Skripsi Tradisi Penyerahan Perabot Rumah Tangga Dalam Perkawinan
(KODE : HKM-ISLM-0002) : SKRIPSI TRADISI PENYERAHAN PERABOT RUMAH TANGGA DALAM PERKAWINAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tradisi masyarakat Desa X Setiap pernikahan identik dengan Bhaghibha (barang bawaan) dari mempelai laki-laki ke rumah mempelai wanitanya. Barang-barang Bhaghibha ini dianggap sebagai potongan dari mahar. selain mas kawin yang diserahkan pribadi di hadapan penghulu pada ketika komitmen nikah. Barang-barang bhaghibha ini dibawa dalam rombongan besar lamaran dari pihak pengantin pria.
Tradisi membawa barang bawaan ini menjadi sebuah keharusan bagi seorang mempelai pria, meskipun tidak ada usul khusus dari mempelai wanita. Sehingga dengan adanya tradisi tersebut, keluarga dari mempelai laki-laki tetap berusaha mengikut sertakan barang bawaannya pada ketika komitmen nikah. walaupun mempelai laki-laki berasal dari keluarga tidak bisa akan tetapi Sanak saudara dari mempelai laki-laki akan tetap membantu menyumbang untuk membeli seperangkat barang bawaan demi berlangsungnya pernikahan antara mempelai laki-laki dan wanita. Tidak banyak dari para mempelai laki-laki yang dengan mudahnya melangsungkan pernikahan ini, ada sebagian dari mereka yang harus bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan dana pembelian barang-barang bawaan pada ketika pernikahan, sehingga pernikahannya ditunda beberapa tahun hingga ia bisa membeli barang-barang tersebut.
Memang pernikahan dalam islam itu tidak memberatkan mempelai. lakan tetapi dengan adanya tradisi menyerupai ini yang menempel dan sudah turun temurun dan masih bertahan hingga sekarang. Walaupun tradisi tersebut merupakan beban bagi mempelai laki-laki tapi mereka semua sadar, bahwa setiap makhluk diciptakan dengan cara berpasang-pasangan. Begitu juga manusia, Jika pada makhluk lain dalam berpasangan tidak memerlukan tata cara dan peraturan tertentu, maka lain halnya dengan manusia. Pada insan terdapat beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam menentukan pasangan dan untuk hidup bersama pasangan. Baik itu peraturan agama, adat-istiadat, tradisi. maupun sosial kemasyarakatan.
Setiap makhluk diciptakan saling berpasang-pasangan. Begitu juga manusia. Jika pada makhluk lain untuk berpasangan tak memerlukan tata cara dan peraturan tertentu, tidak demikian dengan manusia. Pada insan terdapat beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam menentukan pasangan dan untuk hidup bersama pasangan. Baik itu peraturan agama, adat-istiadat maupun sosial kemasyarakatan.
Dalam hal dan tujuan untuk hidup berpasangan inilah istilah perkawinan atau pernikahan disebutkan. Perkawinan merupakan sebuah upacara penyatuan dua jiwa manusia, menjadi sebuah keluarga melalui komitmen perjanjian yang diatur oleh agama. Karena itulah penyatuan antara dua insan menjadi sakral dan agung oleh lantaran adanya tata cara khusus ini. setiap agama mempunyai tata cara peraturan tersendiri. Tetapi kesemuanya mengacu pada satu hal ini, yaitu bahwa insan yaitu makhluk Tuhan yang mulia, mempunyai karunia logika budi sehingga dalam banyak sikap kehidupannya tidak sama dengan makhluk lain menyerupai halnya binatang.
Khusus dalam pandangan agama Islam, pernikahan dianggap sebagai ibadah, jejak sunnah Nabi Muhammad S.A.W. Sekalipun bersama-sama pernikahan ini sudah ditetapkan oleh Allah semenjak zaman insan pertama yaitu Adam, yang dinikahkan pribadi oleh Allah dengan pasangannya yaitu Siti Hawa, di surga.
Maka jelaslah bahwa menikah merupakan sesuatu yang dianjurkan Rasulullah. Bukan semata untuk meneruskan keturunan dan membuat generasi melainkan terutama untuk mengatur kehidupan semoga selaras dengan pedoman agama yang memuliakan insan di atas makhluk lainnya. Tentang kemuliaan insan sebagai makhluk ini Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat At-Tin, ayat 4 :
"Sungguh telah Aku ciptakan insan dalam bentuk yang sebaik baiknya"
Ayat di atas semakin memperjelas perbedaan kemuliaan insan di atas makhluk lainnya. Tidak saja secara lahiriah, yang sempurna, bagus dan gagah serta mempunyai bentuk yang begitu berbeda dengan hewan, melainkan terutama secara ruhani-nya. Sehingga insan disebut sebagai Hayawanun Nathiq atau binatang yang berpikir. Terlepas dari teori evolusi Darwin ihwal asal mula insan yaitu seekor Kera. Karena bagaimanapun, karunia akal-lah yang membuat insan mempunyai tata cara yang berbeda dalam menjalankan hidupnya, di antaranya yaitu tata cara pemikahan.
Dalam Islam, disebutkan pula bahwa pemikahan yaitu ibadah yang menyempurnakan agama seseorang. Karena pemikahan dua orang anak insan berarti menyatukan dua keluarga, seringkali juga berarti penyatuan dua masyarakat jikalau pemikahan itu terjadi antara dua golongan masyarakat yang berbeda. Karena itulah dalam proses pemikahan banyak hal yang perlu diperhatikan sebagai peraturan bagi kedua insan yang akan berpasangan.
Pemikahan diselenggarakan dalam sebuah prosesi khusus dengan tata cara yang khusus yang diadaptasi dengan ketentuan dalam agama maupun dalam tradisi masyarakat dimana prosesi itu akan dilaksanakan. Terkhusus ketentuan dalam agama Islam, terdapat beberapa hal yang menjadi rukun dan syarat dalam pemikahan. Rukun dan syarat ini sama-sama harus dipenuhi, baik proses sebelum ijab kabul maupun pada ketika pelaksanaan komitmen nikah. Dalam hal ini adanya kedua mempelai yaitu yang terpenting dari syarat dan rukun pernikahan. Adanya kedua mempelai merupakan hal primer baik sebelum maupun pada ketika pelaksanaan pernikahan. Karena keduanya-lah yang akan menjalani pernikahan.
Akan tetapi ada beberapa hal lain yang juga penting dalam pernikahan. yaitu adanya mahar. Mahar dalam bahasa Arab yaitu shadaq. Asalnya isim mashdar dari kata ashdaqa, mashdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaq lantaran memperlihatkan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau mas kawin.
Secara etimologi mahar juga berarti mas kawin. Sedangkan pengertian mahar berdasarkan istilah ilmu Fiqih yaitu donasi yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk mengakibatkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang perempuan dengan memberi hak kepadanya, di antaranya yaitu hak untuk mendapatkan mahar. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri. bukan kepada perempuan lainnya atau siapapun, walaupun sangat erat dengannya. Orang lain dihentikan menjamah apalagi menggunakannya meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan rida dan kerelaan istri.
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa' ayat 4 :
"Berikanlah mas kawin atau (mahar) kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai donasi dengan penuh kerelaan. Kemudian jikalau mereka menyerahkan kepada kau sebagian dari mas kawin itu dengan bahagia hati, maka makanlah (ambillah) donasi itu (sebagai makan) yang sedap lagi baik akibatnya." (Q.S. An-Nisa : 4)
Maka jelaslah bahwa ketika mahar telah diserahterimakan dari pihak suami pada pihak istri, maka sepenuhnya mahar itu menjadi miliki si istri dan hak penggunaannya berada dalam wewenang istri.
Para Fuqaha' bersepakat bahwa tidak ada batasan mengenai donasi mahar. Ukuran mahar diadaptasi dengan kemampuan si calon suami untuk memberi. Akan tetapi seyogyanya juga tidak berlebihan lantaran hal itu akan mendatangkan sikap berpaling dari pernikahan yang akan diikuti orang secara umum.
Allah berfirman :
"...dan berilah maskawin mereka berdasarkan yang patut... " (Q.S. An-Nisa' : 25) Segala sesuatu yang sanggup dinilai secara material sanggup dijadikan mahar. Para jago Fiqih bersepakat bahwa harta yang berharga dan patut sanggup dijadikan mahar. Oleh lantaran itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar lantaran bernilai material dalam pandangan syara'. Dan sebaliknya, sesuatu yang tidak sanggup dinilai dengan material dan bukan merupakan harta benda yang layak tidak sanggup dijadikan mahar. Seperti kata-kata atau janji untuk setia, khamar, bangkai dan sebagainya.
Akan tetapi ada pendapat lain bahwa sesuatu yang bermanfaat sanggup dijadikan mahar sekalipun tidak sanggup dinilai dengan material, menyerupai pengabdian, pengajaran Al-Qur'an yang juga bermanfaat. 4 Pendapat ini dikemukakan oleh Asy-Syairazi, berdasarkan firman Allah :
"Berkatalah ia (Syu'aib) : "Sesungguhnya saya bermaksud menikahkan kau dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kau bekerja denganku delapan tahun... " (Q.S. Al-Qashash : 27)
Berdasarkan hal-hal di atas, syarat sah mahar yaitu sebagai berikut :
1. Mahar tidak berupa barang haram, tidak sah mahar berupa khamar atau babi dan sejenisnya yang terang barang haram.
2. Tidak ada kesamaran, jikalau terdapat unsur ketidakjelasan maka tidak sah dijadikan mahar, menyerupai mahar berupa hasil panen kebun pada tahun yang akan tiba atau sesuatu yang tidak jelas, menyerupai mahar rumah yang tidak ditentukan.
3. Mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna. Syarat ini mengecualikan pemilikan yang kurang atau tidak sempurna, menyerupai mahar sesuatu yang dibeli tetapi belum diterima, pemilikan yang kurang atau tidak tepat tidak sah dijadikan mahar.
4. Mahar bisa diserahkan. Dengan syarat ini mengecualikan yang tidak ada kemampuan menyerahkan menyerupai burung di awang-awang atau ikan di laut.
Adalah Desa X yang mempunyai tradisi penyerahan perabot rumah tangga. Perabot-perabot ini berbentuk lemari, satu set dingklik dan meja untuk ruang tamu, perangkat daerah tidur lengkap dengan kasur, bantal, guling, seprai dan sarung bantal serta selimut, barang-barang pecah belah dan lemari sebagai tempatnya, alat-alat kecantikan/kosmetik dengan lemari hiasnya. Ini di luar mas kawin yang disebutkan secara terang-terangan ketika ijab kabul berlangsung di hadapan penghulu dan para saksi dari kedua belah pihak.
Ketetapan perabot ini menjadi tradisi dalam hampir setiap pernikahan masyarakat Desa X. Sehingga untuk hingga pada hari pernikahan diharapkan banyak persiapan. Keluarga calon mempelai laki-laki harus mempunyai persiapan bahan yang tidak sedikit. Sedangkan mas kawin biasanya akan ditentukan oleh calon pengantin perempuan dengan jumlah standar atau barang standar menyerupai emas dengan jumlah gram yang tidak besar, yaitu dua hingga lima gram.
Sebelumnya tidak pernah dilakukan penelitian serupa di Desa X, baik dengan perspektif aturan Islam ataupun disiplin ilmu Sosiologi Antropologi. Karena itulah penelitian ini merupakan penelitian pertama yang dilakukan di lokasi penelitian, yaitu Desa X. Penelitian ihwal tradisi donasi mahar berbentuk perlengkapan rumah tangga ini dilakukan sebagai studi kasus dalam penelitian ini mengambil judul "TRADISI PENYERAHAN PERABOT RUMAH TANGGA DALAM PERKAWINAN (STUDI KASUS DI DESA X)”.
0 Response to "Skripsi Tradisi Penyerahan Perabot Rumah Tangga Dalam Perkawinan"
Posting Komentar