iklan banner

✔ Pola Semantik Dan Jenis-Jenisnya

PENGERTIAN SEMANTIK


Secara etimologis, istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari kata semantic dalam bahasa Inggris. Istilah tersebut muncul dan diperkenalkan oleh Organisasi Filologi Amerika (American Philological Association) pada tahun 1984. Kata semantic atau semantique dalam bahasa Prancis, intinya berasal dari kata sema yaitu nomina dalam bahasa Yunani yang berarti “tanda” atau “lambang” dan semaino yaitu verba dalam bahasa Yunani yang berarti “menandai” atau “melambangkan”.


semantik sanggup didefinisikan sebagai bidang linguistik yang mengkaji arti bahasa. Hal ini sanggup difahami dari definisi yang dikemukakan oleh Crystal (2008: 428) dalam A Dictionary of Linguistics and Phonetics, yaitu bahwa semantik yaitu : “a major branch of linguistics devoted to the study of meaning in language”. Adapun definisi yang lebih lengkap deikemukakan oleh Griffiths (2006: 1) “study of the toolkit for meaning : knowledge encoded in the vocabulary of the language and in its patterns for building more elaborate meanings, up to the level of sentence meaning” (Kajian terhadap perangkat arti : pengetahuan yang tersandikan dalam kosakata bahasa dan bagaimana kata tersebut dipakai dalam membentuk arti yang lebih luas hingga pada tingkatan kalimat).[1]


 


ASPEK MAKNA UJARAN


Berbahasa merupakan suatu aktivitas yang bermaksud memberikan makna oleh penutur kepada pendengar melalui satu atau serangkaian ujaran. Proses berbahasa dikatakan baik apabila makna yang dikirimkan penutur sanggup diresepsi oleh pendengar persis menyerupai yang dimaksudkan oleh penutur.


 istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari kata semantic dalam bahasa Inggris ✔ contoh semantik dan jenis-jenisnya


Berbeda dengan proses berbahasa dikatakan tidak berjalan dengan baik apabila makna yang


dikirim penutur diresepsi atau dipahami pendengar tidak sesuai dengan yang dikehendaki penutur.


Ketidak sesuaian bisa disebabkan oleh faktor penutur yang bodoh dalam memperoduksi ujaran, faktor pendengar yang kurang bisa meresepsi ujaran itu, faktor lingkungan sewaktu ujaran.


Suatu ujaran sanggup dipahami dengan baik oleh pendengar apabila penutur sanggup menciptakan enkode semantik, enkode gramatika, dan enkode fonologi dengan baik, dan pihak pendengar sanggup mendekode fonologi, mendekode gramatika, dan mendekode semantik dari ujaran yang dikirimkan penutur itu dengan baik juga. Lingkungan kawasan ujaran itu berlangsung juga bersifat kondusif.


1. Hakikat Makna Ujaran

Dua bidang kajian perihal makna, yaitu semantik dan semiotik. Keduanya sama-sama meneliti atau mengkaji perihal makna.  Bedanya, semantik khusus mengkaji makna bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia, sedangkan semiotik mengkaji semua makna yang ada dalam kehidupan insan menyerupai makna-makna yag dikandung oleh banyak sekali tanda dan lambang serta isyarat-isyarat lainnya.


Bahasa bergotong-royong tidak lain dari pada salah satu sistem lambang (Chaer, 1994: Verhaar, 1997), semantik bisa dikatakan cuilan dari kajian semiotik. Suatu ujaran tidak bisa dipahami hanya dari kajian semantik, tetapi dibantu oleh kajian semiotik, menyerupai pemahaman mengenai gerak-gerik badan dan anggota tubuh, serta mimik.


 istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari kata semantic dalam bahasa Inggris ✔ contoh semantik dan jenis-jenisnya


Dalam kajian semantik banyak sekali teori telah diberikan oleh para pakar mengenai makna itu. Richard dan Ogden (1972, cetakan pertama 1923) mengemukakan adanya 16 pengetian perihal makna, Alston (1972) adanya tiga teori tradisional perihal makna, dan Lyons (1981) adanya enam teori perihal makna, Verhaar (1978) mendasarkan pada teori signe linguistique dari Ferdinand de Saussere (1916) bahwa makna yaitu tanda-tanda internal bahasa.


Teori Verhaar (1978) mengenai makna semata-mata berdasarakan tanda-tanda internal bahasa bisa diterima. Namun, makna bahasa sebagai alat komunikasi sosial-verbal banya tergantung pada faktor-faktor lain di luar bahasa.


Untuk sanggup memahami makna sebuah ujaran faktor yang harus diperhatikan menyerupai faktor sosial, faktor psikologi, dan faktor budaya. Dalam semantik tercermin pada yang disebut tingkatan makna, yakni makna leksikal dan idiomatikal, makna gramatikal, dan makna kontekstual. Ketiga tingkatan makna itu muncul dalam setiap proses berbahasa.


2. Makna Leksikal

Leksikal yaitu bentuk ajektifa dari nomina leksikon, yang berasal dari leksem. Dalam kajian morfologi leksem lazim diartikan sebagai bentuk dasar yang mengalami proses gramatikalisasi akan menjadi kata (Kridalaksana, 1989). Dalam kajian semantik leksem lazim diartikan sebagai satuan bahasa yang mempunyai satu makna atau satu pengertian.


Jadi, makna leksikal yaitu makna yang secara inheren dimiliki oleh sebuah leksem. Dapat juga diartikan sebagai makna kata secara lepas, di luar konteks kalimatnya. Terutama yang berupa kata didalam kamus biasanya didaftarkan sebagai makna pertama dari kata atau entri yang terdaftar dalam kamus itu.


Misalnya, “bagian badan dari leher ke atas” yaitu makna leksikal dari kata kepala”, sedangkan makna “ketua” atau “pemimpian” bukanlah makna leksikal, alasannya yaitu untuk menyatakan makna “ketua” atau pemimpin kata kepala itu harus bergabung dengan unsur lain, menyerupai dalam frase kepala sekolah atau kepala kantor.


Tahap pertama untuk bisa meresapi makna suatu ujaran yaitu memahami makna leksikal setiap butir leksikal (kata, leksem) yang dipakai di dalam ujaran itu. Kasus didalam studi semantik yang menyangkut makna leksikal:


Kasus kesamaan makna kesinoniman, setiap bahasa ada sejumlah kata yang mempunyai kesamaan makna.


Dalam semantik lazim disebut dengan istilah sinonim, sinonimi, atau kesinoniman. Kasus kesinoniman bisa menjadi duduk perkara dalam meresepsi makna suatu ujaran lantaran menyerupai kata Verhaar (1978: Chaer, 1990) dua buah kata yang bersinonim maknanya hanya kurang lebih sama, tidak persis sama.


Ketidak persisan makna di antara kata-kata yang bersinonim yaitu lantaran ada kaidah umum dalam kajian semantik bahwa bila bentuk (kata, leksem) berbeda maka maknanya pun akan berbeda, meskipun perbedaannya hanya sedikit (Verhaar, 1978: Chaer, 1990, 1995).


Ketidak persisan itu yang menimbulkan dua buah kata yang bersinonim tidak sanggup dipertukarkan, bisa disebabkan oleh: faktor areal,  faktor sosial, faktor temporal, faktor bidang kegiatan, dan faktor fitur semantik.


Kasus kebalikan makna atau keantoniman,Keantoniman diartikan sebagai keadaan dua butir leksikal (kata, leksem) yang maknanya bertentangan, berkebalikan, atau berkontras. Keantoniman dianggap sebagai kebalikan keadaan berpola menyerupai pembeli →bukan pembeli dan jelek →tidak buruk.


Verhaar (1978) bahwa dua kata yang berantonim mempunyai makna yang dianggap kebalikan yang satu dari yang lain. Kasus keantoniman dibedakan antara beberapa tipe keantoniman: keantoniman mutlak, keantoniman antara dua kata atau leksem yang maknanya saling meniadakan (Misalnya keantoniman antara kata gerak dan diam).


Keantoniman relatif, keantoniman antara dua kata atau leksem yang kontradiksi maknanya bersifat relatif, tidak mutlak (Misalnya keantoniman antara kata baik dan buruk. Sesuatu yang disebut baik belum tentu buruk, dan sesuatu yang jelek belum tentu baik).


Keantoniman relasional, keantoniman antara dua kata atau leksem yang maknanya saling melengkapi, dalam arti adanya sesuatu lantaran adanya yang lain (Misalnya keantoniman antara kata suami dan istri. Adanya suami yaitu lantaran mempunyai istri).


Keantoniman hierarkial, keantoniman antara dua kata atau leksem yang maknanya menyatakan jenjang urutan dan ukuran, nilai, timbangan, atau kepangkatan (Misalnya keantoniman antara kata tamtama dengan bintara, prajurit dengan opsir, gram dengan kilogram, dan meter dengan kilometer).


Keantoniman ganda, keantoniman sebuah kata dengan pasangan yang lebih dari satu. (Misalnya kata membisu bisa berantonim dengan kata bergerak, berbicara, dan bekerja).


Kasus ketercakupan makna atau kehiponoman dan kebalikannya, kehiperniman.Kehiponiman diartikan sebagai keadaan sebuah kata yang maknanya tercakup atau berada dibawah makna kata yang lain (Misalnya kata merpati yang maknanya tercakup didalam makna kata burung.


Merpati memang burung, tetapi burung bukan hanya merpati, bisa juga tekukur, gelatik, garuda, dan merak). Kasus kehiponiman dan kehiperniman mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya kata yang maknanya berada dibawah makna kata lainnya.


Konsep generik dan spesifik butir-butir leksikal dari bahasa-bahasa yang berbeda yaitu tidak sama lantaran duduk perkara semantik bahasa ini sangat berkaitan bersahabat dengan duduk perkara budaya (Larson, 1989).


Kasus kesamaan bentuk dan keperbedaan makna. Kasus kehomoniman. Kehomoniman diartikan sebagai keadaan adanya dua kata atau lebih yang ciri fisiknya persis sama dan maknanya tentu saja berbeda lantaran masing-masing merupakan identitas kata yang berlainan (Misalnya kata pacar dalam arti “kekasih” dan kata pacar dalam arti “pemerah kuku”, yaitu dua kata yang berhomonim).


Kasus kehomoniman leksikal sanggup menjadikan kesalahan reseptif pada pihak pendengar kalau pihak penutur tidak memberikan ujaran secara lengkap. Ujaran yang baik yaitu ujaran yang tidak menjadikan makna ganda.


Dalam bahasa tulis ada istilah homograf yang dipakai untuk menyebutkan adanya bentuk-bentuk kata yang tulisannya sama persis, tetapi lafalnya berbeda dan maknanya tentu juga berbeda, lantaran merupakan dua buah kata yang berbeda.


Istilah homografi sering dikotomikan dengan istilah homofoni yakni untuk meyebut adanya dua buah kata atau lebih yang lafalnya sama tetapi tulisannya berbeda.


Kata-kata yang berhomofon akan menjadikan kesalah pahaman bagi pendengar kalau penutur kurang hati-hati dalam mempresentasikan ujarannya secara lisan.


kata-kata yang berhomograf juga bisa menjadikan kesalahpahaman bagi pendengar kalau penutur kurang hati-hati dalam mempresentasikan ujarannya dalam bentuk tulis.


LEXICAL PROPERTIES


There are many different sources of information that are realized within the printed letter string of an individual word that might influence lexical access.


We will look at four aspects of word meaning and their respective roles in recognizing words in the course of reading for comprehension: morphology, word familiarity, word class, and lexical ambiguity.


Morphology, Morphemes are the smallest meaning bearing units of a word. Most long words in English composed of more than one morpheme.


One of the central questions in psycholinguistic research on morphology concerns the way in which this information is represented in the lexicon.


That is, does each complex word have its own unique lexical entry (e.g., Fowler, Napps, & Feldman, 1985) or are they represented as a root with links to possible affixes (e.g., Taft & Forster, 1976).


Word Familiarity, Word frequency effects have been demonstrated in virtually every standard measure of word recognition, including naming.


Lexical familiarity, as assessed by printed word frequency, age of acquisition (AoA), or subjective familiarity rating influences a reader’s initial processing time on a word, as measured by first fixation duration or gaze duration.


Readers spend more time on less familiar than on more familiar words of equal length (e.g., Inhoff & Rayner, 1986; Juhasz & Rayner, 2003; Rayner & Duffy, 1986; Schmauder, Morris, & Poynor, 2000; Williams & Morris, 2004).


Word Class, One way of investigating the role of word meaning in lexical access is to compare reading behavior on words that differ in the degree to which they convey semantic content.


Lexical Ambiguity, Lexically ambiguous words possess multiple meanings associated with a single orthographic form and, as such, they afford unique opportunities to examine the role of word meaning in lexical access.


The questions addressed in the lexical ambiguity resolution literature have historically been seen as central to understanding the nature of the language-processing system more generally.


In particular, much of this research has been dedicated to addressing the extent to which language processing is modular (Fodor, 1983) versus interactive (e.g., McClelland, 1987).


3. Makna Gramatikal

Makna yang “muncul” sebagai hasil suatu proses gramatikal. Yang utama yaitu proses afikasi, proses reduplikasi, proses komposisi, proses pemfrasean, dan proses pengalimatan.


 istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari kata semantic dalam bahasa Inggris ✔ contoh semantik dan jenis-jenisnya


Makna-makna gramatikal yang dihasilkan dalam proses gramatikal berkaitan bersahabat dengan fitur  makna yang dimiliki setiap butir leksikal dasar.


Fitur makna, makna setiap butir leksikal sanggup dianalisis atas fitur-fitur makna yang membentuk makna keseluruhan butuh leksikal itu sendirinya (Nida, 1995: Larson, 1989). Makna gramatikal afikasi, proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar.


Afikasi merupakan salah satu proses penting dalam pembentukan kata dan penyampaian makna, makna afiks mempunyai kaitan dengan fitur semantik bentuk dasarnya.


Makna gramatikal reduplikasi, suatu proses gramatikal dalam pembentukan kata. Gramatikal yang dimunculkan yaitu menyatakan “pluralis” atau “intensitas”. Makna gramatikal reduplikasi tidak bisa ditafsirkan pada tingkat morfologi saja, melainkan bisa ditafsirkan pada tingkatan gramatikal yang lebih tinggi yaitu pada tingkatan sintaksis.


Makna gramatikal komposisi, butir leksikal dalam setiap bahasa, termasuk bahasa indonesia, yaitu terbatas, padahal konsep-konsep yang berkembang dalam kehidupan insan selalu bertambah. Kasus kepolisemian, diartikan sebagai dimilikinya lebih dari satu makna oleh sebuah kata atau leksem. Atau dengan rumusan sederhana lazim dikatakan polisemi yaitu kata yang bermakna ganda atau mempunyai banyak makna.


4. Makna Kontekstual


Memahami suatu ujaran harus pula diketahui konteks dari terjadinya ujaran itu, atau kawasan terjadinya ujaran itu.


Konteks ujaran sanggup berupa:


(1) Konteks Intrakalimat, makna sebuah kata tergantung pada kedudukannya didalam kalimat, baik letak posisinya di dalam kalimat maupun berdasarkan kata-kata lain yang berada di depan maupun di belakangnya.


(2) Konteks Antarkalimat, ujaran dalam bentuk kalimat yang gres bisa dipahami maknanya berdasarkan hubungannya dengan makna-makna kalimat sebelum atau kalimat-kalimat sesudahnya.


(3)Konteks Situasi, yaitu kapan, di mana, dan dalam suasana apa ujaran itu diucapkan.


Ujaran Taksa

Ujaran taksa yaitu ujaran yang maknanya bisa ditafsirkan bermacam-macam. Roeskhan (1995) menyatakan salah satu alasannya yaitu terjadinya ketaksaan yaitu lantaran adanya bentu-bentuk homonim tersebut. Penyebab terjadinya ujaran taksa:


(1) Kekurangan Konteks, merupakan penyebab utama terjadinya ujaran taksa.


(2) Ketidakcermatan Struktur Gramatikal, struktur ini meliputi struktur frase, klausa, kalimat, dan wacana. Ketidakcermatan konstruksi gramatikal, bisa juga terjadi pada konstruksi yang struktur gramatikalnya berterima tetapi membuatkan kendali semantik telah menjadikan ketaksaan pada konstruksi itu.


(3)Kekurangan Tanda Baca, sanggup menimbulkan ketaksaan hanya pada bahasa ragam tulis lantaran ragam tulis tidak “mempunyai” intonasi yang diharapkan dalam bahasa lisan.


Hakikat Makna


Dalam banyak sekali kepustakaan linguisik disebutkan bidang studi linguistik yang objek penelitiannya makna bahasa yaitu SEMANTIK. Maka dari itu, sebelum berlanjut dalam pembagian makna, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu hakikat makna itu sendiri.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terdapat keterangan sebagai berikut :


“makna : arti atau maksud (suatu kata) ; mis. mengetahui lafal dan maknanya;

bermakna : berarti ; mengandung arti yang penting (dalam); berbilang, mengandung beberapa arti;

memaknakan : menandakan arti (maksud) suatu kata

dan sebagainya.”


Menurut Ferdinand de Saussure makna yaitu ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Kalau tanda-lingistik itu disamakan dengan leksem, maka berarti makna yaitu pengertian atau konsep yang dimilki oleh kata atau leksem; kalau tanda-linguistik itu disamakan identitasnya dengan morfem, maka berarti makna itu yaitu pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik yang disebut morfem dasar maupun morfem afiks.


JENIS MAKNA


Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual


1) Makna leksikal yaitu makna yang dmiliki leksem meskipun tanpa konteks apapun. Misalnya leksem ‘kuda’ mempunyai makna leksikal ‘sejenis hewan berkaki empat yang biasa dikendarai’. Dengan contoh itu sanggup dikatakan bahwa makna leksikal yaitu makna sebenarnya, makna dari hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya. Banyak orang beropini bahwa makna leksikal yaitu makna yang ada dalam kamus. Pendapat ini memang tidak salah; namun, perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan dasar, juga ada memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, menyerupai makna kias, dan makna yang terbentuk secara metaforis.


2) Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal muncul kalau terjadi proses gramatikal, menyerupai afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau menggunakan baju’. Contoh lain, proses komposisi dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna ‘bahan’ dengan dasar madura melahirkan gramatikal ‘asal’ dengan dasar pak kumis melahirkan ramatikal ‘buatan’. Sintaksisasi kata-kata adik, menendang, dan bola menjadi kalimat Adik menendang bola melahirkan gramatikal : adik bermakna ‘pelaku’, menendang bermakna ‘aktif’, dan bola bermakna ‘sasaran’.


Simak juga artikel tentang TEKS PIDATO TENTANG DISIPLIN KUNCI KESUKSESAN


3) Makna kontekstual yaitu makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Misalnya, makna kata ‘jatuh’ menyerupai contoh berikut :

Ø Adik jatuh dari sepeda.

Ø Dia jatuh dalam ujian yang lalu.

Ø Dia jatuh cinta pada adikku.

Ø Kalau harganya jatuh lagi, kita akan bangkrut.

Makna konteks juga sanggup berkenaan dengan situasinya yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Perhatikan contoh berikut :

· Tiga kali empat berapa ?

apabila dilontarkan di depan anak SD sewaktu pelajaran matematika berlangsung, tentu akan dijawab “dua belas” dan kalau jawabannya selain itu tentu salah. Namun, apabila pertanyaan itu dilontarkan saat kita ingin mencetak foto di tukang foto, mungkin akan dijawab “dua ribu” atau mungkin juga “tiga ribu” atau mungkin juga yang lainnya. Mengapa demikian? Sebab pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pasfoto yang berukuran 3×4 cm.


Makna Referensial dan Non-referensial

1) Makna referensial yakni sebuah leksem yang mempunyai referensnya, atau acuannya. Seperti leksem kuda, merah, dan gambar lantaran mempunyai referensnya dalam dunia nyata.

2) Sebaliknya dengan makna non-referensial yang tidak mempunyai referens dalam dunia faktual menyerupai dan, atau, dan karena.


Makna Denotatif dan Konotatif

1) Makna denotatif yaitu makna asli, makna asal, atau makna bergotong-royong yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif bergotong-royong sama dengan makna leksikal. Umpamanya kata babi bermakna denotatif ‘sejenis hewan yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya’.

2) Makna konotatif yaitu makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif tadi yang berafiliasi dengan nilai rasa dari orang atau kelompok yang menggunakan kata tersebut. Seperti contoh diatas, saat kata babi dilontarkan di depan orang yang beragama islam atau di dalam masysarakat islam mepunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak yummy bila mendengar kata itu.


Makna Konseptual dan Asosiatif

1) Makna konseptual yaitu makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata ‘kuda’ mempunyai makna konseptual ‘sejenis hewan berkaki empat yang bisa dikendarai’. Jadi, sesungguhnya makna konseptual sama saja dengan makna leksikal, makna denotasi, dan makna referensial.

2) Makna asosiatif yaitu makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya korelasi kata itu dengan sesuatu diluar bahasa. Misalnya kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian. Maka merah berasosiasi dengan kata ‘berani’ atau juga ‘paham komunis’. Makna asosiatif ini bergotong-royong sama dengan lambang atau perlambang yang dipakai oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada dalam konsep asal kata atau leksem tersebut.


Makna Kata dan Istilah

Setiap kata atau leksem niscaya mempunyai makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata yaitu leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu gres menjadi terperinci kalau kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata ‘jatuh’ sebelum kata itu berada dalam konteksnya menyerupai yang terdapat dalam contoh makna kontekstual.

Berbeda dengan makna kata, makna istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak mewaspadai meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh lantaran itu, istilah sering disebut bebas konteks, sedangkan kata terikat dengan konteks. Yang perlu diingat yaitu makna istilah hanya dipakai pada bidang keilmuan atau aktivitas tertentu. Umpamanya kata ‘tangan’ dengan ‘lengan’. Kedua kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna cuilan dari pergelangan hingga jari tangan; sedangkan lengan yaitu cuilan dari pergelangan tangan hingga pangkal bahu. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidaklah bersinonim.


Makna Idiom dan Peribahasa

Idiom yaitu satu ujaran yang maknanya tidak sanggup “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal. Perhatikan contoh berikut!

ü Makna gramatikal

· Menjual sepeda yang menjual mendapatkan uang, dan

yang membeli mendapatkan sepeda

ü Makna idiomatikal

· Menjual gigi tertawa sekeras-kerasnya

Idiom yang maknanya tidak sanggup “diramalkan” berbeda dengan Peribahasa yang masih sanggup ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya lantaran adanya “asosiasi” antara makna orisinil dengan maknanya sebgai peribahasa. Umpamanya peribahasa “Seperti anjing dengan kucing” yang bermakna ‘dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini mempunyai asosiasi hewan yang namanya anjing dan kucing kalau bertemu memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.

Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa yang penuturnya sudah mempunyai kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal makna idiom tidak ada jalan selain dari harus melihatnya di dalam kamus; khususnya kamus peribahasa dan kamus idiom.


RELASI MAKNA

Relasi makna yaitu korelasi semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Relasi semantik sanggup menyatakan kesamaan makna, kontradiksi makna, atau kelebihan makna.


SINONIM

betul

benar

Sinonim yaitu korelasi semantik yang menyatakan adanya kesaman makna antara satu ujaran dengan ujaran yang lainnya. Relasi sinonimi bersifat dua arah.


ANTONIM

duduk

Antonim yaitu korelasi semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan berlawanan, pertentangan, atau kontras antar yang satu dengan yang lain.

berdiri

tidur

bersila


tiarap


jongkok


POLISEMI

Polisemi yaitu satuan ujaran yang mempunyai lebih dari satu makna. Umpamanya kepala dalam kalimat berikut mempunyai lebih dari satu makna

ü Kepalanya luka terkena pecahan beling (bagian badan manusia)

ü Kepala kantor itu bukan paman saya (ketua atau pemimpin)

ü Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor (sesuatu yang berada di sebelah atas)


HOMONIMI

Homonimi yaitu dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda lantaran masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Relasi antara dua buah satuan ujaran yang homonimi juga berlaku dua arah. Umpamanya :


pacar II

pacar I


Antara kata pacarI yang bermakna ‘inai’ dan kata pacar II yang bermakna ‘kekasih’. Jadi, kalau kata pacar I yang bermakna ‘inai’ berhomonim dengan kata pacar II yang bermakna ‘kekasih’ maka pacar II juga berhomonim dengan kata pacar .


HIPONIMI

Hiponimi yaitu korelasi semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Relasi hiponimi bersifat searah. Umpamanya :


1.merpati

2.tekukur


3.perkutut

4.balam


5.kepodang


6.cendrawasih

7.cucakrawa


Lingkaran besar pada gambar diatas merupakan konsep burung. Sedangkan lingkaran-lingkaran kecil yang berada di dalamnya berisi nama-nama hewan yang termasuk burung itu. Hiponimi dikatakan searah, alasannya yaitu kalau merpati berhiponim dengan burung, maka burung bukan berhiponim pada merpati, melainkan berhipemim. Dengan kata lain, kalau merpati yaitu hiponim dari burung, maka burung yaitu hipemim.


AMBIGUITI

Ambiguiti yaitu tanda-tanda terjadinya kegandaan makna tanggapan tafsiran gramatikal yang berbeda. Umpamanya :


“anak dosen yang nakal”


Bentuk ujaran diatas bermakna ganda lantaran mempunyai dua kemungkinan :

(1) ‘anak itu yang nakal’ atau (2) ‘dosen itu yang nakal’.


 


REDUNDANSI

Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai makna berlebih-lebihnya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umapmanya kalimat “Bola itu ditendang oleh Dika” tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan “Bola itu ditendang Dika” jadi, tanpa penggunaan preposisi ‘oleh’ tidak menjadikan adanya perbedaan makna.


KOMPONEN MAKNA

Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini sanggup dianalisis, dibutiri atau disebutkan satu per satu, berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya. Umpamanya, kata ayah mempunyai komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /+jantan/, /+kawin/, dan /+punya anak/. Kata ibu mempunyai komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /-jantan/, /+kawin/, dan /+punya anak/. Kalau dibandingkan, komponen kata ayah dan ibu mempunyai kekerabatan dalam bentuk tabel sbb;


Komponen makna

Ayah

Ibu


1. Manusia

2. dewasa

3. jantan

4 .kawin

5. punya anak


Analisis komponen makna ini sanggup dimanfaatkan untuk mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim. Umapmanya kata ayah yang bersinonim dengan kata bapak. Dua kata yang bersinonim tidak selalu mempunyai makna yang persis sama. Oleh lantaran itu, kata ayah dan bapak pun, meskipun bersinonim, tentu ada perbedaan maknanya. Dimanakah perbedaannya? Mari kita perhatikan tabel berikut!


Komponen makna

ayah

bapak


(1) Manusia

(2) Dewasa

(3) Sapaan kepada kedua orang bau tanah laki-laki

(4) Sapaan kepada orang yang dihormati


 


KESESUAIAN SEMANTIK DAN SINTAKTIK

Suatu kalimat dinyatakan sebagai kalimat atau tidaknya bukan hanya dari permaslahan gramatikal melainkan juga dari duduk perkara semantik. Amati contoh berikut!

ü *Kambing yang Pak Udin terlepas lagi.

ü *Segelas kambing minum setumpuk air.

Ketidak berterimaan kalimat pertama yaitu lantaran kesalahan gramatikal , yaitu adanya konjungsi yang antara kambing dan Pak Udin. Konjungsi yang tidak sanggup menggabungkan nomina dengan nomina; tetapi sanggup menggabungkan nomina dengan adjectiva. Kemudian ketidak berterimaan kalimat kedua bukan lantaran kesalahan gramatikal, tetapi lantaran kesalahan persesuaian leksikal. Seharusnya bukan *segelas kambing, melainkan seekor kambing. Begitu juga bukan *setumpuk air, melainkan segelas air atau seember air.

Ketidak berterimaan kalimat kedua bukan hanya lantaran kesalahan persesuaian leksikal. Kalimat itu tidak bermakna juga lantaran kesalahan semantik. Kesalahan itu berupa tidak adanya persesuaian semantik di antara konstituen-konstituen yang membangun kalimat itu. Frase *segelas kambing pada kalimat kedua tidak berterima lantaran kata segelas mempunyai komponen makna /+satuan wadah/, /+benda cair/, dan /-terhitung/; padahal kata kambing berkomponen makna /-benda cair/, dan /+terhitung/. Kaprikornus mana mungkin menempatkan benda tidak cair dan terhitung pada wadah untuk benda cair yang tidak terhitung. Begitu juga dalam frase *setumpuk air. Kata setumpuk mempunyai komponen makna /+satuan hitungan/ dan /+benda padat/; padahal kata air tidak mempunyai komponen benda padat itu.

Menurut teori Chafe verba lah yang memilih konstituen lain dalam sebuah kalimat. Kalau verbanya berupa kata kerja membaca, maka dalam kalimat itu akan hadir sebuah subjek berupa nomina pelaku dan berkomponen makna /+manusia/. Mengapa demikian? Karena verba membaca berkomponen makna /+bacaan/ atau /+tulisan/. Perhatikan denah berikut!


Nenek membaca komik

/+nomina/ /+verba/ /+nomina/

/+manusia/ /+manusia/ /+bacaan/

/+bacaan/


KESIMPULAN

Ilmu dalam bidang linguistik yang mengkaji secara mendalam perihal makna yaitu “SEMANTIK”. Linguistik, yang mencakupi hal-hal kebahasaan tidaklah bisa menjadi ilmu kebahasaan tanpa mengkaji “SEMANTIK” di dalamnya. Hal ini dikarenakan semantik yaitu ilmu makna yang mana bahasa tidak sanggup dipahami kalau tidak bermakna. Bahkan kali ini, “SEMANTIK” menjadi sentra perhatian banyak orang yang mempelajari ilmu linguistik ini lantaran pembahasannya yang tak sanggup diamati secara empiris.


DAFTAR PUSTAKA


Clark, Herbert H.,dan Clark, Eve V. 1977,Psychology and language : an introduction to psycholinguistics,New York: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers

Traxler, Matthew J dkk. 2006. Handbook of Psycholinguistics. USA: Elsevier Inc

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005,Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman,Yayasan Obor Indonesia Jakarta: anggota IKAPI

Chaer, Abdul. 2015, Psikolinguistik: Kajian Teoretik, Jakarta:Rineka Cipta

Indah, Nur, Rohmani, dan Abdurrahman.Psikolinguistik, Konsep dan Isu Umum.Malang:UIN-Malang Press (Anggota IKAPI)


http://mudrikajung.blogspot.com


sekian dan terima kasih SEMOGA BERMANFAAT, jangan lupa baca artikel lainnya di situs ini…



Sumber http://syahrulanam.com

0 Response to "✔ Pola Semantik Dan Jenis-Jenisnya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel