iklan banner

Makalah Spi Wacana Perpustakaan Di Dunia Islam Pada Masa Klasik

Salam cerdas.....

A.  Pendahuluan

Pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam di masa klasik, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku merupakan sumber gosip banyak sekali macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Para ulama sarjana dari banyak sekali macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada para penuntut ilmu, dan bahkan para ulama dan sarjana tersebut memperlihatkan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk mencar ilmu di perpustakaan pribadi mereka.[1]

Di samping itu, berkembang pula perpustakaan yang bersifat umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan berupa wakaf dari para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, merupakan salah satu pola dari perpustakaan  Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan Bahasa Arab, majemuk ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, dan banyak sekali macam buku terjemahan dari banyak sekali bahasa mirip Yunani, Persia, India, Qibty dan Aramy.[2] Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya dikatakan sudah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat mencar ilmu dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan.[3] Untuk itu, kajian-kajian mengenai keberadaan perpustakaan di dunia Islam pada masa klasik masih sangat relevan sekali untuk dipelajari.

B.  Pembahasan

1.   Pengertian Perpustakaan

George A. Makdisi menyebutkan perpustakaan dikenal dengan beberapa nama, yaitu dar (rumah), bayt (rumah) dan khizanah (gudang), yang digabungkan dengan kata lain al-‘ilm (pengetahuan), al-hikmah (kebijaksanaan), dan al-kutub (buku). Perpustakaan berfungsi sebagai ruang baca, pusat kegiatan akademis dan ruang diskusi.[4] Sementara itu, Sutarno NS menyebutkan, perpustakaan berasal dari kata pustaka yang berarti buku, sehabis mendapat awalan per dan akhiran an menjadi perpustakaan, yang berarti kitab, kitab perimbon, atau kumpulan buku-buku, yang kemudian disebut koleksi materi pustaka.[5] Sedangkan Sulistyo-Basuki menjelaskan, perpustakaan yaitu sebuah ruangan, belahan sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang dipakai untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan berdasarkan tata susunan tertentu untuk dipakai pembaca, bukan untuk dijual.[6]

Lalu oleh Rusina Syahrial dan Pamuntjak perpustakaan didefenisikan sebagai kumpulan buku-buku yang tersedia dan dimaksudkan untuk dibaca.[7]  Sedangkan Ibrahim Bafadal mendefenisikan perpustakaan sebagai suatu unit kerja dari suatu tubuh atau forum tertentu yang mengelola bahan-bahan pustaka, baik berupa buku maupun bukan berupa buku (non book material) yang diatur secara sistematis berdasarkan hukum tertentu sehingga sanggup dipakai sebagai sumber gosip oleh setiap pemakainya.[8]

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka sanggup dikatakan bahwa perpustakaan merupakan wadah berhimpunnya sejumlah literatur (buku) yang diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan ilmu. Di era modern kini ini, koleksi perpustakaan tidaklah lagi terbatas kepada buku saja, melainkan meliputi juga rekaman dan cetakan lain yang bukan buku. Umpamanya majalah, surat kabar, pamflet, gambar peta, atlas, piringan hitam, tape, slide, film, film-strip, mikrofilm, dan lain sebagainya.

2.   Perkembangan Perpustakaan di Dunia Islam Masa Klasik

Perkembangan seni produksi buku yang tak ada duanya dalam Islam disebabkan lantaran ketertarikan para hartawannya yang penuh semangat terhadap buku. Dunia ilmu telah menikmati kedudukan yang sedemikian tinggi, sehingga wajarlah kalau orang-orang yang bisa ikut mengambil belahan dan mengusahakan kemajuannya. Al-Qalqasyandi menyampaikan bahwa ada tiga perpustakaan besar dalam Islam yaitu perpustakaan Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fathimiyah di Kairo dan perpustakaan Umayyah di Cordoba.[9]

Perpustakaan Abbasiyah di Baghdad berdiri dalam kaitannya dengan perguruan Bayt Al-Hikmah, atau Dar al-Ilm yang didirikan oleh Harun Al-Rasyid (789-809)[10] dan mengalami perkembangan yang pesat pada masa Khalifah Al-Ma’mun[11] (813-833). Tugas perguruan itu yaitu untuk menyimpan terjemahan-terjemahan buku-buku ilmu-ilmu kuno yaitu filsafat hellenistik dan ilmu alam.[12] Perpustakaan ini lebih mirip sebuah universitas dimana terdapat kitab-kitab secara lengkap. Orang-orang tiba ke perpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai kantor penerjemah, terutama karya-karya kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi, dan ilmu alam. Buku-buku yang diterjemahkan didatangkan dari Bizantium dan daerah-daerah lain. Dalam perkembangan selanjutnya, dan ilmuan Islam telah menyebarkan ilmu-ilmu yang diterjemahkan tersebut mendapat temuan-temuan ilmiah yang baru. Disinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban Barat atau dunia.[13]

Di forum inilah karya-karya klasik tadi dipelajari secara intens. Tidak hanya hingga di situ, forum ini juga mengadakan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan yang telah ditransimisikan tersebut. Dalam perjalanannya lebih lanjut ternyata Bayt al-Hikmah berkembang menjadi sekolah akademisi yang besar.[14] Meskipun pada alhasil vitalitas Bayt Al-Hikmah sebagai forum spesifik di bidang transmisi “ilmu-ilmu non keagamaan” mulai menurun peranannya pada penghujung era ke-3H/9M,[15] seiring dengan melemahkan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang dikuasai oleh khalifah-khalifah yang lemah.

Perpustakaan di zaman Fathimiyah juga mengalami kemajuan. Penguasa Dinasti Fathimiyah mendirikan istana yang begitu megah dan sebuah masjid, berjulukan Al-Azhar[16]. Pada masa kekuasaan khalifah Dinasti Fathimiyah kedua yaitu Al-Aziz (975-996), perpustakaan istana telah berkembang pesat. Secara keseluruhan ada empat puluh koleksi buku di perpustakaan istana, berarti empat puluh ruangan yang penuh berisi buku. Ilmu-ilmu kuno yaitu ilmu alam dan filsafat hellenistik berjumlah 18.000 buku.[17] Di perpustakaan ini para pelajar sanggup mempelajari Fiqh Syi’ah, ilmu bahasa, ilmu falak, kedokteran, matematika, falsafah serta mantik.[18]

Perkembangan perpustakaan yang pesat juga terjadi di Cordoba, yang diawali dari Al-Hakam II (961M-976M) [19], yang merupakan cabang dari Bani Umaiyyah, kekhalifahan pertama Islam. Ia mengumpulkan para ilmuwan dan pemimpin masjid, dan masjid besar dari Cordoba dibentuk menjadi pusat studi. Perpustakaan yang berada dalam istana Cordoba itu diurus oleh petugas perpustakaan, seorang samin yang berjulukan Bakiya. Para penyalin dan penjilid buku juga diperkerjakan di sana, dan Al-Hakam mempunyai agen-agen di setiap propinsi yang menyediakan buku untuknya dengan cara membeli dan menyalin. Ibn Hazm[20] menyampaikan bahwa Bakiya bercerita kepadanya bahwa katalog judul dan nama-nama pengarang meliputi empat puluh empat bundul yang masih-masih terdiri dari dua puluh halaman.[21]

Al-Qalqasyandi (w. 821H/1418 M) mencatat beberapa perpustakaan besar milik khalifah, di antaranya perpustakaan Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fatimiyah di Kairo, dan perpustakaan Umayyah di Andalusia. Dia berkata bahwa minat terhadap perpustakaan menurun lantaran penguasa lebih suka mendirikan perpustakaan perguruan yang mereka bangun. Di tempat itu, perpustakaan lebih dibutuhkan.[22] Dengan demikian, tentunya sanggup dipahami bahwa perpustakaan merupakan wujud pujian bagi setiap khalifah pada masa itu yang mempunyai pusat dan sumber ilmu pengetahuan Islam.

Secara umum bentuk perpustakaan di dunia Islam yang berkembang pada masa klasik, terbagi kepada dua bentuk, yaitu perpustakaan umum dan perpustakaan pribadi.

a.   Perpustakaan Umum

Perpustakaan umum yaitu perpustakaan yang menghimpun koleksi buku, materi cetakan serta rekaman lain untuk kepentingan masyarakat umum. Perpustakaan umum berdiri sebagai forum yang diadakan untuk dan oleh masyarakat.[23] Perpustakaan umum didirikan oleh para khalifah, amir dan hartawan. Perpustakaan di dunia Islam pada masa keemasan itu lebih merupakan sebuah universitas, lantaran di samping kitab-kitab untuk dibaca atau diterjemahkan, di sana juga diperbolehkan berdiskusi.[24]

Berikut ini penulis kemukakan beberapa perpustakaan umum pada masa keemasan Islam:

1)  Perpustakaan umum yang paling populer di Baghdad selama masa kepemimpinan Al-Makmun (tahun 1813-833) yaitu Bayt al-Hikmah.[25] Lembaga ini menggabungkan perpustakaan, sanggar sastra, bulat studi dan observasi.[26]
2)  Perpustakaan di Marv, Persia Timur. Yaqurt yang tinggal di Marv menulis dalam kamus geografinya menjelaskan bahwa kota itu mempunyai kota yang besar, dua di antaranya di masjid utama dan sisinya di madrasah-madrasah, ia bahkan diizinkan untuk meminjamkan tak kurang dari dua ratus jilid tanpa bayar.[27] Demikian juga dengan al-Maqrizi, perpustakaan yang didirikan di samping Madrasah Al-Fadhiliyah mempunyai buku sejumlah 100.000 buah. Hal ini terjadi pada masa orang-orang belum mengenal percetakan.[28]
3)   Perpustakaan Madrasah Nizamiyah Baghdad. Perpustakaan di Madrasah ini memuat sekitar 6000 judul. Rak-rak perpustakaan diberi tanda untuk membantu pencari/peminjam dan dibentuk pula catatan perihal apakah seri itu komplit atau tidak. Para pekerja di perpustakaan itu menciptakan peraturan bagi para ilmuwan yang ingin membawa manuskrip untuk di baca secara lebih konsentrasi. Seksi sirkulasi memberlakukan aturan-aturan tertentu perihal mekanisme peminjaman buku untuk menjamin keamanan dan pemeliharaan buku secara hati-hati yang menjadi tanggung jawabnya, seorang peminjam dihentikan menambah catatan pinggir (pada buku-buku yang dipinjamnya), ia juga tidak diperbolehkan membetulkan keseluruhan tanpa persetujuan khusus dari pemilik buku itu. Dalam beberapa kasus, uang jaminan mungkin dipersyaratkan, biasanya pembayaran denda dikenakan bagi orang-orang yang menunda pengembalian buku di luar batas waktu yang ditentukan.[29]
4)   Di Mesir terdapat beberapa perpustakaan. Beberapa pola perpustakaan mirip Dar al-Hikmah di Kairo didirikan oleh Hakim Bi Amrillah. Ada juga perpustakaan milik khalifah, atau raja, mirip perpustakaan Al-Mu’tashim Billah dengan perpustakaan Fatimiyah yang didirikan di Kairo.[30] Perpustakaan Dar al-Hikmah di Kairo, didirikan pada tahun 1004 di bawah dukungan Dinasti Fathimiyah. Dar al-Hikmah mempunyai ratifikasi yang khusus lantaran perlengkapannya luar biasa. Para pendukungnya yang kaya menyediakan tinta, kertas, meja-meja, dan ruang mencar ilmu bagi para ilmuwan dan para pelajar. Dar al-Hikmah berjalan selama lebih satu era sebagai pusat utama pendidikan tinggi di Mesir hingga Sultan al-Malik al-Afdal kemudian menutupnya pada tahun 1122, ketika ia mengetahui dua orang ilmuwan tamu telah memberikan kuliah mengenai ajaran-ajaran yang menyeleweng dalam bagian-bagiannya tertentu. Para penerus Sultan al-Afdal kemudian membuka kembali Dar al-Hikmah itu, tetapi tetapkan hanya bacaan dan khutbah yang dinilai benar-benar ortodok saja yang sanggup disampaikan dalam kelas-kelas perkuliahannya.[31]
5) Perpustakaan Universitas Cordoba di Spanyol, didirikan oleh Abdurrahman an-Nasyir. Perpustakaan ini mempunyai koleksi ratusan buku, menyaingi perpustakaan-perpustakaan yang berada di Dinasti Abbasiyah.[32] Dikenal juga Al-Hakam II yang juga memelihara perpustakaan di wilayah ini. Al-Hakam II juga dikenal sebagai pemimpin yang memahami secara memadai terhadap isi-isi dan bahasan dari buku-buku yang menjadi koleksi perpustakaannya. Hal ini lantaran ia telah membaca sejumlah besar buku-buku tersebut dan telah menulis catatan-catatan pinggir didalamnya sebagai respons, komentar atau kritik terhadap buku-buku tersebut.[33]
6) Perpustakaan khalifah Dinasti Fathimiyah kedua, al-Aziz (975-996).  Perpustakaan ini telah berkembang pesat. Diceritakan oleh khalifah, pada suatu kesempatan  ketika buku Al-Halil Kitab Al-Ayn, yaitu kamus sebuah hasil karya salah spesialis bahasa Arab pada masa awal, dibawakan oleh petugas perpustakaan kepadanya sebanyak tiga puluh satu salinan, termasuk satu yang bertanda tangan. Ia juga membeli karya-karya al-Thabari seharga seratus dinar walaupun sudah ada lebih dari dua puluh salinan termasuk satu yang bertanda tangan di perpustakaan. Masih di perpustakaan yang sama masih terdapat seratus karya mengenai leksikografi, yaitu Jamhara Karya Ibnu Durayd, yang secara keseluruhan ada empat puluh koleksi buku di perpustakaan istana, yang masing-masing koleksi terdapat di satu ruang, berarti di perpustakaan tersebut terdapat empat puluh ruangan yang penuh berisis buku. Adapun ilmu-ilmu kuno yaitu ilmu alam dan filsafat hellenistik yang ada di perpustakaan tersebut berjumlah 18.000 buku.[34]

b.   Perpustakaan Pribadi

Perpustakaan pribadi artinya perpustakaan yang dikelola secara pribadi dengan tujuan melayani keperluan materi pustaka bagi kelompok, keluarga, atau individu tertentu. Karena semua didanai secara pribadi maka perpustakaan jenis ini hanya melayani keperluan kelompok terbatas pula.[35] Namun untuk contoh-contoh tertentu tidak menutup kemungkinan perpustakaan pribadi dipakai untuk kepentingan umum.

Banyak di antara ningrat yang bersahabat dengan golongan Abbasiyah yang mempunyai perpustakaan. Berikut ini penulis kemukakan beberapa perpsutakaan pribadi yang ada pada masa keemasan Islam:

1)   Teman Al-Mutawakkil, Al-Fath Ibn Khaqan (w. 861), yang berdasarkan ibn Al-Nadim sangat bijaksana dan cendekia dalam bidang kesustraan. Selalu membuka pintu untuk para sastrawan dan ilmuwan.[36]
2)   Yakut dalam bukunya al-mu’jam menjelaskan bahwa di Karkar di sekitar al-Qans terdapat sepetak tanah yang berharga kepunyaan Ali bin Yahya. Ia membangun untuknya sebuah perpustakaan yang tersohor lantaran kegunaannya dan ukurannya.[37]
3) Jamaludin al-Qifthi (w. 64 H), ia mengumpulkan buku yang tidak sanggup digambarkan. Perpustakaannya selalu dituju oleh orang-orang dari banyak sekali penjuru lantaran mengharapkan kemurahan dan kedermawanannya. Ia tidak menyayangi selain buku-bukunya ia mewakafkan dirinya untuk buku-buku. Ia mewasiatkan perpustakaannya yang bernilai lima puluh dinar kepada an-Nashir.[38]
4)  Muwafaq bin Muthran Dimasyqi, Abdul al-Daula (587 H), ia mempunyai semangat tinggi untuk mendapat buku sehingga tatkala ia meninggal. Di lemarinya terdapat-buku-buku kedokteran dan buku-buku lain sebanyak 10.000 buah. Untuk membantunya, ada tiga orang penyalin itu di beri honor dan nafkah.[39]
5)   Perpustakaan lain yang lebih cukup menonjol di kalangan muslimin dikala itu yaitu perpustakaan perpustakaan yang dibangun oleh Abdul Mutrif, seorang hakim di Cordoba, kebanyakan berisi buku-buku langka, masterpiece-masterpieces kaligrafi, mempekerjakan enam orang penyalin yang bekerja penuh waktu. Perpustakaan ini telah terjual dalam satu lelang terbuka sehabis ia wafat pada tahun 1011 seharga 40.000 dinar.[40]
6)   Di kalangan Buwayhiyah, Abdul al-Dauladan (w.983) ayah Baha al-Daula dan anggota terpenting dalam kelompok itu, telah mendirikan sebuah perpustakaan di Syiraz yang berdasarkan evaluasi al-Maqrizi berukuran sangat besar, adapun nama perpustakaan itu yaitu Khiznatul Kutub. Ia menggambarkan perpustakaan tersebut berdiri di suatu komplek yang dikelilingi oleh taman, danau, dan aliran air. Bangunannya diberi kubah di belahan atasnya dan terdiri dari dua tingkat yang berdasarkan kepala petugasnya jumlah total ruangannya yaitu 360 ruangan. Rak utama diletakkan di ruangan yang besar dengan beberapa kamar yang berhubungan, semua ini dilengkapi dengan lemari-lemari setinggi tubuh insan dan dengan pintu-pintu yang diberi dekorasi, di dalam lemari diletakkan buku-buku yang tidak ada satu pun buku yang pernah ditulis pada dikala itu dilewatkan, tiap-tiap belahan ada sebuah rak yang berisi katalog. Lantai-lantai dilapisi dengan karpet dan beberapa ruangan didesain khusus, untuk mendapat udara yang sejuk dan segar melalui ventilasi yang bekerja di antaranya.[41]
7)   Ibn Sawwar, seorang pria yang kalau bukan lantaran mendirikan Dar al-Ilm di Basrah, namanya tidak dikenal orang. Ia membangun perpustakaan yang di dalamnya yang besar dan disediakannya beasiswa bagi orang-orang yang tiba ke sana untuk mencar ilmu dan menyalin buku-buku. Ia juga membangun perpustakaan lain lebih kecil di Ramhurmuz, suatu tempat di sekitar Persia.[42]
8)   Pangeran Dinasti Samaiyyah, Nuh, yang bertempat tinggal di Bukhara (976-977) telah menggandakan para pendahulunya dalam mengumpulkan orang-orang pitar di istananya. Salah seorang di antaranya yaitu andal filsafat populer Ibnu Sina, ia juga sebagai seorang Doktor. Pada suatu ketika ia pernah diundang untuk merawat Nuh ketika sedang Sakit. Ibn Sina minta izin untuk memakai perpustakaannya, ternyata di sana ia melihat buku yang berjumlah sangat banyak yang di atur dalam ruangan-ruangan yang terpisah sesuai dengan jenis bukunya, filogi bahasa arab, puisi, etika, dan seterusnya. Beliau mengusut katalog “ilmu-ilmu kuno” dan tampak olehnya beberapa buku yang judulnya hanya dikenal oleh beberapa orang saja, dan tidak pernah dijumpainya di tempat lain sebelum ini.[43]
9)  Perpustakaan Khazain Al-Qusu di Kairo menyimpan lebih dari 1.6 juta naskah dalam 40 ruangan yang dibangun untuk hal itu. Seluruh perpustakaan mempunyai ruangan yang terpisah untuk para penyalin, tukang jilid, dan pustakawan Muslim dirancang sedemikian rupa sehingga seluruh ruang perpustakaan sanggup dilihat dari satu titik pusat dan dilengkapi dengan sebuah rak terbuka yang bersahabat dengan penyimpanan buku.[44] Kelengkapan buku dan sarana pendukungnya menciptakan setiap orang yang membacanya menjadi nyaman.
10) Muhammad ibn ‘Umar Al-Waqidi (130-207 H/748-823 M) lahir di Madinah dan wafat di Baghdad. Ia seorag andal Hadits, Fikih, dan sejarawan Arab terkenal. Ia bahagia mengembara. Pengembaraannya berkisar di kota-kota Hijaz (Mekkah, Madinah, Ta’rib, dan Jeddah), kota Syiria dan Baghdad. Kepustakaan pribadinya penuh dengan buku. Ia berkata: “Aku belum pernah tahu anak sahabat atau anak orang yang mati syahid, atau budak belian kecuali saya bertanya kepadanya, apakah anda pernah mendengar salah seorang anggota keluargamu yang memberi tahu kepadamu perihal kesyahidan si fulan, dan dimana ia terbunuh? Jika beliau memberi gosip kepadaku, saya akan menuju tempat itu untuk menyelidikinya.[45] Demikian gigih ia mengumpulkan gosip pengetahuan untuk menulis buku, sehingga ia layak mempunyai perpustakaan.

3.   Faktor Kemajuan Perpustakaan di Dunia Islam Masa Klasik

Sejumlah faktor yang mendukung perkembangan perpustakaan di dunia Islam masa klasik adalah:

a.   Adanya Kegiatan Terjemahan

Abad keemasan peradaban Muslim dimulai dengan bangkitnya Dinasti Abbasyiah pada tahun 132 H/750 M. Masa lima era Dinasti Abbasiyah merupakan masa berkembangnya para ilmuan Islam. Dinasti ini kurang berminat melaksanakan penaklukkan sebagaimana Dinasti Umayyah, tetapi lebih berminat besar pada pengetahuan dan duduk masalah dalam negeri.  Hal tersebut dilihat dengan adanya penitikberatan besar pada upaya penerjemahan dan penyerap pengetahuan dari peradaban lain, termasuk Mesir, Babilonia, Yunani, India, Cina, dan Persia. Dalam kurun tiga fase buku-buku dalam bahasa banyak sekali bahasa tersebut diterjemahkan dalam bahasa Arab.[46] Fase pertama (312 H/750 M-232 H/847 M), pada masa Khalifah Al-Mansyur hingga Harun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan yaitu karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung pada masa Khalifah Al-Makmun (232H/847 M-334 H/945 M), buku-buku yang banyak diterjemahkan yaitu dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung (334H/945M-347 H/1005 M), terutama sehabis adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[47] Kegiatan penterjemahannya ini telah memperlihatkan konstribusi besar berdirinya perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam. Dengan adanya perpustakaan, maka setiap orang bisa menikmati kebutuhan mereka terhadap buku yang telah tersedia.

b.   Adanya Pembuatan/Ditemukannya Kertas

Seiring dengan perkembangan banyak sekali cabang ilmu pengetahuan dan munculnya karya tulis sarjana, berkembang pula produksi kertas yang tersebar luas di seluruh wilayah Islam. Hal ini kemudian memperlihatkan dorongan besar tidak hanya bagi golongan penulis, penerjemah, dan pengajaran, akan tetapi juga besar lengan berkuasa pada geralan pengumpulan naskah.[48] Keadaan ini berlangsung ketika seluruh peradaban Muslim dilanda debat hebat, dan buku menjadi kuncu utama untuk memberikan gagasan. Kebutuhan akan buku menjadikan merebaknya perpustakaan di banyak sekali penjuru dunia Islam. Mereka berlomba-lomba untuk membeli karangan ilmiah dari para penulis begitu selesai ditulis. Sangatlah jarang istana-istana, masjid-masjid dan madrasah tidak mempunyai perpustakaan, termasuk para hartawan dan para ulama yang cinta akan ilmu pengetahuan, hampir semuanya pada mempunyai perpustakaan.[49] Secara tidak eksklusif kondisi ini melahirkan perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam.

c.   Adanya Khalifah yang Mencintai Ilmu Pengetahuan

Dinasti Abbasiyyah terutama pada fase pertama yang dipimpin oleh Khalifah Abu Ja’far Al-Mansyur, Khalifah Harun Al-Rasyid Dan Abdullah Al-Makmun, merupakan khallifah-khalifah yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaannya khalifah sangat menjaga dan memelihara buku-buku, baik yang bernuansa agama atau umum, baik karya ilmuwan muslim maupun non-muslim, baik karya ilmuwan yang sesamanya atau pendahulunya.[50] Harun Al-Rasyid kepada para tentaranya untuk tidak merusak kitab apapun yang ditemukan dalam medan perang.[51] Begitu juga Khalifah Al-Makmun, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Nasrani dan lainnya untuk menerjemahkan buku-buku yunani, hingga pada ahirnya masih pada masa khalifah al-makmun Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[52] Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, khalifah dari Dinasti Fatimiyah mirip Al-Aziz dan khalifah dari Dinasti Umayyah di Andalusia[53] mirip Al-Hakam II juga menyukai kegiatan pengumpulan buku dan mendirikan perpustakaan di wilayah mereka masing-masing. Ini yaitu sebagian khalifah yang turut menyumbangkan pemikiran dan kebijakan mereka sebagai penguasa untuk mendirikan perpustakaan.

4.   Faktor Kehancuran Perpustakaan di Dunia Islam Masa Klasik

Perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam di masa klasik tidak selamanya bisa bertahan dengan segala kondisi masing-masing pemerintahan di wilayah Islam. Adapun petaka-petaka yang menimpa perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam yaitu musibah yang ditimpakan oleh tentara Tartar ketika mereka menaklukkan Baghdad, sebelum menghancurkan yang lain, yang pertama dihancurkan yaitu perpustakaan. Tentara Tartar[54] melemparkan seluruh buku-buku ke sungai Dajlah sehingga sungai itu penuh dengan buku-buku.[55]  Petaka perang Salib[56] juga telah menciptakan umat Islam kehilangan perpustakaan-perpustakaan yang berharga yang berada di Tripoli, Maarrah, Al-Quds, Ghazah, Asqalan dan di kota-kota lainnya yang dihancurkan mereka. Salah seorang sejarawan menaksir, buku-buku yang dimusnahkan tentara Salib di Tripoli sebanyak tiga juta buah.[57] Kemudian musibah penduduk Spanyol atas Andalusia juga telah menciptakan umat Islam kehilangan perpustakaan-perpustakaan besar, semua buku dibakar oleh pemeluk agama yang fanatik lantaran dianggap membahayakan, sehingga buku-buku yang dibakar dalam sehari di lapangan Granada, berdasarkan taksiran sebagian sejarawan berjumlah satu juta buku.[58]

Perpustakaan Khalifah Dinasti Fathimiyah berakhir riwayatnya sehabis diserang oleh massa dari kalangan budak Turki. Mereka menyalakan api dalam perpustakaan itu dan seorang budak membagi cover-cover buku, kemudian dijadikan sandal-sandal mereka. Sejumlah besar buku dilemparkan ke sungai Nil dan sebagian di angkut kewilayah-wilyah lain, sedangkan sisanya dikumpulkan dalam tumpukan besar, kemudian angin bertahap menerbangkan pasir sehingga gundukan-gundukan itu bermetamorfosis bukit dan alhasil populer dengan sebutan “bukit buku”.[59] Sejumlah musibah yang melanda kekuasaan-kekuasaan Islam itulah menjadikan kehancuran perpustakaan di dunia Islam masa klasik. Banyak manuskrip-manuskrip berharga yang tidak bisa diselamatkan lagi lantaran banyak sekali konflik-konflik penguasa Islam di masa itu.

C.  Kesimpulan

Perpustakaan sebagai salah satu media pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam pada masa klasik telah berkembang dengan pesat. Perpustakaan telah bisa dihadirkan dalam bentuk yang memadai, sehingga semua lapisan umat Islam sanggup memanfaatkannya. Pada masa klasik populer ada tiga perpustakaan besar dalam Islam yaitu perpustakaan Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fathimiyah di Kairo dan perpustakaan Umayyah di Cordoba. Sementara itu, perpustakaan-perpustakaan pribadi mirip milik teman Al-Mutawakkil, Al-Fath Ibn Khaqan (w. 861) dan Pangeran Dinasti Samaiyyah yaitu Nuh contohnya merupakan contohnya perpustakaan yang telah mempunyai koleksi buku yang memadai dengan pelayanan yang cukup nyaman.

Perkembangan perpustakaan di dunia Islam sanggup berkembang dengan adanya kegiatan mirip penterjemahan, inovasi kertas dan adanya sejumlah khalifah Islam Islam menyayangi ilmu pengetahuan, kemudian mendirikan perpustakaan sebagai sumber belajar. Meskipun demikian, sebagian besar perpustakaan di masa klasik mengalami kehancuran seiring dengan adanya konflik penguasa Islam dengan pihak lain mirip bangsa Tartar, umat Kristen, bangsa Spanyol.

Oleh : Kompri, M.Pd.I


[1] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Askara dan Departemen Agama, 2006), Cet. 8, h. 98
[2] A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Muhtar Yahya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hh. 92-93
[3] Zuhairini dkk, op. cit,  h. 99
[4] George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya Terhadap Ranainsan Barat, Terj. A. Syamsu Rizal dan Nur Hidayah, (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2005), hh. 93-101
[5] Sutarno NS, Manajemen Perpustakaan: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Sagung Seto, 2006), h. 11
[6] Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 3
[7] Rusina Syahrial dan Pamuntjak, Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan, (Jakarta: Djambatan, 2000), h. 1
[8] Ibrahim Bafadal, Pengelolaan Perpustakaan Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 3
[9] Lihat selengkapnya J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Atab, Terj. Alwiyah Abdurrahman, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. 1, h. 149
[10] Khalifah kelima dari Dinasti Abbasiyah yang menggantikan Abu Musa al-Hadi dari kekhalifannya. Pada masanya, peradaban Islam mencapai masa keemasannya, terutama dalam ilmu pengetahuan.
[11] Khalifah ke tujuh dari Dinasti Abbasiyah yang bersaing dengan Abu Musa Muhammad Al-Amin untuk menduduki jabatan khalifah.
[12] Lihat selengkapnya J. Pedersen, op. cit., hh. 149-150. Lihat juga dalam Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Dalam Abad ke 21, Edisi Revisi, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), Cet. 3, hh. 25-26
[13] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (Penyusun), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. 2,  h. 7
[14] Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam dan Civilization In Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968),  h. 15
[15] Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press Group, 2007),  Cet. 2, h. 109
[16] Kemudian Al-Azhar menjadi universitas ternama di dunia Islam, dan hingga kini menjadi salah satu perguruan tinggi kerkemuka di dunia.
[17] Lihat selengkapnya J. Pedersen, op. cit., hh. 152-153. Lihat juga dalam Syed Ameer Ali, Api Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 567, Lihat juga Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Mishriyyah, 1967), Jilid IV, h. 432.
[18] Muhammad Jamaluddin, Tarikh Al-Hadharah al-Islamiyyah fi al-Syarq, (Dar al-Fikri al-Arabi, 1976), Cet. 4, h. 238.
[19] Semenjak awal mendirikan negara, Dinasti Abbasiyah melenyapkan Dinasti Umayyah, kecuali satu orang yang melarikan ke Andalusia, yaitu Abdurrahman Ats-Tsalis yang kemudian mendirikan dinasti Umayyah di wilayah itu. Baca Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, Terj. Arif Munandar, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), Cet. 1, h. 139
[20] Nama lengkap Ibnu Hazmin yaitu Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd Syam al-Umawi. Salah satu ulama besar lengan berkuasa pada masa keemasan Islam yang hidup di wilayah Islam belahan Barat (Andalusia). Pada awalnya ia mengikuti salah satu mazhab yang empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), namun pada alhasil menentukan lepas dari mazhab. Jumlah karya-karyanya dibidang Fiqh, Hadist, Usul, sekte dan mazhab keagamaan dan lainnya, mirip sejarah dan sastra serta penolakannya atas lawannya, sebanyak 400 jilid. Baca selengkapnya dalam Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm: Biografi, Karya dan Kajiannya Tentang Agama-Agama, Terj. Halid Alkaf, (Jakarta: Lentera, 2001), Cet. 1, h. 55.
[21] Lihat selengkapnya J. Pedersen, op. cit., hh. 157-158
[22] George A. Makdisi, op. cit., hh. 93-101.
[23] Rusina Syahrial dan Pamuntjak, op. cit., hh. 3-6
[24] Jurji Zaidan, Tarikh al-Tamaddun al-Islami, Jilid 3, (Kairo: Dar al-Hilal, tt), h. 144.
[25] Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Logos 1998), h. 169
[26] Lihat dalam Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. 1, h. 38
[27] J. Pedersen, op. cit., h. 167
[28] Lihat dalam Suwito dan Fauzan, op. cit., h. 38
[29]Charles Michael Stanton, op. cit.,  h. 167
[30] M. Athiyah al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Alih Bahasa oleh Bustami dan Bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 89.
[31] Edward T. Withington, Medical History, (London: Hollan Perss, 1964), h. 168
[32] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 96
[33] Fazlurrahman, Islam, Pustaka Salman, 2003, h. 276.
[34] Lihat dalam Suwito dan Fauzan, op. cit., hh. 39-40
[35] Sulistyo-Basuki, op. cit., h. 49
[36] J. Pedersen, op. cit., h. 159
[37] J. Pedersen, op. cit., h. 59
[38] Lihat dalam Suwito dan Fauzan, op. cit., h. 42
[39] Musthafa Husni As-Siba’i, Min Rawa’i Dadaraatina, Terj. KH. Abdul Zakiy Al-Kaaf, Khazamah Peradaban Islam,  (Bandung: TP), h. 209
[40] Lihat dalam Suwito dan Fauzan, op. cit., h. 114.
[41] Lihat dalam Ibid., hh. 42-43
[42] Ibid., h. 43
[43] J. Pedersen, op. cit., h. 84
[44] Ziauddin Sardar dan Zafar Abbas Malik, Mengenal Islam For Beginners, Terj.  Julianto, (Bandung: Mizan, 1999), h. 84
[45] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1995), h. 68.
[46] Ziauddin Sardar dan Zafar Abbas Malik, op. cit.., h. 76.
[47] Badri Yatim, op. cit., h. 55. Baca juga Ahmad Amin, Dhuha al-Dhuha al-Islam, Jilid 1, (Kairo: Lajnah Al-Ta’lif Wa Al-Nasyr, tt), h. 207
[48] Nur Ahmad Fadhil Lubis, (ed) Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hauve, 2002), h. 107
[49] Lihat dalam Suwito dan Fauzan, op. cit., h. 36
[50] Ada fakta yang sering diungkapkan sejarawan bahwa Dinasti Umayyah lebih memfokuskan pada ekspansi wilayah Islam, sedangkan Dinasti Abbasiyah lebih memfokuskan kepada upaya memajukan peradaban.
[51] H. Chatibul Umam, dkk., Sejarah Kebudayaan Islam, (Kudus:Menara Kudus, 1995), h. 67
[52] Badri Yatim,  op. cit., h. 53
[53] Baca Philip K. Hitti, History of Arabs, Tenth Edition, (London: Mac Milan, 1974), h. 557
[54] Penyerangan bangsa Tartar dipimpin oleh Hulagu Khan  pada tahun 1258 M. Baca Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi Dan Sejarahnya, Terj. Adang Affandi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. 4, h. 282, Baca juga M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),  Cet. 1, hh. 166-167   
[55] Musthafa Munir Mursi, At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah Ushuluha Wa Tathawwuruha fi al Biladi Al-Arabiyyah, (Kairo: Alamu-Al Kutub: 1977), h. 105
[56] Paus Urbanus II mengumumkan Perang Salib. Perang Salib berlangsung selama (1096-1291 M). Baca dalam Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Nusantara, 1949), hh. 344-335
[57] Lihat dalam Suwito dan Fauzan, op. cit., h. 44
[58] Musthafa Husni As-Siba’i, op. cit., h. 210
[59] J. Pedersen, op. cit., h. 155


Sumber http://pintubelajarcerdas.blogspot.com

0 Response to "Makalah Spi Wacana Perpustakaan Di Dunia Islam Pada Masa Klasik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel