iklan banner

Pengertian Firma Ada Penjelasannya

a.       Pengertian observasi/pengamatan (Observation)
Menurut Kartono (1980: 142) pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: “studi yang disengaja dan sistematis perihal fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan tujuan observasi adalah: “mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter relasinya elemen-elemen tingkah laris insan pada fenomena sosial serba kompleks dalam pola-pola kulturil tertentu”.

Observasi sanggup menjadi teknik pengumpulan data secara ilmiah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Diabdikan pada contoh dan tujuan penelitian yang sudah ditetapkan.
2)      Direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis, dan tidak secara kebetulan (accidental) saja.
3)      Dicatat secara sistematis dan dikaitkan dengan proposisi-proposisi yang lebih umum, dan tidak alasannya ialah didorong oleh impuls dan rasa ingin tahu belaka.
4)      Validitas, reliabilitas dan ketelitiannya dicek dan dikontrol menyerupai pada data ilmiah lainnya (Jehoda, M. dkk, 1959 dalam Kartono 1980: 142).
Catatan penulis: Untuk nomor 4) istilah validitas dan reliabilitas dalam penelitian kualitatif tidak biasa digunakan, istilah yang biasa dipakai untuk menggantikan kedua istilah tersebut ialah kredibilitas.
Poerwandari tidak menawarkan batasan perihal observasi tetapi menawarkan klarifikasi perihal observasi sebagai berikut: “Observasi barangkali menjadi metode yang paling dasar dan paling bau tanah di bidang psikologi, alasannya ialah dengan cara-cara tertentu kita selalu terlibat dalam proses mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada acara memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan korelasi antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi penggalan dalam penelitian psikologis, sanggup berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari 1998: 62).
Catatan penulis: Observasi yang dilakukan dalam laboratorium dalam konteks eksperimental itu ialah observasi dalam rangka penelitian kuantitatif. Observasi dalam rangka penelitian kualitatif harus dalam konteks alamiah (naturalistik).
Patton (1990: 201 dalam Poerwandari, 1998: 63) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Agar menawarkan data yang akurat dan bermanfaat, observasi sebagai metode ilmiah harus dilakukan oleh peneliti yang sudah melewati latihan-latihan yang memadai, serta telah mengadakan persiapan yang teliti dan lengkap.
Moleong tidak menawarkan batasan perihal observasi, tetapi menguraikan beberapa pokok problem dalam membahas observasi, diantaranya: a) alasan pemanfaatan pengamatan, b) macam-macam pengamatan dan derajat peranan pengamat (Moleong, 2001: 125).
a)   Manfaat Pengamatan
Menurut Guba dan Lincoln (1981: 191 – 193 dalam Moleong 2001: 125-126) alasan-alasan pengamatan (observasi) dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif, pada dasarnya karena:
1)       Pengamatan merupakan pengalaman langsung, dan pengalaman pribadi dinilai merupakan alat yang ampuh untuk memperoleh kebenaran. Apabila informasi yang diperoleh kurang meyakinkan, maka peneliti sanggup melaksanakan pengamatan sendiri secara pribadi untuk mengecek kebenaran informasi tersebut.
2)       Dengan pengamatan dimungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat sikap dan insiden sebagaimana yang sebenarnya.
3)       Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat insiden yang berkaitan dengan pengetahuan yang relevan maupun pengetahuan yang diperoleh dari data.
4)       Sering terjadi keragu-raguan pada peneliti terhadap informasi yang diperoleh yang dikarenakan kekhawatiran adanya bias atau penyimpangan. Bias atau penyimpangan dimungkinkan alasannya ialah responden kurang mengingat insiden yang terjadi atau adanya jarak psikologis antara peneliti dengan yang diwawancarai. Jalan yang terbaik untuk menghilangkan keragu-raguan tersebut, biasanya peneliti memanfaatkan pengamatan.
5)       Pengamatan memungkinkan peneliti bisa memahami situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jikalau peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laris sekaligus. Makara pengamatan sanggup menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan untuk sikap yang kompleks.
6)       Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat. Misalkan seseorang mengamati sikap bayi yang belum bisa berbicara atau mengamati orang-orang luar biasa, dan sebagainya.
Perlu ditekankan disini pengamatan dimaksudkan semoga memungkinkan pengamat melihat dunia sebagaimana yang dilihat oleh subjek yang diteliti, menangkap makna fenomena dan budaya dari pemahaman subjek. Pengamatan memungkinkan peneliti mencicipi apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek, bukan apa yang dirasakan dan dihayati oleh si peneliti. Makara interpretasi peneliti harus berdasarkan interpretasi subjek yang diteliti.

b)      Macam Pengamat dan Derajat Pengamat
Menurut Moleong (2001: 126-127) pengamatan sanggup dibedakan menjadi: a) pengamatan berperan serta, b) pengamatan tidak berperan serta. Pengamatan juga sanggup diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan terbuka, apabila keberadaan pengamat diketahui oleh subjek yang diteliti, dan subjek menawarkan kesempatan kepada pengamat untuk mengamati insiden yang terjadi dan subjek menyadari adanya orang yang mengamati apa yang subjek kerjakan, b) pengamatan tertutup apabila pengamat melaksanakan pengamatan tanpa diketahui oleh subjek yang diamati. Pengamatan juga sanggup diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan dengan latar alamiah atau pengamatan tidak terstruktur dan b) pengamatan buatan atau pengamatan terstruktur. Pengamatan terstruktur ini disebut eksperimen biasa dipakai dalam penelitian kuantitatif. Sedang pengamatan alamiah atau pengamatan tidak terstruktur inilah yang biasa dipakai dalam penelitian kualitatif.
Selanjutnya Bunford Junker (dalam Moleong, 2001: 126-127) membagi tugas peneliti sebagai pengamat menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
1)      Berperan serta secara lengkap (the complete participant). Pengamat dalam hal ini menjadi anggota penuh dari suatu kelompok yang diamati, artinya peneliti bergabung secara penuh atau menjadi anggota secara penuh dalam kelompok yang diamati sendiri oleh peneliti. Dengan demikian peneliti sanggup memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkannya, termasuk yang rahasia.
2)      Pemeran serta sebagai pengamat (the participant as observer). Peneliti tidak sepenuhnya menjadi anggota kelompok yang diamati (misalnya anggota kehormatan), tetapi masih sanggup melaksanakan fungsi pengamatan. Hal-hal diam-diam masih sanggup diketahui.
3)      Pengamat sebagai bintang film serta (the observer as participant). Peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum, alasannya ialah segala macam informasi termasuk yang diam-diam sanggup dengan gampang diperoleh.
4)      Pengamat penuh (the complete observer). Biasanya hal ini terjadi pada pengamatan suatu eksperimen dilaboratorium yang memakai beling sepihak. Peneliti dengan bebas mengamati secara terperinci subjeknya dari belakang kaca, sedang subjeknya sama sekali tidak mengetahui apakah mereka sedang diamati atau tidak.

Flick (2002: 135) menjelaskan perihal observasi sebagai berikut: disamping kemampuan berbicara dan mendengarkan sebagaimana dipakai dalam wawancara-wawancara, observasi merupakan keterampilan harian lain sebagai secara metodelogis disistematisir dan diterapkan dalam penelitian kualitatif. Tidak hanya persepsi visual tetapi juga persepsi berdasarkan pendengaran, perasaan dan penciuman yang diintegrasikan. (“Besides the competencies of speaking and listening which are used in interviews, observing is another everyday skill which is methodologically systematized and applied in qualitative research. Not only visual perceptions but also those based on hearing, feeling and smelling are integrated (Adler and Adler 1998)”).
Dengan menyetujui pendapat Friedrichs (1973: 272-273), Flick (2002: 135) menyatakan mekanisme observasi secara umum diklasifikasikan menjadi 5 (lima) dimensi, yaitu:
a)      Observasi tertutup versus observasi terbuka: seberapa jauh observasi diberitahukan kepada siapa yang diobservasi. (“Covert versus overt observation: how far is the observation revealed to those who are observed”).
b)      Observasi tidak terlibat versus observasi terlibat: seberapa jauh pengamat menjadi penggalan yang aktif dari lapangan yang diamati. (“Non-participant versus participant observation: how far does the observer become an active part of the observed field”).
c)      Observasi sistematis lawan observasi yang tidak sistematis: ialah suatu observasi yang lebih atau kurang terstandarisasikan dalam contoh pelaksanaannya atau observasi yang lebih fleksibel dan tanggap terhadap proses penelitian sendiri. (“Systematic versus unsystematic observation: is a more or less standarized observation scheme applied or does observation remain rather flexible and responsive to the processes themselves”).
d)     Observasi secara alamiah versus situasi-situasi buatan: apakah observasi dilakukan dalam lapangan yang diminati atau apakah observasi dilakukan terhadap interaksi yang mengarah ke suatu daerah yang khusus (misalnya suatu laboratorium) yang memungkinkan observasi yang lebih baik. (“Observation in natural versus artificial situations: are observation done in the field of interest or are interactions ’moved’ to a special place (eq. a laboratory) to give a better observability”).
e)      Observasi diri versus mengobservasi orang-orang lain: kebanyakan orang lain diobservasi, maka berapa banyak niat/atensi peneliti melaksanakan refleksi dalam observasi diri sendiri untuk dijadikan dasar selanjutnya pada waktu melaksanakan penafsiran atas apa yang diobservasi. (“Self-observation versus observing others: mostly other people are observed, so how much attention is paid to the researcher’s reflexive self-observation for futher grounding the interpretation of the observed”).
Mengenai tahap-tahap observasi, penulis menyerupai Adler dan Adler (1998), Denzin (1989 b), dan Spradley (1980) (dalam Flick, 2002: 136) menyatakan bahwa observasi mempunyai 7 (tujuh) tahap, yaitu:
a)      Seleksi suatu latar (setting) yaitu dimana dan kapan proses-proses dan individu-individu yang menarik itu sanggup diobservasi (“The selection of a setting, i.e. where and when the interesting processes and persons can be observed”).
b)      Berikan definisi perihal apa yang sanggup didokumentasikan dalam observasi itu dan dalam setiap kasus. (“The definition of what is to be documented in the observation and in every case”).
c)      Latihan untuk pengamat supaya ada standarisasi contohnya apa yang dijadikan fokus-fokus penelitian. (“The pembinaan of the observers in order to standarized such focuses”).
d)     Observasi deskriptif yang menawarkan suatu pemaparan umum mengenai lapangan. (“Descriptive observations which provide an initial general presentation of the field”).
e)      Observasi terfokus yang semakin terkonsentrasi pada aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan penelitian. (“Focused observations which concentrate more and more on aspects that are relevant to the research questions”).
f)       Observasi selektif yang dimaksudkan untuk secara sengaja menangkap hanya aspek-aspek pokok. (“Selective observations which are intended to purposively grasp only central aspects”).
g)      Akhir dari observasi apabila kepenuhan teori telah tercapai, yaitu apabila observasi lebih lanjut tidak menawarkan pengetahuan lanjutan. (“The end of the observations, when theoretical saturation has been reached (Glaser and Strauss, 1967), i.e. futher observations do not provide any futher knowledge”).

Kerlinger (1986, terjemahan Simatupang 1990: 857) pada dasarnya menyatakan bahwa insan melaksanakan pengamatan sehari-hari terhadap orang lain, lingkungan sekeliling dan lain-lain. Tetapi pengamatan menyerupai itu terperinci tidak menawarkan data yang sanggup dipergunakan untuk penelitian ilmiah. Oleh peneliti-peneliti kuantitatif semoga data hasil pengamatan sanggup dimanfaatkan dalam penelitian ilmiah perlu diterapkan mekanisme pengukuran yaitu setiap sikap diberi skor berdasarkan hukum tertentu, sehingga berdasarkan skor-skor tersebut sanggup disusun kesimpulan. Namun berdasarkan Kerlinger hal tersebut ternyata masih mengakibatkan kontroversi dan perdebatan. Para peneliti kuantitatif menyatakan bahwa sikap tersebut harus dikontrol secara ketat dan cermat semoga sikap tersebut sanggup dikenakan mekanisme pengukuran, dengan demikian data tersebut bermanfaat untuk ilmu pengetahuan ilmiah. Peneliti-peneliti kualitatif menyatakan bahwa pengamatan harus alamiah (naturalistik): pengamat harus larut dalam situasi realistik dan alami yang sedang berlangsung, dan harus mengamati sikap sebagai yang muncul dalam wujud yang sebenarnya. Walaupun hal ini dalam pelaksanaannya sangat sulit dan rumit.
Sedang Bachtiar (dalam Koentjoroningrat, 1977: 139) pada dasarnya menyatakan bahwa dalam pengetahuan ilmiah mengenai segala sesuatu yang diwujudkan oleh alam semesta, pengamatan merupakan teknik yang pertama-tama dipakai dalam penelitian ilmiah. Selanjutnya dinyatakan berbeda dengan pengamatan yang dilakukan sehari-hari, pengamatan sebagai cara penelitian menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang merupakan jaminan bahwa hasil pengamatan memang sesuai dengan kenyataan yang menjadi target penelitian. Syarat-syarat tersebut ialah peneliti harus berusaha membandingkan dengan hasil pengamatan orang lain dalam masalah yang sama dan dalam keadaan yang sama, apabila ternyata mendapat hasil yang tidak sama, maka harus diperiksa kembali dimana kesalahannya. Untuk menguji kebenaran suatu pengamatan, peneliti sanggup mengulang pengamatannya kemudian membandingkan dengan hasil pengamatan pertama. Walaupun hal ini tidak selalu sanggup dilakukan alasannya ialah ada insiden yang hanya sekali terjadi, sehingga tidak sanggup diamati lagi. Catatan penulis: untuk membandingkan hasil pengamatan dari seorang peneliti dengan peneliti lain ialah sangat sulit alasannya ialah belum tentu mendapat peneliti dalam masalah yang sama dengan subjek yang sama. Oleh alasannya ialah itu peneliti wajib membandingkan wajib penelitiannya dengan hasil pengamatan significant others yaitu individu yang dinilai berwibawa, dipercaya, disegani oleh subjek yang diteliti sehingga persepsinya terhadap subjek yang diteliti dianggap benar atau sesuai dengan kenyataannya.
Menurut Suparlan (1997: 103) metoda pengamatan dipakai untuk memperoleh informasi mengenai gejala-gejala yang dalam kehidupan sehari-hari sanggup diamati. Hasil pengamatan biasanya didiskusikan oleh si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui makna yang terdapat dibalik gejala-gejala tersebut. Selanjutnya berdasarkan Suparlan (1994: 62) pada dasarnya terdapat anggapan sementara pihak bahwa pengamatan dinilai bukan suatu metoda penelitian yang ilmiah alasannya ialah sederhana, tidak rumit teknik-tekniknya dan tidak susah memahami dan menggunakannya. Padahal apabila dipakai sesuai persyaratannya akan memperoleh data yang sempurna dan sanggup dipertanggung jawabkan. Suparlan selanjutnya mengemukakan bahwa dalam penelitian ilmiah yang memakai metoda pengamatan, si peneliti hendaknya memperhatikan 8 (delapan) hal sebagai berikut:
a)      Ruang atau tempat: setiap tanda-tanda (benda, peristiwa, orang, hewan) selalu berada dalam ruang atau daerah tertentu. Bahkan keseluruhannya dari benda atau tanda-tanda yang ada dalam ruang yang membuat suatu suasana tertentu patut diperhatikan oleh si peneliti, sepanjang hal itu mempunyai efek gejala-gejala yang diamatinya.
b)      Pelaku: pengamatan terhadap pelaku meliputi ciri-ciri tertentu yang dengan ciri-ciri tersebut sistem kategorisasi yang kuat terhadap struktur interaksi sanggup terungkapkan.
c)      Kegiatan: dalam ruang atau daerah tersebut para pelaku tidak hanya berdiam diri saja tetapi melaksanakan kegiatan-kegiatan, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan, yang sanggup mewujudkan adanya serangkaian interaksi di antara sesama mereka.
d)     Benda-benda atau alat-alat: semua benda-benda atau alat yang berada dalam ruang atau daerah yang dipakai oleh para pelaku dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya atau ada kaitannya dengan kegiatan-kegiatannya haruslah diperhatikan dan dicatat oleh si peneliti.
e)      Waktu: setiap acara selalu berada dalam suatu tahap-tahap waktu yang berkesinambungan. Seorang peneliti harus memperhatikan waktu dan urut-urutan kesinambungan dari kegiatan, atau hanya memperhatikan acara tersebut dalam satu jangka waktu tertentu saja dan tidak secara keseluruhan.
f)       Peristiwa: dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku, bisa terjadi sesuatu insiden diluar kegiatan-kegiatan yang nampaknya rutin dan teratur itu atau juga terjadi peristiwa-peristiwa yang bahwasanya penting tetapi dianggap biasa oleh para pelakunya. Seorang peneliti yang baik harus tajam pengamatannya dan tidak lupa untuk mencatatnya.
g)      Tujuan: dalam kegiatan-kegiatan yang diamati bisa juga terlihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para pelakunya sebagaimana terwujud dalam bentuk tindakan-tindakan dan lisan muka dan gerak badan atau juga dalam bentuk ucapan-ucapan dan ungkapan-ungkapan bahasa.
h)      Perasaan: pelaku-pelaku juga dalam acara dan interaksi dengan sesama para pelaku sanggup terlihat dalam mengungkapkan perasaan dan emosi-emosi mereka dalam bentuk tindakan, ucapan, lisan muka dan gerakan tubuh. Hal-hal semacam ini juga harus diperhatikan oleh si peneliti.
Dari banyak sekali pendapat beberapa tokoh perihal pengamatan (observasi) maka sanggup disimpulkan bahwa pengamatan (observasi) dalam konteks penelitian ilmiah ialah studi yang disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan dengan mengamati dan mencatat fenomena atau sikap satu atau sekelompok orang dalam konteks kehidupan sehari-hari, dan memperhatikan syarat-syarat penelitian ilmiah. Dengan demikian hasil pengamatan sanggup dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Agar hasil pengamatan sanggup dipertanggung jawabkan kebenarannya maka hasil pengamatannya hendaknya dibandingkan dengan hasil pengamatan peneliti lain perihal orang atau fenomena yang sama dan dalam situasi yang sama pula. Dapat juga dilakukan dengan mengulangi pengamatannya atau melengkapi dengan memakai teknik lain contohnya wawancara dan lain-lain. Atau sanggup pula dilakukan dengan membandingkan dengan hasil pengamatan dari significant others. Jelaslah bahwa prinsip triangulasi dalam penelitian kualitatif harus ditegakkan.

b.      Ciri-ciri Observasi
1)      Persyaratan lain disamping diterapkannya prinsip triangulasi, maka semoga hasil observasi sanggup dipertanggung jawabkan kebenarannya perlu adanya latihan untuk melaksanakan observasi, dan telah dimilikinya secara mantap pengetahuan teoritis atau konseptual dalam bidang atau masalah yang diobservasi oleh si peneliti. Atau dengan kata lain peneliti telah mempunyai kepekaan teoritis (theoretical sensitivity).
2)      Pengamatan sanggup dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif alasannya ialah mempunyai keunggulan sebagai berikut:
a)      Pengamatan yang dilakukan sendiri oleh si peneliti sanggup diperoleh kebenaran yang meyakinkan, alasannya ialah si peneliti sanggup secara pribadi mengecek kebenaran informasi.
b)      Pengamatan memungkinkan si peneliti bisa memahami situasi yang rumit yaitu jikalau si peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laris sekaligus atau tingkah laris yang kompleks.
c)      Dengan pengamatan dimungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat sikap dan acara sebagaimana yang sebenarnya.
3)      Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat, contohnya mengamati bayi yang belum sanggup berbicara, atau mengamati orang yang menderita cacat; tuna rungu/tuna wicara, tuna netra, dan lain-lain.
Perlu mendapat perhatian bagi peneliti muda (mahasiswa S-1 yang sedang menyusun Skripsi dengan pendekatan kualitatif) tujuan pengamatan ialah menangkap makna fenomena sebagaimana pemahaman subjek yang diteliti terhadap fenomena tersebut. Merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek yang diteliti, bukan apa yang yang dirasakan dan dihayati oleh si peneliti.
4)      Menggaris bawahi pendapat Poerwandari (1998: 62) yang menyatakan bahwa pengamatan diarahkan pada acara memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan korelasi antara aspek dalam fenomena tersebut. Ini berarti pengamatan harus dilakukan dengan teliti dan cermat, dengan demikian pengamatan tidak sanggup dilakukan secara bersamaan dengan wawancara, alasannya ialah mustahil pengamatan yang dilakukan bersamaan waktu dengan wawancara akan mendapat hasil teliti dan cermat.
5)      Mengacu pendapat dari Kerlinger (1986 terjemahan Simatupang, 1990: 857) yang menyatakan pengamatan dalam konteks penelitian kualitatif situasi yang diamati harus realistik dan alami (naturalistik), maka pendapat Banister dkk (1994 dalam Poerwandari, 1998: 62) yang menyatakan observasi sanggup berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun konteks alamiah, maka pernyataan bahwa observasi sanggup berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) harus diartikan observasi tersebut dilakukan dalam rangka penelitian kuantitatif. Disini eksperimen direncanakan dan dilaksanakan oleh si peneliti. Subjek yang diteliti dalam eksperimen penelitian kuantitatif berperan sebagai objek eksperimen. Observasi sanggup pula dilakukan dalam penelitian kualitatif apabila eksperimen disusun dan dilakukan oleh peneliti lain, si peneliti mengamati subjek yang diteliti dalam eksperimen tersebut dalam situasi apa adanya. Subjek yang diteliti tidak menjadi objek eksperimen dan tidak tahu kehadiran observer (eksperimen dengan laboratorium berkaca).
6)      Agar sanggup berfungsi sebagai metoda dalam penelitian ilmiah pengamatan harus dilakukan sesuai persyaratannya. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan memperoleh data yang sempurna dan sanggup dipertanggung jawabkan (Suparlan, 1994: 62). Peneliti dalam penelitian ilmiah dengan memakai teknik pengamatan harus memperhatikan 8 (delapan) hal, yaitu: a) ruang atau tempat, b) pelaku, c) kegiatan, d) benda-benda atau alat-alat, e) waktu, f) peristiwa, g) tujuan, h) perasaan subjek yang diteliti.
7)      Mengacu pendapat beberapa penulis Flick (2002: 136) menyatakan terdapat 7 (tujuh) tahap dalam pelaksanaan observasi, yaitu:
a)      Melakukan seleksi terhadap setting penelitian.
b)      Mendefinisikan apa yang sanggup didokumentasikan dalam observasi dan dalam setiap kasus.
c)      Melakukan latihan bagi peneliti perihal aturan-aturan yang harus ditaati dalam melaksanakan pengamatan sesuai fokus-fokus penelitian yang direncanakan.
Catatan penulis: fokus penelitian sanggup berubah sesuai kondisi dilapangan.
d)     Mendiskripsikan apa yang akan dilakukan dilapangan.
e)      Memokuskan observasi pada aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan penelitian.
f)       Menyeleksi apa yang diobservasi dengan mengutamakan aspek-aspek pokok.
g)      Mengakhiri observasi apabila tujuan observasi telah tercapai artinya apa yang akan diobservasi tidak sanggup dikembangkan lagi dikarenakan telah sesuai dengan teori yang mendasari, dan tidak akan mendapat data-data gres lagi yang menawarkan pengetahuan baru.



Sumber http://dominique122.blogspot.com

0 Response to "Pengertian Firma Ada Penjelasannya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel