Cerpen Seutai Kertas Perubah Robot
Contoh Cerpen
Cerpen yakni sebuah karya sastra dongeng pendek yang berisikan tragedi yang menarik. Pada artikel kali ini saya akan menunjukkan sebuah pola cerpen religi dan persahabatan yang berjudul seutai kertas peubah robot karya Lutfi Rokhyatul Mu'asiroh. Cerpen ini menceritakan seorang anak yang tidak pernah beribadah tetapi membaca sebuah kertas yang diberikan temannya, kehidupanya seketika berubah dan karenanya ia tidak peranah meninggalkan ibadahnya lagi. Silakan meyiimak pola cerpen seutai kertas peubah robot!
Seutai Kertas Peubah Robot
Oleh : Lutfi Rokhyatul Mu'asiroh
"cettaarrr...."
Pecahan beling itu bagaikan petir yang meyambar tubuhku. Suara yang berhasil mengagetkanku dari lamunan panjangku. Spontan, saya pribadi mencari sumber bunyi itu. Saat berbalik, Ternyata hanya sebuah beling yang pecah entah kenapa. Saat itu, saya sedang asyik terdiam di daerah semediku, taman belakang perpustakaan. Taman itu memang taman paling asyik untuk melamun. Dimana, insan jarang ada yang melewati atau bahkan singgah disini. Aku akui, taman itu memang sepi. Sulit untuk menarik perhartian murid untuk singgah di kursinya. Tapi keistimewaan itulah yang membuatku saring melampiaskan semua masalahku kepada taman itu. Benda mati yang tak dapat menunjukkan solusi untuk semua masalahku. Tapi, cukup setia untuk menemaniku disaat saya sedang galau.
Saat itulah saya teringat wacana suatu hal yang masih belum terang baik atau buruknya. Tapi, saya teringat dengan sobat yang dulunya sangat saya benci. Tapi lambat laun, ia menjadi sobat terbaikku. Karena, dikala di daerah itulah saya kali pertama melihatnya. Analah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Walaupun dikala pertama kali mengenal dia, hanyalah sebuah kebencian yang pertama saya liat.
Siang yang sunyi itu, tiba-tiba ada sebuah pengumuman.
"Kepada sumua siswa kelas X diperlukan masuk ke kelas."
Saat jam terakhir, tiba-tiba Ana masuk kelas dan duduk di sampingku. Aku galau dan terkejut dikala ia duduk di sampingku. Sok alim, Sok pintar, sok natural, itulah ana yang ku kenal.
Lambat laun saya mulai berpikir. Kalau ada ia hidupku menjadi teratur. Melihat ia beribadah sholat, hatiku bergerak untuk mengikutinya. Pulang sekolah, saya lihat ia pergi ke masjid. Tak sadar, dikala itu saya pun mengikutinya. Sampai saya pun ikut sholat.
"kenapa kau juga disini?" tanyanya
"Emang yang boleh ada di sini hanya kamu?"
"Nggak juga sih, ya udah saya minta maaf"
Tanpa ana, mungkin saya akan menjadi gula di tengah semut. Dan tanpa ana, saya akan menjadi sampah di tengah meja. Besok kalau ajalku sudah datang, mungkin saya dapat berterima kasih pada ana.
Kulihat ada goresan pena di atas meja. Saat kubaca, "Kafir". Itulah goresan pena di kertas itu. Spontan saya pribadi berteriak kencang "Siapa yang berani-beraninya ngatain saya kafir?"
"Nggak tau lin," serentak teman-teman ku menjawab
"Mungkin itu dari orang yang membencimu"
"Aku yang nulis itu." Suara seseorang mengagetkanku dari belakang. Aku pribadi membalikkan badan, dan teryata...
"Ana???"
"Apa maksudmu?" saya geram
"Kau memang kafir kan?" jawab ana singkat
Tarrrrr... telapak tanganku pribadi mendarat di pipinya.
"Sakit linda!!!"
"Itu eksekusi bagi orang yang ngatain saya kafir" jawabku ku sewot
"Kamu islam kan?"
"Iya"
"Lantas, kenapa kau jarang sekali sholat? Kenapa kau belum dapat membaca al-quran? Kamu nggak tau kalau itu disebut kafir?" jawabnya dengan nada tegas. Aku pribadi lari meninggalkan kelas.
Taman itu lagi-lagi menjadi daerah persaudaraanku. Tuk merenungkan apa yang telah dikatakan oleh ana. Nangsi, jikalau mengingat semua ucapan ana. Saat itulah saya sangat membenci ana.
Jumat, 27 september, tiba-tiba ada seuntai kertas di atas mejaku.
"Salahnya perlakuan di dunia, dapat menjadi factor penentu masuk nirwana dan neraka. Semua insan di dunia ini mirip robot yang harus nurut kepada pemiliknya. kita, insan hanyalah sebuah robot buatan Allah swt yang harus nurut untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kalau robot salah, pemiliknya akan murka dan senantiasa menghukum dengan salah. Sedangkan kalau robotnya patuh, pemuliknya akan menunjukkan hadiah. Apa kau tidak lihat banyak orang yang celaka. Dimana orang itu sudah melupakan penciptanya. Kamu tidak takut? Apa susahnya sih kau nurut sama penciptamu? Untuk yang kemaren, maaf sudah menyampaikan ini orang kafir. Aku hanya ingin kau berubah. Ayo bangkit dari mimpi burukmu. Tertanda pipi robot yang tertampar"
Tak sadar, air mataku sudah membasahi kertas itu. Hatiku tertekuk dikala membacanya. Ketakutan meyertaiku. Neraka atau surgakah yang akan diberikan kepadaku?
Lagi-lagi saya berlari menuju taman itu. Teryata selama saya hidup, saya sudah memesan tiket untuk untuk ke neraka. Dan, mengabaikan tiket untuk ke surga.
"Ya Allah, kenapa gres kini kau meyadarkanku? Aku harus berterima kasih kepada penulis surat ini"
"Ana... Ana.... Ana..." saya memanggil penulis surat ini sambil menangis memeluknya
"Ana, terima kasih" sambil memegang tangannya dan melepaskan pelukku
"Kenapa harus berterima kasih? Apa yang telah saya lakukan?"
"Karena suratmu saya bangun. Aku juga mau minta maaf atas kesalahanku."
"Sudahlah, yang terpenting yakni kini lamu sudah sadar"
Kami berdua menjadi sobat akrab. Dulu, saya belum berjilbab. Tapi sejak tragedi itu, kini saya sudah berjilbab. Kami berdua merupakan pasangan yang sama-sama meyicil membeli tiket masuk surga.
Semuanya tiba-tiba berakhir, ketika jatuh dari sholat, dan menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu, kami berdua sedang sholat jumat di masjid Al-Iklas Ungaran.
Aku begitu kaget melihatnya.
"Ana.. ana.. ana.. bangkit .." hanya tangisan dan mengguyur di kedua pipiku dikala itu.
"Ya Allah.. ada apa dengan ana? Apa ia berhasil membeli tiketnya?"
Sumber http://perpustakaanvikko.blogspot.com
Saat itulah saya teringat wacana suatu hal yang masih belum terang baik atau buruknya. Tapi, saya teringat dengan sobat yang dulunya sangat saya benci. Tapi lambat laun, ia menjadi sobat terbaikku. Karena, dikala di daerah itulah saya kali pertama melihatnya. Analah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Walaupun dikala pertama kali mengenal dia, hanyalah sebuah kebencian yang pertama saya liat.
Siang yang sunyi itu, tiba-tiba ada sebuah pengumuman.
"Kepada sumua siswa kelas X diperlukan masuk ke kelas."
Saat jam terakhir, tiba-tiba Ana masuk kelas dan duduk di sampingku. Aku galau dan terkejut dikala ia duduk di sampingku. Sok alim, Sok pintar, sok natural, itulah ana yang ku kenal.
Lambat laun saya mulai berpikir. Kalau ada ia hidupku menjadi teratur. Melihat ia beribadah sholat, hatiku bergerak untuk mengikutinya. Pulang sekolah, saya lihat ia pergi ke masjid. Tak sadar, dikala itu saya pun mengikutinya. Sampai saya pun ikut sholat.
"kenapa kau juga disini?" tanyanya
"Emang yang boleh ada di sini hanya kamu?"
"Nggak juga sih, ya udah saya minta maaf"
Tanpa ana, mungkin saya akan menjadi gula di tengah semut. Dan tanpa ana, saya akan menjadi sampah di tengah meja. Besok kalau ajalku sudah datang, mungkin saya dapat berterima kasih pada ana.
Kulihat ada goresan pena di atas meja. Saat kubaca, "Kafir". Itulah goresan pena di kertas itu. Spontan saya pribadi berteriak kencang "Siapa yang berani-beraninya ngatain saya kafir?"
"Nggak tau lin," serentak teman-teman ku menjawab
"Mungkin itu dari orang yang membencimu"
"Aku yang nulis itu." Suara seseorang mengagetkanku dari belakang. Aku pribadi membalikkan badan, dan teryata...
"Ana???"
"Apa maksudmu?" saya geram
"Kau memang kafir kan?" jawab ana singkat
Tarrrrr... telapak tanganku pribadi mendarat di pipinya.
"Sakit linda!!!"
"Itu eksekusi bagi orang yang ngatain saya kafir" jawabku ku sewot
"Kamu islam kan?"
"Iya"
"Lantas, kenapa kau jarang sekali sholat? Kenapa kau belum dapat membaca al-quran? Kamu nggak tau kalau itu disebut kafir?" jawabnya dengan nada tegas. Aku pribadi lari meninggalkan kelas.
Taman itu lagi-lagi menjadi daerah persaudaraanku. Tuk merenungkan apa yang telah dikatakan oleh ana. Nangsi, jikalau mengingat semua ucapan ana. Saat itulah saya sangat membenci ana.
Jumat, 27 september, tiba-tiba ada seuntai kertas di atas mejaku.
"Salahnya perlakuan di dunia, dapat menjadi factor penentu masuk nirwana dan neraka. Semua insan di dunia ini mirip robot yang harus nurut kepada pemiliknya. kita, insan hanyalah sebuah robot buatan Allah swt yang harus nurut untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kalau robot salah, pemiliknya akan murka dan senantiasa menghukum dengan salah. Sedangkan kalau robotnya patuh, pemuliknya akan menunjukkan hadiah. Apa kau tidak lihat banyak orang yang celaka. Dimana orang itu sudah melupakan penciptanya. Kamu tidak takut? Apa susahnya sih kau nurut sama penciptamu? Untuk yang kemaren, maaf sudah menyampaikan ini orang kafir. Aku hanya ingin kau berubah. Ayo bangkit dari mimpi burukmu. Tertanda pipi robot yang tertampar"
Tak sadar, air mataku sudah membasahi kertas itu. Hatiku tertekuk dikala membacanya. Ketakutan meyertaiku. Neraka atau surgakah yang akan diberikan kepadaku?
Lagi-lagi saya berlari menuju taman itu. Teryata selama saya hidup, saya sudah memesan tiket untuk untuk ke neraka. Dan, mengabaikan tiket untuk ke surga.
"Ya Allah, kenapa gres kini kau meyadarkanku? Aku harus berterima kasih kepada penulis surat ini"
"Ana... Ana.... Ana..." saya memanggil penulis surat ini sambil menangis memeluknya
"Ana, terima kasih" sambil memegang tangannya dan melepaskan pelukku
"Kenapa harus berterima kasih? Apa yang telah saya lakukan?"
"Karena suratmu saya bangun. Aku juga mau minta maaf atas kesalahanku."
"Sudahlah, yang terpenting yakni kini lamu sudah sadar"
Kami berdua menjadi sobat akrab. Dulu, saya belum berjilbab. Tapi sejak tragedi itu, kini saya sudah berjilbab. Kami berdua merupakan pasangan yang sama-sama meyicil membeli tiket masuk surga.
Semuanya tiba-tiba berakhir, ketika jatuh dari sholat, dan menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu, kami berdua sedang sholat jumat di masjid Al-Iklas Ungaran.
Aku begitu kaget melihatnya.
"Ana.. ana.. ana.. bangkit .." hanya tangisan dan mengguyur di kedua pipiku dikala itu.
"Ya Allah.. ada apa dengan ana? Apa ia berhasil membeli tiketnya?"
0 Response to "Cerpen Seutai Kertas Perubah Robot"
Posting Komentar