Tinjauan Aturan Nyata Dan Aturan Islam Konsep Bisnis Waralaba - Franchising
I. Pendahuluan
Ijtihad sebagai sumber aturan islam memberi peluang berkembangnya fatwa umat islam dalam menghadapi segala problem di kala globalisasi. Berbagai jenis transaksi muali muncul guna memnuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak jenis transaksi gres yang menjanjikan keuntungan yang berlipat ganda dengan cara yang gampang dan simple. Di samping itu, terdapat pula peraturan perudang-undangan yang mengatur wacana transaksi ekonomi kala modern ini yang dikeluarkan oleh otoritas pemerintah sebagai upaya penertiban transaksi ekonomi yang ada dan berkembang di masyarakat Indonesia yang secara umum dikuasai memeluk agama islam. Oleh lantaran secara umum dikuasai masyarakat di Indonesia beragama islam, maka aturan positif (ius contitutum) yang mengatur hal tersebut harus pula dikaji kejelasannya berdasarkan aturan islam.
Akhir-akhir ini, kita sering mendengar kata waralaba/franchising, transaksi bisnis yang bertaraf franchise sekarang mulai marak lantaran selain biaya murah dan materi sudah disediakan juga tidak terlalu memakan daerah yang begitu luas. Banyak model-model faranchising yang sekarang muncul disekitar kita, ibarat masakan cepat saji ayam goring ala KFC, akan tetapi harganya di bawah KFC dan sebagainya. Maka dalam penulisan kiprah ini, penulis merasa perlu untuk membahas mengenai franchising dilihat dari sudut pandang aturan positif dan aturan islam, selanjutnya menganalisa perbandingan untuk mengetahui sejauhmana aturan positif dan aturan islam mengatur franchising (waralaba) ini.
Menurut pasal 1 PP No. 16 Tahun 1997 wacana tata cara pelaksanaan registrasi waralaba, pengertian waralaba (franchisee) yakni : “perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau memakai hak atas kekayaan intelektual atau inovasi atau cirri khas perjuangan yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang atau jasa”.
Pada dasarnya Franchisee yakni sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memperlihatkan lisensi kepada franchisee untuk melaksanakan perjuangan pendistribusian barang atau jasa di bawah nama identitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan mekanisme dan cara yang ditetapkan oleh franchisor. Franchisor memperlihatkan pinjaman (assistance) terhadap franchise, sebagai imbalannya franchisee membayar jumlah uang berupa initial fee dan royalty.
Kalau dalam aturan islam, waralaba dengan model ini hampir serupa dengan model syirkah mudharabah (bagi hasil), tapi sedah mengalami perkembangan seiring berkembangnya zaman dan terdapat adonan dengan jenis syirkah lainnya. Syirkah (persekutuan) dalam aturan islam banyak sekali jenisnya dan terdapat perbedaan oleh para imam madzhab. Dan perlu diketahui bahwa dalam teladan transaksi yang diatur oleh aturan islam yakni menitikberatkan pada sisi moralitas yang lebih tinggi dari pada apapun.
II. Waralaba Perspektif Positif
Pada dasarnya dalam system waralaba terdapat tiga komponen yaitu : pertam, franchisor, yaitu pihak yang mempunyai system atau cara-cara dalam berbisnis. Kedua, franchisee, yaitu pihak yang membeli franchise atau system dari franchisor sehingga mempunyai hak untuk mejalankan bisnis dengan cara-cara yang dikembangkan oleh franchisor. Ketiga, franchise, yaitu system dan cara-cara bisnis itu sendiri, ini merupakan pengetahuan atau spesifikasi perjuangan dari franchisor yang dijual kepada franchise.
Waralaba sanggup dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu waralaba merek dan produk dagang (product and trade franchise) dan waralaba format bisnis (business format franchise). Dalam Waralaba merek dagang dan produk, pemberi waralaba memperlihatkan hak kepada akseptor waralaba untuk menjual produk yang dikembangkan oleh Pemberi waralaba disertai dengan izin untuk memakai merek dagangnya. Atas pemberian izin pengunaan merek dagang tersebut pemberi waralaba mendapatkan suatu bentuk byaran royalty di muka, dan selajutnya ia juga menerima keuntungan dari penjualan produknya. Misalnya: SPBU memakai nama/merek dagang PERTAMINA.
Sedangkan waralaba format bisnis yakni pemberian sebuah lisensi oleh seorang kepada pihak lain, lisensi tersebut memperlihatkan hak kepada akseptor waralaba untuk berusaha dengan memakai merek dagang atau nama dagang pemberi waralaba dan untuk memakai keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diharapkan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih menjadi terampil dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan pinjaman yang terus-menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.
Waralaba format bisnis ini erdiri dari :
. konsep bisnis yang menyeluruh dari Pemberi waralaba.
. Adanya proses permulaan da training atas seluruh aspek pengelolaan bisnis, sesuai dengan konsep pemberi waralaba.
. Proses pinjaman dan bimbingan terus-menerus dai pihak pemberi waralaba.
Dalam bisnis franchise ini, yang sanggup diminta dari franchisor oleh franchisee dalah sebgai berikut :
. merk name yang mencakup logo, peralatan dan lain-lain.
. System dan manual operasional bisnis.
. Dukungan dalam beroperasi. Karena franchisor lebih mempunyai pengalaman luas.
. Pengawasan (monitoring). Untuk memastikan bahwa system yang disediakan dijalankan dengan baik dan benar scara konsisten.
. Penggabungan promosi/joint promotion, hal ini berkaitan dengan merk name.
. Pemasokan, ini berlaku bagi franchise tertentu, contohnya bagi franchisor yang merupakan supplier materi makanan/minuman. Kadang franchisor juga memasok mesin-mesin atau peralatan yang diperlukan.
Franchisor yang baik biasanya ikut membantu franchisee untuk mendapatkan sumber dana modal dari investor (fund supply) ibarat bank misalnya, meskipun itu jarang sekali.
Perjanjan waralaba yakni perjanjian forma. Hal tersebut dikarenakanperjanjian waralaba memang disyaratkan pada apasal 2 PP no. 16 Tahun 197 untuk dibentuk secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Hal ini diharapkan sebagai proteksi bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian waralaba.
Secara umum dikenal adanya dua macam atau jenis kompensasi yang sanggup diminta oleh pemberi waralaba (franchisor) dari akseptor waralaba (franchisee). Pertama, konpensasi pribadi dalam bentuk moneter (Direct monetary compensation) yakni lump sum payment dan royalty. Lump sum payment yakni suatu jumlah uang yang telah dihitung terlebih dahulu yang wajib dibayarkan oleh Penerima waralaba (franchisee) pada dikala persetujuan pemberian waralaba disepakati. Sedangkan royalty yakni jumlah pembayaran yang dikaitkan dengan suatu presentasi tertentu yang dihitung dari jumlah produksi dan/atau penjualan barang da/atau jasa yang diproduksi atau dijual berdasarkan perjanjian, baik disertai dengan ikatan suatu jumlah minimum atau maksimum jumlah royalty tertentu atau tidak.
Kedua, kompensasi tidak pribadi dalam bentuk nilai moneter (indirect and nonmenetary compensation). Meliputi antara lain keuntungan sebagai aibat dari penjualan barang modal atau materi mentah, yang merupakan satu paket dengan pemberian waralaba, pembayaran dalam bentuk deviden ataupun bunga pinjaman dalam hal pemberi waralaba juga turut memperlihatkan pinjaman financial, baik dalam bentuk ekuitas atau dalam wujud pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang, cost shifting atau pengalihan atas sebagian biaya yang harus dikeluarkan oleh pemberi waralaba, perolehan data pasar dari acara perjuangan yang dilakukan oleh akseptor lisensi dan lain sebagainya.
Menurut pasal 3 ayat 1 PP no. 16 Tahun 1997, bahwa pemberi waralaba sebelum mengadakan perjanjian dengan akseptor waralaba wajib memberikan keterangan-keterangan antara lain mengenai, nama pihak pemberi waralaba, hak atas kekayaan intelektual, persyaratan-persyaratan, pinjaman dan fasilitas, hak dan kewajiban, pengakhiran, abolisi dan perpanjangan perjanjian.
III. Waralaba Perspektif Islam
Untuk membuat system bisnis waralaba yang islami, diharapkan system nilai syariah sebagai filter watak bisnis yang bertujuan untuk menghindari banyak sekali penyimpangan bisnis (moral Hazard), yaitu Maysir (spekulasi), Asusila, Gharar (penipuan), Haram, Riba, Ikhtikar (penimbunan/monopoli), Dharar (berbahaya).
Dalam aturan islam, kolaborasi dalam hal jual beli dinamakan syirkah. Syirkah dibagi menjadi 3 bentuk yaitu :
1. Syirkah ibahah, yaitu : komplotan hak semua orang untuk dibolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang.
2. Syirkah amlak (milik), yaitu : komplotan antara dua orang atau lebih untuk mempunyai suatu benda, syirkah amlak dibagi menjadi 2 :
3. Syirkah akad, yaitu komplotan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian. Syirkah janji dibagi menjadi empat (4), yaitu :
. Syirkah amwal, yaitu komplotan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta.
. Syirkah a’mal, yaitu perjanjian komplotan antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi menjadi dua.
. Syirkah wujuh, yaitu komplotan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar.
. Syirkah mudharabah, yaitu kemitraan (persekutuan) antara tenaga dan harta, seorang (supplier) memperlihatkan hartanya kepada pihak lain (pengelola) yang dipakai untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dasarnya bentuk mudharabah yakni peminjaman uang untuk keperluan bisnis.
Syirkah mudharabah ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu mudharabah mutlaqah dalam hal ini pemodal memperlihatkan hartanya kepada pelaksana untuk dimudharabahkan dengan tidak memilih jenis kerja, daerah dan waktu serta orang. Sedangkan mudharabah muqayyadah (terikat suatu syarat), yakni pemilik modal memilih salah satu dari jenis di atas.
Bila diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan waralaba (franchising) sanggup dikemukakan bahwa perjanjian itu sesungguhnya merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama (syirkah). Hal ini disebabkan lantaran dengan adanya perjanjian franchising, maka secara otomatis antara franchisor dan franchisee terbentuk relasi kolaborasi untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan bagi kedua belah pihak. Dalam waralaba diterpkan prinsip keterbukaan dan kehati-hatian, hal ini sesuai dengan prinsip transaksi dalam islam yaitu gharar (ketidakjelasan).
Bisnis waralaba ini pun mempunyai manfaat yang cukup berperan dalam meningkatkan pengembangan perjuangan kecil. Dari segi kemashlahatan perjuangan waralab ini juga bernilai positif sehingga sanggup dibenarkan berdasarkan aturan islam. Terdapat beberap indikasi di atas yang menyatakan bahwa secara garis besar system transaksi franchising ini diperbolehkan oleh aturan islam, tapi apakah hal tersebut telah ada atau telah dibahas detail dalam aturan islam? Untuk mengarah lebih lanjut penulis di bawah ini mencoba menganalisa sekilas perbandingan aturan positif di atas dengan aturan islam yang telah khususnya syirkah.
IV. Analisa Perbandingan
Suatu waralaba yakni bentuk perjanjian kolaborasi (syirkah) yang sisinya memperlihatkan hak & wewenang khusus kepada pihak penerima. Waralaba merupakan suatu perjanjian timbale balik, lantaran Pemberi waralaba (franchisor) maupun Penerima waralaba (franchisee) keduanya berkewajiabn untuk memenuhi prestasi tertentu. Setelah pemaparan yang panjang lebar mengenai franchising di atas, terdapat persamaan dan perbedaan franchising berdasarkan aturan islam dan aturan positif.
Persamaannya yakni Pertama, franchising yakni kerjasama (syirkah) yang saling menguntungkan, berarti franchising memang sanggup dikatakan kategori dari syirkah dalam aturan islam. Kedua, terdapat prestasi bagi akseptor waralaba, hal ini sama dengan syirkah mudharabah muqayyadah. Ketiga, terdapat barang, jasa dan tenaga memenuhi salah satu syarat syirkah. Keempat, terdapat 2 orang atau lebih yang bertransaksi, sepakat, hal tertentu, ditulis (dicatat) dan oleh alasannya tertentu sesuai dengan syarat akad, khususnya syirkah mudharabah.
Diatas telah dijelaskan bahwa franchising lebih hampir serupa dengan syirkah jenis mudharabah. Adapun perbedaannya terletak pada, Pertama, dalah syirkah mudharabah, modal harus berupa uang, dilarang barang. Sedangkan dalam franchising modal sanggup dibantu oleh franchisor baik uang, barang atau tenaga professional. Kedua, dalam franchising terdapat kolaborasi dalam bidang hak kekayaan intelektual (HAKI), yaitu merek dagang. Dan dalam aturan islam hal tersebut termasuk syirkah amlak (hak milik). Ketiga, tidak bolehnya kolaborasi dalam hal berjualan barang haram, sedangkan dalam aturan positif tidak terdapat pembatasan terhadap hal tersebut, misal transaksi jual-beli babi atau anjing.
V. Penutup
Dengan demikian waralaba (franchising) sanggup dikategorikan ke dalam perkembangan syirkah mudharabah jenis muqayadah dimana pihak Penerima waralaba (franchisee) terikat oleh peraturan-peraturan yang diberikan oleh Pemberi waralaba atau dalam syirkah mudharabah disebut dengan pemberi modal. Perkembangannya yakni masuknya hak milik atau HAKI ke dalam transaksi, mungkin hal ini sanggup dimasukkan syirkah ikhtiyariyah secara garis besar. Akan tetapi yang menjadi catatan disini, meskipun franchising ini diperbolehkan dengan alasan perkembangan syirkah, dalam waralaba harus mengikuti prinsip dasar transaksi dalam aturan islam dan barang yang dibentuk untuk transaksi tidak bertentangan dengan syara’ atau barang-barang/hewan yang diharamkan untuk diperjualbelikan dalam islam.
Demikianlah artikel tentang TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM KONSEP BISNIS WARALABA (FRANCHISING), biar bermanfaat.
Sumber http://jubahhukum.blogspot.com
Demikianlah artikel tentang TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM KONSEP BISNIS WARALABA (FRANCHISING), biar bermanfaat.
0 Response to "Tinjauan Aturan Nyata Dan Aturan Islam Konsep Bisnis Waralaba - Franchising"
Posting Komentar