iklan banner

Unsur-Unsur Perjanjian Kontrak

Unsur-unsur perjanjian kontrak - Dalam dunia ketenagakerjaan ada istilah dengan pegawai kontrak. Sebelum kita masuk kerja dalam perusahan, ada baiknya kita harus lebih mengenal wacana tata cara perjanjian kontraknya. Baik itu dari segi aturan dan segala aspeknya. Artikel ini menjelaskan secara lengkap unsur-unsur perjanjian kontak untuk menjadi tumpuan para pencari kerja.

 Dalam dunia ketenagakerjaan ada istilah dengan pegawai kontrak Unsur-unsur perjanjian kontrak
Unsur-unsur perjanjian kontrak

A. Pendahuluan

Sekilas, apabila kita mendengar kata kontrak, kita eksklusif berpikir bahwa yang dimaksudkan ialah suatu perjanjian tertulis. Artinya, kontrak sudah dianggap sebagai suatu pengertian yang lebih sempit dari perjanjian. Dan apabila melihat banyak sekali tulisan, baik buku, makalah, maupun goresan pena ilmiah lainnya, kesan ini tidaklah salah lantaran pemfokusan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu perjanjian yang dibentuk secara tertulis.

Dalam pengertiannya yang luas kontrak ialah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara dua pihak atau lebih. Dua orang yang saling mengucapkan sumpah perkawinan, sedang menjalin kontrak perkawinan; seseorang yang sedang menentukan makanan di pasar menjalin kontrak untuk membeli makanan tersebut dalam jumlah tertentu.

Kontrak tidak lain ialah perjanjian itu sendiri (tentunya perjanjian yang mengikat). Dalam pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari :
  • Perjanjian; dan
  • Undang-undang

Kontrak dalam Indonesia, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) disebut overeenkomst yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, berarti perjanjian. Salah satu lantaran mengapa perjanjian oleh banyak orang tidak selalu sanggup mempersamakan dengan kontrak ialah lantaran dalam pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUH Perdata tidak memuat kata “perjanjian dibentuk secara tertulis”. Pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, hanya menyebutkan sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

B. Asas-Asas Kontrak

Dalam aturan kontrak dikenal beberapa asas, di antaranya ialah sebagai berikut :

1. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme sering diartikan bahwa diharapkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini tidak sempurna lantaran maksud asas konsensualisme ini ialah bahwa lahirnya kontrak ialah pada dikala terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada dikala itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligator, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.
Asas konsensualisme terdapat terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata bersifat dan berasas konsensualisme, kecuali ada beberapa perjanjian merupakan pengecualian dari asas tersebut, contohnya menyerupai perjanjian perdamaian, perjanjian perburuhan, dan perjanjian penghibahan. Kesemua perjanjian yang merupakan pengecualian tersebut, belum bersifat mengikat apabila tidak dilakukan secara tertulis.


2. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) 

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hokum kontrak. Didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa semua perjanjian yang dibentuk secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada pasal 1320 BW bahwa semua perjanjian yang menerangkan wacana syarat sahnya perjanjian.

Maksud dari asas kebebasan berkontrak artinya para pihak bebas menciptakan kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :
  • Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
  • Tidak dihentikan oleh undang-undang
  • Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik

3. Asas Mengikatnya Kontrak ( Pacta Sunt Servanda ) 

Setiap orang yang menciptakan kontrak, ia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut lantaran kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan kesepakatan tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini sanggup dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibentuk secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.


4. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik ( goeder trouw, bona fide ). Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa bekerjsama itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata. Itikad baik disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan suatu kontrak. Sebab, unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah sanggup dicakup oleh unsure “kausa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut.


C. Syarat Sahnya Kontrak

1. Kesepakatan

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini sanggup terjadi dengan banyak sekali cara, namun yang paling penting ialah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Terjadinya kesepakatan sanggup terjadi secara tertulis dan tidak tertulis.
Seseorang
Para pihak yang melaksanakan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan sertifikat di bawah tangan maupun dengan sertifikat autentik. Akta di bawah tangan merupakan sertifikat yang dibentuk oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang menciptakan sertifikat menyerupai notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu.

Berbeda dengan sertifikat di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, sertifikat autentik ialah sertifikat yang dibentuk oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
Perbedaan prinsip antara sertifikat di bawah tangan dengan sertifikat autentik ialah lantaran bila para pihak lawan mengingkari akte tersebut, sertifikat di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan sertifikat autentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya.

Artinya, bila suatu sertifikat di bawah tangan disangkali oleh pihak lain, pemegang sertifikat di bawah tangan dibebani untuk menandakan kaslian sertifikat tersebut, sedangkan kalau suatu sertifikat autentik disangkali pemegang sertifikat autentik tidak perlu menandakan keaslian sertifikat autentik tersebut tetapi pihak yang menyangkalilah yang harus menandakan bahwa sertifikat autenti tersebut ialah palsu. Oleh lantaran itu, pembuktian sertifikat di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian sertifikat autentik ialah pembuktian kepalsuan.


2. Kecakapan

Syarat kecakapan untuk menciptakan suatu perikatan, harus dituangkan secara terperinci mengenai jati diri para pihak. Pasal 1330 KUH Perdata, menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk menciptakan suatu perjanjian ialah :
  • Orang-orang yang belum dewasa, belum berusia 21 tahun dan belum menikah
  • Berusia 21 tahun tetapi di bawah pengampuan menyerupai gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros dan;
  • Orang yang tidak berwenang.

Sebetulnya ada satu lagi yang dianggap oleh KUH Perdata tidak cakap aturan yaitu perempuan, akan tetapi dikala ini undang-undang sudah tetapkan lain yaitu persamaan kedudukan wanita dan laki-laki.


3. Hal tertentu

Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus terperinci dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut sanggup berupa barang maupun jasa, namun sanggup juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam kontrak disebut prestasi yang sanggup berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.

Untuk menentukan wacana hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak menyerupai “berjanji untuk tidak saling menciptakan pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga”.


4. Sebab yang halal

Istilah kata halal yang dimaksud di sini bukanlah lawan kata haram dalam aturan Islam, tetapi yang dimaksud lantaran yang halal ialah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Isi perjanjian harus memuat/causa yang diperbolehkan. Apa yang menjadi obyek atau isi dan tujuan prestasi yang melahirkan perjanjian harus tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.


D. Unsur-Unsur Kontrak

1. Unsur Esensiali

Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak lantaran tanpa adanya kesepakatan wacana unsur esensiali ini maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi aturan lantaran tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.


2. Unsur Naturalia

Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, bila dalam kontrak tidak diperjanjikan wacana cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi.


3. Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada satu mengikat para pihak bila para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli sanggup ditarik kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan. Demikian pula oleh klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsure esensial dalam kontrak tersebut.


D. Akibat Suatu Kontrak 

Akibat aturan suatu kontrak intinya lahir dari adanya hubungan aturan dari suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan salah satu bentuk daripada akhir aturan suatu kontrak. Kemudian, hak dan kewajiban ini tidak lain ialah hubungan timbal balik dari para pihak, maksudnya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak kedua merupakan hak bagi pihak pertama.Dengan demikian, akhir hokum di sini tidak lain ialah pelaksanaan dari pada suatu kontrak itu sendiri.

Menurut pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang berdasarkan sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. 16


E. Berakhirnya Suatu Kontrak 

Berakhirnya perikatan diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata. Yang diartikan dengan berakhirnya perikatan ialah selesainya atau hapusnya sebuah perikatan yang diadakan oleh dua pihak yaitu kreditor dan debitor wacana sesuatu hal. Pihak kreditor ialah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan debitor ialah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Bisa berarti segala perbuatan aturan yang dilakukan oleh kedua pihak, sanggup jual beli, utang piutang, sewa menyewa, dan lain-lain.
Disebutkan dalam KUH Perdata wacana berakhirnya perikatan diantaranya yaitu :
  • Karena Pembayaran
  • Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
  • Karena pembaharuan utang (Novasi)
  • Karena perjumpaan utang atau kompensasi
  • Karena percampuran utang (Konfusio)
  • Karena pembebasan utang
  • Karena musnahnya barang yang terutang
  • Karena batal atau pembatalan
  • Karena berlakunya suatu syarat batal
  • Karena lewatnya waktu (Kedaluwarsa)

Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Unsur-Unsur Perjanjian Kontrak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel