iklan banner

Pengertian Asuransi, Fungsi, Macam-Macam, Dan Aturan Asuransi Dalam Islam


Hukum asuransi dalam Islam yaitu sesuatu hal yang sangat menarik untuk dibahas. Sebab tidak sedikit yang masih resah dengan kasus ini, dimana sebagian ada yang beropini boleh, dan sebagiannya menganggap tidak boleh.

Lantas bagaimana bekerjsama aturan asuransi dalam Islam itu ? untuk lebih jelasnya simak ulasan lengkapnya berikut ini.

Pengertian Asuransi Secara Umum

Menurut asal bahasanya asuransi berasal dari bahasa Inggris, yaitu Insurance yang mempunyai arti pertanggungan. Dari asal bahasa ini, tidak salah kalau kemudian ada yang mengartikan asuransi sebagai suatu bentuk perjanjian, antara nasabah sebagai pihak tertanggung, dengan perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung. Dimana dalam hal ini pihak penanggung bersedia mengganti kerugian yang mungkin dialami oleh pihak penanggung, dimana sebelumnya ada perjanjian antara dua belah pihak yang mengharuskan pihak nasabah membayar iuran/premi.


Dilansir dari Wikiedia, pengertian asuransi yaitu pertanggungan atau perjanjian antara dua belah pihak, dimana pihak satu berkewajiban membayar iuran/kontribusi/premi. Pihak yang lainnya mempunyai kewajiban menunjukkan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran/kontribusi/premi apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan perjanjian yang sudah dibuat

Pengertian Asuransi Menurut Para Ahli

Selain aneka macam pengertian di atas, beberapa para jago juga telah mendefinisikan asuransi. Berikut pegertian asuransi menuut para jago tersebut.

a. Pengertian Asurasni berdasarkan Subekti

Pengertian asuransi berdasarkan para jago yang pertama kita bahas yaitu yang berdasarkan Subekti. Dalam hal ini, Subekti mendefiniskan asuransi sebagai suatu perjanjian yang termasuk dalam jenis perjanjian untung-untungan dimana perjanjian ini dengan sengaja didasarkan atas insiden yang belum tentu terjadi di kemudian hari, insiden mana yang akan memilih untung ruginya salah satu pihak.

b. Pengertian Asuransi berdasarkan Emmy Pangaribuan

Emmy Pangaribuan (1992), mendefiniskan asuransi sebagai suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan diri dari kerugian lantaran kehilangan, kerugian atau ketiadaan laba yang dibutuhkan yang akan sanggup diderita olehnya lantaran suatu insiden yang belum pasti.

3. Pengertian Asuransi Menurut Abbas Salim

Pengertian asuransi berdasarkan para jago yang terakhir yang akan kita bahsa dalam goresan pena ini, yaitu berdasarkan Abbas Salim. Dirinya menjelaskan pengertian asuransi yaitu suatu kemauan dalam tetapkan kerugian-kerugian kecil atau sedikit yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugian besar yang belum pasti terjadinya di masa mendatang. Sehingga sanggup disimpulkan orang bersedia membayar kerugian yang sedikit untuk masa kini semoga sanggup menghadapi kerugian-kerugian besar dengan baik.

Pengertian Asuransi Syariah


Agar semakin sanggup memahami aturan asuransi dalam Islam, terlebih dahulu tentu kita harus memahami dengan baik pengertian asuransi secara syariah. Pada dasarnya pengertian asuransi Syariah adalah sistem asuransi, yang dibentuk berdasarakan prinsip syar'i, dimana asuransi ini dibentuk dengan usaha untuk saling tolong menolog (ta'awuni), dan juga saling melindungi (takafuli), antara semua akseptor melalui upaya pembentukan kumpulan dana (Dana Tabruri), yang kemudian dana tersebut dikelola sesuai dengan prinsip syariah dengan tujuan utama untuk menghadapi resiko tertentu yang sanggup kapan saja muncul.

Berikut dijelaskan beberapa pengertian asuransi syariah yang sanggup dijelaskan.
  • Akad yaitu perjanjian tertulis, dimana didalamnya memuat secara rinci aneka macam kesepakatan tertentu, lengkap dengan hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat yang diubahsuaikan dengan prinsip syariah.
  • Akad Tabarru’ yaitu janji hibah dalam bentuk pertolongan sejumlah dana dari setiap akseptor kepada Dana Tabarru' dengan tujuan semoga sanggup saling tolong menolong diantara peserta, dengan sifat dan tujuan bukan untuk komersial atau mencari keuntungan.
  • Akad Wakalah bil Ujrah yaitu Akad Tijarah yang menunjukkan kuasa kepada Perusahaan sebagai wakil Peserta untuk mengelola Dana Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa ujrah (fee).Akad Mudharabah yaitu janji untuk menunjukkan bagi hasil atas investasi Dana Tabarru’.
  • Kontribusi yaitu sejumlah dana yang dibayarkan oleh Peserta kepada Perusahaan yang sebagian akan dialokasikan sebagai iuran Tabarru’ dan sebagian lainnya sebagai fee (ujrah) untuk Perusahaan.
  • Iuran Dana Tabarru’ yaitu sebagian dari bantuan yang dibayarkan oleh Peserta yang kemudian dimasukkan kedalam Kumpulan Dana Tabarru’ dengan Akad Tabarru’.
  • Dana Tabarru’ yaitu kumpulan dana yang berasal dari bantuan para Peserta, yang prosedur penggunaannya sesuai dengan Akad Tabarru’ yang disepakati.
  • Surplus/Defisit Underwriting yaitu selisih lebih/kurang dari total bantuan Peserta ke dalam Dana Tabarru’ sesudah dikurangi pembayaran santunan/klaim, bantuan reasuransi, dan cadangan teknis, dalam satu periode tertentu.


Fungsi Asuransi


Untuk mengetahui fungsi Asuransi kita sanggup melihat aneka macam contoh asuransi, yang memang mempunyai aneka macam macam jenis. Contohnya saja asuransi kesehatan, ketika tiba-tiba seseorang sakit maka dengan terdaftar di salah satu perusahaan asuransi, maka dirinya tidak perlu khawatir dengan biaya berobat maupun rawat inap di suatu rumah sakit. 

Secara garis besar, fungsi Asuransi yaitu sebagai berikut :
  • Untuk mengalihkan sejumlah risiko yang ada pada suatu pihak kepada pihak perusahaan asuransi.
  • Jaminan bagi suatu pihak untuk menerima proteksi atas segala risiko kerugian yang mungkin terjadi.
  • Untuk memperkecil potensi kerugian yang lebih besar bila mengeluarkan biaya sendiri ketika terjadi suatu risiko.
  • Khusus untuk asuransi jiwa tertentu (asuransi jiwa), asuransi sanggup menjadi tabungan lantaran sebagian biaya premi akan dikembalikan kepada nasabah.
  • Untuk efisiensi bagi sebuah perusahaan lantaran mengurangi biaya untuk pengawasan, pengamanan, dan proteksi yang memakan banyak biaya dan waktu.
  • Untuk mendapatkan ganti rugi kepada pihak nasabah sesuai dengan nilai premi asuransi.
  • Untuk menutup loss of earning power seseorang atau suatu tubuh usaha ketika sudah tidak bekerja atau tidak berfungsi lagi.
  • Sebagi dasar bagi pihak Bank dalam menunjukkan kredit kepada seseorang atau tubuh usaha lantaran Bank membutuhkan proteksi atas dana yang dipinjamkan kepada nasabah.

Macam-Macam Asuransi


Selain mempunyai fungsi yang banyak, macam-macam auransi juga cukup beragam. Adapun macam-macam asuransi tersebut yaitu sebagai berikut :
  • Asuransi Kesehatan, yaitu jenis asuransi yang menunjukkan pertanggungan untuk duduk kasus kesehatan yang diakibatkan oleh kecelakaan atau penyakit.
  • Asuransi Jiwa, yaitu jenis asuransi yang menunjukkan pertanggungan atas maut seorang nasabah yang mempunyai nilai keuangan.
  • Asuransi Pendidikan, yaitu asuransi yang menunjukkan jaminan pendidikan kepada pihak tertanggung.
  • Asuransi Bisnis, yaitu asuransi yang menunjukkan jaminan kepada perusahaan apabila terjadi risiko yang menjadikan kerugian, menyerupai kehilangan, kerusakan, dan lain-lain.
  • Asuransi Kepemilikan Rumah dan Properti, yaitu asuransi yang menunjukkan jaminan kepada pemilik rumah atau properti apabila terjadi kerusakan pada properti.
  • Asuransi Kendaraan, yaitu asuransi yang menunjukkan pertanggungan terhadap kendaraan kalau terjadi risiko menyerupai kerusakan akhir kecelakaan, kehilangan, dan lain-lain.


Fatwa MUI terkait Asuransi


Dalam hal aturan Asuransi dalam Islam, ternyata  sudah ada hal ini, asuransi di Indonesia ternyata telah mempunyai fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), berikut ulasan lengkapnya.

Islam tidak melarang Anda mempunyai asuransi. Asuransi diperbolehkan asalkan dana yang terkumpul dikelola sesuai dengan syariat-syariat Islam. Hal ini disebutkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO: 21/DSN-MUI/X/2001 wacana pedoman asuransi syariah. Fatwa tersebut memuat wacana bagaimana asuransi yang sesuai dengan syariat agama islam.

Berikut ringkasan pandangan MUI terhadap asuransi yang perlu diketahui:

1. Bentuk Perlindungan

Dalam kehidupan, kita memerlukan adanya dana proteksi atas hal-hal jelek yang akan terjadi. Hal ini ditegaskan oleh fatwa MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 menyatakan, “Dalam menyongsong masa depan dan upaya meng-antisipasi kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu semenjak dini.” Salah satu upaya solusi yang sanggup dilakukan yaitu mempunyai asuransi yang dikelola dengan prinsip-prinsip syariah.

Asuransi dibutuhkan guna proteksi terhadap harta dan nyawa secara finansial yang risikonya tidak sanggup diprediksi. Hal-hal yang umumnya diasuransikan yaitu rumah, kendaraan, kesehatan, pendidikan dan nyawa. Dengan mempunyai asuransi, Anda tidak perlu khawatir akan risiko yang akan menimpa lantaran risiko tersebut sanggup diminimalisir dan menerima ganti rugi.

2. Unsur Tolong menolong

Semua anutan agama yang ada pasti mengajarkan perilaku bersama-sama terhadap sesama. Dalam kehidupan sosial bersama-sama sanggup dilakukan dalam aneka macam bentuk, baik secara finansial maupun kebaikan. Fatwa MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 menyebutkan di dalam asuransi syariah terdapat unsur bersama-sama diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang menunjukkan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui janji (perikatan) yang sesuai syariah.

3. Unsur Kebaikan

Dalam setiap produk asuransi syariah mengandung unsur kebaikan atau istilahnya mempunyai janji tabbaru’. Secara harfiah, tabbaru’ sanggup diartikan sebagai kebaikan. Aturannya, jumlah dana premi yang terkumpul disebut hibah yang nantinya akan dipakai untuk kebaikan, yakni klaim yang dibayarkan berdasarkan janji yang disepakati pada awal perjanjian.

Adapun besarnya premi sanggup ditentukan melalui rujukan yang ada, contohnya merujuk pada tabel mortalita untuk memilih premi pada asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk memilih premi pada asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam perhitungannya.

4. Berbagi Risiko dan Keuntungan

Dalam asuransi yang dikelola secara prinsip syariah, risiko dan laba dibagi rata ke orang-orang yang terlibat dalam investasi. Hal ini dinilai cukup adil dan sesuai dengan syariat agama lantaran berdasarkan MUI, asuransi hendaknya tidak dilakukan dalam rangka mencari laba komersil.

Risiko yang dimaksud yaitu risiko yang terjadi pada salah satu akseptor asuransi yang terkena musibah, maka ganti rugi (klaim) yang didapat dari akseptor asuransi yang lain. Dengan kata lain, ketika seorang akseptor menerima petaka akseptor lain juga ikut merasakannya. Begitu juga dengan laba yang didapat. Dalam asuransi syariah laba yang didapat dari hasil investasi premi dalam janji mudharabah sanggup dibagi-bagikan kepada akseptor asuransi dan tentu saja disisihkan juga untuk perusahaan investasi.

5. Bagian dari Bermuamalah

Muamalah merupakan potongan dari aturan islam yang mengatur relasi antar manusia. Contoh relasi yang diatur dalam islam yaitu jual beli dan perdagangan. Hal tersebut juga menjadi landasan dari asuransi syariah. Menurut MUI asuransi juga termasuk potongan dari bermuamalah lantaran melibatkan insan dalam relasi finansial. Segala aturan dan tata caranya tentu saja harus sesuai dengan syariat islam. Kaprikornus dalam berpartisipasi dalam bermuamalah, Anda dianggap ikut serta dalam menjalani perintah agama.

6. Musyawarah Asuransi

MUI menegaskan dalam ketentuan berasuransi, jika  salah  satu  pihak  tidak  menunaikan  kewajibannya  atau  kalau terjadi  perselisihan  di  antara  para  pihak,  maka  penyelesaiannya dilakukan   melalui   Badan   Arbitrasi   Syari’ah   setelah   tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

7. Akad dalam Asuransi Syariah


MUI juga menegaskan aturan janji yang dipakai dalam asuransi. Akad yang dimaksud yaitu perikatan antara akseptor asuransi dengan perusahaan asuransi. Di dalam janji dihentikan terdapat unsur gharar (penipuan), maysir (perjodian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat lantaran tujuan janji yaitu saling bersama-sama dengan mengharapkan ridha dan pahala dari Allah.

Terdapat 3 jenis janji dalam asuransi syariah yang perlu Anda ketahui, yaitu

1. Akad Tijarah

Akad tijarah yaitu semua bentuk janji yang dilakukan untuk tujuan komersial. Maksud tujuan komersial dalam asuransi syariah yaitu mudharabah, yakni investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi yang dananya didapati dari dana premi akseptor asuransi. Hal ini dilakukan guna mendapatkan laba lantaran dalam asuransi syariah, perusahaan asuransi diwajibkan melaksanakan investasi.

2. Akad Tabbaru’

Akad tabarru’ yaitu semua bentuk janji yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan hanya untuk tujuan komersial. Dana premi yang terkumpul menjadi dana hibah yang dikelola oleh perusahaan asuransi. Selanjutnya, dana hibah yang terkumpul dipakai untuk klaim asuransi bagi akseptor yang terkena musibah.

3. Akad Wakalah bil ujrah

Akad Wakalah yaitu janji di mana akseptor menunjukkan kuasa kepada perusahaan asuransi dengan imbalan pertolongan ujrah (fee). Sifat janji wakalah yaitu amanah, jadi perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai wakil (yang mengelola dana) sehingga perusahaan tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi. Selain itu juga tidak ada pengurangan fee yang diterimanya oleh perusahaan, kecuali lantaran kecerobohan atau wanprestasi.

Berbagai Alasan Terlarangnya Asuransi

Berbagai jenis asuransi asalnya haram baik asuransi jiwa, asuransi barang, asuransi dagang, asuransi mobil, dan asuransi kecelakaan. Secara ringkas, asuransi menjadi bermasalah lantaran di dalamnya terdapat riba, qimar (unsur jodi), dan ghoror (ketidak jelasan atau spekulasi tinggi).

Berikut yaitu rincian mengapa asuransi menjadi terlarang:

1. Akad yang terjadi dalam asuransi yaitu janji untuk mencari laba (mu’awadhot). Jika kita tinjau lebih mendalam, janji asuransi sendiri mengandung ghoror (unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan pertama dari kapan waktu nasahab akan mendapatkan timbal balik berupa klaim. Tidak setiap orang yang menjadi nasabah sanggup mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan accident atau resiko, gres ia sanggup meminta klaim. Padahal accident di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang sanggup mengetahuinya. Boleh jadi seseorang mendapatkan accident setiap tahunnya, boleh jadi selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan accident. Ini sisi ghoror pada waktu.

Sisi ghoror lainnya yaitu dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang akan diperoleh. Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi tinggi sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

2. Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur jodi. Bisa saja nasabah tidak mendapatkan accident atau sanggup pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi sanggup jadi untung lantaran tidak mengeluarkan ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi sanggup rugi besar lantaran banyak yang mendapatkan petaka atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia sanggup jadi tidak mendapatkan klaim apa-apa lantaran tidak pernah sekali pun mengalami accident atau mendapatkan resiko. Bahkan ada nasabah yang gres membayar premi beberapa kali, namun ia berhak mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya. Inilah jodi yang mengandung spekulasi tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang jodi berdasarkan keumuman ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjodi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, yaitu termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu semoga kau menerima keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90). Di antara bentuk maysir yaitu jodi.

3. Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba perniagaan lantaran adanya sesuatu yang berlebih) dan riba nasi’ah (riba lantaran penundaan) secara bersamaan. Bila perusahaan asuransi membayar ke nasabahnya atau ke jago warisnya uang klaim yang disepakati, dalam jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu yaitu riba fadhel. Adapun bila perusahaan membayar klaim sebesar premi  yang ia terima namun ada penundaan, maka itu yaitu riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini nasabah seperti memberi pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua riba tersebut haram berdasarkan dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).

4. Asuransi termasuk bentuk jodi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita ketahui terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi di sini sama dengan taruhan dalam jodi. Namun yang mendapatkan klaim atau timbal balik tidak setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak sama sekali. Bentuk menyerupai ini diharamkan lantaran bentuk jodi yang terdapat taruhan hanya dibolehkan pada tiga permainan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ

“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam usaha Islam, menyerupai lomba untuk menghafal Al Qur’an dan lomba menghafal hadits. Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam hal ini.

5. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu menunjukkan timbal  balik. Padahal dalam janji mu’awadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus ada timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29). Tentu setiap orang tidak ridho kalau telah menunjukkan uang, namun tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan.

6. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada alasannya yaitu yang syar’i. Seakan-akan nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim pada pihak asuransi untuk menunjukkan ganti rugi padahal penyebab accident bukan dari mereka. Pemaksaan menyerupai ini terang haramnya.

[Dikembangkan dari klarifikasi Majlis Majma Fikhi di Makkah Al Mukarromah, KSA]

“Masa Depan Selalu Suram” Ganti dengan “Tawakkal”

Dalam rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi yaitu masa depan yang selalu suram. “Engkau sanggup saja mendapatkan kecelakaan”, “Pendidikan anak sanggup saja membengkak dan kita tidak ada persiapan”, “Kita sanggup saja butuh pengobatan yang tiba-tiba dengan biaya yang besar”. Itu slogan-slogan demi menarik kita untuk menjadi nasabah di perusahaan asuransi. Tidak ada anutan bertawakkal dengan benar. Padahal tawakkal yaitu jalan keluar bekerjsama dari segala kesulitan dan kekhawatiran masa depan yang suram. Karena Allah Ta’ala sendiri yang menjanjikan,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah pasti Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah pasti Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. Ath Tholaq: 2-3).

Tawakkal yaitu dengan menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Namun bukan cukup itu saja, dalam tawakkal juga seseorang mengambil alasannya yaitu atau melaksanakan usaha. Tentu saja, alasannya yaitu yang diambil yaitu usaha yang disetujui oleh syari’at. Dan asuransi sudah diterangkan yaitu alasannya yaitu yang haram, dihentikan seorang muslim menempuh jalan tersebut. Untuk membiayai anak sekolah, sanggup dengan menabung. Untuk pengobatan yang mendadak tidak selamanya dengan solusi asuransi kesehatan. Dengan menjaga diri semoga selalu fit, juga persiapan keuangan untuk menjaga kondisi kecelakaan tak tentu, itu sanggup sebagai solusi dan preventif yang halal. Begitu pula dalam hal kecelakaan pada kendaraan, kita mesti berhati-hati dalam mengemudi dan hindari kebut-kebutan, itu kuncinya.

Yang kami saksikan sendiri betapa banyak kecelakaan terjadi di Saudi Arabia dikarenakan banyak yang sudah mengansuransikan kendaraannya. Jadi, dengan alasan “kan, ada asuransi”, itu jadi di antara alasannya yaitu di mana mereka asal-asalan dalam berkendaraan. Jika kendaraan beroda empat rusak, sudah ada ganti ruginya. Oleh karenanya, alasannya yaitu kecelakaan meningkat sanggup jadi pula lantaran janji manis dari asuransi.

Ingatlah setiap rizki mustahil akan luput dari kita kalau memang itu sudah Allah takdirkan. Kenapa selalu terbenak dalam pikiran dengan masa depan yang suram? Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, lantaran sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, sampai ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).

Sumber : muslim.or.id, cermati.com, maxmanroe.com, dan Wikipedia 


Sumber http://inspirasi-dttg.blogspot.com

0 Response to "Pengertian Asuransi, Fungsi, Macam-Macam, Dan Aturan Asuransi Dalam Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel