iklan banner

Dosa Dan Ancaman Dusta (Kaffah 88)

Buletin Kaffah No. 088, 21 Sya’ban 1440 H-26 April 2019 M

DOSA DAN BAHAYA DUSTA


Bohong atau dusta, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna tidak sesuai dengan hal (keadaan dsb) yang bergotong-royong atau palsu. Adapun dalam bahasa Arab, kebohongan (al-kadzibu), berdasarkan Profesor Dr. Rawwas Qal’ahji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha, yakni lawan dari kejujuran.
Allah SWT sudah memutuskan bahwa tak ada satu pun perbuatan yang terlepas dari hisab, termasuk ucapan:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Janganlah kau mengikuti apa saja yang tidak kau ketahui. Sungguh pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggung balasan (TQS al-Isra’ [17]: 36).

Allah SWT pun mengingatkan bahwa ada malaikat yang selalu mendampingi insan dan mencatat apa yang keluar dari lisannya:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapan pun yang dia ucapkan melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir (TQS Qaf [50]: 18).

Kedudukan seorang hamba di darul abadi kelak salah satunya juga ditentukan dari kemampuannya menjaga lisannya, termasuk jujur dalam perkataan. Nabi saw. bersabda:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Siapa saja yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, pasti saya menjamin nirwana bagi dirinya (HR al-Bukhari).

Dengan demikian kejujuran yakni bab integral dari agama ini, bukan sekadar nilai moral, apalagi sekadar demi pencitraan. Kejujuran dan keimanan merupakan dua hal yang saling berdampingan. Allah SWT memerintahkan kita untuk senantiasa bersama orang-orang yang benar/jujur (shiddiqin):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian selalu bersama orang-orang yang benar/jujur (TQS at-Taubah [9]: 119).

Di antara kadar keimanan seseorang ditandai dengan keteguhannya dalam menjaga lisannya semoga senantiasa lurus. Nabi saw. bersabda:
لاَ يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلاَ يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ
Tidaklah lurus akidah seorang hamba hingga lurus hatinya dan tidaklah lurus hatinya hingga lurus lisannya (HR Ahmad).

Berkaitan dengan menjaga lisan, Imam Syafii rahimahulLah telah berkata, “Jika seseorang mau berbicara, maka sebelum dia berbicara hendaklah berpikir. Jika tampak terperinci maslahatnya maka dia berbicara. Jika dia ragu-ragu maka dia tidak akan berbicara hingga terperinci maslahatnya.”
Di antara lurusnya mulut yakni jujur dalam berbicara. Kejujuran ini akan mengantarkan pada kebaikan dan selanjutnya membawa pelakunya ke surga. Nabi saw. bersabda:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُوْنَ صِدِّيْقًا
“Sungguh kejujuran akan membimbing menuju kebaikan dan kebaikan akan membimbing menuju surga. Sungguh seseorang akan bersungguh-sungguh berusaha untuk jujur hingga kesudahannya ia menjadi orang yang benar-benar jujur.” (HR al-Bukhari).

Bahaya Dusta
Sungguh memprihatinkan bahwa pada hari ini umat Muslim menganggap kebohongan sebagai kasus biasa, bahkan dianggap sebagai bab dari kehidupan. Kita mengenal istilah April Mop, Prank, rekayasa atau pencitraan atas suatu produk atau tokoh semoga mendapat simpati dan dukungan. Hal ini berkembang di masyarakat bahkan menjadi industri tertentu. Pelaku bisnis sering menciptakan opini palsu perihal suatu produk semoga dianggap penting oleh konsumen sehingga mereka akan mencari dan membeli produk tersebut. Jadilah produk itu harganya melambung dan menciptakan prestise pemiliknya. Terhadap hal ini Nabi saw. mengingatkan:
إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ فَيَأْثَمُونَ
“Para pedagang yakni tukang maksiat.” Di antara para sobat ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli?” Rasulullah menjawab, “Ya, namun mereka sering berdusta dalam berkata, juga sering bersumpah, namun sumpahnya palsu.” (HR Ahmad dan ath-Thabari).

Meski demikian Nabi saw. juga memberikan keutamaan para pedagang yang jujur dan sanggup dipercaya:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan dibangkitkan bersama para nabi, shiddiqin dan para syuhada.” (HR at-Tirmidzi).

Berdusta bukanlah abjad seorang Muslim, melainkan ciri kemunafikan, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga: kalau bicara, dusta; kalau berjanji, ingkar; kalau dipercaya, khianat.” (HR al-Bukhari).

Di antara berkata dusta yakni menceritakan apa yang bergotong-royong tidak ia saksikan. Artinya, ia mengarang-ngarang dongeng yang kemudian disebarkan kepada orang lain.
مِنْ أَفْرَى الْفِرَى أَنْ يُرِىَ عَيْنَيْهِ مَا لَمْ تَرَ
“Di antara sebesar-besarnya kedustaan yakni orang yang mengaku matanya telah melihat apa yang sebetulnya tidak dia lihat.” (HR al-Bukhari).

Dalam kehidupan, sering orang berdusta baik untuk laba dirinya maupun untuk merampas hak orang lain, dan menciptakan orang lain celaka. Para koruptor menggandakan laporan keuangan, tanda bukti pembayaran, dsb. Ada juga orang-orang yang ingin menjatuhkan kehormatan seseorang dan merampas haknya tanpa takut memperlihatkan kesaksian palsu di pengadilan maupun kepada orang lain. Padahal bersaksi palsu, apalagi untuk merampas hak sesama, yakni salah satu dosa besar yang sudah diperingatkan oleh Nabi saw.,“Perhatikanlah (wahai para Sahabat), maukah saya tunjukkan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau menyampaikan hal itu tiga kali. Kemudian para Sahabat mengatakan, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orangtua.” Sebelumnya ia bersandar. Lalu ia duduk dan bersabda, “Perhatikanlah, dan perkataan palsu (perkataan dusta).” Beliau terus mengulangi hal itu (HR Muttafaq alaihi).
Dengan kesaksian palsu, pengadilan sanggup memperlihatkan keputusan yang kesudahannya keliru dan merugikan orang yang tak bersalah, atau menggugurkan hak yang semestinya menjadi miliknya. Lewat kesaksian palsu pula seorang yang tak bersalah sanggup diperlakukan sebagai pesakitan, dijadikan musuh masyarakat sehingga dibenci banyak orang. Pantaslah bila Islam menempatkan kesaksian palsu sebagai dosa besar yang kelak akan menyeret pelakunya ke dalam siksa Allah SWT. “Kalian menyerahkan persengketaan kalian kepadaku. Namun, bisa jadi sebagian dari kalian lebih lihai dalam berargumen daripada yang lain. Karena itu siapa saja yang alasannya kelihaian argumennya itu, kemudian saya memutuskan bagi dia sesuatu hal yang bergotong-royong itu yakni hak dari orang lain, maka pada hakikatnya ketika itu saya telah memutuskan bagi dirinya sepotong api neraka. Oleh alasannya itu, hendaknya jangan mengambil hak orang lain.” (HR al-Bukhari).
Perbuatan menipu dan memperdaya orang lain akan lebih berat lagi manakala dilakukan oleh para penguasa yang menipu rakyatnya. Nabi saw. bersabda:
مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ، وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِه، إِلاَّ حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin rakyatnya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan nirwana bagi dirinya.” (HR Muttafaq ‘alaih).

Al-Amir ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menjelaskan bahwa ghissyu itu terjadi dengan kezaliman dia terhadap rakyat dengan mengambil harta mereka, menumpahkan darah mereka, melanggar kehormatan mereka, menghalangi diri dari keperluan dan kebutuhan mereka, menahan dari mereka harta Allah SWT yang Allah menetapkan menjadi milik mereka yang ditentukan untuk pengeluaran-pengeluaran, tidak memberitahu mereka apa yang wajib atas mereka baik kasus agama dan dunia mereka, mengabaikan hudud, tidak menghalangi orang-orang yang menciptakan kerusakan, menelantarkan jihad dan lainnya yang di dalamnya terdapat kemaslahatan hamba. Termasuk mengangkat orang yang tidak melingkupi mereka dan tidak memperhatikan perintah Allah perihal mereka dan mengangkat orang yang mana Allah lebih meridhai orang lainnya padahal orang lain yang lebih diridhai oleh Allah itu ada. Hadis-hadis memperlihatkan haramnya al-ghisyyu (penipuan/khianat) dan bahwa itu termasuk dosa besar alasannya adanya bahaya terhadap (pelaku) al-ghisyyu itu sendiri.
            Terhadap penguasa yang demikian, Nabi saw. mengingatkan, “Sungguh akan ada setelahku para pemimpin pendusta dan zalim. Siapa saja yang mendatangi mereka, kemudian membenarkan kebohongan mereka, atau membantu mereka dalam kezaliman mereka, maka dia bukan dari golonganku dan saya bukan dari golongannya, dan dia tidak akan minum dari telagaku.” (HR Ahmad).
WalLahu a’lam bi ash-shawab. []


Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan tiba kepada insan tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan, sedangkan orang yang jujur malah didustakan; pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada ketika itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang terbelakang yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.”
(HR Ibnu Majah).


Sumber http://mengerjakantugas.blogspot.com

0 Response to "Dosa Dan Ancaman Dusta (Kaffah 88)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel