iklan banner

Penghapusan Pidana Dalam Aturan Pidana


PENGHAPUSAN DAN PENGHILANGAN PERBUATAN PIDANA
(Peniadaan Pidana Pasal 44 – 52 KUHP)

Terdapat keadaan-keadaan khusus yang mengakibatkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana, kehilangan sifat tindak pidana, sehingga si pelaku bebas dari sanksi pidana. Pembahasan ini dalam kitab undang-undang hukum pidana diatur dalam title III dari buku I KUHP, yaitu pasal 44 – 51. akan tetapi dalam praktek hal ini tidak mudah, banyak kesulitan dalam mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana ini.
Dalam teori hokum pidana ganjal an-alasan yang menghapuskan pidana ini dibedakan menjadi 3 :
1. Alasan pembenar : alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa kemudian menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tertera dalam pasal 49 (1), 50, 51 (1).

2. Alasan Pemaaf : alasan yang mengahpuskan kesalahan terdakwa, tetap melawan hokum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tapi beliau tidak dipidana, lantaran tak ada kesalahan. Tercantum dalam pasal 49 (2), 51 (2).
3. Alasan penghapus penuntutan : ini yaitu tugas otoritas dari pemerintah, pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan demi kepentingan umum. Contoh : pasal 53 KUHP, jikalau terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya percobaan untuk melaksanakan suatu kejahatan.

Fait D’Excuse (Memaafkan Pelaku)
Pasal 44 ayat 1 kitab undang-undang hukum pidana yang menyatakan tidak sanggup dieksekusi seorang yang perbuatannya tidak sanggup dipertanggungjawabkan kepada orang itu berdasar bertumbuhnya atau ada gangguan penyakit pada daya piker seorang pelaku.
Istilah tidak sanggup dipertanggungjawabkan (niet kan worden toe gerekend) tidak sanggup disamakan dengan “tidak ada kesalahan berupa sengaja atau culpa”. Yang dimaksud disini yaitu berhubung dengan keadaan daya berpikir tersebutr dari si pelaku, ia tidak sanggup dicela sedemikian rupa sehingga pantaslah ia dikenai hukuman. Dalam hal ini diharapkan orang-orang hebat menyerupai dokter seorang hebat dan seorang psikiater.
Akan tetapi kenyataannya yaitu bahwa seorang yang ajaib melaksanakan perbuatan yang sangat mengerikan sehingga beliau pantas menerima hukuman, lebih-lebih apabila pelaku kejahatan akal-akalan menjadi orang gila. Bagaimana dengan orang yang mabuk? Orang mabuk sanggup lepas dari hukuman. Namun sanggup juga terkena hukuman, dilihat dari kadar mabuknya dan keadaannya.
Pasal 44 ayat 2 KUHP, apabila hakim tetapkan bahwa pelaku berdasar keadaan daya berpikir tersebut tidak dikenakan hukuman, maka hakim sanggup memilih penempatan si pelaku dalam rumah sakit jiwa selama batas waktu tenggang percobaan, yang tidak melebihi satu tahun. Hal ini bukan merupakan sanksi akan tetapi berupa pemeliharaan.

Penentuan Orang yang Belum Dewasa
Pasal-pasal 45, 46 dan 47 kitab undang-undang hukum pidana memuat peraturan khusus untuk orang belum pintar balig cukup akal sebagai berikut :
Pasal 45 : dalam penuntutan di muka hakim pidana dari seorang yang belum dewasa, wacana suatu perbuatan yang dilakukan sebelum orang itu mencapai usia 16 tahun, maka pengadilan sanggup :
a. Memerintahkan, bahwa si bersalah akan dikembalikan kepada orang tua, wali, atau pemelihara, tanpa menjatuhkan sanksi pidana.
b. Apabila perbuatannya masuk golongan “kejahatan” atau salah satu dari “pelanggaran-pelanggaran” yang termuat dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540. dan lagi dilakukan sebelum 2 tahun sehabis penghukuman orang itu lantaran salah satu dari pelanggaran-pelanggaran tersebut atau lantaran suatu kejahatan, memerintahkan, bahwa si terdakwa diserahkan di bawah kekuasaan pemerintah, tanpa menjatuhkan suatu sanksi pidana.
c. Menjatuhkan suatu sanksi pidana.
Pasal 46 :
1. Apabila pengadilan memerintahkan supaya si terdakwa diserahkan kekuasaan pemerintah, maka terdakwa sanggup dimasukkan ke forum pemerintah dan oleh pemerintah dididik seperlunya. Atau sanggup diserahkan kepada seorang penduduk Indonesia atau suatu yayasan atau forum social hingga si terdakwa mencapai umur usia 18 tahun.
2. Ketentuan-ketentuan untuk melaksanakan ayat 1 ini akan dimuat dalam suatu Undang-undang.
Pasal 47 :
1. apabila terdakwa dijatuhi sanksi oleh pengadilan, mak maksimum hukumannya dikurangi sepertiga.
2. Apabila terdakwa dieksekusi perihal suatu kejahatan, yang sanggup dijatuhi sanksi mati atau sanksi seumur hidup, maka maksimum hukumannya menjadi sanksi penjara selama 15 tahun.
3. tidak boleh dijatuhkan hukuman-hukuman suplemen dari pasal 10 di bawah karakter b, nomor 1 dan 3.

Hal Memaksa (Overmacht)
Pasal 48 : “tidaklah dieksekusi seorang yang melaksanakan perbuatan, yang didorong hal memaksa”.
Jadi apabila seseorang melaksanakan tindak kejahatan dalam keadaan terpaksa, maka beliau tidak dihukum. Paksaan ini adakalanya bersifat fisik (vis absoluta) dan ada yang bersifat psikis (Vis Compulsiva). Yang dimaksud dalam pasal 48 kitab undang-undang hukum pidana yaitu paksaan yang bersifat psikis, bukan fisik.
Vis compulsive terbagi menjadi 2 macam :
a. Daya paksa dalam arti sempit (overmacht in enge zin)
b. Keadaan darurat (noodtoestand), antara lain : orang terjepit antara dua kepentingan, orang terjepit antara kepentingan & kewajiban.
c. Ada konflik antara dua kewajiban.
Contoh : seorang A dengan menodong memakai pistol menyuruh B untuk mengambil barang milik si C atau untuk memukul C.
Maka menurut pasal 48, mereka tidak dikenakan sanksi pidana. Akan tetapi, tidaklah dikatakan bahwa perbuatan tersebut halal, perbuatan itu tetap melanggar hokum. Hanya para pelaku sanggup dimaafkan (fait d’execuse).

Keperluan Membela Diri (Noodweer)
Pasal 49 ayat 1 : “Tidakalah seorang yang melaksanakan suatu perbuatan, yang diharuskan (geboden) untuk keperluan mutlak membela tubuh (lijf), kesusilaan (eerbaarheid), atau barang-barang (goed) dari dirinya sendiri atau orang lain, terhadap suatu serangan (aanranding) yang bersifat melanggar hokum (wederrechtlijk) dan yang dihadapi seketika itu (ogenblikklijk) atau dikhawatirkan akan segera menimpa (onmiddelijk dreigend)”.
Missal : A menyerang B dengan memakai tongkat untuk memukul B, kemudian B mengambil suatu tongkat pula, sehingga A kewalahan dengan pukulan si B. B mengambil tongkat lantaran B tidak sempat lari atau dalam keadaan yang sangat mendesak. Dengan ganjal an membela diri inilah seseorang tidak menerima hukuman.
Terpaksa dalam melaksanakan pembelaan ada 3 pengertian :
a. Harus ada serangan atau bahaya serangan
b. Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau bahaya serangan pada ketika itu dan harus masuk akal.
c. Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan.
Adapaun kepentingan-kepentingan yang sanggup dilakukan pembelaan yaitu :
a. diri/badan orang.
b. Kehormatan dan kesusilaan
c. Harta benda orang.

Melampaui Batas Membela Diri (Noodweer-Exces)
Pasal 49 ayat 2 kitab undang-undang hukum pidana : “tidaklah kena sanksi pidana suatu pelampauan batas keperluan membela diri apabila ini tanggapan pribadi dari gerak perasaan, yang disebabkan oleh serangan lawan”.
Pelampauan ini terjadi apabila :
1. Serangan tanggapan dilanjutkan pada waktu serangan lawan sudah dihentikan.
2. Tidak ada imbangan antara kepentingan yang mula-mula diserang dan kepentingan lawan yang diserang kembali.
Dalam hal ini terdakwa hanya sanggup dihindarkan dari pidana apabila hakim mendapatkan aksesnya yaitu “langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat”. Hal ini sangat berafiliasi dengan perasaan seseorang ketika dihadapkan pada sebuah peristiwa.
Contoh yang sering terjadi di masyarakat yaitu pengeroyokan seorang pencuri oleh masyarakat/orang banyak sanggup masuk pelampauan batas keperluan membela diri yang memenuhi syarat-syarat dari pasal 49 ayat 2 KUHP. Maka orang-orang yang mengeroyok tidak sanggup dihukum. Akan tetapi si pencuri juga berhak membela diri dari pengeroyokan tersebut, apabila dalam membela dirinya pencuri tersebut melukai salah seorang pengeroyok maka si pencuri tidak sanggup dieksekusi atas tuduhan penganiyayaan pasal 351 KUHP.

Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 50 kitab undang-undang hukum pidana memilih : tidak dikenakan sanksi pidana seorang yang melaksanakan perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan hokum perundang-undangan.
Maka sbetulnya pasal 50 ini tidak perlu. Kenapa pasal ini tetap dicantumkan dalam KUHP, lantaran untuk menghilangkan keragu-raguan. Contoh : seorang polisi tidak melaksanakan tindak-tindak pasal 333 KUHP, yaitu merampas kemerdekaan orang lain, apabila dalam memeriksa suatu kasus pidana menangkap sorang tersangka.

Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)
Pasal 51 ayat 1 KUHP, menyatakan bahwa tidak dikenakan sanksi pidana seorang yang melaksanakan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah, diberikan oleh seorang atasan yang berwenang untuk menunjukkan perintah itu.
Pasal 51 ayat 2 KUHP, menyatakan tidak dikenakan sanksi pidana juga dalam hal ada perintah, dikeluarkan oleh seorang pengusaha yang tidak berwenang untuk itu, namun si pelaku harus menerka secara jujur (te goeder trouw) bahwa perintah itu sah dan beres. Perbuatan yang dilakukan seorang bawahan ini harus dalam lingkungan pekerjaan jabatan.

Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Penghapusan Pidana Dalam Aturan Pidana"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel