iklan banner

Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban Pidana (Perspektif Islam dan  Positif)


Badness to soul is one of very dangerous badness form and have big effect of impact in society. Murder deed and not pursuant to rights badness which is cruel very, do not true by religion teaching, nor accepted by order institute any and also not let by all just association and society where recognize this matter, because murder considered to be hijack form to soul killed outside truth. 

This matter start from fact that in positive criminal law Murder Indonesia intend into two mendasar form that is murder intend murder and habit intend planned. From among between both bringing different legal consequences also. While in criminal law murder Islam intend murder and habit intend planned not dissociated, but equalized his law in a state of the. Act criminal murder interpreted as deed eliminate somebody soul or because deed hence cause loss of human being because deed human being the other. 

Murderer formulated designedly is visible from intention existence or intend perpetrator to eliminate victim, and also see appliance used in that murder to become guide in proving intention mentioned in difficult something that matter proved because occult, eliminated is this others soul is formulation by material, that is resulted something certain without mentioning to exist deed from doing an injustice. To prove this intentional element existence can be seen from way of conducting that is murder which intend which featly hostility want death, by using appliance used in murder intend appliance which generally result death.

Kejahatan yang semakin meningkat dan sering terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang sangat diperhatikan, sehingga mengundang pemerintah (negara) sebagai pelayan, pelindung masyarakat untuk menanggulangi meluasnya dan bertambahnya kejahatan yang melanggar nilai-nilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku didalam suatu masyarakat sehingga kejahatan tersebut oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana untuk tindak pidana. 

pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umunya dan korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut sanggup dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan). Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana, hukuman pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana suatu saat merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu adat merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia.

Dalam aturan pidana Islam ada dikenal dengan nama Jarimah. Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu yaitu larangan-larangan Syara’ yang diancam oleh Allah dengan aturan Had(hukuman yang sudah ada nashnya) atau Ta’zir (hukuman yang tidak ada nashnya).

Pertanggung jawaban pidana dalam istilah abnormal tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk memilih apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. 

Untuk sanggup dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan aturan serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan aturan untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang bisa bertanggung jawab yang sanggup dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jikalau tidak ada kesalahan ialah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh alasannya ialah itu dalam hal dipidananya seseorang yang melaksanakan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melaksanakan perbuatan ini beliau memiliki kesalahan.

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan berdasarkan aturan pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu : 

1. Kemampuan bertanggung jawab atau sanggup dipertanggung jawabkan dari si pembuat. 

2. Adanya perbuatan melawan aturan yaitu suatu perilaku psikis si pelaku yang berafiliasi dengan kelakuannya yaitu : Disengaja dan Sikap kurang hati-hati atau lalai 

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, ialah merupakan faktor nalar (intelektual factor) yaitu sanggup membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan untuk memilih kehendaknya berdasarkan keinsyafan wacana baik buruknya perbuatan tersebut ialah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu sanggup menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak bisa memilih kehendaknya berdasarkan keinsyafan wacana baik buruknya perbuatan, beliau tidak memiliki kesalahan kalau melaksanakan tindak pidana, orang demikian itu tidak sanggup dipertanggung jawabkan. 

Oleh lantaran kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk menerangkan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap belakang layar selalu ada lantaran pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan bisa bertanggung jawab, kecuali kalau ada gejala yang memperlihatkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan investigasi yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika balasannya masih mencurigai hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak sanggup dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jikalau tidak ada kesalahan.

Dalam kitab undang-undang hukum pidana problem kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melaksanakan perbuatan yang tidak sanggup dipertanggung jawabkan kepadanya lantaran jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu lantaran cacat, tidak dipidana.”

Kalau tidak dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, contohnya jiwanya tidak normal dikarenakan beliau masih muda, maka pasal tersebut tidak sanggup dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut : 

1. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang tepat akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada semenjak kelahiran atau lantaran suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus. 

2. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melaksanakan perbuatan pidana, oleh alasannya ialah itu suatu gangguan jiwa yang timbul setelah insiden tersebut, dengan sendirinya tidak sanggup menjadi alasannya ialah terdakwa tidak sanggup dikenai hukuman. 

Untuk memilih adanya pertanggung jawaban, seseorang pembuat dalam melaksanakan suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan aturan apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya sanggup berupa “kesengajaan” (opzet) atau lantaran “kelalaian” (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak pidana memiliki unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak lantaran biasanya, yang melaksanakan sesuatu dengan sengaja.

Dalam teori aturan pidana Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu : 

Kesengajaan yang bersifat tujuan 

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku sanggup dipertanggung jawabkan dan gampang sanggup dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan menyerupai ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan eksekusi pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu jawaban yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman eksekusi ini. 

Kesengajaan secara keinsyafan kepastian 

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai jawaban yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa jawaban itu niscaya akan mengikuti perbuatan itu. 

Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi jawaban yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan jawaban itu. 

Selanjutnya mengenai kealpaan lantaran merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan sanggup dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, menyerupai yang tercantum dalam Pasal 359 kitab undang-undang hukum pidana yang menyatakan sebagai berikut : “Barangsiapa lantaran kealpaannya mengakibatkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling usang lima tahun atau kurangan paling usang satu tahun.”

Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu : 
  • Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum 
  • Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum

Dari ketentuan diatas, sanggup diikuti dua jalan, yaitu pertama memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-duga berdasarkan semestinya. Yang kedua memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna memilih adanya kealpaan. Siapa saja yang melaksanakan perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang semestinya, ia juga tidak mengadakan menduga-duga akan terjadi jawaban dari kelakuannya. Selanjutnya ada kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan demikian tidak mengadakan penduga-duga yang perlu berdasarkan aturan terdiri atas dua kemungkinan yaitu: 

1. Terdakwa tidak memiliki pikiran bahwa jawaban yang tidak boleh mungkin timbul lantaran perbuatannya. 

2. Terdakwa berpikir bahwa jawaban tidak akan terjadi ternyata tidak benar. 

Kemudian syarat yang ketiga dari pertanggung jawaban pidana yaitu tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat. Dalam problem dasar abolisi pidana, ada pembagian antara “dasar pembenar” (permisibilry) dan “dasar pemaaf” (ilegal execuse). Dengan adanya salah satu dasar abolisi pidana berupa dasar pembenar maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/boleh, pembuatanya tidak sanggup disebut sebagai pelaku tindak pidana. Namun jikalau yang ada ialah dasar penghapus berupa dasar pemaaf maka suatu tindakan tetap melawan hukum, namun si pembuat dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana.

Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP, selain itu ada pula dasar penghapus diluar kitab undang-undang hukum pidana yaitu : Hak mendidik orang renta wali terhadap anaknya/guru terhadap muridnya dan Hak jabatan atau pekerjaan.

Yang termasuk dasar Pembenar Bela paksa Pasal 49 ayat 1 KUHP, keadaan darurat, pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, pemerintah jabatan-jabatan Pasal 51 ayat 1 Dalam dasar pemaaf atau fait d’excuse ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan aturan dari suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak sanggup dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit dalam daya berpikir, daya paksa (overmacht), bela paksa, lampau batas (noodweerexes), perintah jabatan yang tidak sah.

Perspektif Islam

Dalam aturan Islam alasan pembenar itu ada dalam hal-hal sebagai berikut: 
1. Bela diri (legal defence) 
2. Penggunaan hak 
3. Menjalankan wewenang atau kewajiban 
4. Dalam olahraga 

Dalam alasan pemaaf ada dalam hal-hal sebagai berikut : 
  • Kanak-kanak 
  • Orang gila 
  • Mabuk 

4. Daya paksa dan keadaan darurat. 

Sebagaimana sanggup kita lihat dalam firman Allah SWT dalam Surat an -Nahl ayat 106 yang artinya: 

“Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah beliau beriman (dia menerima kemurkaan Allah), kecuali orang yang tidak dipaksa kafir padahal hatinya tetap damai dalam beriman (dia tidak bosan) akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemukaran Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”

Dan Hadits Rasullah SAW yang berbunyi: “Rasulullah bersabda: Allah memaafkan umatku yang berbuat lantaran kesalahan, lupa, dan yang dipaksa (terpaksa.)”

Dalam aturan Islam dalam segi pertanggung jawaban pidana, relasi eksekusi dan pertanggung jawaban pidana, ditentukan oleh sifat keseorangan eksekusi dan ini merupakan salah satu prinsip dalam memilih pertanggung jawaban pidana.

Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 164 yang artinya: “Dan sebetulnya tiap-tiap diri yang mengusahakan (kejahatan) maka kejahatan itu untuk (kerugian) dirinya sendiri, dan tiadalah seseorang akan memikul dosa orang lain.”

Ayat diatas memperlihatkan petunjuk bahwa seseorang tidak bertanggung jawab kecuali terhadap jarimah yang telah dilakukannya sendiri, dan bagaimanapun juga seseorang tidak bertanggung jawab atas jarimah orang lain walaupun dekatnya tali kekeluargaan atau tali persahabatan diantara keduanya. Pengertian pertanggung jawaban dalam syariat Islam ialah pembebanan seseorang dengan hasil atau jawaban perbuatan (tidak berbuat) yang dikerjakan dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud atau jawaban dari perbuatan itu. Yang menjadi faktor yang mengakibatkan adanya pertanggung jawaban pidana dalam syarit Islam yaitu perbuatan maksiat yakni perbuatan melawan aturan berupa mengerjakan perbuatan (larangan) yang dianggap oleh syariat atau perilaku tidak berbuat yang diharuskan oleh syariat, disamping perbuatan melawan aturan yang menjadi alasannya ialah adanya pertanggung jawaban pidana namun diharapkan dua syarat bahu-membahu yaitu “mengetahui” (idrak) dan “pilihan” (ikhtiar).

Dengan pengertian diatas, maka pertanggung jawaban pidana ditegakkan atas dasar: 
1. Adanya perbuatan yang dilarang. 
2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri 
3. Pembuatanya mengetahui terhadap jawaban perbuatan tersebut

Dari tiga unsur tersebut, maka kita sanggup mengetahui bahwa yang bisa dibebani pertanggung jawaban pidana hanyalah manusia, yakni insan yang bakir pikiran, sampaumur dan berkemauan sendiri. Kalau tidak demikian maka tidak ada pertanggung jawaban pidana atasnya, lantaran orang yang tidak bakir pikiran bukanlah orang yang mengetahui dan bukan pula orang yang memiliki pilihan. Oleh lantaran itu tidak ada pertanggung jawaban bagi anak kecil, orang gila, orang dungu orang hilang kemauannya, dan orang-orang yang dipaksa atau terpaksa. 

Dalam memilih pertanggung jawaban pidana, syariat Islam tidak melihat kepada perbuatan pidana semata-mata, melainkan juga pada niatan pembuat. Ini lantaran niatan seseorang sangat penting artinya dalam memilih adanya perbuatan melawan hukum. Pertanggung jawaban pidana sanggup hapus lantaran hal-hal yang berafiliasi dengan keadaan diri pembuat sendiri atau lantaran hal-hal yang berafiliasi dengan keadaan diri pembuat. Dalam keadaan pertama perbuatan yang dikerjakan ialah yang hukumnya mubah (tidak dilarang), dan dalam keadaan yang kedua perbuatan yang dikerjakan tidak boleh tetapi tidak sanggup dijatuhi eksekusi menyerupai :

1. Pembelaan yang sah yang terdiri dari : 
  • Pembelaan khusus (daf us-sha’il)  
  • Pembelaan umum (amar-ma’ruf-nahi-munkar) 
  • Pengajaran (ta’dib) 
  • Pengobatan 
  • Hapusnya jalan kesemalatan 
  • Hak-hak dan kewajiban penguasa

Sumber http://jubahhukum.blogspot.com

0 Response to "Pertanggungjawaban Pidana"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel