iklan banner

5 Resiko Investasi Fintech P2p Lending Indonesia

Salah satu penemuan Fintech di Indonesia adalah P2P Lending. Masyarakat bisa berinvestasi di P2P dan memperoleh return yang menarik (18 sd 20% setahun). Namun, investasi ini mempunyai sejumlah resiko yang perlu dipahami dengan baik oleh investor. 

Yang penting kita kenali ialah karakteristik resiko tersebut. Apakah sesuai dengan profil serta risk appetite kita dan bagaimana cara mengelolanya.

Karena itu, langkah paling awal dalam proses investasi di P2P Lending ialah memahami resiko-resikonya. Jangan sampai, kita menginvestasikan dana tanpa tahu tingkat dan jenis resiko yang dihadapi.

Fintech P2P Lending: Inovasi Pinjam Meminjam

P2P Lending ialah salah satu Fintech yang mempertemukan secara pribadi pemilik dana (investor/lender) dengan peminjam dana (kreditur/borrower). Cara ini menghilangkan fungsi intermediasi, yang selama ini dilakukan oleh bank.

P2P Fintech menciptakan platform online yang menyediakan akomodasi bagi pemilik dana untuk memberikan pinjaman secara pribadi kepada kreditur dengan return lebih tinggi, sedangkan peminjam dana bisa mengajukan kredit secara pribadi kepada pemilik dana dengan syarat lebih gampang dan proses lebih cepat dan gampang dibandingkan ke forum keuangan konvensional.

Kami pernah membahas pengalaman investasi di P2P lending.

Trend platform P2P sudah booming di negara-negara lain. Di Inggris, industri ini sudah mulai 10 tahun lalu.

Indonesia yang mempunyai abjad penetrasi online tinggi namun kanal keuangan kredit terbatas merupakan lahan subur bagi platform online fintech yang mempertemukan kreditur dan lender secara langsung.

P2P memberikan komitmen return cukup tinggi 18 sd 20% setahun. Keuntungan ini tentu saja attractive, setara dengan return investasi di pasar saham dan reksadana.

Resiko P2P Lending

Investor yang baik niscaya akan mengenali profil targetnya, termasuk resiko yang akan terjadi.

#1 Belum Ada Regulasi

Sampai final Nov-2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum mengatur P2P Lending di Indonesia, meskipun sudah banyak forum yang memberikan produk ini di masyarakat.

Resiko tidak adanya regulasi adalah:

  • Tidak ada pinjaman konsumen dari regulator. Jika terjadi dispute antara investor dengan pengelola P2P Lending maka kedua belah pihak melaksanakan penyelesaian sendiri tanpa campur tangan regulator. Investor tidak bisa mengadu ke OJK lantaran P2P belum dalam ranah pengawasan OJK.
  • Tidak ada standard governance dan compliance mengenai bagaimana menjalankan perjuangan P2P Lending. Semua pihak bisa menciptakan bisnis ini (sesuai dengan standard masing-masing) dan memberikan ke masyarakat.

Contohnya ialah tidak ada persyaratan modal minimum untuk menciptakan perjuangan ini. Sementara, industri keuangan dan investasi membutuhkan ketentuan modal minimum untuk menjamin keamanan. Tanpa ketentuan modal minimum, singkat kata, modal ‘dengkul’ pun bisa menciptakan bisnis ini.

Kabar baiknya ialah OJK dikabarkan sedang menyiapkan regulasi mengenai P2P Lending. Kita harapkan regulasi tersebut bisa segera diterbitkan.

Salah satu penemuan Fintech di Indonesia ialah 5 Resiko Investasi Fintech P2P Lending Indonesia
Salah satu penemuan Fintech di Indonesia ialah 5 Resiko Investasi Fintech P2P Lending Indonesia
Salah satu penemuan Fintech di Indonesia ialah 5 Resiko Investasi Fintech P2P Lending Indonesia

Update: OJK telah mengeluarkan draft POJK mengenai regulasi P2P lending.

#2 Track Record Pengelola (Masih) Terbatas

Pengalaman dan skill pengelola P2P Lending sangat menentukan keamanan dan kinerja investasi. Karena pengelola yang menentukan calon kreditur yang akan didanai oleh lender (investor).

Memang, dalam website, P2P lending menyajikan sejumlah data untuk mengevaluasi calon kreditur, namun data tersebut mempunyai keterbatasan: (1) scope-nya terbatas dan (2) integritas data ditentukan sepenuhnya oleh pengelola lantaran investor tidak bisa mengecek ulang, contohnya kanal ke calon kreditur, untuk memastikan validitas data.

Pengelola P2P lending tidak memberikan akses, bahkan tidak mengungkapkan nama calon kreditur kepada investor. Dengan demikian, investor sulit atau bahkan tidak mungkin melaksanakan validasi ulang keabsahan data yang diberikan pengelola di website P2P.

Investor di platform P2P Lending relies 100% terhadap judgement dan expertise pengelola.

Namun, usia bisnis ini yang masih sangat muda di Indonesia, kurang dari 3 tahun, menciptakan kita sulit menilai mana kinerja pengelola yang sudah terbukti, mana yang belum. Hanya waktu yang bisa memperlihatkan kualitas dan keakuratan analisa pengelola.

Time will tell.

#3 Kreditur Menunggak, Resiko Ditanggung Investor

Investor perlu menyadari semenjak awal bahwa mereka menanggung sepenuhnya resiko gagal bayar kredit. Pengelola P2P lending tidak menyerap kerugian kalau kreditor menunggak.

Jika kreditur menunggak, investor harus siap kehilangan dana mereka. Ini disebut resiko kredit.

Kami mengutip klarifikasi salah satu website P2P Lending mengenai resiko kredit yang harus ditanggung oleh investor.

Beberapa waktu lalu, kami ikut dalam investasi di salah satu P2P Lending. Entah kebetulan atau nasib sial, kreditur kawasan kami meminjamkan uang mengalami keterlambatan pembayaran. Pengelola memberikan hal tersebut melalui email.

Pemberitahuan keterlambatan ini memperlihatkan bahwa investor menanggung resiko sepenuhnya. Memang, pengelola membantu melaksanakan penagihan, namun the ultimate risk berada di investor.

Walaupun, dalam kasus keterlambatan peminjam kami diatas, sesudah menunggak 7 hari pembayaran jadinya dilunasi semua dengan perhiasan bunga keterlambatan.

Konsep resiko ini berbeda dengan perbankan. Di bank, deposan tidak menghadapi resiko kredit lantaran resiko tersebut ditanggung bank. Meskipun kreditur menunggak atau gagal bayar, uang deposan kembali secara utuh.

Secara pelaporan, pengelola P2P mencatat pinjaman tidak di dalam buku (on balance sheet), namun off balance sheet lantaran mereka tidak menanggung resiko atas kerugian pinjaman tersebut.

Dalam konteks ini, kemampuan pengelola P2P me-manage resiko kredit menjadi kompetensi yang sangat krusial buat investor. Setiap pinjaman niscaya mengandung resiko kredit, tinggal bagaimana kemampuan risk management dan collection mengelola kredit tersebut.

Masalahnya, kami melihat klarifikasi mengenai bagaimana menangani kredit macet belum diuraikan secara komprehensif di website P2P. Informasinya umum, tidak detil serta belum menjawab pertanyaan – pertanyaan investor berikut ini:

  • Jika kredit macet, bagaimana collection menagih. Strategi apa yang dipakai dan kapan menggunakan debt-collector (jika terpaksa digunakan)
  • Pihak mana yang menanggung biaya collection, apakah investor atau share dengan pengelola. Dalam kredit ritel, collection memakan biaya besar, sehingga ketentuan mengenai siapa yang menanggung biaya ini perlu terperinci semenjak awal.
  • Jika kredit tidak bisa ditagih selama periode tertentu, bagaimana prosesnya dan implikasinya kepada investor.

Di P2P Lending beberapa negara, salah satu cara mengatasi resiko kredit ialah pengelola menyisihkan sebagian dana (disebut ‘safeguard‘ atau ‘reserve fund’) untuk menutupi biaya kredit macet. Namun, penyisihan dana semacam ini, kami belum lihat dalam P2P di Indonesia.

Kemungkinan belum adanya penyisihan dana ini di Indonesia lantaran belum ada regulasi yang mengatur. Penyisihan dana bukan hal yang gampang alasannya akan mengurangi potensi laba buat pengelola dan investor.

#4 Resiko Operasional, Bangkrut dan Dibawa Lari

Investor menghadapi 2 resiko operasional yang kritikal, yaitu:

Pertama, dana yang disetorkan ke pengelola P2P hilang atau disalahgunakan.

Saat ini, pengelola melaksanakan langkah preventif dengan menempatkan dana investor di rekening terpisah virtual account di bank atas nama investor. Cara ini mengikuti transaksi di pasar modal dimana regulasi tetapkan bahwa dana investor saham yang disetorkan ke broker untuk melakukan/menampung transaksi ditempatkan di rekening terpisah atas nama nasabah (disebut Rekening Dana Nasabah/RDN).

Namun, corporate governance di P2P Lending dengan Pasar Modal ketika ini secara mendasar berbeda.

Di pasar modal, broker saham hanya bisa mengakses rekening dana nasabah kalau terdapat bukti underlying transaksi (jual-beli saham) yang dikeluarkan oleh otoritas kliring/settlement. Tanpa bukti tersebut, pihak bank tidak memperbolehkan broker menarik dana nasabah dan proses ini diawasi secara ketat oleh regulator lewat audit serta pengawasan internal.

Di P2P Lending, lantaran belum ada regulasi dan otoritas pengawas ketika ini, ketentuan mengenai bagaimana pengelola boleh mengakses virtual account belum jelas. Belum ada regulator yang mengawasi perlindungan dana investor di virtual account tersebut.

Kedua, kemungkinan pengelola P2P Lending bangkrut.

Investor menyetor dana ke pengelola yang kemudian mengatur ke peminjam. Posisi pengelola sangat strategis, sehingga kalau mereka gulung tikar besar implikasinya bagi investor.

Di salah satu platform P2P Lending, calon investor harus menyetorkan dana terlebih dahulu ke pengelola kalau ingin menjadi investor. Artinya, dana investor disimpan oleh pengelola.

Salah satu cara memastikan dapat dipercaya pengelola ialah melihat track record dan kekuatan modal. Asumsinya, semakin besar modal, semakin solid keuangan mereka, semakin kecil kemungkinan bangkrut.

Masalahnya, otoritas belum mengeluarkan ketentuan mengenai permodalan minimum P2P Lending. Siapa pun bisa membuka P2P tanpa perlu modal yang memadai.

Saat ini pun, investor belum bisa melihat dan kemudian menilai kemampuan modal pengelola. Karena pengelola tidak mencantumkan informasi mengenai berapa jumlah modal yang mereka miliki.

Satu-satunya cara, ketika ini, untuk memastikan dapat dipercaya pengelola P2P ialah track record, backup investor dan cara kerja mereka. Terbatas memang, namun itu sementara itu yang bisa dijadikan patokan.

#5 Tidak Bisa Menarik Investasi Ditengah Jalan

Berbeda dengan bank dimana deposan bisa menarik dana kapan diperlukan, begitu pula dengan investasi saham yang bisa dijual kapan saja, investor P2P Lending tidak bisa menarik pendanaan yang sudah dikucurkan sebagai pinjaman sebelum jatuh tempo.

Investor yang hendak terjun ke P2P harus mempertimbangan isu likuiditas ini dengan matang. Jangan hingga mereka terjebak dalam kesulitan likuiditas lantaran dana tidak bisa ditarik sebelum waktunya.

Salah satu penemuan Fintech di Indonesia ialah 5 Resiko Investasi Fintech P2P Lending Indonesia

Kesimpulan

Kehadiran platform fintech P2P Lending memberikan alternatif investasi. Return yang menarik dan proses yang gampang merupakan keunggulan platform ini dibandingkan instrumen investasi yang lain.

Namun, setiap investasi niscaya mempunyai resiko. Investasi di P2P Lending mempunyai sejumlah resiko. Investor yang ingin terjun ke instrumen ini wajib memahami resiko tersebut dengan baik.


Sumber https://duwitmu.com

0 Response to "5 Resiko Investasi Fintech P2p Lending Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel