Sejarah Perkembangan Tanaman Karet
Karet ialah flora perkebunan tahunan berupa pohon batang lurus. Pohon karet pertama kali hanya tumbuh di Brasil, Amerika Selatan, namun sesudah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon ini berhasil dikembangkan di Asia Tenggara, di mana kini ini flora ini banyak dikembangkan sehingga hingga kini Asia merupakan sumber karet alami. Di Indonesia, Malaysia dan Singapura flora karet mulai dicoba dibudidayakan pada tahun 1876. Tanaman karet pertama di Indonesia ditanam di Kebun Raya Bogor. Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia, namun ketika ini posisi Indonesia didesak oleh dua negara tetangga Malaysia dan Thailand. Lebih dari setengah karet yang dipakai kini ini ialah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami masih diproduksi setiap tahun, dan masih merupakan materi penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer.
Klasifikasi botani flora karet ialah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Keluarga : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis
Tanaman karet merupakan flora perkebunan yang tumbuh di aneka macam wilayah di Indonesia. Karet merupakan produk dari proses penggumpalan getah flora karet (lateks). Pohon karet normal disadap pada tahun ke-5. Produk dari penggumpalan lateks selanjutnya diolah untuk menghasilkan lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah (crumb rubber) yang merupakan materi baku industri karet. Ekspor karet dari Indonesia dalam aneka macam bentuk, yaitu dalam bentuk materi baku industri (sheet, crumb rubber, SIR) dan produk turunannya menyerupai ban, komponen, dan sebagainya.
Hasil karet biasa dimanfaatkan atau diolah menjadi beberapa produk antara lain ialah : RSS I, RSS II, RSS III, Crumb Rubber, Lump, dan Lateks. Hasil utama dari pohon karet ialah lateks yang sanggup dijual atau diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya produk-produk tersebut akan dipakai sebagai materi baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah, yang
menghasilkan aneka macam materi baku untuk aneka macam industri hilir menyerupai ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan aneka macam produk hilir lainnya.
B. SEJARAH POHON KARET DI DUNIA
Sejarah karet bermula ketika Christopher Columbus menemukan benua Amerika pada 1476. ketika itu, Columbus tercengang melihat orang-orang Indian bermain bola dengan memakai suatu materi yang sanggup melantun jikalau dijatuhkan ketanah. Bola tersebut terbuat dari gabungan akar, kayu, dan rumput yang dicampur dengan suatu materi (lateks) kemudian dipanaskan diatas unggun dan dibulatkan menyerupai bola.
Pada 1731, para ilmuwan mulai tertarik untuk menyidik materi tersebut. spesialis dari Perancis berjulukan Fresnau melaporkan bahwa banyak flora yang sanggup menghasilkan lateks atau karet, diantaranya dari jenis Havea brasilienss yang tumbuh di hutan Amazon di Brazil. Saat ini flora tersebut menjadi flora penghasil karet utama, dan sudah dibudidayakan di Asia Tenggara yang menjadi penghasil karet utama di dunia ketika ini.
Menidaklanjuti apa yang disampaikan Charles Marie de la Condamine dan Francois Fresneau dari Perancis bahwa ada beberapa jenis flora yang sanggup menghasilkan lateks atau karet, kemudian Sir Clement R. Markham bersama Sir Joseph Dalton Hooker berusaha membudidayakan beberapa jenis pohon karet tesebut. Pada tahun 1835, Hancock mendekati Direktur Botanical Garden Kew London, Sir William Hooker dan menasehatinya untuk turut membantu mengenalkan dan mulai menanam pohon karet Hevea di wilayah kolonial Inggris yang berada Asia. Namun pandangan gres ini kurang direspon oleh Sir William Hooker.
Beberapa tahun kemudian kesadaran untuk mulai membudidayakan pohon karet, diawali oleh Sir Clements Markham, pegawai pemerintahan Inggris di India. Beliau kemudian meminta James Collin yang telah terlebih dahulu mempelajari karet untuk mengerjakan proyek penanaman tersebut. Hasil studi Collin dipublikasikan tahun 1872 dan menjadi perhatian Direktur Kew Botanic Garden yang baru, Sir Joseph Hooker, putra dari Sir William Hooker. Selanjutnya Joseph Hooker berkerja sama dengan James Collin dalam perjuangan membudidayakan karet. Joseph Hooker membeli sekitar 2000 biji karet dari Farris atas permintaan Collin. Biji karet tersebut dicoba dikecambahkan namun pada akhirnya hanya 12 biji yang berhasil tumbuh hingga menjadi flora karet baru.
Ketertarikan untuk membudidayakan karet muncul dari aristokrat Inggris lainnya, Sir Henry Wickman yang menjelajahi hutan Amazon untuk mengumpulkan biji karet dan pada akhirnya berhasil membawa sekitar 70.000 biji karet ke Inggris tahun 1876. Biji karet Wickman kemudian dikecambahkan di Kew Botanical Garden namun hanya sekitar 2000 biji saja yang bisa berkecambah. Usaha budidaya karet juga terus dilakukan oleh Sir Clements Markham, ia mengutus Robert Cross ke Amazon untuk mengumpulkan biji karet menyerupai yang dilakukan oleh Sir Wickman. Cross kembali ke Inggris dan berhasil membawa 1080 biji namun hanya 3% saja yang bisa bertahan selama perjalanan dari Brazil ke Inggris tanpa menjadi busuk.
Seratus buah biji karet Wickman yang berhasil tumbuh menjadi bibit perkecambahan kemudian dikirim ke Ceylon (sekarang Sri Langka) dari Kew Botanical Garden pada bulan September 1876. Selanjutnya di bulan Juni 1877, Kew Botanical Garden kembali mendistribusikan 22 flora karet dengan tujuan Singapore Botanical Garden. Tanaman karet tersebut diterima oleh Henry Ridley selaku Direktur Singapore Botanical Garden yang selanjutnya dijuluki ”mad Ridley” lantaran kegigihannya dalam membudidayakan flora karet di tanah Malaya. Henry Ridley menanam 75% dari flora itu di Residency Garden di Kuala Kangsar kemudian di tahun 1884, Frank Swettenham menanam 400 biji di Perak dimana biji ini merupakan hasil pohon karet yang ditanam di kuala kangsar dan selanjutnya antara tahun 1883 – 1885 ditanam di Selangor oleh T. H. Hill. Ridley juga mengenalkan teknik eksploitasi getah karet dengan penyadapan tanpa menebang pohon karetnya.
C. SEJARAH PERKEMBANGAN KARET DI INDONESIA
Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia semenjak zaman penjajahan Belanda. Tanaman karet yang paling bau tanah diketemukan di Subang Jawa Barat yang ditanam pada tahun 1862. Pada tahun l864 flora karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai flora gres untuk dikoleksi. Selanjutnya, karet dikembangkan menjadi flora perkebunan dan tersebar di beberapa daerah. Perkebunan karet dibuka oleh Hofland pada tahun 1864 di tempat Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Pertama kali jenis yang ditanam ialah karet rambung atau Ficus elastica. Tanaman karet (Hevea brasiliensis) ditanam di tempat Sumatera Timur pada tahun 1902, kemudian dibawa oleh perusahaan perkebunan ajaib ditanam di Sumatera Selatan. Pada waktu itu petani membuka hutan untuk menanam padi selama 2 tahun kemudian ladang ditinggalkan ,sebelum meninggalkan ladang biasanya menanam flora keras menyerupai karet dan buah-buahan. Petani akan tiba kembali sesudah 10 - 12 tahun kemudian untuk menyadap kebun karetnya.
Perusahaan Harrison and Crossfield Company ialah perusahaan ajaib pertama yang mulai menanam karet di Sumatera Selatan dalam suatu perkebunan yang dikelola secara komersial, kemudian Perusahaan Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909 dan diikuti perusahaan Amerika yang berjulukan Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM) pada tahun 1910-1991. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus berkat tersedianya sarana transportasi yang memadai. Umumnya sarana transportasi ini merupakan warisan dari perjuangan perkebunan tembakau yang telah dirombak. Harga karet yang membumbung pada tahun 1910 dan 1911 menambah semangat para pengusaha perkebunan untuk membuatkan usahanya. Walaupun demikian, pada tahun 1920-1921 terjadi depresi perekonomian dunia yang membuat harga karet merosot. Namun pada tahun 1922 dan 1926 terjadi ledakan harga lagi lantaran kurangnya produksi karet dunia sementara industri kendaraan beroda empat di Amerika meningkatkan jumlah permintaan karet.
Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring naiknya permintaan karet dunia dan ledakan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet rakyat di beberapa tempat antara lain lantaran pemeliharaan flora karet relatif gampang dan rakyat memiliki kepercayaan terhadap cerahnya masa depan perkebunan karet. Beberapa jemaah haji dari Indonesia pada waktu pulang dari Mekkah yang berhenti di Singapura atau Malaysia membawa biji karet untuk ditanam di Indonesia. Disamping itu dengan lancarnya perdagangan antara Sumatera dan Malaysia juga membantu berkembangnya perjuangan karet rakyat. Ledakan tingginya harga karet terutama sesudah terjadi pada tahun 1922 dan 1926 menjadikan rakyat berlomba-lomba membuka kebun karet sendiri. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu memang tidak membuat peraturan ihwal pembukaan dan pengusahaan perkebunan karet oleh rakyat. Akibat nya, lahan karet di Indonesia meluas secara tak terkendali sehingga kapasitas produksi karet menjadi berlebihan. Harga karet pun menjadi semakin sulit dipertahankan pada angka yang wajar. Kecenderungan yang terjadi ialah semakin menurunnya harga karet di pasaran.
Beberapa kali pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk melaksanakan pembatasan atau restriksi terhadap karet rakyat. Pada tanggal 7 Mei 1934 diadakan persetujuan antara Pemerintah Prancis, Britania Raya, Irlandia Utara, British Indie, Belanda dan Siam mengada-kan pembatasan dalam memproduksi karet dan ekspornya. Persetujuan ini diumumkan dalam Stbl. 1934 No. 51 yang selanjutnya diadakan perubahan dengan Stbl. 1936 No. 472 dan 1937 No. 432. Pada kenyataannya Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil melaksanakan restriksi karet di luar Jawa, maka Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan pembatasan ekspor karet dengan pajak ekspor. Pajak ekspor ini menjadikan produksi menjadi turun dan menurunkan harga yang diterima ditingkat petani.
Kemudian pada tahun 1937-1942 diberlakukanlah kupon karet yang berfungsi sebagai surat izin ekspor karet diberikan kepada petani pemilik karet dan bukan kepada eksportir. Dengan sistem kupon ini petani karet sanggup menjual karetnya ke luar negeri contohnya ke Singapura. Apabila petani karet tersebut tidak berkeinginan menjual karetnya eksklusif ke luar negeri maka ia sanggup menjual kuponnya kepada petani lain atau kepada pedagang atau eksportir. Sistem kupon tersebut merupakan jaminan sosial bagi pemilik karet lantaran walaupun pohon karetnya tidak disadap, tetapi pemilik karet tetap mendapatkan kupon yang bisa dijual atau diuangkan. Sistem kupon ini dimaksudkan pula untuk membatasi produksi (rubber restric-tion) lantaran bagi petani pemilik yang terpenting terpenuhinya kebutuhan ekonomi rumah tangganya dari hasil penjualan kupon yang diterimanya walaupun pohon karetnya tidak disadap.
Pada tahun 1944 Pemerintah Jepang yang berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan ekspansi kebun karet rakyat. Produksi karet rakyat yang akan diekspor dikenai pajak yang tinggi yaitu sebesar 50 % dari nilai keseluruhan. Kebijaksanaan tersebut berdampak menekan pada perkebunan karet rakyat. Pukulan yang menyakitkan ini tidak mematikan perkembangan perkebunan karet rakyat lantaran perkebunan karet rakyat masih tetap berjalan dan para petani karet masih percaya akan masa depan usahatani karetnya. Pedagang mediator yang banyak menyediakan barang-barang kebutuhan pokok dan menjadi penyalur produksi karet rakyat dengan jalan membeli hasil produksinya merupakan mata rantai yang tetap mempertahankan kelangsungan usahatani ini. Usahatani karet mereka tidak terlalu berpatokan pada peningkatan produksi dan laba yang berlimpah. Apabila kebutuhan sehari-hari untuk seluruh keluarga petani tercukupi maka petani akan terus mempertahankan usahatani kebun karetnya.
Setelah Perang Dunia II berakhir dan pengaruhnya agak reda di aneka macam belahan dunia yang terlibat, maka permintaan akan karet memperlihatkan peningkatan kembali. Indonesia pun agak merasa lega lantaran Jepang tidak lagi berkuasa. Sejak tahun 1945 perkebunan-perkebunan karet yang dulu diambil secara paksa oleh pihak Jepang sanggup dilanjutkan kembali pengelolaannya oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah mengelola kembali perkebunan karet negara dan mengiatkan perkebunan karet rakyat yang diikuti oleh perkebunan karet swasta sehingga Indonesia menguasai pasaran karet alam internasional, tetapi ekspansi areal karet dan peremajaan flora karet bau tanah kurang perhatian karenanya terjadi penurunan produksi karet alam Indonesia.
Pembangunan perkaretan di Indonesia pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap I Tahun 1969 – 1994 diarahkan mendorong perkembangan ekonomi pedesaan sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 1968 luas areal karet rakyat sekitar 1,7 juta ha meningkat menjadi 2,6 juta ha pada tahun 1993, terutama ekspansi areal proyek pinjaman pemerintah, namun luas flora karet bau tanah dan rusak cukup luas sekitar 401 ribu ha. Petani lebih menentukan penanaman karet gres secara tradisional dengan membuka lahan gres (blukar/hutan) dari pada meremajakan karet tuanya lantaran kebun karet bau tanah dianggap masih merupakan asset yang sewaktu-waktu sanggup dikelola (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994).
Penanaman karet secara teknologi tradisional dilakukan hingga tahun 1980 di beberapa wilayah di Sumatera Selatan terutama di wilayah desa belum maju yang dicirikan oleh ketersediaan lahan yang masih cukup luas, belum ada proyek pengembangan karet dan keterbatasan pengetahuan petani. Pesatnya perkembangan penanaman kelapa sawit yang dilakukan perkebunan besar swasta dan negara semenjak tahun 1990-an, disinyalir ada sebagian kebun petani yang dikonversi dengan kelapa sawit, lantaran lahan petani diikutsertakan sebagai kebun plasma atau diganti rugi oleh perusahaan. Namun perkembangan luas areal karet terus meningkat (Forum Bersama Pembangunan Perkebunan Sumatera Selatan, 2004).
Pada tahun 1977/1978 pengembangan perkebunan karet di Indonesia dilakukan pemerintah melalui empat contoh yaitu (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), (2) Pola Unit Pelaksanaan Proyek (UPP), (3) Pola Bantuan Parsial, dan (4) Pola Pengembangan Perkebunan Besar (PPB).
a. Pola Perusahaan Inti Rakyat (Pola PIR) merupakan pengembangan perkebunan melalui pemanfaatan kelebihan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan besar untuk membantu pengembangan perkebunan rakyat di sekitarnya. Perusahaan besar ber-tindak sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma. Selanjutnya sesudah kebun plasma menghasilkan perusahaan inti turut mengolah dan memasarkan hasilnya. PIR berusaha membuat petani sanggup berdiri diatas kaki sendiri di wilayah bukaan gres dan ditujukan untuk kelompok masyarakat lokal maupun pendatang yang berminat menjadi petani karet. Seluruh biaya pembangunan kebun merupakan komponen kredit petani, sebelum karet produktif petani sebagai pekerja buruh plasma yang di upah.
Pemerintah membangun perkebunan karet melalui Pola PIR karet yaitu PIR Berbantuan, PIR Swadana dan PIR Transmigrasi di Indonesia hingga dengan tahun 1991 seluas 255.000 ha sedangkan di Sumatera Selatan seluas 159.261 ha dengan jumlah petani sebanyak 79.631 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994). Melihat kondisi petani PIR mengalami dilema ketidak mampuan untuk melunasi kreditnya, penjualan materi olah karet (bokar) keluar inti, mutu bokar yang rendah dan bermacam-macam serta eksploitasi flora karet yang berlebihan, maka semenjak tahun 1991 pemerintah tidak lagi membuatkan perkebunan karet melalui Pola PIR.
b. Pola Unit Pelaksanaan Proyek (Pola UPP) merupakan pengembangan perkebunan yang dilaksanakan di wilayah usahatani karet rakyat yang telah ada (existing) tetapi petani tidak memiliki modal untuk membangun kebun. Pemerintah pusat telah membuatkan perkebunan karet di Indonesia hingga dengan tahun 1991 melalui Pola UPP seluas 441.736 ha yaitu melalui proyek UPP Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE) sebanyak 69 %, dan Smallholder Rubber Development Project (SRDP) sebanyak 31 % sedangkan di Sumatera Selatan seluas 98.741 ha dengan jumlah petani sebanyak 98.741 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkebunan, 1994).
Pola UPP PRPTE dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri sedangkan pihak UPP melaksanakan acara penyuluhan dan pembinaan. Kurang berjalannya UPP PRPTE disebabkan masih rendahnya minat dan pengetahuan petani akan bibit unggul, sarana transportasi terlantar dan pendanaan kurang berkesinambungan. Pola UPP SRDP dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri mulai dari pembangunan kebun sedangkan pihak UPP memperlihatkan bimbingan dan penyuluhan secara berkelompok dengan hamparan 20 ha dan paket kredit saprodi termasuk upah tenaga kerja.
Pola Sector Crops Develompment Project (SCDP) dilaksanakan dengan prinsip yang tidak berbeda dengan SRDP, hanya lokasinya diarahkan di tempat transmigrasi umum yang potensial karet. Selanjutnya pengembangan karet didanai dari proyek Tree Crops Smallholder Develompment Project (TCSDP) dalam membuatkan kebun karet rakyat dilakukan merger konsentrasi yang didanai oleh Bank Dunia yaitu penggabungan mana-jemen yang berkaitan dengan teknologi, proses produksi dan pemasaran. Pembaharuan terhadap forum konversi dengan ketentuan biaya pada tahun pertama bersifat hibah dan tahun selanjutnya merupakan kredit komersial pengembangan penanaman karet gres pada tahun 1994 - 1998 seluas 65.000 ha. Proyek Tree Crops Smallholder Sector Project (TCSSP) membuatkan kebun karet rakyat yang didanai oleh Bank Pembangunan Asia seluas 73.000 ha.
c. Pola Bantuan Parsial merupakan acara pembangunan perkebunan melalui pemberian pinjaman parsial kepada petani secara gratis. Pola ini dilaksanakan pada wilayah yang berada di luar PIR dan UPP. Pola Bantuan Parsial terdiri dari Proyek Peningkatan Produksi Perkebunan Unit Pengelohan Hasil (P4UPH) dan Proyek Penanganan Wilayah Khusus (P2WK). P4UPH merupakan acara untuk meningkatkan mutu bokar. Pada tahun 1992/ 1993 melalui proyek P4UPH telah dibantu 880 unit pengolahan karet berupa unit hand mangel. Proyek P2WK merupakan acara pengembangan flora perkebunan dalam suatu skala irit melalui pinjaman gratis paket saprodi flora karet dan flora sela pada tahun pertama dan tahun berikutnya swadaya petani. Pola swadaya/berbantuan tersebut telah dilaksanakan di Sumatera Selatan pada tahun 1992/1993 seluas 32.106 ha dengan jumlah petani sebanyak 32.106 kepala keluarga.
Bentuk Pola Bantuan Parsial lainnya yaitu sistem perjuangan rayonisasi dimana adanya korelasi kerjasama perjuangan antara kelembagaan petani karet dengan perusahaan pengolah/eksportir menurut prinsip saling membutuhkan, menguntungkan, kesetiaan dan penerapan adat bisnis yang baik.
d. Pola Pengembangan Perkebunan Besar (Pola PPB) merupakan sistem pengembangan perkebunan untuk para pengusaha baik dalam membangun kebun sendiri maupun sebagai inti dari pengembangan PIR. Pengembangan perkebunan besar melalui kemudahan Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI), Paket Deregulasi Januari 1990 (Pakjan 1990) dengan kredit bunga komersial dan Paket Juli 1992, melalui investasi joint venture dengan perusahaan asing.
Dana Sumbangan Wajib Eksportir (Kepres RI No. 301 tahun 1968) ditujukan untuk penelitian dan pengembangan komoditi karet, kemudian pada tahun 1979 terdapat Dana Tanaman Ekspor (DTE) ditujukan untuk overhead pembangunan sektor perkebunan dan sesudah DTE ditiadakan maka dilanjutkan dengan pendanaan Kredit Investasi Kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberi subsidi. Perkembangan peremajaan karet semenjak diberlakukan paket deregulasi Januari 1990 dengan kredit bunga komersial disalurkan melalui dana kredit investasi kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberikan subsidi. Oleh lantaran itu pengembangan peremajaan kebun karet semenjak ketika itu pada umumnya dilakukan secara swadaya petani baik secara sedikit demi sedikit maupun sekaligus.
Selanjutnya Pola Pengembangan Perusahaan Perkebunan melalui aneka macam contoh yaitu (1) Pola Usaha Koperasi Perkebunan, (2) Pola Patungan Koperasi Investor, (3) Pola Patungan Investor Koperasi, (4) Pola Build, Operate dan Transfer (BOT), dan (5) Pola BTN (investor bangkit kebun dan atau pabrik kemudian dialihkan kepada koperasi). Perizinan perjuangan perkebunan diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 107/Kpts.II/1995 kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Pertanian No: 357/Kpts Hk-350/5/2002 ihwal Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
D. SEJARAH PERKEMBANGAN KARET DI RIAU
Tanaman karet merupakan kepingan tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Riau. Dalam bahasa lokal karet di sebut getah, sama dengan nama yang dipakai di semenanjung Malaya. Bagi saya, menarik untuk mengenal sejarah perkebunan karet di Riau.
Perkembangan Perkebunan Karet tak sanggup dipisahkan dari adanya krisis tembakau dan kopi yang menjadi komoditas andalan pemerintah kolonial Hindia Belanda, mendorong pemerintahan Hindia Belanda untuk membangun perkebunan karet. Pada tahun 1864, Perkebunan Karet mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia, dengan pertama kali dibuka di tempat Pamanukan dan Ciasem (Jawa Barat) oleh Hofland perusahaan Belanda. Jenis flora karet yang ditanam di waktu itu ialah karet “rambung” (Ficus elastica). Dan karet jenis Hevea brasiliensis gres ditanam di Sumatera Timur, tahun 1902. Perkebunan Karet di Indonesia lebih berkembang sesudah Netherlands Indiesmembuka pintu bagi para investor asing, terutama dari Inggris, Belanda dan Belgia serta Amerika. Seiring dengan itu, pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem perkebunan besar (modern) yang dibuka di tempat Indragiri pada 1893.
Selanjutnya disusul oleh perkebunan perkebunan lainnya. Sehingga pada 1915, di seluruh Kepulauan Riau, Indragiri dan Kuantan terdapat 12 onderneming. Tanah-tanah erfpachtyang luas di Japura, Kelawat, Sungai Lala, Sungai Parit, Gading, Air Molek dan Sungai Sagu, kemudian dimanfaatkan untuk ditanami pohon karet.
Seiring dengan perkembangan permintaan karet-alam Dunia, terutama sesudah adanya efek “boom” harga karet-alam sesudah PD II. Perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat) sudah terlebih dahulu di kenal masyarakat Riau, bahkan jauh sebelum diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Petani mendapatkan benih atau bibit flora karet dari para jemaah haji yang singgah di Malaysia atau Singapura. Perantau Kuantan di Semenanjung Malaya juga dipercaya sebagai pembawa bibit karet. Sejarah mencatat orang Kuantan - Riau ramai yang merantau ke Semenanjung Malaya terutama tamat masa XIX dan awal masa XX, yang dikenal sebagai “poi ke Kolang”. Di semenanjung Malaya, sebagian perantau Kuantan ada yang berkebun Karet. Selain itu pedagang-pedagang Cina/ tauke (Malaysia dan Singapura) yang membeli produksi karet-rakyat, juga sering membawakan benih-benih karet untuk ditanam. Karena itu flora karet sudah merupakan kepingan dari budaya kehidupan para petani di Riau. Selain didukung oleh kondisi alam, juga sistem pertanian-kebun bagi masyarakat Riau merupakan suatu bentuk pembiasaan di bidang pertanian, lantaran cengkraman iklim dan kesuburan tanah di Riau yang tidak sebaik di Jawa yang sarat dengan intensifikasi flora pangan, maka subsektor perkebunan di Propinsi Riau melaju lebih cepat dibanding dengan sektor pertanian flora pangan.
Jadi budaya pertani-kebun yang mendasari kehidupan penduduk di Riau ialah kehidupan pertanian yang berpusat pada lahan kering. Sehingga tanaman-tanaman utama yang telah usang menjadi kesukaan dan setting budaya mereka ialah flora karet dan kelapa. Sejarah perkembangan perkebunan karet Inderagiri didominasi oleh perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial ataupun swasta. Perkebunan Karet ini menjadi salah satu daya tarik perantau Jawa untuk migrasi ke Inderagiri dan bekerja di Perkebunan Karet (selain pertambangan minyak).
Tidak heran tempat perkebunan Karet di Inderagiri terutama Airmolek dan sekitarnya bertumbuh menjadi tempat yang multietnik, dengan proporsi penduduk dari suku Jawa cukup besar, jauh sebelum pemerintah menyelenggarakan agenda transmigrasi. Jejak kejayaan Perkebunan Karet di tempat Airmolek pada masa kemudian di antaranya ialah Rumah Sakit Plantagen, milik salah satu Perusahaan Karet pada masa itu. Terakhir saya melihat Rumah Sakit yang sudah menjadi bangunan kosong tak terawat pada tahun 2002. Mudah-mudahan bangunan RS itu masih eksis dan alangkah baiknya jikalau dikonservasi dan dijadikan benda cagar budaya.
Sementara itu di Kuantan, perkembangan Perkebunan Karet didominasi oleh Perkebunan Rakyat, dengan latar belakang sejarah menyerupai diuraikan di atas. Baru kemudian pada era 1990an perkebunan rakyat tersebut menerima perhatian serius pengembangannya oleh pemerintah melalui agenda Small Holder Rubber Development Project (SRDP).
Sumber http://agronomiunhas.blogspot.com
Klasifikasi botani flora karet ialah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Keluarga : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis
Tanaman karet merupakan flora perkebunan yang tumbuh di aneka macam wilayah di Indonesia. Karet merupakan produk dari proses penggumpalan getah flora karet (lateks). Pohon karet normal disadap pada tahun ke-5. Produk dari penggumpalan lateks selanjutnya diolah untuk menghasilkan lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah (crumb rubber) yang merupakan materi baku industri karet. Ekspor karet dari Indonesia dalam aneka macam bentuk, yaitu dalam bentuk materi baku industri (sheet, crumb rubber, SIR) dan produk turunannya menyerupai ban, komponen, dan sebagainya.
Hasil karet biasa dimanfaatkan atau diolah menjadi beberapa produk antara lain ialah : RSS I, RSS II, RSS III, Crumb Rubber, Lump, dan Lateks. Hasil utama dari pohon karet ialah lateks yang sanggup dijual atau diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya produk-produk tersebut akan dipakai sebagai materi baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah, yang
menghasilkan aneka macam materi baku untuk aneka macam industri hilir menyerupai ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan aneka macam produk hilir lainnya.
B. SEJARAH POHON KARET DI DUNIA
Sejarah karet bermula ketika Christopher Columbus menemukan benua Amerika pada 1476. ketika itu, Columbus tercengang melihat orang-orang Indian bermain bola dengan memakai suatu materi yang sanggup melantun jikalau dijatuhkan ketanah. Bola tersebut terbuat dari gabungan akar, kayu, dan rumput yang dicampur dengan suatu materi (lateks) kemudian dipanaskan diatas unggun dan dibulatkan menyerupai bola.
Pada 1731, para ilmuwan mulai tertarik untuk menyidik materi tersebut. spesialis dari Perancis berjulukan Fresnau melaporkan bahwa banyak flora yang sanggup menghasilkan lateks atau karet, diantaranya dari jenis Havea brasilienss yang tumbuh di hutan Amazon di Brazil. Saat ini flora tersebut menjadi flora penghasil karet utama, dan sudah dibudidayakan di Asia Tenggara yang menjadi penghasil karet utama di dunia ketika ini.
Menidaklanjuti apa yang disampaikan Charles Marie de la Condamine dan Francois Fresneau dari Perancis bahwa ada beberapa jenis flora yang sanggup menghasilkan lateks atau karet, kemudian Sir Clement R. Markham bersama Sir Joseph Dalton Hooker berusaha membudidayakan beberapa jenis pohon karet tesebut. Pada tahun 1835, Hancock mendekati Direktur Botanical Garden Kew London, Sir William Hooker dan menasehatinya untuk turut membantu mengenalkan dan mulai menanam pohon karet Hevea di wilayah kolonial Inggris yang berada Asia. Namun pandangan gres ini kurang direspon oleh Sir William Hooker.
Beberapa tahun kemudian kesadaran untuk mulai membudidayakan pohon karet, diawali oleh Sir Clements Markham, pegawai pemerintahan Inggris di India. Beliau kemudian meminta James Collin yang telah terlebih dahulu mempelajari karet untuk mengerjakan proyek penanaman tersebut. Hasil studi Collin dipublikasikan tahun 1872 dan menjadi perhatian Direktur Kew Botanic Garden yang baru, Sir Joseph Hooker, putra dari Sir William Hooker. Selanjutnya Joseph Hooker berkerja sama dengan James Collin dalam perjuangan membudidayakan karet. Joseph Hooker membeli sekitar 2000 biji karet dari Farris atas permintaan Collin. Biji karet tersebut dicoba dikecambahkan namun pada akhirnya hanya 12 biji yang berhasil tumbuh hingga menjadi flora karet baru.
Ketertarikan untuk membudidayakan karet muncul dari aristokrat Inggris lainnya, Sir Henry Wickman yang menjelajahi hutan Amazon untuk mengumpulkan biji karet dan pada akhirnya berhasil membawa sekitar 70.000 biji karet ke Inggris tahun 1876. Biji karet Wickman kemudian dikecambahkan di Kew Botanical Garden namun hanya sekitar 2000 biji saja yang bisa berkecambah. Usaha budidaya karet juga terus dilakukan oleh Sir Clements Markham, ia mengutus Robert Cross ke Amazon untuk mengumpulkan biji karet menyerupai yang dilakukan oleh Sir Wickman. Cross kembali ke Inggris dan berhasil membawa 1080 biji namun hanya 3% saja yang bisa bertahan selama perjalanan dari Brazil ke Inggris tanpa menjadi busuk.
Seratus buah biji karet Wickman yang berhasil tumbuh menjadi bibit perkecambahan kemudian dikirim ke Ceylon (sekarang Sri Langka) dari Kew Botanical Garden pada bulan September 1876. Selanjutnya di bulan Juni 1877, Kew Botanical Garden kembali mendistribusikan 22 flora karet dengan tujuan Singapore Botanical Garden. Tanaman karet tersebut diterima oleh Henry Ridley selaku Direktur Singapore Botanical Garden yang selanjutnya dijuluki ”mad Ridley” lantaran kegigihannya dalam membudidayakan flora karet di tanah Malaya. Henry Ridley menanam 75% dari flora itu di Residency Garden di Kuala Kangsar kemudian di tahun 1884, Frank Swettenham menanam 400 biji di Perak dimana biji ini merupakan hasil pohon karet yang ditanam di kuala kangsar dan selanjutnya antara tahun 1883 – 1885 ditanam di Selangor oleh T. H. Hill. Ridley juga mengenalkan teknik eksploitasi getah karet dengan penyadapan tanpa menebang pohon karetnya.
C. SEJARAH PERKEMBANGAN KARET DI INDONESIA
Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia semenjak zaman penjajahan Belanda. Tanaman karet yang paling bau tanah diketemukan di Subang Jawa Barat yang ditanam pada tahun 1862. Pada tahun l864 flora karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai flora gres untuk dikoleksi. Selanjutnya, karet dikembangkan menjadi flora perkebunan dan tersebar di beberapa daerah. Perkebunan karet dibuka oleh Hofland pada tahun 1864 di tempat Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Pertama kali jenis yang ditanam ialah karet rambung atau Ficus elastica. Tanaman karet (Hevea brasiliensis) ditanam di tempat Sumatera Timur pada tahun 1902, kemudian dibawa oleh perusahaan perkebunan ajaib ditanam di Sumatera Selatan. Pada waktu itu petani membuka hutan untuk menanam padi selama 2 tahun kemudian ladang ditinggalkan ,sebelum meninggalkan ladang biasanya menanam flora keras menyerupai karet dan buah-buahan. Petani akan tiba kembali sesudah 10 - 12 tahun kemudian untuk menyadap kebun karetnya.
Perusahaan Harrison and Crossfield Company ialah perusahaan ajaib pertama yang mulai menanam karet di Sumatera Selatan dalam suatu perkebunan yang dikelola secara komersial, kemudian Perusahaan Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909 dan diikuti perusahaan Amerika yang berjulukan Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM) pada tahun 1910-1991. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus berkat tersedianya sarana transportasi yang memadai. Umumnya sarana transportasi ini merupakan warisan dari perjuangan perkebunan tembakau yang telah dirombak. Harga karet yang membumbung pada tahun 1910 dan 1911 menambah semangat para pengusaha perkebunan untuk membuatkan usahanya. Walaupun demikian, pada tahun 1920-1921 terjadi depresi perekonomian dunia yang membuat harga karet merosot. Namun pada tahun 1922 dan 1926 terjadi ledakan harga lagi lantaran kurangnya produksi karet dunia sementara industri kendaraan beroda empat di Amerika meningkatkan jumlah permintaan karet.
Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring naiknya permintaan karet dunia dan ledakan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet rakyat di beberapa tempat antara lain lantaran pemeliharaan flora karet relatif gampang dan rakyat memiliki kepercayaan terhadap cerahnya masa depan perkebunan karet. Beberapa jemaah haji dari Indonesia pada waktu pulang dari Mekkah yang berhenti di Singapura atau Malaysia membawa biji karet untuk ditanam di Indonesia. Disamping itu dengan lancarnya perdagangan antara Sumatera dan Malaysia juga membantu berkembangnya perjuangan karet rakyat. Ledakan tingginya harga karet terutama sesudah terjadi pada tahun 1922 dan 1926 menjadikan rakyat berlomba-lomba membuka kebun karet sendiri. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu memang tidak membuat peraturan ihwal pembukaan dan pengusahaan perkebunan karet oleh rakyat. Akibat nya, lahan karet di Indonesia meluas secara tak terkendali sehingga kapasitas produksi karet menjadi berlebihan. Harga karet pun menjadi semakin sulit dipertahankan pada angka yang wajar. Kecenderungan yang terjadi ialah semakin menurunnya harga karet di pasaran.
Beberapa kali pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk melaksanakan pembatasan atau restriksi terhadap karet rakyat. Pada tanggal 7 Mei 1934 diadakan persetujuan antara Pemerintah Prancis, Britania Raya, Irlandia Utara, British Indie, Belanda dan Siam mengada-kan pembatasan dalam memproduksi karet dan ekspornya. Persetujuan ini diumumkan dalam Stbl. 1934 No. 51 yang selanjutnya diadakan perubahan dengan Stbl. 1936 No. 472 dan 1937 No. 432. Pada kenyataannya Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil melaksanakan restriksi karet di luar Jawa, maka Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan pembatasan ekspor karet dengan pajak ekspor. Pajak ekspor ini menjadikan produksi menjadi turun dan menurunkan harga yang diterima ditingkat petani.
Kemudian pada tahun 1937-1942 diberlakukanlah kupon karet yang berfungsi sebagai surat izin ekspor karet diberikan kepada petani pemilik karet dan bukan kepada eksportir. Dengan sistem kupon ini petani karet sanggup menjual karetnya ke luar negeri contohnya ke Singapura. Apabila petani karet tersebut tidak berkeinginan menjual karetnya eksklusif ke luar negeri maka ia sanggup menjual kuponnya kepada petani lain atau kepada pedagang atau eksportir. Sistem kupon tersebut merupakan jaminan sosial bagi pemilik karet lantaran walaupun pohon karetnya tidak disadap, tetapi pemilik karet tetap mendapatkan kupon yang bisa dijual atau diuangkan. Sistem kupon ini dimaksudkan pula untuk membatasi produksi (rubber restric-tion) lantaran bagi petani pemilik yang terpenting terpenuhinya kebutuhan ekonomi rumah tangganya dari hasil penjualan kupon yang diterimanya walaupun pohon karetnya tidak disadap.
Pada tahun 1944 Pemerintah Jepang yang berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan ekspansi kebun karet rakyat. Produksi karet rakyat yang akan diekspor dikenai pajak yang tinggi yaitu sebesar 50 % dari nilai keseluruhan. Kebijaksanaan tersebut berdampak menekan pada perkebunan karet rakyat. Pukulan yang menyakitkan ini tidak mematikan perkembangan perkebunan karet rakyat lantaran perkebunan karet rakyat masih tetap berjalan dan para petani karet masih percaya akan masa depan usahatani karetnya. Pedagang mediator yang banyak menyediakan barang-barang kebutuhan pokok dan menjadi penyalur produksi karet rakyat dengan jalan membeli hasil produksinya merupakan mata rantai yang tetap mempertahankan kelangsungan usahatani ini. Usahatani karet mereka tidak terlalu berpatokan pada peningkatan produksi dan laba yang berlimpah. Apabila kebutuhan sehari-hari untuk seluruh keluarga petani tercukupi maka petani akan terus mempertahankan usahatani kebun karetnya.
Setelah Perang Dunia II berakhir dan pengaruhnya agak reda di aneka macam belahan dunia yang terlibat, maka permintaan akan karet memperlihatkan peningkatan kembali. Indonesia pun agak merasa lega lantaran Jepang tidak lagi berkuasa. Sejak tahun 1945 perkebunan-perkebunan karet yang dulu diambil secara paksa oleh pihak Jepang sanggup dilanjutkan kembali pengelolaannya oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah mengelola kembali perkebunan karet negara dan mengiatkan perkebunan karet rakyat yang diikuti oleh perkebunan karet swasta sehingga Indonesia menguasai pasaran karet alam internasional, tetapi ekspansi areal karet dan peremajaan flora karet bau tanah kurang perhatian karenanya terjadi penurunan produksi karet alam Indonesia.
Pembangunan perkaretan di Indonesia pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap I Tahun 1969 – 1994 diarahkan mendorong perkembangan ekonomi pedesaan sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 1968 luas areal karet rakyat sekitar 1,7 juta ha meningkat menjadi 2,6 juta ha pada tahun 1993, terutama ekspansi areal proyek pinjaman pemerintah, namun luas flora karet bau tanah dan rusak cukup luas sekitar 401 ribu ha. Petani lebih menentukan penanaman karet gres secara tradisional dengan membuka lahan gres (blukar/hutan) dari pada meremajakan karet tuanya lantaran kebun karet bau tanah dianggap masih merupakan asset yang sewaktu-waktu sanggup dikelola (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994).
Penanaman karet secara teknologi tradisional dilakukan hingga tahun 1980 di beberapa wilayah di Sumatera Selatan terutama di wilayah desa belum maju yang dicirikan oleh ketersediaan lahan yang masih cukup luas, belum ada proyek pengembangan karet dan keterbatasan pengetahuan petani. Pesatnya perkembangan penanaman kelapa sawit yang dilakukan perkebunan besar swasta dan negara semenjak tahun 1990-an, disinyalir ada sebagian kebun petani yang dikonversi dengan kelapa sawit, lantaran lahan petani diikutsertakan sebagai kebun plasma atau diganti rugi oleh perusahaan. Namun perkembangan luas areal karet terus meningkat (Forum Bersama Pembangunan Perkebunan Sumatera Selatan, 2004).
Pada tahun 1977/1978 pengembangan perkebunan karet di Indonesia dilakukan pemerintah melalui empat contoh yaitu (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), (2) Pola Unit Pelaksanaan Proyek (UPP), (3) Pola Bantuan Parsial, dan (4) Pola Pengembangan Perkebunan Besar (PPB).
a. Pola Perusahaan Inti Rakyat (Pola PIR) merupakan pengembangan perkebunan melalui pemanfaatan kelebihan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan besar untuk membantu pengembangan perkebunan rakyat di sekitarnya. Perusahaan besar ber-tindak sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma. Selanjutnya sesudah kebun plasma menghasilkan perusahaan inti turut mengolah dan memasarkan hasilnya. PIR berusaha membuat petani sanggup berdiri diatas kaki sendiri di wilayah bukaan gres dan ditujukan untuk kelompok masyarakat lokal maupun pendatang yang berminat menjadi petani karet. Seluruh biaya pembangunan kebun merupakan komponen kredit petani, sebelum karet produktif petani sebagai pekerja buruh plasma yang di upah.
Pemerintah membangun perkebunan karet melalui Pola PIR karet yaitu PIR Berbantuan, PIR Swadana dan PIR Transmigrasi di Indonesia hingga dengan tahun 1991 seluas 255.000 ha sedangkan di Sumatera Selatan seluas 159.261 ha dengan jumlah petani sebanyak 79.631 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994). Melihat kondisi petani PIR mengalami dilema ketidak mampuan untuk melunasi kreditnya, penjualan materi olah karet (bokar) keluar inti, mutu bokar yang rendah dan bermacam-macam serta eksploitasi flora karet yang berlebihan, maka semenjak tahun 1991 pemerintah tidak lagi membuatkan perkebunan karet melalui Pola PIR.
b. Pola Unit Pelaksanaan Proyek (Pola UPP) merupakan pengembangan perkebunan yang dilaksanakan di wilayah usahatani karet rakyat yang telah ada (existing) tetapi petani tidak memiliki modal untuk membangun kebun. Pemerintah pusat telah membuatkan perkebunan karet di Indonesia hingga dengan tahun 1991 melalui Pola UPP seluas 441.736 ha yaitu melalui proyek UPP Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE) sebanyak 69 %, dan Smallholder Rubber Development Project (SRDP) sebanyak 31 % sedangkan di Sumatera Selatan seluas 98.741 ha dengan jumlah petani sebanyak 98.741 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkebunan, 1994).
Pola UPP PRPTE dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri sedangkan pihak UPP melaksanakan acara penyuluhan dan pembinaan. Kurang berjalannya UPP PRPTE disebabkan masih rendahnya minat dan pengetahuan petani akan bibit unggul, sarana transportasi terlantar dan pendanaan kurang berkesinambungan. Pola UPP SRDP dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri mulai dari pembangunan kebun sedangkan pihak UPP memperlihatkan bimbingan dan penyuluhan secara berkelompok dengan hamparan 20 ha dan paket kredit saprodi termasuk upah tenaga kerja.
Pola Sector Crops Develompment Project (SCDP) dilaksanakan dengan prinsip yang tidak berbeda dengan SRDP, hanya lokasinya diarahkan di tempat transmigrasi umum yang potensial karet. Selanjutnya pengembangan karet didanai dari proyek Tree Crops Smallholder Develompment Project (TCSDP) dalam membuatkan kebun karet rakyat dilakukan merger konsentrasi yang didanai oleh Bank Dunia yaitu penggabungan mana-jemen yang berkaitan dengan teknologi, proses produksi dan pemasaran. Pembaharuan terhadap forum konversi dengan ketentuan biaya pada tahun pertama bersifat hibah dan tahun selanjutnya merupakan kredit komersial pengembangan penanaman karet gres pada tahun 1994 - 1998 seluas 65.000 ha. Proyek Tree Crops Smallholder Sector Project (TCSSP) membuatkan kebun karet rakyat yang didanai oleh Bank Pembangunan Asia seluas 73.000 ha.
c. Pola Bantuan Parsial merupakan acara pembangunan perkebunan melalui pemberian pinjaman parsial kepada petani secara gratis. Pola ini dilaksanakan pada wilayah yang berada di luar PIR dan UPP. Pola Bantuan Parsial terdiri dari Proyek Peningkatan Produksi Perkebunan Unit Pengelohan Hasil (P4UPH) dan Proyek Penanganan Wilayah Khusus (P2WK). P4UPH merupakan acara untuk meningkatkan mutu bokar. Pada tahun 1992/ 1993 melalui proyek P4UPH telah dibantu 880 unit pengolahan karet berupa unit hand mangel. Proyek P2WK merupakan acara pengembangan flora perkebunan dalam suatu skala irit melalui pinjaman gratis paket saprodi flora karet dan flora sela pada tahun pertama dan tahun berikutnya swadaya petani. Pola swadaya/berbantuan tersebut telah dilaksanakan di Sumatera Selatan pada tahun 1992/1993 seluas 32.106 ha dengan jumlah petani sebanyak 32.106 kepala keluarga.
Bentuk Pola Bantuan Parsial lainnya yaitu sistem perjuangan rayonisasi dimana adanya korelasi kerjasama perjuangan antara kelembagaan petani karet dengan perusahaan pengolah/eksportir menurut prinsip saling membutuhkan, menguntungkan, kesetiaan dan penerapan adat bisnis yang baik.
d. Pola Pengembangan Perkebunan Besar (Pola PPB) merupakan sistem pengembangan perkebunan untuk para pengusaha baik dalam membangun kebun sendiri maupun sebagai inti dari pengembangan PIR. Pengembangan perkebunan besar melalui kemudahan Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI), Paket Deregulasi Januari 1990 (Pakjan 1990) dengan kredit bunga komersial dan Paket Juli 1992, melalui investasi joint venture dengan perusahaan asing.
Dana Sumbangan Wajib Eksportir (Kepres RI No. 301 tahun 1968) ditujukan untuk penelitian dan pengembangan komoditi karet, kemudian pada tahun 1979 terdapat Dana Tanaman Ekspor (DTE) ditujukan untuk overhead pembangunan sektor perkebunan dan sesudah DTE ditiadakan maka dilanjutkan dengan pendanaan Kredit Investasi Kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberi subsidi. Perkembangan peremajaan karet semenjak diberlakukan paket deregulasi Januari 1990 dengan kredit bunga komersial disalurkan melalui dana kredit investasi kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberikan subsidi. Oleh lantaran itu pengembangan peremajaan kebun karet semenjak ketika itu pada umumnya dilakukan secara swadaya petani baik secara sedikit demi sedikit maupun sekaligus.
Selanjutnya Pola Pengembangan Perusahaan Perkebunan melalui aneka macam contoh yaitu (1) Pola Usaha Koperasi Perkebunan, (2) Pola Patungan Koperasi Investor, (3) Pola Patungan Investor Koperasi, (4) Pola Build, Operate dan Transfer (BOT), dan (5) Pola BTN (investor bangkit kebun dan atau pabrik kemudian dialihkan kepada koperasi). Perizinan perjuangan perkebunan diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 107/Kpts.II/1995 kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Pertanian No: 357/Kpts Hk-350/5/2002 ihwal Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
D. SEJARAH PERKEMBANGAN KARET DI RIAU
Tanaman karet merupakan kepingan tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Riau. Dalam bahasa lokal karet di sebut getah, sama dengan nama yang dipakai di semenanjung Malaya. Bagi saya, menarik untuk mengenal sejarah perkebunan karet di Riau.
Perkembangan Perkebunan Karet tak sanggup dipisahkan dari adanya krisis tembakau dan kopi yang menjadi komoditas andalan pemerintah kolonial Hindia Belanda, mendorong pemerintahan Hindia Belanda untuk membangun perkebunan karet. Pada tahun 1864, Perkebunan Karet mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia, dengan pertama kali dibuka di tempat Pamanukan dan Ciasem (Jawa Barat) oleh Hofland perusahaan Belanda. Jenis flora karet yang ditanam di waktu itu ialah karet “rambung” (Ficus elastica). Dan karet jenis Hevea brasiliensis gres ditanam di Sumatera Timur, tahun 1902. Perkebunan Karet di Indonesia lebih berkembang sesudah Netherlands Indiesmembuka pintu bagi para investor asing, terutama dari Inggris, Belanda dan Belgia serta Amerika. Seiring dengan itu, pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem perkebunan besar (modern) yang dibuka di tempat Indragiri pada 1893.
Selanjutnya disusul oleh perkebunan perkebunan lainnya. Sehingga pada 1915, di seluruh Kepulauan Riau, Indragiri dan Kuantan terdapat 12 onderneming. Tanah-tanah erfpachtyang luas di Japura, Kelawat, Sungai Lala, Sungai Parit, Gading, Air Molek dan Sungai Sagu, kemudian dimanfaatkan untuk ditanami pohon karet.
Seiring dengan perkembangan permintaan karet-alam Dunia, terutama sesudah adanya efek “boom” harga karet-alam sesudah PD II. Perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat) sudah terlebih dahulu di kenal masyarakat Riau, bahkan jauh sebelum diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Petani mendapatkan benih atau bibit flora karet dari para jemaah haji yang singgah di Malaysia atau Singapura. Perantau Kuantan di Semenanjung Malaya juga dipercaya sebagai pembawa bibit karet. Sejarah mencatat orang Kuantan - Riau ramai yang merantau ke Semenanjung Malaya terutama tamat masa XIX dan awal masa XX, yang dikenal sebagai “poi ke Kolang”. Di semenanjung Malaya, sebagian perantau Kuantan ada yang berkebun Karet. Selain itu pedagang-pedagang Cina/ tauke (Malaysia dan Singapura) yang membeli produksi karet-rakyat, juga sering membawakan benih-benih karet untuk ditanam. Karena itu flora karet sudah merupakan kepingan dari budaya kehidupan para petani di Riau. Selain didukung oleh kondisi alam, juga sistem pertanian-kebun bagi masyarakat Riau merupakan suatu bentuk pembiasaan di bidang pertanian, lantaran cengkraman iklim dan kesuburan tanah di Riau yang tidak sebaik di Jawa yang sarat dengan intensifikasi flora pangan, maka subsektor perkebunan di Propinsi Riau melaju lebih cepat dibanding dengan sektor pertanian flora pangan.
Jadi budaya pertani-kebun yang mendasari kehidupan penduduk di Riau ialah kehidupan pertanian yang berpusat pada lahan kering. Sehingga tanaman-tanaman utama yang telah usang menjadi kesukaan dan setting budaya mereka ialah flora karet dan kelapa. Sejarah perkembangan perkebunan karet Inderagiri didominasi oleh perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial ataupun swasta. Perkebunan Karet ini menjadi salah satu daya tarik perantau Jawa untuk migrasi ke Inderagiri dan bekerja di Perkebunan Karet (selain pertambangan minyak).
Tidak heran tempat perkebunan Karet di Inderagiri terutama Airmolek dan sekitarnya bertumbuh menjadi tempat yang multietnik, dengan proporsi penduduk dari suku Jawa cukup besar, jauh sebelum pemerintah menyelenggarakan agenda transmigrasi. Jejak kejayaan Perkebunan Karet di tempat Airmolek pada masa kemudian di antaranya ialah Rumah Sakit Plantagen, milik salah satu Perusahaan Karet pada masa itu. Terakhir saya melihat Rumah Sakit yang sudah menjadi bangunan kosong tak terawat pada tahun 2002. Mudah-mudahan bangunan RS itu masih eksis dan alangkah baiknya jikalau dikonservasi dan dijadikan benda cagar budaya.
Sementara itu di Kuantan, perkembangan Perkebunan Karet didominasi oleh Perkebunan Rakyat, dengan latar belakang sejarah menyerupai diuraikan di atas. Baru kemudian pada era 1990an perkebunan rakyat tersebut menerima perhatian serius pengembangannya oleh pemerintah melalui agenda Small Holder Rubber Development Project (SRDP).
Sumber http://agronomiunhas.blogspot.com
0 Response to "Sejarah Perkembangan Tanaman Karet"
Posting Komentar