iklan banner

Pengertian Pengamatan Terlibat ( Participan Obervation ) Dan Penjelasannya

a.       Pengertian wawancara
Menurut Kartono (1980: 171) interview atau wawancara ialah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu duduk kasus tertentu; ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.
Dalam proses interview terdapat 2 (dua) pihak dengan kedudukan yang berbeda. Pihak pertama berfungsi sebagai penanya, disebut pula sebagai interviewer, sedang pihak kedua berfungsi sebagai pemberi informasi (Information supplyer), interviewer atau informan. Interviewer mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meminta keterangan atau penjelasan, sambil menilai jawaban-jawabannya. Sekaligus ia mengadakan paraphrase (menyatakan kembali isi balasan interviewee dengan kata-kata lain), mengingat-ingat dan mencatat jawaban-jawaban. Disamping itu beliau juga menggali keterangan-keterangan lebih lanjut dan berusaha melaksanakan “probing” (rangsangan, dorongan).
Pihak interviewee diharap mau memperlihatkan keterangan serta penjelasan, dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Kadang kala ia malahan membalas dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pula. Hubungan antara interviewer dengan interviewee itu disebut sebagai “a face to face non-reciprocal relation” (relasi muka berhadapan muka yang tidak timbal balik). Maka interview ini sanggup dipandang sebagai metoda pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak, yang dilakukan secara sistematis dan menurut tujuan research (Kartono, 1980: 171).
Menurut Banister dkk (1994 dalam Poerwandari 1998: 72 - 73) wawancara ialah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan wacana makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melaksanakan eksplorasi terhadap informasi tersebut, suatu hal yang tidak sanggup dilakukan melalui pendekatan lain.
Menurut Denzin & Lincoln (1994: 353) interview merupakan suatu percakapan, seni tanya jawab dan mendengarkan. Ini bukan merupakan suatu alat yang netral, pewawancara membuat situasi tanya jawab yang nyata. Dalam situasi ini jawaban-jawaban diberikan. Maka wawancara menghasilkan pemahaman yang terbentuk oleh situasi menurut peristiwa-peristiwa interaksional yang khusus. Metoda tersebut dipengaruhi oleh karakteristik individu pewawancara, termasuk ras, kelas, kesukuan, dan gender. (“The interview is a conversation, the art of asking questions and listening. It is not neutral tool, for the interviewer creates the reality of the interview situation. In this situation answers are given. Thus the interview produces situated understandings grounded in specific interactional episodes. This method is influenced by the personal characteristies of the interviewer, including race, class, ethnicity, and gender”).
Menurut Kerlinger (terjemahan Simatupang, 1990: 770 – 771) wawancara (interview) ialah situasi tugas antar-pribadi berhadapan muka (face to face), saat seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan duduk kasus penelitian, kepada seseorang yang diwawancarai, atau informan.
Ada dua cara membedakan tipe wawancara dalam tataran yang luas: terstruktur dan tak terstruktur atau baku dan tak baku. Dalam wawancara standar (terstruktur), pertanyaan-pertanyaan, runtunannya, dan perumusan kata-katanya sudah “harga mati”, artinya sudah ditetapkan dan tak boleh diubah-ubah. Mungkin pewawancara masih punya kebebasan tertentu dalam mengajukan pertanyaan, tetapi itu relatif kecil. Kebebasan pewawancara itu telah dinyatakan lebih dulu secara jelas. Wawancara standar mempergunakan skedul wawancara yang telah dipersiapkan secara cermat untuk memperoleh informasi yang relevan dengan duduk kasus penelitian.
Wawancara tak standar bersifat lebih luwes dan terbuka. Meskipun pertanyaan yang diajukan oleh maksud dan tujuan penelitian, muatannya, runtunan dan rumusan kata-katanya terserah pada pewawancara. Biasanya tidak dipakai skedul. Singkatnya wawancara tak standar atau wawancara tak terstruktur merupakan situasi terbuka yang kontras dengan wawancara standar atau terstruktur yang tertutup. Ini tidaklah berarti bahwa wawancara tak standar ialah suatu yang gampang-gampangan saja. Wawancara jenis ini pun haruslah direncanakan secara cermat sebagaimana halnya wawancara standar. Dalam hal ini yang kita perhatikan memang hanya wawancara standar. Akan tetapi, diakui bahwa banyak duduk kasus penelitian sering kali membutuhkan tipe wawancara kompromi, yakni pewawancara diizinkan untuk memakai pertanyaan-pertanyaan alternatif yang dinilainya cocok untuk responden tertentu dan pertanyaan tertentu.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut sanggup disimpulkan wawancara (interview) merupakan suatu acara tanya jawab dengan tatap muka (face to face) antara pewawancara (interviewer) dengan yang diwawancarai (interviewee) wacana duduk kasus yang diteliti, dimana pewawancara bermaksud memperoleh persepsi, sikap dan pola pikir dari yang diwawancarai yang relevan dengan duduk kasus yang diteliti. Karena wawancara itu dirancang oleh pewawancara, maka alhasil pun dipengaruhi oleh karakteristik pribadi pewawancara.
Wawancara dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Terstruktur apabila pertanyaan yang diajukan pewawancara dilakukan secara ketat sesuai daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Tidak terstruktur apabila pertanyaan yang diajukan bersifat fleksibel tetapi tidak menyimpang dari tujuan wawancara yang telah ditetapkan.

b.      Wawancara Mendalam
Dalam wawancara dikenal adanya teknik wawancara mendalam (in depth interview). Berikut akan disampaikan pandangan Malo yang mengacu pada pandangan para jago penelitian kualitatif, yang disampaikan pada Pelatihan Metoda Kualitatif PAU-IS-Universitas Indonesia 10 Nopember 1998 sebagai berikut:
Pada prinsipnya teknik wawancara merupakan teknik dimana penelitian dan responden bertatap muka eksklusif di dalam wawancara yang dilakukan. Peneliti mengharapkan perolehan informasi dari responden mengenai suatu duduk kasus yang ditelitinya, yang tidak sanggup terungkap melalui penggunaan teknik kuesioner. Oleh alasannya ialah itu maka di dalam pelaksanaan wawancara mendalam, pertanyaan-pertanyaan yang akan dikemukakan kepada responden tidak sanggup dirumuskan secara niscaya sebelumnya, melainkan pertanyaan-pertanyaan tersebut akan banyak bergantung dari kemampuan dan pengalaman peneliti untuk menyebarkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan sesuai dengan balasan responden. Dengan perkataan lain di dalam wawancara mendalam berlangsung suatu diskusi terarah diantara peneliti dan responden menyangkut duduk kasus yang diteliti. Di dalam diskusi tersebut peneliti harus sanggup mengendalikan diri, sehingga tidak menyimpang jauh dari pokok duduk kasus serta tidak memperlihatkan evaluasi mengenai benar atau salahnya pendapat atau opini responden. Melihat jenis pertanyaan yang dipakai dalam teknik wawancara mendalam maka jenis pertanyaan yang dipakai ialah pertanyaan terbuka. Dibandingkan dengan pertanyaan tertutup, jenis pertanyaan terbuka memiliki kelebihan-kelebihannya contohnya memungkinkan perolehan variasi balasan sesuai dengan pemikiran responden; responden sanggup memperlihatkan jawabannya secara lebih terinci serta responden diberikan kesempatan mengekspresikan caranya dalam menjawab pertanyaan. Serentak dengan itu terdapat pula kelemahan pertanyaan terbuka, misalnya: kemungkinan terdapatnya jumlah yang cukup besar dari balasan yang tidak relevan serta balasan responden yang tidak standar atau baku sehingga mempersulit pengolahan data. Seringkali pula peneliti harus pandai-pandai menanyakan responden untuk memperoleh balasan contohnya dengan mempergunakan teknik-teknik probing (mengorek balasan responden semoga terarah pada tujuan penelitian).

c.       Kriteria Penulisan Pertanyaan
Menurut Kerlinger (terjemahan Simatupang, 1990: 776 – 778) menurut pengalaman dalam penelitian telah dikembangkan kriteria atau tata hukum penulisan pertanyaan. Terdapat 7 (tujuh) hal yang harus diperhatikan dalam menyusun pertanyaan, sebagai berikut:
1)      Apakah pertanyaan ini berkaitan dengan duduk kasus penelitian dan sasaran-sasaran penelitian ? Kecuali pertanyaan-pertanyaan untuk memperoleh informasi faktual dan sosiologis, semua pertanyaan dalam ajaran wawancara harus memiliki fungsi tertentu dalam duduk kasus penelitiannya. Ini berarti bahwa kegunaan setiap pertanyaan ialah untuk memancing informasi yang sanggup dipakai untuk menguji hipotesis/pertanyaan penelitian.
2)      Tepatkan tipe pertanyaan ini ? Ada informasi tertentu yang sanggup diperoleh dengan sebik-baiknya bila memakai pertanyaan-pertanyaan terbuka –alasan perilaku, itikad/niat, dan sikap. Sebaiknya informasi lain tertentu sanggup diperoleh dengan lebih cepat dan efisien bila kita memakai pertanyaan tertutup. Jika yang diminta responden hanyalah menyatakan pilihan yang lebih disukai di antara dua alternatif atau lebih, sedangkan alternatif-alternatif itu sanggup diungkapkan secara jernih, sungguh tidak efisien bila kita memakai pertanyaan terbuka.
3)      Apakah butir pertanyaan itu terang dan tidak mengundang tafsir majemuk? Suatu pertanyaan yang tidak ambigu ialah yang tidak memungkinkan atau mengundang tafsir yang berlainan serta balasan yang berbeda-beda sebagai hasil dari tafsir beragam itu. Pertanyaan yang bersifat ambigu apabila pertanyaan itu menyodorkan 2 (dua) kerangka pola atau lebih. Contoh: “Bagaimana perasaan anda mengenai pengembangan suatu sistem transit kilat antara sentra kota dengan kawasan pemukiman perkotaan, dan pengembangan kembali wilayah pemukiman di sentra kota?” Andaikan responden tidak mengalami kesulitan oleh kerumitan dan alternatif-alternatif yang diajukan oleh pertanyaan itu, beliau tidak akan sanggup menjawab dengan memakai satu kerangka pikir dan pemahaman yang sama mengenai apa yang diinginkan oleh penanya. Ambiguitas sanggup pula muncul dalam pertanyaan-pertanyaan yang jauh lebih sederhana, misalnya: “Bagaimana kehidupan anda bersama keluarga anda tahun ini?” Ini sanggup membingungkan responden untuk menjawab alasannya ialah tidak terang hal apa yang ingin diketahui oleh peneliti, apakah hal keuangan, kebahagiaan, perkawinan, kesehatan, status atau apa?
4)      Apakah pertanyaan itu menggiring responden untuk memperlihatkan alternatif balasan tertentu? Pertanyaan semacam ini tidak menjamin adanya validitas (untuk penelitian kualitatif disebut kredibilitas). Misalnya anda membuat pertanyaan: “Apakah anda telah membaca tulisan-tulisan wacana situasi pendidikan di kawasan ini ?” Anda mungkin akan mendapat balasan “Ya” oleh sebagian besar dari responden, bila ditujukan kepada sekelompok responden. Mengapa ? Karena pertanyaan ini mencerminkan tidak baik apabila orang tidak membaca artikel mengenai situasi pendidikan di kawasan itu.
5)      Apakah pertanyaan ini menuntut pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki oleh reponden ? Untuk menjaga semoga tidak ada balasan yang tidak valid alasannya ialah kurangnya informasi, akan bijaksana apabila kita memakai pertanyaan-pertanyaan saringan. Sebelum responden ditanya pendapatnya wacana UNESCO, seyogya ditanya lebih dahulu apakah beliau mengetahui apa UNESCO itu dan apa artinya. Terdapat kemungkinan pendekatan lain. Seyogyanya diberikan penjelasan singkat terlebih dulu wacana UNESCO, gres kemudian responden diminta pendapatnya wacana UNESCO.
6)      Apakah pertanyaan ini menuntut ihwal yang bersifat pribadi dan peka sehingga responden mungkin menolak menjawabnya? Diperlukan teknik-teknik khusus untuk memperoleh informasi yang bersifat pribadi, peka, atau kontroversial. Pertanyaan wacana penghasilan contohnya dan hal-hal lain yang bersifat pribadi hendaknya diletakkan di bab belakang dalam wawancara, yaitu sesudah tercapai kedekatan dan keakraban/hubungan yang baik (rapport) antara pewawancara dengan responden. Apabila menanyakan sesuatu yang secara sosial tidak disetujui, hendaknya anda tunjukkan bahwa sebagian orang berpandangan tertentu, sementara orang-orang lain berpandangan yang sebaliknya. Janganlah hingga membuat responden menyangkal atau menolak dirinya sendiri.
7)      Apakah pertanyaan ini menyiratkan hal-hal yang dianggap baik atau jelek oleh masyarakat? Orang cenderung untuk memperlihatkan balasan yang sesuai dengan yang dipandang baik oleh umum, jawaban-jawaban yang memperlihatkan atau mencerminkan kesetujuan pada tindakan-tindakan atau hal-hal yang umumnya dinilai baik. Misalnya menanyakan kepada seseorang mengenai perasaannya terhadap kanak-kanak. Setiap orang diharap menyayangi anak-anak. Jika kita tidak hati-hati, kita akan mendapat balasan stereotip atau klise mengenai bawah umur dan kasih sayang. Juga, jikalau kita menanyakan apakah seseorang memakai hak pilihnya, kita harus hati-hati alasannya ialah setiap orang diperlukan memakai hak pilihnya. Begitu pula jikalau kita menanyakan kepada orang wacana reaksinya terhadap kelompok minoritas, kita menghadapi resiko mendapat balasan yang tidak valid (kredibel). Kebanyakan orang yang berpendidikan, entah bagaimana sikap mereka yang sesungguhnya, menyadari bahwa prasangka terhadap minoritas merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan. Demikianlah maka pertanyaan yang baik ialah yang tidak mengarahkan responden untuk mengungkapkan sentimen-sentimen yang dipandang baik secara sosial belaka. Sementara itu kitapun hendaknya tidak mengajukan pertanyaan tertentu sehingga responden terpojok untuk memperlihatkan balasan yang secara sosial dipandang tidak baik.

Pengarahan atau instruksi yang perlu diperhatikan oleh pewawancara (interviewers) mencakup pedoman-pedoman sebagai berikut:
a.       Tidak pernah “terjebak” dalam penjelasan yang panjang dari studi itu; gunakan penjelasan standar yang diberikan pengawas. (“Never get involved in long explanations of the study; use standard explanation provided by supervisor”).
b.      Tidak pernah menyimpang dari pengantar studi, urutan pertanyaan atau rumusan pertanyaan. (“Never deviate from the study introduction, sequence of questions, or question wording”).
c.       Tidak pernah membiarkan individu lain melaksanakan interupsi wawancara, jangan membiarkan individu lain menjawab untuk responden, atau memperlihatkan saran, atau pandangannya pada pertanyaan itu. (“Never let another person interupt the interview; do not let another person answer for the respondent or offer his or her opinions on the questions”).
d.      Tidak pernah menyarankan suatu balasan atau baiklah atau tidak baiklah dengan suatu jawaban. Jangan memperlihatkan kepada responden suatu wangsit dari pandangan pribadi anda pada topik dari pertanyaan atau survey. (“Never suggest an answer or agree or disagree with an answer. Do not give the repondent any idea of your personal views on the topic of questions or survey”).
e.       Tidak pernah menafsirkan arti suatu pertanyaan, cukup hanya mengulangi pertanyaan dan memperlihatkan instruksi atau penjelasan menyerupai yang diberikan dalam latihan atau oleh pengawas. (“Never interpret the meaning of a question; just repeat the questions and give instructions or clarifications that are provided in pelatihan or by supervisors”).

f.       Tidak pernah memperbaiki, menyerupai menambahkan kategori-kategori jawaban, atau membuat perubahan susunan kata-kata. (“Never improvise, such as by adding answer categories, or make wording changes”) (Denzin & Lincoln, 1994: 364).

Sumber http://dominique122.blogspot.com

0 Response to "Pengertian Pengamatan Terlibat ( Participan Obervation ) Dan Penjelasannya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel