidak dibarengi dengan peningkatan penawaran agregat, maka akan terjadi output gap (OG). Tekanan OG akan kuat terhadap tingkat inflasi. Mengacu pada klarifikasi di atas, maka sanggup dikatakan bahwa inflasi yang terjadi melalui jalur ini ialah inflasi jawaban tekanan undangan (demand pull-inflation).

6.      Indikator Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Efektivitas MTKM diukur dengan dua indikator, yaitu:
(1).   Berapa kecepatan atau tenggat waktu (time lag) dan
(2). Kekuatan variabel-variabel pada jalur tranmsisi moneter dalam merespons shock rSBI hingga terwujudnya sasaran akhir.
Indikator kecepatan diukur dari berapa time lag yang dibutuhkan oleh variabel-variabel dalam suatu jalur untuk merespons shock instrumen kebijakan hingga  tercapainya sasaran selesai (inflasi).
Indikator kekuatan variabel dalam merespons shock suatu variabel diukur dengan order of magnitude. Jika order of magnitude suatu variabel semakin lebar (jauh dari titik keseimbangan), maka semakin kuat variabel tersebut merespons shock instrumen moneter atau perubahan variabel lainnya. Indikator untuk kekuatan respons juga sanggup dilihat dari Uji VD.

2.2  Tinjaun Empiris
Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, baik jurnal ataupun literatur lainya, berikat ini sumber acuan dari penelitian ini yaitu tertera dalam table di bawah.
No
Penulis
judul
variabel
Hasil
1
Dr. M. Natsir, SE.MSI
Analisis empiris prosedur kebijakan moneter di Indonesia melalui nilai tukar periode 1990:2-2007:1
Inflasi, kurs, capital inflow, output gap, aoutput gap, paritas suku bunga, suku bunga SBI
Kebijakan moneter melalui nilai tukar bekerja efektif dengan selisih waktu sekitar 16 triwulanan.
2
Dr. M. Natsir, SE.MSI
Peranan jalur suku bunga dalam prosedur transmisi kebijakan menoeter di indonesia
Inflasi, suku bunga SBI, suku bunga pasar uang antar bank, suku bunga deposito, output gap, suku bunga kredit
Efektif dengan sasaran selesai 10 triwulanan.









III
METODE PENELITIAN

3.1  Ruang lingkup penelitian
Penelitian ini membahas perbandingan peranan jalur suku bunga dan jalur nilai tukar pada prosedur transmisi kebijakan moneter di Indonesia. inflasi sebagai sasaran selesai kebijakan  moneter di Indonesia. Sedangkan variabel transmisi yang dipakai digunakan dalam penelitian ini yaitu terbagi menjadi dua penggolongan yakni variable untuk jalur suku bunga dan variable untuk jalur nilai tukar, varuabel jalur suku bunga yaitu; suku bunga deposito, suku bunga pinjaman, suku bung aril, inflasi, dan GDP. Sedangkan variable jalur nilai tukar; nilai tukar, net ekspor, suku bung aril, inflasi, dan GDP. Tahun periode yag dipakai dalam penelitian ini yaitu jtriwulan I 2005 – triwulan IV 2016.

3.2  Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini ialah data sekunder berupa data time series triwulan. Desain / rancangan penelitian bersifat kuantitatif, yaitu data dipaparkan dalam bentuk angka (numeric). Adapun sumber data penelitian diperoleh dari Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik.

3.3  Definisi Operasional Variable
Adapun variable yang dipakai dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
a.       Jalur suku bunga
Lambang
Variable
Nama variable
Definisi
Sumber
SBD
Suku bunga deposito
adalah tingkat suku bunga yang berlaku pada deposito bank umum dengan jangka  waktu satu tahun
Bank Indonesia
SBP
Suku bunga pinjaman
adalah tingkat suku bunga yang diberlakukan oleh perbankan di  Indonesia
Bank Indonesia
SR
Suku bunga ril
adalah selisih antara suku bunga dalam negeri dengan suku bunga internasional yaitu suku bunga AS
Bank Indonesia
INF
Inflasi
adalah jenis inflasi yang  diukur dari indeks harga konsumen dari tahun 2005 hingga tahun 2016
Bank Indonesia
PDB
Produk domestic bruto
mengukur seluruh volume produksi Indonesia
Badan pusat statistic

b.      Jalur nilai tukar
Lambang
Variable
Nama variable
Definisi
Sumber
NT
Nilai tukar
yang dipakai dalam penelitian ini ialah kurs rupiah terhadap dolar
Bank Indonesia
NXP
Net ekpor
adalah jumlah ekspor dikurangi impor periode 2005 - 2016
Badan pusat statistic
SBR
Suku bunga ril
adalah selisih antara suku bunga dalam negeri dengan suku bunga internasional yaitu suku bunga AS
Bank Indonesia
INF
Inflasi
adalah jenis inflasi yang  diukur dari indeks harga konsumen dari tahun 2005 hingga tahun 2016
Bank Indonesia
PDB
Produk domestic bruto
mengukur seluruh volume produksi Indonesia
Badan pusat statistic


3.4  Metode Analisis
penggunaan model VAR (Variant Auto Regression) dimaksudkan untuk melihat kesesuaian teori dengan kondisi Indonesia dan melihat jalur transmisi kebijakan moneter yang relatif paling baik diantara jalur suku bunga dan nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Hasil pengujian diharapkan sanggup membantu pengambilan keputusan untuk lebih memperhatikan jalur yang menawarkan donasi besar terhadap pembentukan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana tercermin dari pertumbuhan PDB menurut harga konstan dan Inflasi menurut pergerakan IHK.
Untuk melihat korelasi antara variabel di dalam VAR dibutuhkan sejumlah kelambanan variabel yang ada (variabel jeda). Kelambanan variabel diharapkan untuk menangkap imbas dari variabel tersebut terhadap variabel yang lain di dalam model. Model VAR ialah model linier sehingga tidak perlu mengkhawatirkan bentuk model dan model VAR gampang diestimasi dengan memakai metode OLS.

Analisis yang akan dipakai dalam analisis pembahasan ini ialah analisis Impulse Response, mengingat secara individual koefisien di dalam model VAR sulit diinterpretasikan maka para hebat ekonometrika memakai analisis Impulse Response. Analisis Impulse Response melacak respon dari variabel endogen di dalam sistem VAR lantaran adanya goncangan (shocks) atau perubahan di dalam variabel gangguan (e). Dengan demikian melalui Analisis Impulse Response sanggup dapat dilihat imbas gejolak (shock) suatu standar deviasi dari variabel penemuan terhadap nilai kini (current time values)  dan nilai yang akan tiba (future values) dari variabel-variabel endogen yang terdapat dalam model yang diamati.

Meskipun model VAR mempunyai analisis penting namun dalam prakteknya juga mempunyai keterbatasan. Sebagaimana diketahui, pada umumnya model ekonometrika dibangun  menurut model persamaan tunggal atau persamaan ganda yaitu lebih dari satu persamaan yang disebut dengan persamaan struktural atau teoritis. Disebut persamaan struktural lantaran korelasi variabel di dalam persamaan dibuat atas dasar teori ekonomi. Hasil estimasi persamaan struktural akan menyediakan warta numerik dan sekaligus alat uji kepada teori. Sementara VAR diperkenalkan dengan pertimbangan meminimalkan pendekatan teori sehingga dikenal dengan model non struktural atau merupakan model tidak teoritis. Disamping itu, hasil estimasi seringkali tidak memuaskan apabila dilihat dari uji t. Kelambanan variabel endogen di dalam sistem VAR kemungkinan tidak signifikan secara statistik. Selain itu secara individual koefisien di dalam model VAR sulit diinterpretasikan sehingga uji estimasi tidak sanggup dipergunakan.

Secara umum model VAR dengan n variabel endogen sanggup ditulis sebagai berikut :

Ynt = β01 + ∑βi2 Y1t-i +  ∑αi2 Y2t-i + ...... + ∑δin Ynt-i + еnt …. (1)

Mengingat model VAR sanggup memakai lebih dari dua variabel 2 (dua) endogen sebagaimana membandingkan efek transmisi kebijakan moneter melalui Suku Bunga yang melibatkan 5 (lima) variabel endogen yaitu suku bunga deposito, suku bunga pinjaman, suku bunga ril, inflasi, dan PDB, maka  modelnya sanggup ditulis sebagai berikut :

PINFLt = β01 + ∑βi1 INFLt-i +  ∑αi1 SBDt-i +  ∑γi1 SBPt-i + ∑θi1 SRt-i + ∑σi1 PDBt-i + е1t  

PSBDt = β02 + ∑βi2 SBDt-i +  ∑αi2 INFLt-i +  ∑γi2 SBPt-i + ∑θi2 SRt-i + ∑σi2 PDBt-i + е2t

PSBPt = β02 + ∑βi2 SBPt-i +  ∑αi2 INFLt-i +  ∑γi2 SBDt-i + ∑θi2 SRt-i + ∑σi2 PDBt-i + е2t

PSRt = β02 + ∑βi2 SRt-i +  ∑αi2 INFLt-i +  ∑γi2 SBDt-i + ∑θi2 SBPt-i + ∑σi2 PDBt-i + е2t

PPDBt = β02 + ∑βi2 PDBt-i +  ∑αi2 INFLt-i +  ∑γi2 SBDt-i + ∑θi2 SBPt-i + ∑σi2 SRt-i + е2t

Dimana, 
INFL   = Inflasi
PDB    = Pertumbuhan ekonomi
SBD    = suku bunga deposito
SBp     = Suku Bunga sumbangan
SR       = suku bunga ril

Sebagaimana terlihat dari model persamaan VAR di atas, terlihat bahwa model VAR persamaan memakai persamaan regresi menurut data time series. Permasalahan yang mucul terkait dengan penggunaan data time series ialah berkaitan dengan permasalahan stasionaritas data dan kointegrasi antar variabel.

Langkah awal untuk mengestimasi model VAR  ialah melaksanakan uji stasionaritas data. Uji stasionaritas data dilakukan dengan memakai uji akar unit ADF (Augmented Dickey-Fuller) atau PP (Philips-Perron) yang hasilnya sangat dipengaruhi oleh panjangnya kelambanan. Panjangnya kelambanan  uji akar unit ADF dan PP  bisa dilakukan melalui kriteria dari Akaike Information Criterion (AIC) maupun Schawarz Information Criterion (AIC) maupun Schawarz Information (SIC). Jika data ialah stasioner pada tingkat level maka model VAR biasa disebut dengan model VAR biasa (unrestricted VAR). Sebaliknya seandainya data tidak stasioner pada level tetapi stasioner pada diferensi data, maka perlu dilakukan pengujian apakah data mempunyai korelasi dalam jangka panjang atau tidak dengan melaksanakan uji kointegrasi. Apabila terjadi kointegrasi maka model disebut dengan Vector Error Correction Model (VECM). Model VECM merupakan model yang terestriksi (restricted VAR) lantaran adanya kointegrasi yang memperlihatkan adanya korelasi jangka panjang antar variabel di dalam sistem VAR. Seandainya tidak terjadi kointegrasi pada proses diferensi disebut dengan model VAR dengan data diferensi (VAR in difference).

3.4.1  Uji stasioneritas
Uji stasioneritas dimaksudkan untuk melihat apakah contoh data atau variabel yang diteliti mempunyai contoh yang cenderung stabil / pergerakan yang konstan atau tidak. Seringkali dalam bidang ekonomi, data time series bersifat tidak stasioner menjadikan hasil regresi menjadi kurang meyakinkan atau biasa disebut regresi lancung (spurious regression). Untuk itu penting dilakukan uji stasioneritas, terlebih metode VAR memang mensyaratkan bahwa semua variabel harus bersifat stasioner untuk penentuan metode VAR yang digunakan.
Uji stasioneritas terbagi lagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu tingkat level dan diferensi. Data yang stasioner pada tingkat level berarti data awal yang diuji stasioneritasnya sudah stasioner, sedangkan data yang belum stasioner memakai data awal, dilanjutkan pada uji stasioneritas tingkat diferensi.
Pada tingkat diferensi ini yang diuji stasioneritasnya bukan lagi data awal, namun data perubahan dari waktu ke waktu selama periode penelitian atau selisih setiap periode (Xt – Xt-1).
Pada penelitian ini penulis memakai uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk menguji stasioneritas variabel – variabel yang digunakan. Apabila variabel tidak stasioner pada tingkat level, maka perlu dilanjutkan uji stasioneritas pada tingkat diferensi hingga semua variabel stasioner. Syarat yang harus dipenuhi pada uji stasioneritas ialah t-statistic ADF < Critical Value 1% atau 5% atau 10% untuk dikatakan stasioner.

3.4.2  Uji lag
Penentuan lag optimal merupakan pecahan penting dalam metode ini karena, dengan memilih lag yang optimal sanggup menawarkan warta
sampai lag berapa kira – kira terdapat keterkaitan antar variabel penelitian, atau sanggup pula dikatakan penentuan lag ini sanggup memperlihatkan model estimasi yang tepat.

3.4.3  Uji kointegrasi
Uji kointegrasi dilakukan dengan melihat apakah residual dalam regresi persamaan merupakan data statisioner. Untuk itu perlu dilakukan terlebih dahulu regresi persamaan untuk memperoleh residualnya. Langkah berikutnya melaksanakan uji akar unit terhadap residualnya untuk mengetahui statisioner data sanggup dilakukan dengan memakai DW maupun PP.

3.4.4  Impulse Responce Function (IRF)
Impulse Respon Function (IRF) dalam VAR dipakai untuk memperlihatkan respon dari variabel – variabel yang diteliti, jawaban adanya shock atau perubahan dalam variabel itu sendiri maupun variabel lainnya pada model VAR sepanjang waktu penelitian. Respon yang ditunjukkan pada IRF sanggup dilihat melalui grafik dan tabel, apakah hasilnya mengalami kenaikan atau penurunan atau hampir tidak ada respon yang dihasilkan dalam bentuk persentase.

3.5.5  Variance Decomposition (VD)

Variance Decomposition (VD) atau disebut juga The Cholesky Decomposition menawarkan warta mengenai variabel yang relatif lebih penting dalam VECM92. VD merupakan analisis VECM yang juga sanggup memperlihatkan contoh dinamis pada VECM, hanya saja VD bukan melihat respon dari variable - variabel jawaban shock. Namun, VD melalui tabel atau grafik yang dihasilkan fokus pada memperlihatkan donasi persentase relatif pentingnya variable - variabel yang mengalami shock atau perubahan terhadap perubahan variabel itu sendiri atau variable - variabel lainnya dalam VECM sepanjang waktu penelitian.

Sumber http://defantri.blogspot.com

0 Response to "Analisis Perbandingan Peranan Jalur Suku Bunga Dan Jalur Nilai Tukar Pada Prosedur Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia 2005-2014"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel