iklan banner

Tugas Essai Perihal Ahmad Syafi'i Ma'arif



TUGAS ESSAI



AHMAD SYAFI’I MA’ARIF



Disusun Oleh:
Waitah

KOMPETENSI KEAHLIAN :
TEKNIK KOMPUTER DAN JARINGAN


MAJELIS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
SMK MUHAMMADIYAH LARANGAN
CABANG LARANGAN DAERAH BREBES
 WILAYAH JAWA TENGAH
Jl. Irigasi Larangan kec. Larangan-kab. Brebes instruksi Pos 52262.
Telp. (0283) 6183723
Email : smkmuhi__lrg@yahoo.co.id
2019



A.    BIOGRAFI AHMAD SYAFI’I MA’ARIF

            Lahir dari didikan Muhammadiyah, Ahmad Syaf'i Ma'arif dikenal sebagai salah satu tokoh dan pemikir Islam di Indonesia.Ia pun menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pria kelahiran Sumpur Kudus, 31 Mei 1935 ini besar dari keluarga sederhana di perkampungan Sumatera Barat. Sejak kecil ia mempunyai tekad ingin sekolah hingga tinggi. Sekolah dasarnya ia selesaikan di bersahabat rumahnya dalam waktu singkat hanya lima tahun. Selain sekolah umum, ia juga sekolah agama di ibtidaiyah Muhammadiyah Kampung Sumpur, Sumatera Barat.
Setelah itu, ia meneruskan ke sekolah lanjutan Muhammadiyah dan lulus dari Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau, Sumatera Barat. Lulus dari sana, ia hijrah ke Yogyakarta untuk meneruskan ke jenjang SMA. Tapi ia tidak diperkenankan alasannya ialah pendidikan mualliminnya di Sumatera Barat tidak diakui. Akibatnya, ia meneruskan kembali ke Madrasah Muallimin yang ada di Yogyakarta milik organisasi Muhamadiyah.
Setelah lulus muallimin pada usia 21 tahun, ia diharuskan mengabdi di pendidikan yang dikelola organisasi Muhammadiyah dan dikirim ke Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk mengajar di sekolah Muhammadiyah. Setelah selesai pengabdiannya, ia kembali ke Jawa untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Dia mengambil jurusan sejarah di Universitas Cokroaminoto Surakarta.
Di tengah kesibukannya kuliah, ia harus bekerja untuk membiayai hidup dan kuliahya, apalagi ketika itu ia sudah ditinggalkan kedua orang tuanya. Dia pun mengajar di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas di kawasan yang bersahabat kampusnya. Kesibukan dan situasi politik ketika itu, Syafi'i Ma'arif gres bisa menuntaskan pada usia 29 tahun dengan gelar sarjana muda (BA).
       Setelah menggondol gelar sarjana muda, ia mulai mengajar di Universitas Islam Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, untuk meneruskan kesarjanaanya, ia melanjutkan kuliahnya ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta dalam bidang yang sama sejarah. Ia terbilang pintar, dalam waktu dua tahun ia sukses meraih gelar sarjana penuh (Drs). 
Sejak itu, hidupnya banyak di dunia akademisi dan pemikiran-pemikiran briliannya mulai terlihat. Untuk mempertajam wawasan intelektualnya, ia meneruskan ke jenjang master dan doktor ke Amerika Serikat. Dia mengambil sejarah pada kegiatan master di Departemen Sejarah Ohio University dan  pemikiran Islam di Universitas Chicago, Amerika Serikat.
       Sukses di dunia akademisi, Syafi'i Ma'arif  tidak melupakan akan organisasi Muhammadiyah yang telah membimbingnya semenjak kecil. Dia pun aktif di organisasi pembaharu Islam ini. Namanya makin menasional pada awal lahirnya Era Reformasi tahun 1998. Saat itu, ia menggantikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais yang terjun ke politik simpel dengan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN).


Marwah Muhammadiyah tetap terjaga sebagai organisasi dakwah tidak terserat ke politik. Di situlah tugas Syafi'i ma'arif dibutuhkan. Ia didaulat meneruskan kepemimpinan Amien Rais, 1998-2000.  Dalam waktu dua tahun, Syafi'i Ma'arif berhasil membawa Muhammadiyah ke jalur khittahnya.
Pada muktamar Muhammadiyah, muktamirin kembali meminta Syafi'i Ma'arif menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah 2000-2005.
Setelah tidak menjadi orang nomor satu di Muhammadiyah, ia tetap konsern akan perkembangan Muhammadiyah, Islam, dan Indonesia. Dia tetap menyampaikan masukan dan kritikan kepada sobat dan kepada siapa dengan tulus. Untuk menguatkan pemikiran-pemikiran pluralisme, toleransi, kebangsaan, keislaman, sosialnya, didirikan forum Ma'arif Institute. Lembaga ini diisi oleh intelektual-intelektual muda dan yang mempunyai kepedulian akan bangsa.
       Pada masa usia yang sudah tidak muda lagi, 80 tahun, pemikirian-pemikiran Syafi"ii masih diperlukan bangsa ini. Presiden Joko Widodo, pada awal tahun 2015, sempat menyampaikan posisi Dewan Pertimbang Presiden, tapi Syafi'i menolaknya. Dia mau lebih independen. Maka, ketika presiden Joko Widodo memintanya untuk menjadi salah satu Tim Independen mengatasi konflik Polri-KPK, ia menyanggupinya dan sekaligus menjadi Ketua Tim Independen 2015. (*)

KELUARGA
Isti                                : Hj. Nurkhalifah
Anak                            : Salman
                                      Ikhwan
                                      Mohammad Hafiz

PENDIDIKAN   
SR Negeri Sumpur Kudus, Sumatera Barat  (1947)
Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus, Sumatera Barat
Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Lintau, Sumatera Barat
Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, Yogyakarta (1956)
BA, Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Universitas Cokroaminoto Surakarta (1964)
S1, Jurusan Sejarah, IKIP Yogyakarta (1968)
S2, Jurusan Sejarah, Ohio University, Athens, Ohio, AS, (MA, 1980)
S3, Pemikiran Islam, Universitas Chicago, Amerika Serikat, (Ph.D, 1983)




KARIER
Guru di Sekolah Muhammadiyah, Lombok Timur, NTB (1957-)
Guru Bahasa Inggris dan Indonesia Sekolah Menengah Pertama di Baturetno, Surakarta (1959-1963)
Guru Bahasa Inggris dan Indonesia Sekolah Menengan Atas Islam Surakarta (1963-1964)
Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta  (1964-1969)
Dosen IKIP Yogyakarta (1967-1969)
Asisten dosen paruh waktu Sejarah dan Kebudayaan Islam di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1969-1972)
Asisten Dosen Sejarah Asia Tenggara IKIP Yogyakarta (1969-1972)
Dosen paruh waktu Sejarah Asia Barat Daya IKIP Yogyakarta (1973-1976)
Dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1983-1990)
Profesor tamu di University of Iowa, AS (1986)
Dosen senior (paruh waktu) Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Kalijaga, Yogyakarta (1983-1990)
Dosen senior (paruh waktu) di UII Yogyakarta (1984-1990)
Dosen senior (paruh waktu) Sejarah Ideologi Politik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (1987-1990)
Dosen senior (pensyarah kanan) di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1994)
Dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1992-1993)
Profesor tamu di McGill University, Kanada (1992-1994)
Profesor Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1996)
Wakil Ketua PP Muhammadiyah (1995-1998)
Ketua PP Muhammadiyah (1998-2000)
Ketua PP Muhammadiyah  (2000- 2005)
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia
Pemimpin Redaksi majalah Suara Muhammadiyah Yogyakarta (1988-1990)
Anggota Staf Ahli jurnal Ummul Qur'an (1988)
MAARIF Institute for Culture and Humanity (2002)
Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP)
      Buya Ahmad Syafii Maarif dikenal sebagai tokoh lintas agama. Salah satu dari "Tiga Pendekar dari Chicago" ini dikenal sebagai orang yang menggalakkan toleransi di Indonesia.
tirto.id - Jumlah guru besar di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)—eks IKIP Negeri Yogyakarta—bisa dihitung jari. Tapi, jurusan pencetak guru sejarah ini boleh besar hati dengan mereka punya profesor. Pemuda-pemudi dusun yang berstatus mahasiswa di Karangmalang, Sleman, Daerah spesial Yogyakarta itu, punya Ahmad Syafi'i Maarif. 
Ia seorang doktor lulusan Universitas Chicago dengan disertasi berjudul "Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia" (1983). Selain itu, sesudah Reformasi 1998 hingga 2005, ia ialah Ketua Umum PP Muhammadiyah. Sebagian orang kerap menyebutnya dengan Buya Syafi'i.
Jika kereta api dulu punya penumpang gelap, maka kelas yang diampunya, Filsafat Sejarah, juga punya mahasiswa gelap. Mahasiswa gelap ini berasal dari kampus Bulaksumur, tepi barat Karangmalang. 
Jelang jam mata kuliah Filsafat Sejarah, biasanya seorang mahasiswa kerap dimintai tolong oleh Syafi'i. Si mahasiswa akan mendatangi kedai fotokopi terdekat di Dusun Karangmalang itu, untuk menjiplak sebuah klipingan koran, rubrik "Resonansi" di harian Republika
Biaya penggandaan pun ditanggung Syafi'i. Jika banyak fenomena dosen yang menyuruh mahasiswa membeli diktat dosennya, Syafi'i tidak rela mahasiswanya terpaku pada diktat. Syafi'i lebih rela merogoh koceknya supaya mahasiswa yang ikut kelasnya bisa membaca lembaran hasil penggandaan itu dengan nyaman. 
Bila ternyata ada mahasiswa yang belum kebagian, Syafi'i rela merogoh lagi kantongnya. Dia bukan orang pelit. Setidaknya ia bukan orang pelit ilmu dengan rajin menulis di rubrik "Resonansi" Republika, kemudian menyebarkan pemikirannya di kelas. Apa yang ditulisnya pada minggu-minggu itu menjadi materi yang diajarkannya di kelas Filsafat Sejarah.
Syafi'i bukan tipe dosen yang terpaku pada skor dalam mengevaluasi kuliah mahasiswanya. Syafi'i tak pernah mendikotomikan mahasiswa udik atau pandai di kelas Filsafat Sejarahnya. Tak ada pembelajaran yang benar-benar tuntas bagi seseorang, apalagi berguru filsafat dan sejarah. 
Sebagai akademisi dan intelektual, Syafi'i banyak menulis buku terkait Islam. Seperti Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak? (1984), Islam dan Masalah Kenegaraan (1985), juga Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009). Dia bahkan pernah meraih penghargaan Ramon Magsaysay pada 2008.
Syafi'i berasal dari Sumpur Kudus, Sawahlunto, Sumatera Barat. Sejak 1953, ia menjalani apa yang dilakukan orang-orang sohor Minangkabau: merantau. Ketika di wilayahnya bergolak Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Syafi'i sedang berada di Jawa. Dia ingin sekolah lagi. Padahal kala itu, pelajar dan mahasiswa asal Sumatera banyak yang mendadak pulang, untuk bergabung dalam pasukan PRRI.
Syafi'i, dalam autobiografinya, Titik Kisar Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafi'i Maarif (2009), mengaku, "aku yang semula pro-PRRI, tetapi melihat korban yang begitu banyak, perlu mempertanyakan cara-cara berjuang untuk menekan Jakarta dengan membentuk pemerintah tandingan" (hlm. 143). Kekerasan tidak bisa menjadi kebaikan.

                                           Tugas Essai perihal Ahmad Syafi'i Ma'arifSementara PRRI gagal di Sumatra, Syafi'i melanjutkan sekolahnya di Solo. Setelahnya ia kuliah di Universitas Cokroaminoto kemudian di IKIP Negeri Yogyakarta. Setelah di dua kampus itu, ia berguru di Amerika hingga meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D). Lebih dari separuh hidupnya memang di sekolah. Selain pernah jadi siswa dan mahasiswa, Syafi'i pernah jadi guru sebelum jadi dosen.
1.      Penganjur Toleransi
       Setahun terakhir, Syafi'i dikenal sebagai tokoh lintas agama yang berjuang keras menggalakkan toleransi di Indonesia. Pembelaannya kepada Ahok terkait kasus Al-Maidah 51, bahkan membuatnya dicerca orang-orang anti-Ahok di sosial media. Bahkan ada orang yang mengaku satu suku dengan Syafi'i, selain mengecam juga secara sepihak mencabut gelar Buya yang disandang Syafi'i. Kepada Antaranews (7/11/2016), Syafi'i, yang membaca secara utuh pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu, menyebut “Ahok tidak menyampaikan Al Maidah (ayat 51) itu bohong". Syafi'i hanya ingin berpikir adil sebagai orang terpelajar, dan juga sebagai orang Islam.
Syafi'i semenjak usang risih dengan sikap intoleran di Indonesia. Itu bahkan terjadi di kelasnya. Suatu kali, waktu zaman Orde Baru, ada seorang mahasiswa menjelek-jelekkan agama lain. Itu mahasiswa intoleran kemudian disemprotnya.
Menurut Syafi'i, toleransi itu penting bagi Indonesia yang beragam dalam banyak hal. Dalam bukunya, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965 (1996), dengan mengacu pada Piagam Madinah, Syafi'i menulis, “Sebuah bangsa sanggup mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap” (hlm. 154). 
Wajah Islam Indonesia hari ini sebagian sisinya tercitra begitu negatif, hingga jauh dari nilai sejatinya sebagai agama damai. Praktis sekali menemukan orang-orang yang mengaku Islam namun perilakunya berangasan dan merasa paling suci. Hal-hal baik gagal ditegakkan. Islam Indonesia golongan ini hanya terjebak pada simbol-simbol saja dan menjauh dari esensi.


2.      Membedakan Arab dan Islam
       Penyakit umat Islam di Indonesia ialah kerap menyamaratakan antara Islam dengan Arabisme. Seperti dikutip Antaranews (29/10/2017) Syafi'i menyebut, “ada Arabisme yang positif. Yang negatif ya kelompok-kelompok garis keras, ada ISIS, Bokoharam dan sebagainya.” 
Banyak orang Islam Indonesia berpendapat, alasannya ialah Islam itu berasal dari tanah Arab, semua yang ada di Arab Saudi sudah niscaya 100 persen Islam. Tak heran kalau Islam hanya terlihat menyerupai parade peci dan baju koko dengan diiringi semangat barbar.
“Agama digunakan tidak untuk mengarahkan pemeluknya kepada hal-hal yang lebih baik. Orang menggunakan tasbih saja seolah-olah sudah Islam. Ini pembodohan,” kata Syafi'i menyerupai dikutip Antaranews (22/10/2017). 
Syafi'i menilai, menyerupai ditulisnya dalam Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (2018), “Muslim yang non Arab itu pada umumnya tidak bisa mempelajari pedoman Islam dari sumber aslinya dalam bahasa Arab. Maka kebergantungan rumusan Islam dalam bungkus Arabisme itu tidak sanggup dielakkan lagi” (hlm. 65).
Syafi'i melihat ada ancaman besar dalam hal ini. Menurutnya, kalau kondisi ini terus terjadi, “sama saja dengan melanggengkan malapetaka dan penderitaan bagi umat ini.” 
Masih berdasarkan Syafi'i, hendaknya seorang Muslim di masa sekarang bisa membedakan antara Arabisme dan Islam. Dengan tingkat pendidikan pendidikan lebih tinggi dan alat komunikasi yang canggih, harusnya itu mungkin.
Di masa Orde Baru, waktu masih ada forum prestisius berjulukan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), pergesekan antarumat beragama sulit ditemukan. Setelah Orde Baru runtuh, berpuluh tahun sesudah Kopkamtib yang tak disukai Syafi'i dibubarkan, maka dengan gampang konflik antaragama meledak. 
Karena itu, banyak orang dengan gampang merindukan stabilitas keamanan ala Orde Baru. Mereka tak sadar bahwa toleransi tinggalan Orde Baru itu semu alasannya ialah bukan dari kesadaran paling dalam. Toleransi ada alasannya ialah kemauan pemerintah.

       Toleransi, berdasarkan Syafi'i, sulit ditegakkan di Indonesia. Tak hanya toleransi, demokrasi juga tidak tumbuh dengan baik. Menurutnya, menyerupai dituangkan dalam Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), “Kepentingan politik sempit yang menutup ruang untuk mengembangkan budaya toleransi di kalangan elit. Kemudian di bawah sistem politik otoritarian selama empat dasawarsa (1959-1988), demokrasi telah dibunuh secara sadar” (hlm. 162). 
Di usianya yang makin senja, dan dalam segala kegaduhan ketika ini, Syafi'i masih menjadi pegiat sekaligus pola toleransi yang diinginkan itu.

====================

Sepanjang bulan rahmat hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari banyak sekali spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi bantuan penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu ialah cahaya".


Sumber http://inspirasi-dttg.blogspot.com

0 Response to "Tugas Essai Perihal Ahmad Syafi'i Ma'arif"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel