iklan banner

Skripsi Tradisi Lamaran Perspektif Masyarakat Pengikut Madzhab Syafii

(KODE : HKM-ISLM-0003) : SKRIPSI TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII

 SKRIPSI TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII SKRIPSI TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pertunangan ialah pernyataan seorang laki-laki ihwal impian menikah dengan perempuan tertentu. Jika perempuan tersebut mendapatkan pertunangan tersebut melalui walinya, pertunangan sudah sah antara keduanya.
Definisi lain dalam Al-Mughni Al-Muhtaj, menyebutkan bahwa pertunangan yaitu permohonan menikah dari pihak peminang laki-laki kepada pihak perempuan. Qalyubi mendefinisikan pertunangan sebagai permohonan menikah dari orang yang dianggap cocok.
Hukum pertunangan ialah istihbab (dianjurkan) lantaran Nabi Muhammad SAW. pernah bertunangan dengan Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, juga dengan Hafsah binti Umar bin Khaththab r.a.
Tujuan perkawinan sebagaimana yang disyari'atkan oleh teks suci dan undang-undang sanggup diwujudkan dengan baik dan tepat bila perkawinan tersebut semenjak proses pendahuluannya (muqaddimat al-zawaj) berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan agama. di antara proses yang akan dilalui itu ialah peminangan atau disebut dengan khitbah.
Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan. Ulama fikih mendefinisikannya dengan menyatakan impian pihak laki-laki kepada pihak perempuan tertentu untuk mengawininya dan pihak perempuan menyebarluaskan informasi peminangan ini.
Di dalam kitab-kitab fikih, khitbah diterjemahkan dengan pernyataan impian untuk menikah terhadap seorang perempuan yang telah terperinci "izhar al-rughbat fi al-zawaj bi imraatin mu'ayyanaf atau memberitahukan impian untuk menikah kepada walinya. adakalanya pernyataan impian tersebut disampaikan dengan bahasa yang terperinci dan tegas (sarih) dan sanggup juga dilakukan dengan sindiran (kinayah).
Peminangan (lamaran) dilakukan sebagai seruan secara resmi kepada perempuan yang akan dijadikan calon istri atau melalui wali perempuan itu. setelah itu gres dipertimbangkan apakah lamaran itu sanggup diterima atau tidak. adakalanya lamaran itu hanya sebagai formalitas saja, alasannya ialah sebelumnya antara laki-laki dan perempuan itu sudah saling mengenal atau menjajaki. Demikian juga, lamaran itu adakalanya sebagai langkah awal dan sebelumnya tidak pernah kenal secara dekat, atau hanya kenal melalui sobat atau sanak keluarga.
Agaknya Islam mengajarkan sebelum terjadinya kesepakatan nikah, mempelai laki-laki dan perempuan mestilah saling mengenal. Mengenal di sini maksudnya bukan sekedar mengetahui tetapi juga memahami dan mengerti akan kepribadian masing-masing. Hal ini dipandang penting lantaran kedua mempelai akan mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan dan membentuk keluarga yang semula dimaksudkan "kekal" tanpa adanya perceraian. Realitas di masyarakat memperlihatkan perceraian sering kali terjadi lantaran tidak adanya saling pengertian, saling memahami dan menghargai masing-masing pihak.
Agaknya atas dasar inilah mengapa Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya menganjurkan setiap laki-laki untuk melaksanakan peminangan. Rasulullah menyatakan : 
"Apabila seseorang di antara kau meminang seorang perempuan, bila ia sanggup melihat apa yang sanggup mendorongnya semakin berpengaruh untuk menikahinya, maka laksanakanlah." (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
Sampai di sini terkesan ada anjuran, untuk tidak menyampaikan sebuah perintah (sunnah) dari Rasul untuk melihat perempuan yang akan dinikahi tersebut. mengenai apa yang perlu dilihat, telah dijelaskan Rasul dalam haditsnya yang lain.
Rasulullah bersabda,
"Dari Abi Hurairah, Nabi saw, bersabda : perempuan dikawini lantaran empat hal, lantaran martabatnya, lantaran hartanya, lantaran keturunannya, kecantikan dan lantaran hartanya. Maka pilihlah perempuan lantaran agamanya, maka akan memelihara tanganmu." (muttafaq alaih)
Dalam perspektif Islam, peminangan itu lebih mengacu untuk melihat kepribadian calon mempelai perempuan menyerupai ketakwaan, keluhuran budi pekerti, kelembutan dan ketulusannya. Kendati demikian bukan berarti perkara fisik tidak penting. Ajaran Islam ternyata menganjurkan untuk memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriyah seperti, kecantikan wajah, keserasian, kesuburan dan kesehatan tubuh, bahkan ada hadits Rasul yang memerintahkan untuk menikahi perempuan yang  subur (al-walud).
Di masyarakat Desa X setelah melaksanakan peminangan, terdapat tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum ijab kabul yang diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita.
Seperangkat perabot rumah tangga mulai dari perabot ruang tamu, kamar tidur, pakaian, peralatan dapur, barang-barang elektronik seperti; televisi, kulkas, tape, dan Iain-lain, hingga pada barang otomotif seperti; sepeda motor, kendaraan beroda empat yang harus diserahkan kepada pihak istri untuk memenuhi setiap ruangan rumah yang akan ditempati oleh kedua mempelai nantinya dikala sudah ijab kabul diucapkan oleh pihak mempelai laki-laki (berumah tangga).
Hal ini terjadi apabila calon suami nantinya akan menempati rumah yang sudah disiapkan oleh pihak calon istri, dengan kata lain calon suami menyiapkan semua perabot rumah tangga yang diserahkan kepada calon istri sehari sebelum kesepakatan nikah, sedangkan calon istri hanya menyiapkan rumah yang berupa gedung belaka, tanpa adanya isi rumah. Kebiasaan masyarakat ini tidak berlaku apabila calon suami istri tersebut setelah melaksanakan kesepakatan mereka akan menempati rumah yang disiapkan oleh calon suami. Semua kebutuhan rumah tangga ditanggung oleh calon suami.
Uniknya, perabot tersebut berbeda dengan mahar yang akan diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya yang disebutkan dalam kesepakatan pada program perkawinan yang mengenai besar kecilnya mahar tersebut disepakati oleh kedua belah pihak.
Mahar telah disebutkan dalam Al-Quran dalam surat An-Nisa' ayat 4 sebagai suatu belahan penting dari perkawinan seorang Muslim. la diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan sesuai dengan kesepakatan mereka dan khusus menjadi harta milik pengantin perempuan sendiri. Islam telah mengangkat derajat kaum perempuan lantaran mahar itu diberikan sebagai suatu tanda penghormatan kepadanya. bahkan andaikata perkawinan itu berakhir dengan perceraian (Al-Thalaq) mahar itu tetap merupakan hak milik istri dan suami tidak berhak mengambilnya kembali.
Secara umum kata lain yang dipergunakan untuk "mahar" di dalam Al-Qur'an ialah "Ajr" berarti penghargaan serta hadiah yang diberikan kepada pengantin perempuan dan tak sanggup hilang. Sedangkan kata "shadaqah" juga dipergunakan di dalam Al-Qur'an untuk menekankan pertolongan nafkah dalam kehidupan keluarga.
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai pertolongan dengan penuh kerelaan. kemudian bila mereka menyerahkan kepada kau sebagian dari maskawin itu dengan bahagia hati, Maka makanlah (ambillah) pertolongan itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS. An-Nisa' : 4)
Makna harfiah dari kata "shadaqah" pada ayat di atas ialah nafkah yang diwajibkan atau suatu belahan yang telah ditekankan. Hadits Nabi juga memperlihatkan kesimpulan yang sama bekerjsama mahar merupakan suatu hadiah sesuai dengan kerelaan suami kepada istrinya pada waktu berlangsungnya upacara perkawinan.
Umar bin Khattab dan Qodhi Syuraikh telah memutuskan bahwa bila seorang istri menunda (untuk menerima) seluruh atau sebagian hak maharnya namun kemudian memintanya, maka suaminya harus membayarnya alasannya ialah kenyataan bahwa beliau membutuhkannya merupakan bukti yang terperinci bahwa beliau tidak membebaskannya sama sekali.
Pembayaran mahar merupakan hal yang wajib sekalipun mungkin jumlahnya sangat kecil. Dalam beberapa pengecualian perkawinan tetap sah sekalipun jumlah maharnya tidak ditentukan, namun ia wajib dan harus dibayar segera, baik pada waktu pelaksanaan pernikahan itu atau pun sesudahnya.
Tidak ada batasan yang ditetapkan dalam Al-Qur'an mengenai jumlah mahar, mahar diberikan kepada istri pada hari perkawinan kecuali bila istri itu sendiri ingin mengambilnya kemudian.
Namun pada tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum ijab kabul oleh calon suami tersebut besar kecil atau banyak sedikitnya perabot yang akan diberikan diubahsuaikan dengan kondisi perekonomian calon suami dan tidak ada kesepakatan diantara keduanya (calon suami istri). Apabila calon suami itu mempunyai harta kekayaan yang berkecukupan, maka ia akan membawa harta perabot rumah tangga yang majemuk (selengkap-lengkapnya). namun apabila calon suami itu berstatus perekonomiannya menengah ke bawah, maka ia akan membawa perabot rumah tangga sesuai dengan kemampuan calon suami tersebut. Tradisi ini banyak memakan biaya, bisa mencapai puluhan juta rupiah dengan berkembangnya barang-barang perabot rumah tangga yang dikemas secara modern.
Sampai di sini terkesan ada proposal untuk melaksanakan tradisi lamaran bagi siapa saja yang hendak melangsungkan pernikahan, sedangkan tradisi lamaran itu sendiri membutuhkan kesiapan lahiriyah, dalam artian banyak membutuhkan biaya seiring dengan berkembangnya zaman. Ini menjadi salah satu kendala bagi siapa saja yang hendak melangsungkan pernikahan, lantaran merupakan suatu keharusan untuk melaksanakan tradisi lamaran bagi pihak laki-laki. Sedangkan pada prosesi tradisi lamaran itu sendiri banyak membutuhkan biaya, sehingga mengakibatkan bagi para calon mempelai harus benar-benar mempersiapkan diri baik lahir maupun bathin.
Hal ini mengakibatkan adanya sebagian masyarakat dari pihak laki-laki yang enggan untuk melangsungkan pernikahan dikarenakan belum siap dari segi bahan untuk melaksanakan tradisi lamaran, seperti kesiapan bahan menjadi hal yang utama dalam pembentukan sebuah keluarga. Dengan kata lain dalam hal pembentukan sebuah keluarga, masyarakat di sana mendahulukan untuk memenuhi kebutuhan tradisi lamaran dari pada mahar yang urgensinya menjadi kewajiban yang harus terpenuhi dalam pernikahan.
Di dalam tradisi lamaran tersebut, posisi laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Namun demikian, tak jarang dijumpai banyak laki-laki yang justru secara ekonomi bergantung kepada perempuan. Seorang perempuan dari keluarga kaya relatif lebih gampang mencari jodoh ketimbang yang tak berpunya. Demikian pula keluarga perempuan yang manis jelita juga lebih gampang mencari jodoh meski tidak kaya dibanding perempuan yang rupanya tidak cantik, apalagi tidak kaya. Akan tetapi, meski pun tidak manis bila mempunyai harta banyak atau anak orang kaya maka akan lebih gampang menemukan jodohnya. Untuk itu, ada semacam diskriminasi perlakuan terhadap keluarga tidak mampu. Dengan demikian, status keluarga kaum perempuan turut serta berperan di dalam proses perkawinan.
Disamping itu, di kalangan masyarakat pedesaan juga terdapat semacam ketakutan bila anak perempuannya belum kawin. Fenomena di pedesaan menggambarkan keluarga perempuan terburu-buru untuk mengawinkan anaknya lantaran takut tidak laris tersebut. Di lapangan menunjukkan, banyak anak perempuan yang belum remaja untuk menikah "terpaksa" dikawinkan lantaran problem tersebut. Tak ayal lagi posisi atau status perempuan menjadi lebih rentan dibanding kaum laki-laki di dalam sebuah rumah tangga.
Nah, dua fenomena di atas yang bertolak belakang ini yang dijadikan dasar oleh peneliti, bahwa penelitian ini amatlah penting untuk dilakukan, yaitu antara pihak laki-laki yang enggan menikah terlebih dahulu lantaran disebabkan belum adanya kesiapan lahir dengan adanya tradisi lamaran, sedangkan pihak perempuan terdapat semacam kekhawatiran bahkan hingga ketakutan bila anak perempuannya belum menikah.
Yang menjadi permasalahan pada perkara ini ialah bagaimana pandangan tokoh masyarakat pengikut madzhab Syafii terhadap tradisi lamaran (penyerahan perabot rumah tangga yang diserahkan oleh calon mempelai laki-laki sehari sebelum kesepakatan nikah), mengingat bahwa pertolongan tersebut bukanlah mahar yang akan diberikan kepada calon mempelai perempuan yang disebut dalam kesepakatan nikah, lantaran permasalahan yang terjadi pada masyarakat Desa X terhadap tradisi lamaran sangat erat kaitannya dengan pembentukan keluarga sakinah.
Dari permasalahan yang telah peneliti kemukakan, maka peneliti menganggap perlunya perkara ini untuk diteliti, lantaran nantinya akan tampak terlihat tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum ijab kabul oleh calon mempelai laki-laki pada masyarakat desa X. Di samping itu pula akan terlihat nilai-nilai Islam murni pada masyarakat di sana khususnya pada perkara perkawinan (Nikah). Sehingga hasil dari penelitian ini sanggup menambah kepustakaan ihwal tradisi yang menempel pada masyarakat khususnya pada perkara perkawinan (Nikah).
Dalam penelitian ini, peneliti akan mencoba menonjolkan pada aspek nilai-nilai Islamnya yang dihubungkan dengan tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum ijab kabul yang terjadi pada masyarakat desa X. Oleh lantaran itu, peneliti akan memberi judul pada skripsi ini dengan judul : TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII (STUDI DI DESA X).


Sumber http://gudangmakalah.blogspot.com

0 Response to "Skripsi Tradisi Lamaran Perspektif Masyarakat Pengikut Madzhab Syafii"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel