iklan banner

Hubungan Islam Dan Non Islam


A. PENDAHULUAN

Pada penghujung kala ke-19 dan awal kala ke-20, penerobosan kekuasaan pihak eropa terhadap dunia Islam meluas semenjak dari Maroko hingga ke Indonesia. Kehadiran militer dan ekonomi memuncak dalam dominasi politik luar negeri dari negera-negara Eropa, ibarat Perancis di Afrika Utara, Afrika Barat, Afrika Tengah dan Levant (kini wilayah Lebanon dan wilayah Suriah). Inggris di Palestina, Transjordania, Irak, Teluk Arab, dan bawah umur benua India. Belanda di Asia Tenggara. Dimana pihak muslim (orang Islam) masih bisa memperthankan kekuasaan sendiri, seumpama imperium Utsmaniyah dan Iran, mereka inipun terpaksa mengahadapi perluasan politik dan ekonomi pihak Barat (Non-Islam).

Menurut al-Maududi negara Islam yaitu negara ideologis yang dimikian sangat berbeda dengan suatu negara kebangsaan. Perbedaan hakiki antara kedua negara itu mempunyai efek penting atas masalah hak-hak non-Muslim di suatu Negara Islam. Negara kebangsaan di atas kertas mereka menjamin hak-hak kaum minoritas, padahal dalam prakteknya mereka menyimpang dan melanggarnya.

Dari paradigma di atas hegemoni non-Islam (Barat) yang telah meluas dan lintas negara harus dijawab oleh Islam dengan memakai aspek politik Islam (Fiqh Siyasah) juga. Para Fuqaha’/Sarjana andal aturan Islam secara ilmu pengetahuan membagi kekerabatan internasional menjadi dua kelompok, yaitu :

a. Hubungan antar bangsa dan Negara dalam Darul Salam.

b. Hubungan antar bangsa dan Negara dalam Darul Kuffar.

Dari dua jenis kekerabatan ini nantinya sanggup diklasifikasikan bagaimana kekerabatan antara orang Islam (Muslim) dengan orang non-Islam.

B. HUBUNGAN ANTAR BANGSA DAN NEGARA DALAM DARUL SALAM

Darul Salam yaitu negara yang di dalamnya berlaku aturan Islam sebagai aturan perundang-undangan atau negara yang penduduknya beragama Islam dan sanggup menegakkan aturan Islam sebagai aturan perundang-undangan/hukum positif. Termasuk kategori Darul Salam yaitu negara-negara yang semua atau dominan penduduknya terdiri dari umat Islam, atau juga negara walaupun pemerintahannya bukan dari umat Islam, akan tetapi orang-orang Islam penduduk negeri dengan leluasa menegakkan aturan Islam sebagai aturan perundang-undangan.

Sehubungan dengan itu maka penduduk negeri dalam Darul Salam sanggup dibedakan menjadi 2 golongan yakni :

1. Muslim, yaitu semua orang Islam baik warga negara maupun orang asing.

2. Zimmi, yaitu semua warga negara Darul Salam yang beragama lain, ibarat Yahudi, Nasrani, Majusi, Hindu, Budha, ajaran kepercayaan, bahkan mungkin Atheis (sama sekali tidak beragama). Harus mematuhi ketentuan perudang-undangan, kecuali dalam urusan ibadah, makanan dan minuman serta beberapa kasus di bidang aturan keluarga sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

3. Musta’min atau mu’ahid, yaitu warga negara aneh non Muslim yang mukim untuk sementara di negeri Darul Salam untuk suatu keperluan, ibarat berdagang, sebagai anggota korp diplomatik (Duta Besar) sebuah negara. Musta’min harus mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Apabila seorang musta’min sementara menetap di negara Darul Salam lalu menikahi seorang musta’minah, sedangkan si musta’min lalu menjadi seorang dzimmi, maka dengan sendirinya si musta’minah menjadi dzimmiyah.

Menurut aturan Islam, pihak yang bukan Muslim termasuk warga negara kelas dua, pihak yang dilindungi, yang membentuk masyarakatnya sendiri. Sikap ini lebih jauh dicerminkan dalam perluasan hukum-hukum publik yang gres sepanjang Islam, seumpama larangan alkohol yang juga berlaku bagi warga yang bukan Muslim di Sudan, Iran dan Pakistan. Minoritas non Muslim mengahadapi limit potensial lainnya di dalam negara-negara Islam. Berkaitan dengan ideologi Islam dalam negara, maka timbul soal : "Apakah non Muslim diizinkan memegang jabatan-jabatan kunci dalam pemerintahan?".

Abu A’la Maududi menambahkan hak-hak istimewa kepada Non-Muslim yang berada dalam negara Islam, antara lain sebagai berikut :

1. Perwakilan politik; kafir dzimmy sanggup meduduki forum perwakilan atau parlemen.

2. Kebebasan mengemukakan pendapat; semua non-muslim memilki kebebasan berpendapat, menganut keyakinan, pandangan dan berserikat sebagaimana dimilki oleh kaum muslim yang tunduk pada batasan-batasan yang telah ditetapkan kaum muslim.

3. Pendidikan; non-muslim berhak melakukan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan yang diselenggarakanoleh pemerintah seluruh negeri.

4. Jabatan Pemerintah; semua jabatan terbuka bagi non-muslim, kecuali jabatan-jabatan kunci, ibarat kepala negara & forum ahli.

5. Perdangan dan Profesi; seluruh acara perdagangan dan profesi terbuka selebar-lebarnya bagi non-muslim.

C. HUBUNGAN ANTAR BANGSA DAN NEGARA DALAM DARUL KUFFAR

Darul Kuffar berdasarkan Jumhur Ulama’ yaitu semua negara yang tidak berada di bawah kekuasaan umat Islam, atau yang didalamnya tidak nampak berlakunya ketentuan-ketentuan aturan Islam baik terhadap penduduknya yang beragama Islam ataupun non-Muslim. Selama orang-orang Islam bermukim secara tetap dan tidak mempu melahirkan aturan Islam sebagai perundang-undangan negara, maka sanggup di kategorikan kelompok dalam negara Darul Kuffar.

Dalam negara Darul Kuffar, penduduk negeri sanggup dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yakni :

1. Muslim ialah orang yang beragama Islam.

2. Non-Muslim (Kafir) ialah orang yang beragama selain Islam.

Para fuqaha berbeda pendapat mengenai penduduk yang beragama Islam yang tinggal menetap di darul Kuffar dan tidak berhijrah ke negara-negara Darul Salam. Menurut pendapat Imam Syafi’I. Malik dan Ahmad, mereka itu dipandang sama dengan orang-orang Islam yang berdomisili di negara-negara Darul Salam. Sedangkan berdasarkan Imam Hanafi, orang-orang islam yang berdomisili di negara-negara Darul Kuffar tidak terpelihara kehormatan, darah dan hartanya, lantaran terpelihara atau terlindunginya suatu aturan bukanlah berdasar pada Islam saja, melainkan dibutuhkan juga di bawah kekuasaan umat Islam.

Penduduk non-Muslim yang tinggal menetap di Darul Kuffar di namai orang Kafir "Harbiyyin". Dalam teori fiqh siyasah orang-orang kafie tersebut tidak terpelihara kehormatan, darah dan hartanya, dan tidak terjamin keselamatannya di negeri Darul Salam. Karena berdasarkan kaidah Fiqh Siyasah menegaskan bahwa terpeliharanya kehormatan, darah dan harta bagi seseorang ditentukan oleh adanya "keimanan" dan atau "keamanan". Arti keimanan yaitu beragama Islam dan maksud "keamanan" yaitu mendapar jaminan keamanan dengan adanya perjanjian selaku penduduk dzimmi, atau adanya perjanjian tenang dan juga yang serupa itu.

Dilema minoritas muslim di Barat merupakan problem yang demikian khusus. Sebuah tafsir standar Hadits Islam menyebutkan bahwa Muslim Harus meninggalkan (hijrah) atau menghadapi masyarakat tidak-Islam (dar al-harb atau dar al kufr), dan berlindung di dar al-Islam. Namun, lantaran kondisi jelek ekonomi atau politik atau impian untuk mendapat pendidikan atau berkumpul dengan keluarga, Muslim telah pindah ke Eropa, AS dan Australia dalam jumlah besar dan sekarang menetap secara permanen di sana. Masalah yang tidak diduga sebelumnya ini telah memancing perdebatan di kalangan intelektual muslim. Banyak di antara mereka beropini bahwa hijrah hanya diizinkan sebagai sebuah taktik dakwah dan beberapa intelektual lainnya menyarankan bahwa migrasi semacam ini tak hanya diizinkan, tetapi diwajibkan sebagao cara umat mendapat kemampuan tehnik untuk maju.

D. EPILOG [PENUTUP]

Syariah Islam membagi warga negara Non-Muslim menjadi tiga golongan sebagai berikut :

1. orang-orang (non-Islam) yang menjadi rakyat suatu Islam berdasarkan suatu perdamaian atau perjanjian.

2. Non-Muslim yang menjadi suatu negara Islam sesudah dikalahkan oleh kaum muslim dalam suatu peperangan, dan

3. Non-Muslim yang berada di dalam wilayah negara Islam dengan cara lainnya.

Pada pada dasarnya orang Islam sangat menghormati hak-hak non-muslim dalam kehidupan bermasyarakat, dan meminimalisir diskriminasi dalam banyak sekali bidang, kecuali di bidang aturan (khusus di negara Islam). Bagaimana dengan di Indonesia dengan banyaknya suku dan agama?

Sejak zaman kolonial, kekerabatan sosial antar umat beragama sering menjadi persoalan. Sebab, dalam kenyataannya agama sangat relevan dijadikan sebagai alasan permusuhan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Konflik agama, mungkin terjadi lantaran perbedaan dalam pemahaman, ibarat masalah yang terjadi akhir-akhir ini perihal Ahmadiyah. Tetapi tidak sanggup dipungkiri bahwa konflik itu muncul lantaran terdapat aspek-aspek lain yang turut memicu, ibarat aspek ekonomi dan aspek politik yang rentan dengan konflik.

Dengan semboyang negara Indonesia "Bhineka Tunggal Ika", seharusnya budaya untuk menajalin komunikasi dan solidaritas antar umat beragama dipererat dalam rangka menjaga integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di era reformasi obrolan antar agama lebih terbuka dan sering diselenggarakan oleh para pemuka-pemuka agama yang ada di Indonesia, hal ini merupakan langkah yang baik dan harus di jaga, lantaran hal tersebut sanggup meminimalisir konflik yang terjadi lantaran berbeda agama atau ideologi.

Demikianlah artikel tentang HUBUNGAN ISLAM DAN NON ISLAM, agar bermanfaat.


Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Hubungan Islam Dan Non Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel