Skripsi Analisis Kekuatan Aturan Sertifikat Notaris Perihal Perjanjian Perkawinan Pada Penetapan Perkara Perdata
(KODE : HKM-ISLM-00015) : SKRIPSI ANALISIS KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN PADA PENETAPAN PERKARA PERDATA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun sebagai mahkluk sosial, insan tidak sanggup dipisahkan dari masyarakat lantaran insan semenjak lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia selalu di dalam lingkungan masyarakat dan setiap insan itu diciptakan dengan berpasang-pasangan. Manusia untuk memulai kehidupannya dalam berpasangan yakni terikat dengan perkawinan, yang mana dalam perkawinan tersebut akan terciptanya keluarga dan menghasilkan keturunan.
Kita ketahui perkawinan yakni mempertemukan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim kemudian terikat dalam kekerabatan perkawinan. Untuk membentuk suatu keluarga, setiap insan apakah dia seorang laki-laki atau perempuan perlu bergaul (berkomunikasi) dengan lawan jenisnya dalam rangka menuju kehidupan keluarga yang serasi yaitu melangsungkan perkawinan.
Pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 wacana Perkawinan disebutkan bahwa : "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang senang dan infinit berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Sebelum lahirnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ketentuan, tata cara dan sahnya suatu perkawinan didasarkan pada aturan agama yang dianut para pihak maupun aturan watak yang berlaku pada kawasan tertentu yang akan melangsungkan perkawinan, sehingga sanggup ditemui bahwa tata cara suatu perkawinan akan berbeda berdasarkan agama yang dianut masing-masing. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa Indonesia yakni bangsa yang majemuk. Dengan demikian Undang-undang Perkawinan tersebut merupakan landasan untuk membuat kepastian aturan akhir dari suatu perkawinan baik dari sudut aturan keluarga, harta benda dan status hukumnya. Hal ini dikarenakan Negara Indonesia yang kaya akan budaya dan adat, sehingga dengan hadirnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 untuk dijadikan landasan aturan dalam ketentuan perkawinan, supaya di Indonesia ada kepastian aturan wacana perkawinan. Maka Undang-undang perkawinan ini, selain meletakkan asas-asas aturan perkawinan Nasional, sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memperlihatkan landasan aturan perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi banyak sekali golongan masyarakat di Indonesia.
Prof. Dr. Hazairin dalam bukunya yang berjudul : "Tinjauan mengenai Undang-undang No 1 Tahun 1974", dia menamakan Undang-undang ini sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan masyarakat, perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, perlu adanya landasan yang kokoh dan berpengaruh sebagai titik tolak pada masyarakat yang adil dan makmur, hal ini dituangkan dalam suatu Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perkawinan pada masyarakat kita semenjak dahulu mengenal adanya pencampuran harta perkawinan. Para mempelai tidak pernah meributkan mengenai harta masing-masing pihak. Asas saling percaya dan memahami pasangan menjadi landasan dalam penyatuan harta perkawinan.
Adanya suatu perkawinan akan menjadikan banyak sekali masalah, dalam hal ini ada tiga kasus penting, yaitu : kasus kekerabatan suami-istri, kasus kekerabatan orang bau tanah dengan anak dan kasus harta benda. Dan akhir dari suatu perkawinan mempunyai efek yang cukup luas antara lain sosial dan hukum, mulai pada ketika perkawinan, selama perkawinan maupun sehabis perkawinan, lantaran dalam suatu perkawinan banyak hal yang akan terjadi maupun yang akan didapatkan seperti; kasus harta, keturunan, dimana apabila tidak ada ketentuan yang terang khususnya kasus pembagian harta peninggalan dari yang meninggal maupun yang melaksanakan perceraian, termasuk juga kasus harta bawaan masing-masing akan menjadikan suatu persoalan.
Disamping soal hak dan kewajiban antara suami istri dan kasus anak ada lagi kasus wacana harta benda, hal ini merupakan pokok yang sanggup menjadikan banyak sekali perselisihan dan ketegangan hidup perkawinan, sehingga sanggup memungkinkan terjadinya pertengkaran di dalam kehidupan rumah tangga. Tentang kasus harta ini ada dua kemungkinan, yakni ada harta bersama yang diperoleh dari sehabis menikah sehingga harta tersebut menjadi kesatuan bundar dalam perkawinan, dan yang kedua yakni harta bawaan yang di bawa masing-masing oleh calon pengantin. Tentang tipe harta yang kedua tersebut, kadang ada pasangan yang menuangkannya dalam perjanjian nikah.
Dan akhir-akhir ini banyak ditemukan suatu kasus wacana perjanjian pra nikah yang dilakukan oleh calon mempelai pasangan. Makara ijab kabul berdasarkan mereka yang melaksanakan perjanjian nikah ini, tidak hanya didasarkan oleh rasa kepercayaan antara pasangan, namun adakala hal ini dilakukan untuk menghindari konflik yang akan terjadi di kemudian hari dalam kehidupan pernikahan. Namun bekerjsama terasa janggal apabila kita melaksanakan ijab kabul namun kehidupan kita dibatasi dengan adanya suatu perjanjian yang dinamakan sebagai perjanjian perkawinan (Prenuptial Agreement). Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibentuk oleh para pihak (mempelai laki-laki dan wanita) sebelum atau pada ketika dilangsungkannya pernikahan. Perjanjian ini mengatur akhir perkawinan terhadap harta dan kewajiban para pihak.
Perjanjian perkawinan sanggup difungsikan sebagai persiapan untuk perahu rumah tangga, lantaran isi perjanjian perkawinan tidak hanya berupa pemisahan harta antara milik suami dan istri. Isi perjanjian perkawinan sanggup berupa hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana membangun sebuah keluarga yang serasi dan sejahtera. Sebagai contoh, pasangan suami istri sanggup saling berjanji bahwa jikalau sudah menikah suami tidak boleh berpoligami dan melaksanakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perkawinan merupakan suatu bentuk perjanjian itu sendiri lantaran ketika pasangan pengantin akan menikah diikat dengan perjanjian suci tersebut. Oleh lantaran itu, perjanjian perkawinan yang akan mengikat kekerabatan mereka lebih berpengaruh lagi yang menjadi suatu perbuatan atau pilihan yang tidak tidak boleh oleh agama. Artinya, yakni umat Islam diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan tanpa memandang hal ini sebagai suatu perbuatan yang bersifat duniawi. Namun, tentunya perjanjian perkawinan yang dibentuk juga mengindahkan tata agama, tata hukum, dan tata susila yang berlaku di masyarakat.
Namun, perihal pembuatan perjanjian perkawinan ini seringkali bukan hanya calon pasangan pengantin saja yang bertengkar ketika ilham perjanjian ijab kabul dilontarkan, namun juga merembet menjadi kasus keluarga antara calon besan. Hal ini terjadi lantaran perjanjian pranikah bagi kebanyakan orang disini masih dianggap tidak pantas, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan watak dan lain sebagainya.
Selain itu, wacana perjanjian perkawinan bukanlah hal yang terkenal dalam masyarakat, lantaran dalam masyarakat terdapat anutan bahwa suami istri yang membuat perjanjian perkawinan dianggap tidak mengasihi pasangannya sepenuh hati, lantaran tidak mau membagi harta yang diperolehnya. Hal ini disebabkan dengan adanya perjanjian perkawinan maka dengan sendirinya dalam perkawinan tersebut tidak terdapat harta bersama dan yang ada hanya harta pribadi masing-masing dari suami atau istri.
Terlepas dari anggapan masyarakat yang menilai perjanjian pra nikah ini dengan anggapan negatif, bekerjsama mempunyai manfaat yang baik, yakni untuk kehidupan rumah tangga calon pasangan pengantin supaya tidak semena-mena dan merugikan salah satu pihak.
Sebagai pola seorang istri yang tidak melaksanakan perjanjian perkawinan, maka kekuasaan harta bersama biasanya lebih dikuasai oleh suami, sehingga tidak jarang suami sering melaksanakan kesalahan yang sanggup merugikan istri dan harta bersama, contohnya suami suka berjodi, atau minum-minuman keras sehingga sering menghabiskan uang dari harta bersama. Atau sebaliknya perilaku istri yang terlalu boros dalam menggunakan harta bersama, dimana dengan perilaku itu harta bersama sering terpakai secara tidak bermanfaat sehingga tentunya juga akan merugikan bagi suami yang sudah bekerja keras untuk mengumpulkan harta tersebut. Akan tetapi jikalau mereka melaksanakan perjanjian perkawinan, maka suami atau istri hanya akan menghabiskan harta pribadinya sehingga harta si istri atau harta si suami tetap kondusif terpelihara.
Maka dengan membuat perjanjian pra nikah, pasangan calon pengantin mempunyai kesempatan untuk saling terbuka. Mereka sanggup menyebarkan rasa atas keinginan-keinginan yang hendak disepakati bersama tanpa ada yang ditutup-tutupi atau salah satu pihak merasa dirugikan lantaran satu sama lain sudah mengetahui dan menyetujui dan mau menjalani isi perjanjian tersebut. Namun, wacana impian membuat perjanjian perkawinan semuanya tergantung atas calon pasangan pengantin dan kesepakatan bersama tanpa ada pemaksaan dari pihak lain.
Perjanjian kawin biasanya disusun sebelum dilangsungkannya perkawinan. Hal ini bertujuan mengatur terlebih dahulu sebelum adanya pernikahan. Sehingga hak dan kewajiban para pihak akan menjadi jelas. Pembuatan perjanjian sebelum ada perkawinan yakni supaya perjanjian tersebut berlaku efektif ketika perkawinan tersebut dilangsungkan. Sebab ada kemungkinan jikalau perjanjian kawin dilaksanakan sehabis adanya perkawinan akan menjadi sebuah hal yang aneh. Karena masih saja memikirkan harta sedangkan sudah saling terikat. Hal ini berarti ada indikasi untuk melaksanakan perceraian atau memang semenjak awal motivasi perkawinan tersebut yakni motivasi ekonomi atau politis. Namun fenomena perjanjian pra nikah ini dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai harta dalam jumlah besar, sehingga merasa perlu untuk membuat perjanjian perkawinan supaya tidak terjadi konflik di kemudian hari.
Tentang Perjanjian yang demikian itu berdasarkan Pasal 147 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tersebut harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu sertifikat notaris. Perjanjian kawin ini mulai berlaku antara suami-istri pada ketika perkawinan selesai dilakukan di depan Pegawai Catatan Sipil dan mulai berlaku terhadap para pihak ketiga semenjak dilakukannya registrasi di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dimana dilangsungkannya perkawinan dan telah dicatat dalam Akta Perkawinan pada Catatan Sipil.
Dan apabila registrasi perjanjian tersebut belum dicatat dalam Akta Perkawinan Catatan Sipil, maka para pihak ketiga boleh menganggap suami-istri itu kawin dalam persatuan bundar harta kekayaan perkawinan.
Perjanjian kawin dilakukan secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak. Hal ini menjadikan konsekuensi aturan yang berarti para pihak telah mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan tidak boleh melanggar perjanjian tersebut. Para pihak harus menaati perjanjian ini sebagaimana diatur dalam Bugerlijk Wetboek (BW). Sebagai sebuah perjanjian maka bila salah satu pihak melaksanakan pelanggaran (ingkar janji) sanggup dilakukan somasi baik somasi cerai atau ganti rugi.
Perjanjian perkawinan ini dibentuk untuk menjaga profesionalisme, hubungan, dan gambaran mereka, juga menghindari tuduhan bahwa salah satu pihak atau keluarganya ingin mendapat kekayaan pihak lain, terutama dari hasil pembagian harta gono-gini (harta yang didapat sehabis pernikahan).
Perjanjian perkawinan harus dibentuk dengan sertifikat notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pengawas Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan itu berlangsung dan ia mulai berlaku semenjak perkawinan itu dilangsungkan. Materi yang diatur di dalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami-calon istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga ini tersangkut.
Agar perjanjian perkawinan itu mempunyai kekuatan hukum, maka lebih baik dibentuk di hadapan notaris, lantaran notaris mempunyai wewenang dalam pembuatan sertifikat otentik, berbicara wacana keterkaitan dengan sertifikat otentik dan kewenangan notaris selaku pejabat umum yang berwenang membuat sertifikat otentik, sanggup lebih jauh dilihat dalam UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yaitu konsiderans butir b disebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban, dan donasi aturan diharapkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, insiden atau perbuatan aturan yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. Hal ini memperlihatkan bahwa notaris mempunyai dasar aturan yang menguatkan profesi mereka.
Berdasarkan UUJN (Undang-undang Jabatan Notaris) tersebut diatur bahwa Notaris yakni pejabat umum yang berwenang untuk membuat sertifikat otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut.
Kembali membicarakan pembahasan wacana sahnya sebuah perjanjian perkawinan dan mempunyai kekuatan aturan mengikat, maka perjanjian perkawinan tersebut harus didaftarkan dan disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 wacana Perkawinan.
Namun dalam kenyataannya, banyak pihak yang justru masih melaksanakan registrasi perjanjian perkawinan kepada Panitera Pengadilan Negeri, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, sehingga kasus wacana registrasi dan legalisasi perjanjian perkawinan ini masih simpang siur atau belum jelas. Padahal dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 wacana Perkawinan, sudah disebutkan bahwa : "peraturan lain yang mengatur wacana perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku."
Dari uraian di atas terang terlihat adanya kegelisahan akademik, yang membuat peneliti ingin mengkaji lebih dalam, yakni wacana perjanjian perkawinan yang di buat di hadapan notaris namun kenapa masih harus di daftarkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri untuk mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri supaya sanggup dicatat di dalam kesatuan sertifikat nikah, padahal sertifikat notaris ini mempunyai kekuatan aturan dan ada dasar hukumnya dan apa tujuan dari registrasi perjanjian perkawinan tersebut ke panitera Pengadilan Negeri, serta klarifikasi wacana perjanjian perkawinan pada pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang mana membuktikan legalisasi pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di pegawai pencatatan perkawinan (pencatatan sipil) bukan di Lembaga Pengadilan. Hal ini terlihat masih terdapat simpang siur dalam legalisasi dan registrasi perjanjian perkawinan.
Untuk itu, peneliti ingin mengkaji lebih dalam permasalahan tersebut dengan mengadakan penelitian dengan judul : "ANALISIS KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PENETAPAN PERKARA PERDATA”.
0 Response to "Skripsi Analisis Kekuatan Aturan Sertifikat Notaris Perihal Perjanjian Perkawinan Pada Penetapan Perkara Perdata"
Posting Komentar