Skripsi Pgsd Keefektifan Model Two Stay Two Stray Berbasis Teori Van Hiele Dalam Pembelajaran Matematika Kelas V
(KODE : PENDPGSD-0035) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN MODEL TWO STAY TWO STRAY BERBASIS TEORI VAN HIELE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS V
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah pada umumnya. Pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidak sanggup terlepas dari kurikulum. Kurikulum merupakan acara pendidikan yang disediakan oleh forum pendidikan (sekolah) bagi siswa (Hamalik, 2015 : 65). Kurikulum dijadikan pedoman dalam melaksanakan pembelajaran di semua jenjang pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 19 wacana Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan : “Kurikulum yaitu seperangkat planning dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan materi pelajaran serta cara yang dipakai sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu". Kurikulum disusun sebagai contoh dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran sanggup tercapai.
Jenjang pendidikan formal yang paling fundamental yaitu SD (SD). Pendidikan di sekolah dasar bertujuan memperlihatkan bekal kemampuan dasar baca, tulis hitung, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya (Susanto, 2015 : 89). Salah satu mata pelajaran yang diajarkan yaitu mata pelajaran matematika. Matematika diajarkan di jenjang sekolah dasar mulai dari kelas I-VI. Matematika merupakan ide-ide abnormal yang berisi simbol-simbol, sehingga konsep matematika harus dipahami dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu (Susanto, 2015 : 183).
Abdurrahman (2012 : 253) menyatakan mata pelajaran matematika yang diajarkan di SD meliputi tiga cabang, yaitu aritmetika, aljabar, dan geometri. Maryunis (1989) dalam Abdurrahman (2012 : 204) menyebutkan salah satu cabang matematika yang diajarkan pada sekolah dasar yaitu geometri. Geometri merupakan cabang matematika yang berkenaan dengan titik dan garis. Tujuan materi geometri salah satunya yaitu menguasai bentuk dan sifat yang meliputi pembelajaran sifat-sifat dari bentuk-bentuk baik dua maupun tiga dimensi dan pembelajaran wacana relasi yang terbangun dari sifat-sifat tersebut (Walle, 2008 : 150). Cabang geometri tersebut terwujud dalam beberapa materi, salah satunya yaitu materi sifat-sifat berdiri datar. Materi sifat-sifat berdiri datar merupakan materi mengenai pemahaman konsep. Siswa sanggup mengembangkan konsep apabila bisa mengklasifikasikan atau mengelompokkan benda-benda atau ketika siswa sanggup mengasosiasikan suatu nama dengan kelompok benda tertentu (Abdurrahman, 2012 : 204-5).
Susanto (2015 : 189) menyatakan salah satu kompetensi pembelajaran matematika di sekolah dasar yaitu menentukan sifat dan unsur banyak sekali berdiri datar dan berdiri ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas, dan volume. Pembelajaran matematika merupakan proses berguru dan sumbangan pengalaman kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terjadwal sehingga siswa memperoleh kompetensi wacana materi matematika yang dipelajari (Muhsetyo, 2008 : 26). Guru mempunyai kiprah penting dalam merencanakan pembelajaran di sekolah dasar dengan baik biar tercapai tujuan pembelajaran yang optimal.
Burden & Byrd (1999) dalam Anitah (2009 : 2.19) mengemukakan perencanaan pembelajaran berkenaan dengan keputusan yang diambil guru dalam mengorganisasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Guru menyiapkan perencanaan pembelajaran yang matang sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran biar tujuan pembelajaran sanggup tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan pembelajaran matematika sanggup tercapai apabila guru bisa membuat situasi dan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif membentuk, menemukan, dan mengembangkan pengetahuan (Susanto, 2015 : 190).
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di kelas V, pembelajaran matematika di sekolah dasar ini mempunyai kekurangan yang menyebabkan tujuan pembelajaran tercapai kurang optimal. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru berpedoman pada model pembelajaran konvensional yaitu memakai metode ceramah, sumbangan kiprah dan pekerjaan rumah. Pembelajaran konvensional berpusat kepada guru sehingga membuat siswa tidak aktif berpartisipasi dalam pembelajaran.
Guru mempunyai kesulitan dalam pembelajaran matematika. Kesulitan yang pertama yaitu rendahnya acara yang dimiliki siswa pada ketika mengikuti pembelajaran matematika. Siswa cenderung pasif dan kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran. Guru sudah memperlihatkan kesempatan untuk aktif dalam pembelajaran yaitu dengan cara mengerjakan soal di depan kelas, namun siswa tidak berpartisipasi bila belum ditunjuk oleh guru. Perilaku tersebut memperlihatkan masih rendahnya acara dalam diri siswa untuk berguru matematika. Kesulitan kedua yaitu masih banyak siswa yang sulit memahami materi yang diajarkan. Hal ini dikarenakan pembelajaran hanya berpusat pada guru tanpa adanya timbal balik dari siswa.
Siswa hanya mendapatkan informasi yang sampaikan oleh guru. Kebanyakan siswa mendapatkan informasi yang disampaikan oleh guru tanpa dipahami terlebih dahulu. Metode yang dipakai oleh siswa dalam berguru yaitu dengan cara menghafal. Jadi, guru memberikan informasi dan siswa hanya menghafal serta menelan mentah-mentah informasi tersebut tanpa memahami terlebih dahulu. Siswa sanggup memahami contoh soal yang disampaikan oleh guru di papan tulis, namun ketika diberikan soal yang berbeda siswa tidak sanggup mengerjakan soal tersebut. Kondisi yang demikian membuat siswa menjadi bosan dan kurang tertarik pada pembelajaran. Pembelajaran yang memakai model konvensional menyebabkan hasil berguru tidak tercapai secara maksimal alasannya yaitu tidak berlangsung secara efektif.
Berdasarkan wawancara dengan guru kelas VA dan VB, menjelaskan siswa kurang aktif dalam pembelajaran matematika. Terdapat siswa yang tidak memperhatikan klarifikasi guru, berbicara dengan teman sebangku, dan bermain sendiri. Hal tersebut menjadi kendala dalam pembelajaran matematika, sehingga belum bisa mencapai hasil pembelajaran yang maksimal.
Faktor lain yang menjadi kendala pembelajaran matematika yaitu tingkat kemampuan dan kecerdasan siswa yang beraneka ragam. Hal ini menuntut siswa untuk berguru lebih ulet daripada siswa yang sudah mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Beberapa siswa juga beranggapan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan cenderung tidak menyenangkan dibandingkan mata pelajaran yang lain. Hal ini berdampak kepada acara berguru siswa menjadi rendah baik acara fisik maupun mental sehingga berdampak pada hasil berguru matematika yang kurang maksimal.
Berdasarkan hasil dokumentasi, nilai ulangan tamat semester pembelajaran matematika pada kelas V masih tergolong rendah. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk mata pelajaran matematika yaitu 65. Jumlah siswa kelas V SD Negeri X yaitu sebanyak 50 dan terdapat 30 siswa yang nilainya belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) atau 60%.
Depdikbud (1996) dalam Trianto (2011 : 241) menjelaskan, suatu kelas dikatakan tuntas berguru secara klasikal apabila dalam kelas tersebut terdapat 85% siswa yang tuntas belajarnya. Berdasarkan nilai yang diperoleh, sanggup disimpulkan bahwa siswa masih mempunyai kemampuan yang rendah dalam pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan guru belum menerapkan model pembelajaran yang sempurna sehingga acara dan hasil berguru siswa masih rendah.
Berdasarkan permasalahan di atas perlu adanya alternatif pemecahan masalah, yaitu dengan membuat pembelajaran yang efektif. Pembelajaran efektif sanggup tercapai dengan cara membuat suasana kelas yang menyenangkan, sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain (Hamruni, 2012 : 29). Pembelajaran yang menyenangkan sanggup terealisasi apabila siswa terbebas dari rasa takut dan ketegangan. Suasana yang demikian sanggup mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa.
Penerapan pembelajaran yang efektif dilaksanakan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan rangkaian kegiatan berguru yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan (Andayani, 2014 : 193). Tujuan pembelajaran kooperatif tidak hanya meningkatkan potensi akademik, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan sosial siswa.
Pembelajaran kooperatif mempunyai banyak sekali macam model di dalamnya. Model pembelajaran merupakan suatu perencanaan atau suatu pola yang dipakai sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas (Ngalimun, 2014 : 27). Model pembelajaran yang diterapkan harus diubahsuaikan dengan karakteristik siswa.
Siswa pada jenjang sekolah dasar mempunyai karakteristik bahagia bermain, bergerak, bekerja dalam kelompok, dan melaksanakan sesuatu secara langsung. Guru perlu mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan dan mengusahakan siswa berpindah atau bergerak. Belajar dalam kelompok sanggup memperlihatkan kesempatan bagi siswa untuk terlibat pribadi dalam pembelajaran (Desmita, 2014 : 35).
Salah satu model pembelajaran yang menjadi alternatif pemecahan duduk kasus pada mata pelajaran matematika yaitu model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS). Model pembelajaran ini dilaksanakan dengan cara membuatkan pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Huda (2014b : 207) menyatakan model Two Stay Two Stray mempunyai tujuan biar siswa sanggup bekerja sama, bertanggung jawab, saling membantu memecahkan duduk kasus dan melatih siswa untuk bersosialisasi dengan baik.
Peneliti menentukan model pembelajaran Two Stay Two Stray dengan alasan mekanisme dalam model pembelajaran tersebut sanggup mengaktifkan siswa dalam pembelajaran. Setiap siswa mempunyai tanggung jawab untuk menuntaskan kiprah masing-masing meskipun dilaksanakan secara berkelompok. Model pembelajaran Two Stay Two Stray sanggup meningkatkan keterampilan sosial alasannya yaitu setiap siswa berinteraksi dengan berkunjung ke kelompok yang lain ataupun mendapatkan tamu dari kelompok lain.
Pelaksanaan model pembelajaran harus didukung oleh perangkat yang lain, salah satunya yaitu penggunaan teori belajar. Salah satu teori yang sanggup dipakai guru dalam pembelajaran matematika yaitu teori Van Hiele. Alasan pemilihan teori Van Hiele yaitu alasannya yaitu teori tersebut mempunyai fase-fase yang sanggup memberi akomodasi bagi siswa untuk memahami materi geometri. Pemilihan teori Van Hiele diubahsuaikan dengan materi yang akan disampaikan yaitu materi geometri wacana berdiri datar. Terdapat lima fase dalam melaksanakan pembelajaran teori Van Hiele yaitu fase informasi, orientasi, penjelasan, orientasi bebas dan integrasi (Aisyah, 2007 : 4-9-10).
Model pembelajaran Two Stay Two Stray pernah diterapkan dalam pembelajaran pada jenjang sekolah dasar yang dilaksanakan oleh Dwitantra (2011) yang berjudul "Efektivitas Pembelajaran Misi Kebudayaan Internasional melalui Model Two Stay Two Stray terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Negeri Kaligangsa Kulon 1 Brebes". Penerapan teori berguru Van Hiele telah dilakukan dalam penelitian eksperimen oleh Safrina dkk (2014) dari Universitas Syiah Kuala dengan judul "Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Geometri melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele".
Beberapa kajian empiris di atas, menjadi landasan peneliti untuk menerapkan model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis teori Van Hiele dalam mengatasi permasalahan pembelajaran matematika pada siswa kelas V SD Negeri X. Diharapkan melalui penerapan model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis teori Van Hiele pembelajaran matematika sanggup berlangsung secara efektif sehingga tujuan pembelajaran tercapai dengan optimal. Penerapan model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis teori Van Hiele sebagai bentuk pengujian keefektifan model dan teori pembelajaran pada mata pelajaran matematika kelas V SD.
0 Response to "Skripsi Pgsd Keefektifan Model Two Stay Two Stray Berbasis Teori Van Hiele Dalam Pembelajaran Matematika Kelas V"
Posting Komentar