iklan banner

Sejarah Perkembangan Tasawuf

 Sejarah Perkembangan Tasawuf
Benih ilmu tasawuf bermula pada masa khalifah ketiga, yakni saat terjadi insiden tragis dalam pembunuhan Utsman Ibn Affan ra, hal ini berimplikasi terjadinya kekacauan dan kerusakan terhadap sebagian kaum muslimin. Oleh lantaran itu para sahabat dan pemuka Islam berfikir untuk membangkitkan kembali anutan Islam dengan berikhtiar kembali ke masjid (I’tikaf) dan mendengarkan dongeng mengenai targhib dan tarhib perihal keindahan hidup zuhud.[1] Dalam sejarah perkembangannya, terdapat masa atau tahapan yang terjadi terhadap ilmu Tasawuf, beberapa masa tersebut yaitu masa pembentukan, pengembangan, konsolidasi, falsafi, dan masa pemurnian.[2] Berikut yaitu klarifikasi tiap-tiap perkembangan ilmu     Tasawuf:
a.      Masa Pembentukan
Masa ini terjadi dalam kurun I dan kurun II hijriah, Hasan Basri dan Rabiah Adawiyah muncul dengan anutan khauf dan cinta, yakni mempertebal takut atau taqwa kepada Tuhan, penyucian hubungan insan dengan Tuhan, selain itu muncul gerakan pembaharuan hidup kerohanian dikalangan kaum muslimin. Dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan, dianjurkan mengurangi makan (Ju’), menjauh dari keramaian duniawi (Zuhud), dan mencela dunia (Dzammu al dunya).[3]

Selanjutnya pada kurun II Hijriah, Tasawuf tidak banyak berbeda dengan sebelumnya, meskipun penyebabnya berbeda. Penyebab pada kurun ini terjadi lantaran formalism dalam melaksanakan syariat agama (lebih bercorak fiqh) yang menjadikan sebagian orang tidak puas dengan kehidupannya. Abu al-Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud Islam pada kurun I dan II hijriyah memiliki abjad sebagai berikut:[4]
a.     Menjauhkan diri dari dunia menuju ke alam abadi yang berakar pada nas agama yang dilatarbelakangi oleh sosiopolitik yang bertujuan meningkatkan moral.  
b.   Bersifat praktis, para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sedangkan sarana praktisnya yaitu hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak  beribadah dan mengingat Allah SWT. dan berlebih-lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak kepada kehendak-Nya, dan berserah diri kepada-Nya. Tasawuf pada masa ini mengarah pada tujuan moral.
c.  Motif zuhudnya ialah rasa takut, yaitu rasa yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada selesai kurun II Hijriyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut terhadap adhab-Nya maupun cita-cita terhadap pahala-Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri, dan abstraksi dalam hubungan antara insan dengan Tuhan.
d.      Menjelang selesai kurun II Hijriyah, sebagian zahid, khususnya di Khurasan, dan Rabi’ah al-Adawiyah ditandai kedalaman menciptakan analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafi kurun III dan IV Hijriyah.

b.      Masa  Pengembangan
Pada kurun III dan IV, tasawuf sudah bercorak kefana’an (ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan Khalik. Orang sudah ramai membahas perihal lenyap dalam kecintaan (fana’fi al-Mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-Mahbub), kekal dengan Tuhan (baqa’ bi al-Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya (‘ain al- jama’) menyerupai yang diungkapkan oleh Abu Yazid al-Bushtham (261 H), seorang sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fana’ (lebur atau hancurnya perasaan) sehingga dia dianggap sebagai  peletak kerikil pertama dalam aliran ini. Sesudah Abu Yazid al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan, yakni al-Hallaj (309 H) yang menampilkan teori al-Hulul (reinkarnasi Tuhan).

Al-Thusi dalam al-Luma’nya menyatakan bahwa hulul adalah[5]:
 “Allah menentukan suatu jisim yang ditempati ma’na rububiyyah dan leburlah daripadanya ma’na basyariyyah.”

Menurut al-Hallaj, insan memiliki dua sifat, yakni sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut). Pada selesai kurun ke III orang berlomba-lomba menyatakan dan mempertajam pemikirannya perihal kesatuan penyaksian (Wahdat al-Syuhud), kesatuan insiden (wahdat al-Wujud) kesatuan agama-agama (Wahdat al- Adyan),   berafiliasi dengan Tuhan (ittishal), keindahan dan kesempurnaan Tuhan (Jamal dan Kamal), insan tepat (insan kamil), yang kesemuanya itu tak mungkin dicapai oleh para Sufi kecuali dengan latihan yang teratur (riyadhah). Kemudian muncul Junaidi al-Baghdady meletakkan dasar-dasar anutan tasawuf dan thariqah, cara mengajar dan berguru ilmu tasawuf, syekh, mursyid, murid dan murad, sehingga dia menerima predikat Syekh al-Thaifah (ketua rombongan suci).

Tasawuf pada masa ini sudah bermetamorfosis madzhab, bahkan seolah sebuah agama yang berdiri sendiri. Pada kurun ke III dan IV Hijriah terdapat dua aliran Tasawuf, yakni Tasawuf Sunni yang memagari diri dengan Al-Qur’an dan al-Hadits dengan mengaitkan dan tingkatan rohani pada keduanya. Serta Tasawuf  Semi Falsafi yang lebih cenderung pada ungkapan ganjil serta bertolak dari keadaan fana’ terhadap pernyataan penyatuan-penyatuan (ittihad atau hulul).

c.       Masa Konsolidasi
Pada kurun V Hijriah, diadakan konsolidasi antara kedua aliran pada masa sebelumnya, hal ini ditandai dengan aanya kompetisi antar keduanya, yang kemudian dimenangkan tasawuf sunni dan menenggelamkan tasawuf falsafi. Dengan adanya kompetisi tersebut, pada masa ini tasawuf dinilai mengadakan pembaharuan , yakni periode yang ditandai dengan pemantapan dan pengembalian tasawuf ke dalam landasan al-Qur’an dan al-Hadits. Tokoh-tokoh pada masa ini yaitu ialah al-Qusyairi (376-465 H), Al-Harawi (396 H), dan al-Ghazali (450-505 H). al-Qusyairi (376-465 H) populer sebagai pembela teologi Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau bisa mengompromikan antara syariah dan hakikah  berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Beliau menekankan bahwa kesehatan  batin dengan berpegang teguh pada keduanya lebih penting daripada pakaian lahiriah.[6]

Al-Harawi (396 H), sikapnya tegas dan tandas terhadap tasawuf, dia menganggap orang yang suka mengeluarkan syathahat , hatinya tidak bisa tenteram atau dengan kata lain, syathahat itu muncul dari ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, akan menciptakan seseorang terhindar dari abnormalitas ucapan atau pun segala penyebabnya. Al-Ghazali (450-505 H), menentukan Tasawuf Sunni berdasarkan doktrin Ahlussunnah walJama’ah, corak tasawufnya bersifat psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Beliau menilai negative terhadap syathahat, lantaran dua kelemahan yang dimilikinya, yaitu kurang memperhatikan kepada amal lahiriah serta abnormalitas makna yang tidak dipahami maknanya.

d.      Masa Falsafi
Pada kurun IV Hijriah, muncullah tasawuf falsafi atau tasawuf yang  bercampur dengan anutan filsafat, yang dikompromikan dengan pemakaian term-term filsafat yang maknanya diadaptasi dengan tasawuf. Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya menyimpulkan, bahwa tasawuf  falsafi memiliki empat obyek utama, dan berdasarkan Abu al-Wafa bisa dijadikan abjad sufi falsafi, yaitu :
a.       Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya,
b.       Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.
c.       Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos besar lengan berkuasa terhadap banyak sekali bentuk kekeramatan atau keluar biasaan.
d.    Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas kurang jelas (syathahiyat). Selanjutnya, pada kurun VI dan VII hijriah, muncul cikal bakal orde (tarekat) sufi kenamaan, menyerupai tarekat Qadariyah, Suhrawardiyah, Rifa‟iyah, Syadziliyah, Badawiyah dan tarekat Naqsyabandiyah.

e.       Masa Pemurnian
Pada masa ini, imbas dan praktek-praktek Tasawuf kian tersebar luas melalui thariqah-thariqah, dan para sulthan serta pangeran tak segan-segan pula mengeluarkan proteksi dan kesetiaan langsung mereka.

Pada masa ini terlihat gejala keruntuhan kian jelas,  penyelewengan dan sekandal melanda dan mengancam kehancuran reputasi  baiknya dengan ditandainya munculnya bid’ah, khurafat, mengabaikan syari’at dan hukum-hukum sopan santun dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan,  berbentangkan diri dari proteksi awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan menampilkan amalan yang irrasional.

Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan.[7] Sehingga muncul Ibn Taimiyah untuk menyerang semua itu, dengan mengembalikan anutan tasawuf berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kepercayaan yang menyimpang diluruskan, menyerupai kepercayaan kepada wali, khurafat dan bentuk-bentuk bid’ah pada umumnya. Menurut Ibn Taimiyah yang disebut wali (kekasih Allah) ialah orang yang berperilaku baik (shaleh), konsisten dengan  syari’ah Islamiyah. Sebutan yang tepat untuk diberikan kepada orang tersebut ialah Muttaqin, Allah berfirman dalam surat Yunus (62-63).

62. Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 63. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Ibn Taimiyah mengkritik terhadap anutan Ittihad, Hulul, dan Wahdat al-Wujud sebagai anutan yang menuju kekufuran (atheisme), meskipun keluar dari orang-orang yang terkenal, arif (orang yang telah mencapai tingkatan Ma’rifat), mahir tahqiq (ahli hakikat) dan mahir tauhid (yang mengesakan Tuhan). Pendapat tersebut layak keluar dari verbal orang Yahudi dan Nasrani. Mengikuti pendapat tersebut hukumnya sama dengan yang menyatakan, yakni kufur. Yang mengikutinya lantaran kebodohan, masih dianggap beriman.



[1] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme Dan Tanggungjawab Social Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 18.
[2] Amin Syukur, Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf-Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm 17.
[3]Ibid., hlm. 19.
[4] Ibid., hlm. 20.
[5] Ibid., hlm.  22.
[6] Ibid., hlm. 26.
[7] Ibid., hlm. 31.

Sumber http://nadyanuraisyah.blogspot.com

0 Response to "Sejarah Perkembangan Tasawuf"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel