iklan banner

Tesis Hubungan Karakteristik Keluarga, Penyuluhan Kesehatan Langsung, Dan Media Massa Dengan Sikap Pencegahan Malaria

(KODE : PASCSARJ-1154) : TESIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA, PENYULUHAN KESEHATAN LANGSUNG, DAN MEDIA MASSA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA (PROGRAM STUDI : KEPERAWATAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang banyak terjadi di negara-negara tropis. Penyakit ini pun masih menjadi duduk kasus kesehatan di dunia (Kemenkes RI, 2010) dan dikategorikan “re-emerging disease”. WHO (World Health Organization) dalam Malaria Report 2011 menyatakan bahwa malaria cenderung selalu meningkat dari tahun ke tahun. Data lima tahun terakhir memperlihatkan bahwa pada tahun 2005 terdapat 83.551.210 kasus, tahun 2006 terdapat 85.573.379 kasus, tahun 2007 terdapat 86.746.527 kasus, tahun 2008 terdapat 74.585.630 masalah dan tahun 2009 terdapat 82.485.969 kasus. WHO (2011), melaporkan dari 106 negara yang dinyatakan endemis malaria terdapat 94.299.637 masalah malaria, 345.960 meninggal karenanya dan 2.426 masalah terjadi di Asia Tenggara selama tahun 2010.
Kondisi ini juga terpapar di Indonesia, populasi penduduk Indonesia hampir setengahnya tinggal di tempat endemik malaria (kecuali Pulau Jawa-Bali). WHO (2011) melaporkan bahwa terdapat 1.849.062 masalah dan 432 masalah meninggal selama tahun 2010. Terdapat 424 kabupaten/ kota endemis dari 576 kabupaten/ kota yang ada di Indonesia (Kemenkes, 2010).
Malaria juga merupakan penyakit yang mempengaruhi tingginya ajal terutama kelompok risiko tinggi, yaitu bayi, anak balita, dan ibu hamil. Malaria secara pribadi menimbulkan anemia dan sanggup menurunkan produktivitas sumber daya insan (Kemenkes, 2010). Secara tidak langsung, malaria menimbulkan melemahnya perekonomian masyarakat. GF (Global Fund AIDS, Tuberculosis, and Malaria) (2009), menyatakan bahwa penyakit ini dianggap sebagai keadaan berbahaya yang mempengaruhi setengah dari populasi dunia dan menjadi bundar kemiskinan di beberapa negara berkembang. Menurut perhitungan para hebat ekonomi kesehatan, masalah malaria ketika ini sanggup mengakibatkan kerugian ekonomi mencapai sekitar 3,3 triliun rupiah sebagai akhir dari tidak sanggup bekerja selama satu minggu, biaya pengobatan dan lain-lain, belum termasuk biaya sosial ibarat menurunnya tingkat kecerdasan anak dan menurunnya kualitas sumber daya insan yang berdampak pada penurunan produktifitas (Kemenkes, 2010).
Penanggulangan penyakit malaria telah menjadi kerangka kerja pembangunan nasional, kerangka kerja ini sebagai implikasi dari janji MDGs (Millennium Development Goals) tahun 2015. Penanggulangan malaria dideklarasikan pula sebagai kegiatan kesepuluh Sidang WHA (World Health Assembly) di Swiss tahun 2011 (Kemenkes RI, 2011). Penurunan angka kejadian malaria menjadi 1 per 1000 penduduk merupakan indikator yang harus dicapai setiap negara yang menyepakati MDGs tersebut.
Pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat, dan ditegaskan pula bahwa pencegahan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat melalui sikap hidup sehat (Kemendagri, 2009). Artinya penanggulangan penyakit ini perlu dilakukan secara komprehensif sesuai dengan paradigma sehat pembangunan kesehatan ketika ini, yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan ajal serta mencegah KLB (Kejadian Luar Biasa). Pencapaian hasil yang optimal dilakukan dengan upaya preventif dan kuratif yang berkualitas dan terintegrasi dengan lintas sektor, lintas program, dan lintas tempat (Kemenkes RI, 2010). Hal ini disebabkan lantaran malaria tidak mengenal batas-batas wilayah administratif (Bappenas, 2006).
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular menjadi upaya wajib (Kemenkes, 2004). Upaya wajib berarti upaya yang ditetapkan sebagai komitmen nasional dan global yang dianggap bisa menjadi daya ungkit tinggi dalam peningkatan derajat kesehatan manusia. Artinya penyakit malaria menjadi prioritas utama jadwal di puskesmas.
Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014 telah ditetapkan sasaran penurunan angka kejadian masalah malaria (Annual Parasite Index-API) dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk (Kemenkes, 2010). Angka kejadian malaria menurut API semenjak tahun 2005–2006 cenderung meningkat dari 2,93-3,14, namun tahun 2007-2011 dengan banyak sekali upaya pemerintah terjadi penurunan yang sangat tajam dari 2,87-1,75 (Kemenkes, 2012).
Setiap individu sanggup terinfeksi plasmodium malaria, akan tetapi dalam keadaan vulnerable, risiko terinfeksi akan lebih tinggi. Keadaan ini akan bertambah lagi jikalau dipicu dengan faktor-faktor lain ibarat usia, jenis, kelamin, ras, riwayat malaria sebelumnya, gaya hidup, sosial ekonomi, status gizi dan imunitas (Kemenkes, 2004). Sehingga, kondisi vulnerable yang dipicu dengan beberapa faktor di atas akan menimbulkan individu gampang terinfeksi malaria.
Penduduk yang tinggal di tempat endemik pun lebih rentan terkena penyakit malaria. Keadaan semacam ini akan meningkatkan risiko memburuknya status kesehatan masyarakat (Stanhope & Lancaster, 2004). Populasi yang rentan merupakan kelompok yang paling membutuhkan dilakukannya tindakan pencegahan dan perlindungan terhadap penyakit (Jaspers dan Shoham, 1999; Webb dan Harinarayan, 1999). Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan yakni menghindari/ memproteksi dari agent penyebab malaria.
Agent penyebab malaria yakni protozoa dari genus plasmodium. Bila terjadi kontak yang efektif, agent ini akan lebih gampang menginfeksi pada individu/ keluarga vulnerable. Sedangkan, lingkungan di Indonesia cukup mendukung keberadaan penyakit malaria, seperti: lingkungan fisik (suhu, kelembaban udara, curah hujan, ketinggian, angin), lingkungan biologis dan lingkungan sosial-budaya (Kemenkes, 2004). Kondisi semacam ini semakin memudahkan agent malaria untuk menginfeksi individu/ keluarga yang vulnerable tersebut.
Suryantoro (2008) menemukan bahwa karakteristik lingkungan tempat endemis kuat terhadap ada tidaknya masalah malaria di suatu daerah, adanya danau genangan air, kolam, pembenihan ikan merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk anopheles sebagai vektor malaria. Begitu juga Darundiati (2010) yang menemukan bahwa terdapat kekerabatan yang bermakna dari faktor lingkungan dengan angka kejadian malaria. Sedangkan Kurniawan (2008) menemukan bahwa faktor risiko kejadian malaria yakni keberadaan genangan air akrab rumah dan tingkat pengetahuan. Keadaan lingkungan yang endemis sanggup meningkatkan angka kejadian penyakit malaria.
Penduduk yang tinggal di tempat endemis termasuk dalam kategori populasi rentan. Populasi ini sangat sensitif terhadap risiko yang berasal dari faktor biologis dan didukung dengan faktor ekonomi, sosial, dan gaya hidup. Interaksi hasil beberapa faktor risiko dalam meningkatkan kerentanan terhadap faktor-faktor lain, yang juga sanggup berdampak negatif terhadap kesehatan individu (Sebastian & Burshy, 2000 dalam Rita Hammer, Barbara dan Pagliaro, 2006). Keluarga rentan pun mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk terjangkitnya penyakit. Keadaan ini disebabkan lantaran keluarga rentan mempunyai keterbatasan sumber daya fisik dan emosional yang sanggup mengancam kiprah dan fungsi keluarga. Upaya yang dilakukan keluarga rentan dalam menuntaskan duduk kasus cenderung tidak sempurna bahkan menyimpang (Hitchcock, 1999).
Penduduk yang tinggal di tempat endemik malaria tergolong dalam aggregate vulnerable. Swanson dan Nies (1997), rentan merupakan kondisi tidak terlindunginya dari efek lingkungan. Peneliti juga mengemukakan karakteristik rentan terdiri atas fisik, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Penduduk yang tinggal di tempat endemik malaria, dalam kondisi fisik yang kurang optimal akhir gizi kurang, terpaparnya dengan lingkungan rawa tempat berkembang biak vektor malaria, ditunjang pula dengan interaksi sosial yang kurang pemahaman wacana malaria dan pencegahannya kurang, diperberat lagi dengan kondisi ekonomi yang menimbulkan penduduk termasuk populasi rentan.
Keluarga dengan salah satu anggota keluarganya yang mempunyai pekerjaan di wilayah endemis akan mempunyai risiko lebih tinggi tertular penyakit malaria (Kemenkes, 2004). Hasil wawancara peneliti dengan pengelola Program P2 Malaria Puskesmas X, didapatkan data bahwa selama kurun waktu tahun 2011 terdapat 149 masalah malaria klinis dari 28.328 penduduk dan lebih dari 75% nya disebabkan lokal yang bekerja di wilayah endemis. Karakteristik lain keluarga rentan yakni person with communicable disease atau penderita penyakit menular. Transmisi penularan penyakit malaria begitu gampang dan cepat, sehingga prevalensinya sanggup mempengaruhi sosial ekonomi kesehatan masyarakat. Semakin banyak pekerja yang sakit, maka akan makin sedikit keluarga yang bisa bekerja untuk mempertahankan fungsi keluarganya (Stanhope & Lancaster, 2004).
Secara epidemiologis, transmisi penularan malaria merupakan hasil interaksi dari host, agent, dan environment (Kemenkes, 2004). Blum (1974, dalam Notoatmojo, 2010) beropini bahwa faktor sikap insan merupakan determinan utama dan paling sukar ditanggulangi disamping faktor lain, yaitu: lingkungan, pelayanan kesehatan, dan genetik. Hal ini disebabkan, faktor sikap mempengaruhi lingkungan hidup manusia.
Malaria merupakan penyakit menular yang berkaitan erat dengan perilaku. Perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh keluarga. Keluarga rentan perilakunya berisiko tinggi memburuknya status kesehatan (Chesney dan Barbara, 2008). Hasil penelitian Cruz dan Crookston (2006), menemukan bahwa dari 516 partisipan, terdapat 90 % pekerja lembur dan 77% pekerja non lembur menyatakan tahu bahwa sikap pencegahan dengan memakai kelambu sanggup mencegah dari penyakit malaria. Penelitian lain menemukan bahwa sikap pencegahan pemakaian kelambu, memakai jamban, dan memakai racun serangga mempunyai kekerabatan yang bermakna dengan angka kejadian malaria (Salim, 2009). Perilaku pencegahan dengan memakai kelambu berinsektisida sanggup menurunkan risiko terserang malaria 0,7 kali (Taviv; Salim; dan Yeni, 2008). Afridah (2009) dalam penelitiannya wacana efek sikap penderita terhadap angka kesakitan malaria di Kabupaten Rokan Hilir, dari 110 responden yang diambil secara random memperlihatkan bahwa 52,7 % pengetahuan dalam kategori buruk, 51,8% sikap dalam kategori buruk, dan 76,3% tindakan dalam kategori sedang. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pengetahuan, sikap, serta tindakan mempunyai efek terhadap tindakan pencegahan malaria.
Perilaku pencegahan digambarkan oleh Glanz dan Rimer (2008), dalam The Health Belief Model (HBM), sikap dipengaruhi oleh karakteristik individu dan isu kesehatan yang disampaikan baik melalui penyuluhan kesehatan atau media massa. Penyuluhan kesehatan dan media massa merupakan kegiatan dari promosi kesehatan. Kemenkes (2009), menjelaskan bahwa kegiatan eliminasi malaria lebih banyak terfokus kepada kegiatan promotif dan preventif. Oleh lantaran itu, peranan promosi kesehatan akan semakin besar biar pelaksanaannya lebih optimal. Notoatmojo, (2010) menjelaskan promosi kesehatan sanggup dilakukan melalui penyuluhan kesehatan dan media massa. Promosi kesehatan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sikap individu dalam pencegahan penyakit malaria. Mardiah (2008), telah menemukan bahwa penyuluhan kesehatan memperlihatkan efek signifikan dalam membentuk sikap pencegahan penyakit malaria. Pasaribu (2005), menemukan kenaikan nilai rata-rata komponen pengetahuan, sikap, dan praktik terjadi sehabis dilakukan penyuluhan kesehatan. Hal ini memperlihatkan penyuluhan kesehatan yang dilakukan sanggup mengubah dan membentuk sikap individu.
Hasil wawancara dengan pengelola jadwal P2 Malaria Puskesmas X (09 Februari 2012) didapatkan bahwa kegiatan promotif dan preventif yang dilaksanakan ketika ini yakni penyuluhan kesehatan setiap bulannya, pelaksanaan 3M (menguras, menutup, mengubur) pada tempat penampungan air, pembagian kelambu berinsektisida kepada keluarga dengan ibu hamil dan balita, pembagian bubuk larvasida, pemasangan banner dan spanduk serta baliho di sepanjang jalan protokol. Selain itu juga disarankan kepada masyarakat biar memakai profilaksis ketika akan bepergian ke tempat endemis malaria. Lebih lanjut disampaikan, kegiatannya selama ini belum dilakukan monitoring dan penilaian terhadap masyarakat. Investigasi masalah dilaksanakan jikalau ada ditemukan penderita yang mengalami klinis atau positif malaria dan disampaikan laporannya ke Dinas Kesehatan.
Promosi Kesehatan melalui media massa telah dipakai untuk meningkatkan kesadaran dan perubahan perilaku. Media massa memperlihatkan peranan kunci dalam perang memerangi malaria. Mozumder dan Marathe (2006) telah menemukan media massa sanggup meningkatkan efektivitas sumber daya yang ada untuk pencegahan malaria.
Pencegahan dan pengendalian malaria dilakukan untuk mengurangi prevalensi kejadiannya, sehingga malaria tidak lagi menjadi duduk kasus utama kesehatan di masyarakat (Kemenkes, 2012). Pencegahan penyakit malaria sanggup dilakukan melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer dilakukan untuk mengurangi insidensi penyakit malaria melalui promosi dan pendidikan kesehatan, ibarat melaksanakan chemoprophylaxis, pemakaian kelambu berinsektisida, atau pun menghindari gigitan nyamuk anopheles sp. Pencegahan sekunder melalui deteksi dini dan penatalaksanaan, ibarat surveilans epidemiologi, pemeriksaan masalah dan penanganan masalah malaria. Sedangkan pencegahan tersier untuk mengurangi komplikasi dan kecacatan, ibarat menghindari terjadinya keguguran pada ibu hamil dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi akhir anemia malaria (Stanhope dan Lancaster, 2004).
Berdasarkan beberapa hal di atas, peneliti bermaksud melaksanakan penelitian wacana “HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA, PENYULUHAN KESEHATAN LANGSUNG, DAN MEDIA MASSA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA PADA KECAMATAN CEMPAKA KOTA X”.

Sumber http://gudangmakalah.blogspot.com

0 Response to "Tesis Hubungan Karakteristik Keluarga, Penyuluhan Kesehatan Langsung, Dan Media Massa Dengan Sikap Pencegahan Malaria"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel