iklan banner

Skripsi Pgsd Keefektifan Teknik Quick On The Draw Terhadap Minat Dan Hasil Berguru Sumber Daya Alam Siswa Kelas Iv

(KODE : PENDPGSD-0038) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN TEKNIK QUICK ON THE DRAW TERHADAP MINAT DAN HASIL BELAJAR SUMBER DAYA ALAM SISWA KELAS IV

 SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN TEKNIK QUICK ON THE DRAW TERHADAP MINAT DAN HASIL BELAJAR SUMBER SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN TEKNIK QUICK ON THE DRAW TERHADAP MINAT DAN HASIL BELAJAR SUMBER DAYA ALAM SISWA KELAS IV

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, lantaran pendidikan sanggup mempengaruhi perkembangan insan dalam seluruh aspek kepribadian dan kehidupannya. Pendidikan sanggup menyebarkan banyak sekali potensi yang dimiliki insan secara optimal, yaitu pengembangan potensi individu yang setinggi-tingginya dalam aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual, sesuai dengan tahap perkembangan serta karakteristik lingkungan fisik dan lingkungan sosio-budaya dimana ia hidup (Taufiq 2010 : 1.2).
Crow and crow (1960) dalam Taufiq (2010 : 1.3) mengemukakan bahwa harus diyakini fungsi utama pendidikan ialah bimbingan terhadap individu insan dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya sehingga ia memperoleh kepuasan dalam seluruh aspek kehidupan langsung dan kehidupan sosialnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan pasal 3 menyebutkan : 
Pendidikan nasional berfungsi menyebarkan kemampuan dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik biar menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka perlu diwujudkan melalui pendidikan yang bermutu di setiap satuan pendidikan. Salah satu upaya untuk membuat pendidikan yang bermutu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 perihal Standar Nasional Pendidikan Bab IV Standar Proses pasal 19 yaitu dengan menyelenggarakan proses pembelajaran pada satuan pendidikan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta menawarkan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Rochman Natawidjaja (Taufiq 2010 : 5.21) mengemukakan lima unsur yang mempengaruhi kegiatan berguru siswa di sekolah, yaitu unsur tujuan, langsung siswa, materi pelajaran, perlakuan guru, dan fasilitas. Guru ialah faktor kunci dalam kegiatan berguru anak di sekolah. Guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam keseluruhan acara pendidikan di sekolah lantaran sebagai manajer pembelajaran, membuat rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran secara efektif, menguasai materi dan metode pembelajaran, mengevaluasi proses dan hasil belajar, memotivasi dan membantu tiap anak untuk mencapai prestasi berguru secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangan dan kesempatan yang dimiliki anak.
Guru harus bisa membuat suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga bisa membuat siswa merasa nyaman, aktif dan berminat mengikuti proses pembelajaran yang nantinya bisa kuat terhadap perolehan hasil berguru siswa. Hal ini disebabkan lantaran hasil berguru siswa dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang baik. Proses pembelajaran yang baik harus diubahsuaikan dengan karakteristik perkembangan dari siswa, sehingga siswa sanggup mendapatkan dan memahami materi dengan baik.
Sanjaya (2009 : 135) mengemukakan bahwa dalam standar proses pendidikan, pembelajaran didesain untuk membelajarkan siswa. Artinya, sistem pembelajaran menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dengan kata lain, pembelajaran ditekankan atau berorientasi pada acara siswa. Pembelajaran yang berorientasi pada siswa ditegaskan pula oleh Silberman (2009 : 6) bahwa ketika berguru secara pasif, siswa mengalami proses tanpa rasa ingin tahu, tanpa pertanyaan, dan tanpa daya tarik pada hasil. Ketika berguru secara aktif, siswa mencari sesuatu. Siswa ingin menjawab pertanyaan, memerlukan gosip untuk menuntaskan masalah, atau mengusut cara untuk melaksanakan pekerjaan. Dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran IPA guru harus bisa memakai model pembelajaran yang bisa mengaktifkan siswa sehingga siswa berminat untuk ikut serta dalam pembelajaran dan menjadi tertarik untuk berguru IPA.
Pembelajaran yang berorientasi pada siswa menuntut guru untuk kreatif dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Salah satu cara yang dipakai biar siswa terlibat aktif dalam pembelajaran yaitu dengan penggunaan model pembelajaran tertentu. Semua mata pelajaran membutuhkan penerapan model, metode dan teknik pembelajaran tertentu. Namun dalam penerapannya tetap perlu diubahsuaikan dengan materi yang akan diajarkan, lantaran tidak semua model, metode dan teknik sanggup dipakai untuk semua materi. Salah satu mata pelajaran yang perlu memakai model pembelajaran yang sesuai yaitu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Sesuai dengan pendapat Darmodjo (1992) dalam Samatowa (2011 : 3) bahwa IPA secara singkat sanggup diartikan sebagai pengetahuan yang rasional dan objektif perihal alam semesta dan segala isinya. Maka dengan mata pelajaran IPA dibutuhkan sanggup melatih siswa untuk berpikir kritis dan objektif. IPA merupakan mata pelajaran yang mempelajari alam dan lingkungan sekitar. IPA penting bagi siswa lantaran dengan IPA, dibutuhkan siswa sanggup mengenal lingkungan alam dan sumber daya yang ada di sekitarnya, sehingga sanggup memakai sumber daya alam tersebut dengan sebaik-baiknya serta sanggup memelihara, menjaga dan melestarikannya. Maka salah satu materi IPA yang ada di SD kelas IV semester 2 yaitu materi perihal sumber daya alam. Dengan materi sumber daya alam siswa bisa menjadi mengetahui arti dari sumber daya alam, jenis-jenis sumber daya alam, dan cara memanfaatkannya.
Samatowa (2011 : 2) menjelaskan bahwa pembelajaran IPA di SD hendaknya membuka kesempatan bagi siswa untuk memupuk rasa ingin tahu siswa secara alamiah. Hal ini akan membantu mereka menyebarkan kemampuan bertanya dan mencari tanggapan atas berdasarkan bukti serta menyebarkan cara berpikir ilmiah. Fokus pembelajaran IPA di SD ditujukan untuk memupuk minat dan pengembangan anak didik terhadap dunia mereka dimana mereka hidup. Selain itu, dalam pembelajaran IPA seorang guru dituntut untuk sanggup mengajak siswa memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar.
Hurriyati (2010) beropini bahwa IPA tidak sanggup diajarkan sebagai suatu materi pengetahuan, yang disampaikan dengan metoda ceramah melainkan melalui pembelajaran siswa aktif. Namun dalam kenyataannya guru belum banyak menerapkan model pembelajaran inovatif yang bisa mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran di sekolah. Guru masih lebih suka mengajar dengan model pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered instruction).
Philip R Wallace (Sunarto : 2009) menyampaikan bahwa dalam pembelajaran yang berpusat pada guru, guru hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima. Pembelajaran model tersebut biasa disebut dengan pembelajaran konvensional. Hal ini diungkapkan oleh Brooks dan Brooks (1993) dalam Warpala (2009) penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga berguru dilihat sebagai proses "meniru" dan siswa dituntut untuk sanggup mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes standar.
Hamdani (2011 : 166) menyebutkan dalam pembelajaran konvensional juga dikenal adanya berguru kelompok, namun mempunyai perbedaan yang prinsipil dengan kerja kelompok di pembelajaran kooperatif diantaranya yaitu memfokuskan pada prestasi individu, dalam proses berguru hanya sedikit terjadi proses diskusi antar siswa, kemampuan sosial diabaikan, pembentukan kelompok diabaikan bahkan tidak ada, yang ada berupa kelompok besar yaitu kelas.
Pembelajaran yang masih berpusat pada guru juga disampaikan oleh guru kelas IV SD X, bahwa pembelajaran IPA masih dilaksanakan secara konvensional, guru masih mendominasi proses pembelajaran dan menyajikan pembelajaran dengan metode pembelajaran yang monoton yaitu ceramah, sumbangan soal latihan dan pekerjaan rumah serta jarang memakai media pembelajaran. Kurangnya variasi dalam proses pembelajaran ini akan kuat terhadap partisipasi dan perhatian siswa terhadap materi pelajaran, padahal partisipasi dan perhatian merupakan beberapa tanda bahwa siswa mempunyai minat untuk berguru pelajaran tersebut. Padahal minat mempunyai peranan yang penting dalam proses berguru siswa.
Minat merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi berguru siswa. Menurut Sunarto (2009) apabila seseorang mempunyai minat yang besar terhadap suatu hal maka akan terus berusaha untuk melaksanakan sehingga apa yang diinginkannya sanggup tercapai sesuai dengan keinginannya. Apabila minat berguru siswa terhadap IPA kurang, maka bisa berdampak juga pada hasil berguru siswa kurang baik. Ini terbukti dari data yang peneliti peroleh di sekolah daerah penelitian, prosentase hasil berguru siswa yang mendapatkan nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada mata pelajaran IPA masih kurang dari 75%. Hasil berguru tersebut memperlihatkan guru perlu mengadakan variasi dalam pembelajaran yang sanggup memudahkan pemahaman siswa serta sanggup menumbuhkan bahkan meningkatkan minat siswa terhadap mata pelajaran IPA.
Alternatif yang sesuai dengan permasalahan tersebut yaitu menerapkan model pembelajaran kooperatif. Dengan model pembelajaran ini, keaktifan dan kemampuan interaksi siswa sanggup meningkat. Suprijono (2012 : 54) menyampaikan bahwa pembelajaran kooperatif ialah konsep yang lebih luas mencakup semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Menurut Johnson, Johnson and Holubec (2010), "Cooperative learning is the instructional use of small groups so that students work together to maximize their own and each other's learning". Pendapat tersebut bermakna bahwa pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran yang memakai kelompok kecil sehingga siswa bekerja sama untuk memaksimalkan diri mereka dan untuk berguru satu sama lain.
Model pembelajaran kelompok berdasarkan Sanjaya (2009 : 241) yaitu rangkaian kegiatan berguru yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Empat unsur penting dalam pembelajaran kooperatif yaitu adanya : (1) peserta dalam kelompok; (2) hukum kelompok; (3) upaya berguru setiap anggota kelompok; (4) tujuan yang harus dicapai. H. Karli dan Yuliariatiningsih dalam Hamdani (2011 : 165) juga menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif ialah taktik berguru mengajar yang menekankan pada sikap atau sikap bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kolaborasi yang teratur dalam kelompok, yang terdiri atas dua orang atau lebih.
Prinsip pembelajaran kelompok pada pembelajaran kooperatif berdasarkan Hamdani (2011 : 166) diantaranya yaitu (1) memfokuskan pada prestasi kelompok. (2) Sesama anggota kelompok akan saling membantu, mendorong, dan saling memotivasi dalam proses belajar. (3) Setiap anggota kelompok akan saling bertanggung jawab demi tercapainya kerja kelompok yang optimal. (4) Kepemimpinan menjadi tanggung jawab semua anggota kelompok.
Selain itu, ada 5 belahan dasar dari kooperatif berdasarkan Johnson and Johnson (2010 : 8-9) yaitu : (1) Harus ada rasa saling ketergantungan positif yang kuat, jadi setiap individu-individu percaya mereka berafiliasi dengan yang lain sehingga mereka tidak sanggup sukses kecuali dengan bekerja sama. (2) Setiap anggota kelompok harus menjadi langsung yang bertanggung jawab untuk bekerja atas belahan pekerjaannya. (3) Teman bekerja sama harus berkesempatan untuk menyebarkan kesuksesan yang lain dengan saling membantu, mendorong, dan saling memuji dengan yang lainnya untuk berusaha biar berprestasi. (4) Kerjasama memerlukan keterampilan dalam berafiliasi dan kelompok kecil, ibarat kepemimpinan, membuat keputusan, membangun kepercayaan, dan keterampilan mengatasi permasalahan. (5) Kelompok kooperatif memerlukan proses berkelompok, yang mana keberadaannya ketika anggota kelompok berdiskusi bagaimana baiknya mereka mencapai tujuan mereka dan mempertahankan relasi kerjasama.
Dari klarifikasi di atas, terlihat bahwa pembelajaran kooperatif selain menawarkan acara berguru yang menyenangkan bagi siswa dan bisa mengaktifkan siswa di kelas, pembelajaran kooperatif juga ternyata mempunyai manfaat melatih kemampuan sosial siswa. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat dari Kagan bahwa "cooperative learning has a positive impact on the social skills of students" yang artinya yaitu pembelajaran kooperatif mempunyai dampak positif pada keterampilan sosial siswa. Pembelajaran kooperatif membelajarkan siswa untuk bertanggung jawab dan bekerjasama dengan teman anggota sekelompok untuk mencapai tujuan dan memecahkan duduk masalah secara bersama-sama.
Salah satu teknik dari model kooperatif yaitu teknik quick on the draw. Teknik quick on the draw merupakan salah satu teknik pembelajaran yang berlandaskan konsep pembelajaran kooperatif yang digagas oleh Paul Ginnis. Dalam teknik ini Ginnis menginginkan biar siswa bekerja sama secara kooperatif pada kelompok-kelompok kecil dengan tujuan untuk menjadi kelompok pertama yang menuntaskan satu set pertanyaan yang telah disiapkan oleh guru (Syahrir 2012). Quick on the draw sanggup diartikan berpikir cepat atau mengambil dengan cepat (Echols dan Shadily 2000 : 197).
Teknik quick on the draw termasuk dalam pembelajaran kooperatif lantaran jikalau dilihat dari langkah-langkah pelaksanaannya teknik quick on the draw ini memuat unsur-unsur penting yang ada dalam pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran teknik quick on the draw yaitu guru menyiapkan satu set pertanyaan. Tiap pertanyaan ditulis di kartu yang berbeda dengan warna kertas yang berbeda. Letakkan satu set pertanyaan tersebut di atas meja guru. Kelas dibagi menjadi 3 atau 4 kelompok. Berikan setiap kelompok materi sumber. Saat permainan mulai, satu orang dari kelompok lari ke meja guru mengambil pertanyaan pertama. Dengan memakai sumber materi, kelompok menjawab dan menulis tanggapan di lembar terpisah. Jawaban dibawa ke guru oleh orang kedua, guru mengusut jawaban, jikalau jawabannya akurat dan lengkap, pertanyaan kedua mereka ambil begitu seterusnya. Yang menjadi pemenang ialah kelompok yang pertama menjawab semua pertanyaan.
Teknik pembelajaran quick on the draw ini sangat sesuai dengan karakteristik anak sekolah dasar. Sesuai dengan pendapat Hurlock (2008 : 146) yang menyebutkan bahwa masa anak sekolah dasar merupakan masa berkelompok dan masa bermain. Selain itu, berdasarkan Danim (2010 : 62) keterampilan motorik pada anak usia sekolah dasar, salah satu diantaranya bahwa belum dewasa suka lari. Dengan menerapkan teknik pembelajaran quick on the draw maka guru sudah menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan harapannya sanggup meningkatkan keaktifan siswa, minat dan hasil berguru siswa.
Sampai dikala ini teknik pembelajaran quick on the draw belum banyak dipakai dalam proses pembelajaran khususnya materi sumber daya alam. Oleh lantaran itu, peneliti tertarik ingin mengetahui : KEEFEKTIFAN TEKNIK QUICK ON THE DRAW DALAM PEMBELAJARAN IPA KHUSUSNYA MATERI SUMBER DAYA ALAM DI KELAS IV.


Sumber http://gudangmakalah.blogspot.com

0 Response to "Skripsi Pgsd Keefektifan Teknik Quick On The Draw Terhadap Minat Dan Hasil Berguru Sumber Daya Alam Siswa Kelas Iv"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel