iklan banner

Makalah Skb 3 Menteri Tahun 1975 Ihwal Peningkatan Mutu Madrasah Dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Islam Indonesia

A.  Pendahuluan
Secara konstitusional ditetapkan bahwa negara Indonesia menurut pada agama, artinya, bahwa negara Indonesia melindungi dan menghargai kehidupan beragama dari seluruh warga negara Indoesia. Berdasarkan tinjauan sosial kultural, memang terlihat bahwa bangsa Indonesia yakni bangsa yang beragama yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama sehingga kehidupan beragama tidak  sanggup dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia.[1]
Sebagai negara yang menurut agama, pendidikan agama tidak sanggup diabaikan dalam penyelenggaraaan pendidikan nasional. Umat beragama beserta lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia merupakan potensi besar dan sebagai modal dasar dalam pembangunan mental spiritual bangsa dan merupakan potensi nasional untuk pembangunan fisik materil bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan insan seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh alasannya itu, agama tidak sanggup dipisahkan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia.[2]
Pada awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualisme, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum bercorak sekuler, tak mengenal pedoman agama, yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri. Kedua sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain.
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) mengusulkan “hendaknya diadakan satu macam sekolah untuk segala lapisan masyarakat atau mengintegrasikan kedua sistem pendidikan warisan budaya bangsa tersebut”, yaitu pemberian pengajaran agama secara teratur dan secama di sekolah-sekolah yang bersifat sekuler dan netral terhadap agama serta bercorak kolonial. Sehingga menjadi sekolah-sekolah yang bersendi agama dan kebudayaan bangsa, sebagaimana dikehendaki oleh pendiri bangsa dan negara ini. Sedangkan pemberian tuntunan dan tunjangan kepada madrasah dan pesantren-pesantren dimaksudkan supaya forum pendidikan Islam bisa meningkatkan perjuangan dan kiprah sertanya sebagai alat pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa serta bisa berkembang dan mengadakan pembaharuan secara terintegrasi dalam satu pendidikan nasional.[3]
Meskipun demikian, pendidikan agama tetap mendapat porsi kedua sesudah pendidikan umum di Innonesia. Pada awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualisme, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum bercorak sekuler, tak mengenal pedoman agama, yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri. Kedua sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain.
Menghadapi “jurang pemisah” yang ada, maka pemerintah dari tahun ke tahun semenjak awal kemerdekaan telah berupakan mengarahkan penyatuan pendidikan umum (sekolah) dan pendidikan agama (madrasah, misalnya) ini dalam peraturan perundang-undangan ataupun peraturan pemerintah, termasuk di dalamnya SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri dalam negerti tahun 1975 yang merupakan “peletakan batu” terpenting bagi perkembangan pendidikan agama (madrasah) di Indonesia. Makalah ini berusaha menyajikan sebentuk citra mengenai SKB 3 Menteri dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Islam Indonesia.

B.  Pembahasan

1.   Faktor Sosial Politik Lahirnya SKB 3 Menteri wacana Peningkatan Mutu Madrasah
Departemen Agama, dalam rangka melaksanakan kegiatan pengembangan madrasah sebagai pelaksanaan kewajiban belajar, memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada beberapa tempat pada 1958. Madrasah Wajib Belajar dimaksudkan sebagai perjuangan awal untuk memperlihatkan tunjangan dan pelatihan madrasah dalam rangka penyeragaman bahan kurikulum dan sistem  penyelenggaraannya.[4] Meskipun demikian, upaya ini masih kurang alasannya di dalamnya belum dibicarakan mengenai penyatuan pendidikan umum dan pendidikan agama.
Pengorganisasi dan struktur kurikulum dan sistem penyelengaraan Madrasah Wajib Belajar diatur sebagai berikut:
a.   Madrasah Wajib Belajar yakni tanggung jawab pemerintah baik mengenai guru-guru, alat-alat, maupun buku-buku pelajarannya, apabila madrasah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk menjadikan Madrasah Wajib Belajar.
b.   Murid-murid yang berguru di Madrasah Wajib Belajar berumur 6-14 tahun. Adapun tujuan Madrasah Wajib Belajar yakni untuk mempersiapkan mutu murid untuk berdikari dan mencari nafkah, terutama dalam lapangan ekonomi, industrilisasi dan transmigrasi.
c.   Lama berguru pada Madrasah Wajib Belajar yakni 8 tahun.
d.   Pelajaran yang diberikan pada Madrasah Wajib Belajar terdiri dari kelompok studi pelajaran agama, pengetahuan umum, dan keterampilan dan kerajinan tangan.
e.   Komposisi jam pelajaran yakni 25% pelajaran agama, sedangkan75% untuk pengetahuan umum dan keterampilan/ kerajinan tangan.[5]
Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah mendirikan madrasah-madrasah negeri secara lengkap dan terperinci, baik dalam penjenjangan maupun bahan kurikulum, dan sistem  penyelenggarannya. Ketentuan bahan kurikulum yakni 30% untuk pelajaran agama, dan 70% untuk bahan pengetahuan umum. Tujuan pendidikan madrasah-madrasah negeri yakni untuk menjadi model dan standar dalam rangka memperlihatkan ketentuan secara lebih konkrit bagi penyelenggara madrasah. Pihak-pihak penyelenggara madrasah dibutuhkan sanggup mencontoh dan mempedomani ketentuan-ketentuan penyelenggaraan madrasah dan dengan demikian dibutuhkan akan tercapai keseragaman mutu kualitas madrasah.[6]
Pada tanggal 18 April tahun 1972, presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 wacana Tanggung-Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Dua tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasinya.  Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam, termasuk madrasah, keputusan ini menyebabkan masalah. Padahal dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah yakni forum pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Kebijakan Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam korelasi madrasah dengan pendidikan nasional. Ketegangan ini masuk akal saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama, semenjak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954, kasus madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama sekali, yang ada hanya kasus pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam pun “curiga” bahwa mulai muncul perilaku diskriminatif pemerintah terhadap madrasah.[7]
Munculnya reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru, kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melaksanakan pelatihan mutu pendidikan madrasah. Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. Tentara Nasional Indonesia Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. Tentara Nasional Indonesia Purn. Amir Machmud). [8]
Pendidikan agama menunjuk pada sistem pendidikan yang apresiasinya terhadap sains sangat lemah. Dalam pengertian yang agak sama dengan pendidikan. Zianuddin Sardar memakai istilah pendidikan tradisional. Menurut Sardar di samping metodenya yang kuno, cirinya yang sangat besar lengan berkuasa terletak pada muatan silabusnya yang pada umumnya tidak meliputi pelajaran-pelajaran ibarat sains. pendidikan umum sebagai pendidikan modern yang perkiraan dasar serta filsafat pendidikannya ditranfer dari Barat.[9]
Pendidikan umum bisa diidentifikasikan sebagai suatu sistem yang menunjuk pada kegiatan atau forum pendidikan yang secara khusus atau titik tekan silabusnya mengajarkan ilmu-ilmu sains. Perlu dicatat, bahwa sains yang diajarkan sepenuhnya bersumber dari Barat yang sudah mengalami proses sekulerisasi. Jika dipertegas, maka defenisi di atas menunjuk pada model pendidikan yang disini dikenal dengan istilah (dasar hingga menengah) dan perguruan tinggi umum untuk tingkat universitas.
Pendidikan agama titik beratnya pada pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan tujuan pendidikan agama yakni pada pengembangan rohani yang dibutuhkan sanggup melahirkan penerima didik yang religius, atau dalam term Islam lebih dikenal dengan istilah muttaqien (orang yang bertakwa kepada Allah SWT). Persolannya, mungkin akan sulit ketika ketika dihadapkan pada pertanyaan, ketakwaan yang bagaimana bekerjsama yang ingin dituju oleh pendidikan agama.[10]
Muamalah (ibadah dalam arti luas) yang meliputi penguasaan disiplin ilmu (sains) dan keterampilan kurang terakomodasi dalam tujuan pendidikan agama. Melihat konsepsi insan dalam perspektif Islam yang memandang insan terdiri dari dua dimensi (dimensi jasmani dan rohani) maka pendidikan agama telah mereduksinya pada dimensi rohaniah semata.
Pada tataran inipun penyatuan pendidikan agama belum mendapat perhatian dari pemerintah ke dalam pendidikan umum. Dengan kondisi ini, maka pada tahun 1975, menjadi momen terpenting mengenai eksistensi madrasah dengan lahirnya SKB 3 Menteri.
Sebelum lahirnya SKB 3 Menteri, bekerjsama umat Islam di Indonesia belum mempunyai landasan aturan yang besar lengan berkuasa untuk menjamin eksistensi madrasah-madrasah. Landasan perundangan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonsia yakni UU Pendidikan Nomor 4 tahun 1950. jo. Nomor 12 tahun 1954 yang telah diganti dengan UU Nomor 2 tahun 1989 wacana sistem  Pendidikan nasional. Dalam pasal 13 dinyatakan bahwa atas dasar kebebasan tiap-tiap warga negara menganut sesuatu agama atau keyakinan hidup, maka kesempurnaan leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggaran sekolah-sekolah partikelir (ayat 1). Peraturan-peraturan yang khusus wacana sekolah-sekolah partikelir ditetapkan dalm undang-undang (ayat 2).
UU yang mengatur wacana sekolah-sekolah atau perguruan tinggi agama hingga ketika ini belum pernah muncul, meskipun RUU wacana hal tersebut pernah diajukan sebelum tahun 1960 dan tahun 1976. Telah pula dipesiapkan oleh Departemen Agama untuk diajukan kemballi ke DPR.
Dengan demikian semenjak tahun 1950 hingga tahun 1989 dasar juridis tempat berpijaknya peguruan agama/madrasah belum begitu besar lengan berkuasa alasannya pengelolaan hanya menurut peraturan-peraturan oleh Menteri Agama. Baru semenjak tanggal 24 Maret 1975. Madarasah memperoleh dasar yuridis yang agak mantap yaitu dengan lahirnya Keputusan Bersama Tiga Menteri cq. Menteri gama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1975, Nomor 037/U/1975 dan Nomor 36 tahun 1975. Setelah lahirnya UU Nomor 2/1989 kedudukan forum pendidikan agama diperkokoh.
Pada tahun 1975, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kubudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama wacana peningkatan Mutu pendidikan pada madrasah. Melalui SKB ini, madrasah dibutuhkan memperoleh posisi yang sama dengan sekolah-sekolah umum dalam sistem  pendidikan nasional sehingga lulusan dari madrasah sanggup melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi alasannya tingkat mata pelajaran umum di madrasah sama mutunya dengan pelajaran uum d sekoah umum yang setingkat. Dalam SKB juga dirumuskan mengenai  batasan dan penjenjangan madrasah. madasah di sini dimaksudkan sebagai forum pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum. Adapun penjenjangan madrasah meliputi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.[11]
Untuk merealisir SKB tersebut, Departemen Agama melalui penertiban, penyeragaman, dan penyamanan penjenjangan pada madrasah-madrasah dengan langkah-langkah menciutkan jumlah PGAN dan mengubah status sebagian besar PGAN tersebut menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah Negeri dan mengubah status Sekolah Persiapan IAIN, menjadi MAN serta Pga-PGA yang diselenggarakan oleh pihak swasta juga harus dirubah statusnya menjadi MTs atau MA.[12]
Dalam konteks di atas, sejumlah diktum yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi dengan merinci bagian-bagian yang menunjukan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Dalam belahan I, pasal 1, ayat (2) contohnya dinyatakan:
a.   Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah dasar.
b.   Madraah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama.
c.   Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas.
Selanjutnya dalam belahan II pasal 2 disebutkan bahwa:
a.   Ijazah Madrasah sanggup mempunyai nilai yang sama dengan ijazah Sekolah Umum yang setingkat.
b.   Lulusan madrasah sanggup melanjutkan ke Sekolah Umum setingkat lebih atas.
c.   Siswa Madrasah sanggup berpindah ke Sekolah Umum yang setingkat.
d.   Mengenai penglolaan dan pelatihan dinyatakan dalam Bab IV pasal 4 sebagai berikut:
e.   Pengelolaan Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama
f.    Pembinan mata pelajaran Agama pada Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
g.   Pembinaan dan pengawasan mutu mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri.[13]
Upaya untuk mengatasi ketimpangan antara pendidikan agama dan pendidikan umum terus diupayakan. Untuk menyamakan antara sekolah agama dan sekolah umum di antaranya mengubah kurikulum di sekolah agama. Surat Keputusan Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Meteri Dalam Negeri pada tahun 1975 wacana peningkatan mutu pendidikan pada madrasah yang memutuskan :
a.   Ijazah madrasah sanggup mempunyai nilai sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat.
b.   Lulusan madrasah sanggup melanjutkan ke sekolah  umum setingkat lebih atas
c.  Lulusan madrasah sanggup dipindah ke sekolah-sekolah umum yang setingkat dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi.[14]
Surat keputusan bersama tersebut merupakan upaya pencapaian awal intergasi antara pendidikan agama dan pendidikan umum ke dalam sistem pendidikan nasional. Dengan demikian berarti bahwa pendidikan Islam tidak sanggup dipisahkan  dengan pendidikan nasional. Pendidikan Islam telah menjadi belahan integral yang tidak terpisah dari pendidikan nasional.

2.   Pengaruh Kebijkan Pemerintah Melalui SKB 3 Menteri terhadap Eksistensi Madrasah
Madrasah pada permulaan perkembangannya merupakan forum pendidikan yang mandiri, tanpa bimbingan dan tunjangan pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah memperlihatkan perhatian kepada madrasah dan ditetapkan sebagi model dan sumber pendidikan nasional yang menurut Undang-Undang Dasar 1945.[15]
Kehadiran madrasah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam, atau dengan kata lain madrasah merupakan perpaduan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan kolonial.[16]
Dengan SKB tiga menteri, Depertemen melaksanakan usaha  pemantapan struktur madrasah secara lebih meyeluruh. Sejumlah keputusan dikeluarkan untuk mengatur organsasi dan tata kerja madrasah pada semua tingkatan. Depertemen Agama juga mengeluarkan peraturan wacana persamaan ijazah madrasah swasta dengan madrasah negeri. Dalam hal kurikulum dilakukan penyusunan ulang dengan menyempunakan komposisi jasus pelajaran umum. Sejalan dengan SKB 3 Menteri itu, kurikulum memuat jasus pelajaran umum dalam jumlah yang sama dengan kurikulum sekolah pada tiap-tiap jenjengnya. Madrasah dengan demikian sanggup dikatakan sebagai sekolah plus pendidikan agama.[17]
Penyempurnaan kurikulum madrasah merupakan langkah yang dianggap paling esensial dalam merelialisasikan SKB tiga menteri. Persamaan status madrasah dengan sekolah tidak hanya tampak dalam struktur kelembagaan, tetapi dalam struktur  mata pelajaran yang mengakomodasikan secara penuh kurikulum sekolah.[18]
Implikasi SKB 3 Menteri 1975 ini bagi madrasah antara lain:
a.   Aspek Lembaga. Madrasah yang dianggap sebagai forum pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat ratifikasi yang lebih mantap bahwa madrasah yakni belahan dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Dan secara tidak pribadi hal ini memperkuat dan memperkokoh posisi Departemen Agama dalam struktur pemerintahan, dikarenakan telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah.
b.  Aspek Kurikulum, alasannya diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efeknya yakni bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah harus menjaga supaya mutu pendidikan agamanya tetap baik.
c.   Aspek Siswa. Dalam SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa: 1) ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, 2)   siswa madrasah sanggup berpindah ke sekolah umum yang setingkat, dan 3)    lulusan madrasah sanggup melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas.
d.  Aspek Masyarakat. SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah usang dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini alasannya madrasah yakni wujud riel dari partisipasi masyarakat (communnity participation) yang peduli pada nasib pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini terbukti terang dengan prosentase madrasah yang berstatus swasta jauh lebih banyak (91%) dibandingkan dengan yang berstatus negeri (9%). Trend pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah supaya bisa terlepas dari banyak sekali ketergantungan. Dengan kembali pada khiththah madrasah sebagai forum pendidikan berbasis masyarakat (community based education), maka madrasah hanya tinggal maju satu tahap ke depan yakni memberdayakan partisipasi masyarakat supaya lebih efektif dan efisien. Untuk menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan target garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.[19]
SKB 3 Menteri juga memberi implikasi bagi pendidikan umum yaitu:
a.   Pendidikan umum bukan satu-satunya pendidikan unggulan yang mesti menjadi prioritas utama pemerintah, dengan meninggalkan pendidikan agama.
b.   Memberi banyak pilihan bagi setiap warga negara Indonesia terhadap forum pendidikan yang ada, alasannya pendidikan tidak dimonopoli satu bentuk pendidikan saja.
Adanya upaya untuk menyetarakan pendidikan madrasah dengan sekolah-sekolah negeri, maka kurikulum madrasah diarahkan kepada kurikulum nasional yang diselengarakan untuk sekolah-sekolah pemerintah. Dengan kata lain, terjadi arus sentralisi kurikulum. Mudah pendidikan di madrasah tentunya mempunyai nilai-nilai yang positif.[20] Dengan demikian, perkembangan madrasah mempunyai landasan yuridis formal dimana:
a.   Sebagai menifestasi realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.
b.  Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum.
c.   Adanya perilaku mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka.
d.  Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan trasional yang dilaksanakan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil kulturasi.[21]
Komponen-komponen kurikulum madrasah yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut:
a. Komponen akademik. Di dalam komponen tersebut yang ditekankan ialah penguasan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bahasa Inggris sebagai bahasa dunia. Penguasaan terhadap komponen-komponen ini memang dirasakan yang tertinggal dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum. Di dalam hal ini perlu disusun suatu rencana yang konkrit bagaimana meningkatkan kondisi yang ada serta mempersiapkan perbaikan yang berkesinambungan. Di dalam kaitan tersebut, unsur yang paling penting ialah mutu guru untuk bidang-bidang tersebut. Di dalam pelaksanaan otonomi daerah, tenaga-tenaga pendidik tersebut diadakan pada tingkat tempat dengan kolaborasi forum pendidikan tinggi yang berada dalam tempat serta lembaga-lembaga peningkatan kemampuan profesi guru yang ada di daerah.
b. Kebutuhan masyarakat. Madrasah yang lahir dari dan untuk masyarakat harus tetap memperhatikan kebutuhan yang kasatmata dari masyarakat sebagai pemilik forum pendidikan tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut yakni kebutuhan masyarakat lokal, nasional, regional, dan global. 
c.  Mempertahankan ciri khas madrasah. Komponen inilah yang merupakan komponen yang sangat penting yang harus diperhatikan. Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekedar penyajian mata pelajaran agama. Komponen-komponen kurikulum madrasah tentunya berkaitan dengan peninjauan kembali kurikulum nasional yang telah harus direvisi dan menampung kebutuhan masyarakat sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Kurikulum nasional yang dirasakan sangat kaku perlu direformasi dan hanya merupakan petunjuk-petunjuk umum yang tidak mengikat alasannya perlu diubahsuaikan dengan kebutuhan lokal.
Pembidangan fungsional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah menurut SKB 3 Menteri tersebut dilakukan pembagian kiprah pelatihan sebagai berikut:
a.   Pengelolaan madrasah dilakukan Menteri Agama.
b.   Pembinaan pelajaran Agama dilakukan oleh Menteri Agama.
c.   Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahu-membahu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Adapun tunjangan pemerintah dalam rangka peningkatan mutu madrasah meliputi:
a.   Dalam bidang pengajaran umum dengan mengadakan buku-buku mata pelajaran pokok dan alat pendidikan lainnya.
b.   Dalam bidang sarana fisik dengan melaksanakan penataran dan perbantuan pengajar.
c.   Dalam bidang sarana fisik dengan pembangunan gedung sekolah. Sedangkan pelaksanaan pembantuan tersebut di atas diatur bahu-membahu oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri. Beban anggaran dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam SKB 3 menteri tersebut di atas, dibebankan kepada anggaran Departemen Agama, sedangkan yang berupa tunjangan dibebankan kepada anggaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Dalam Negeri.[22]
Sejumlah upaya di atas menunjukan bahwa pendidikan agama makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN pada tahun 1973-1978 selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua tingkat (jenjang) pendidikan.[23] Dalam GBHN itu dirumuskan sebagai berikut:
Bahwa bangsa dan pemerintah lndonesia bercita-cita menuju kepada apa yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan insan indonesia dan masyarakat indonesia seutuhnya. Hal ini bararti adanya keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani, antara bidang material dan spiritual, antara bekal keduniaan dan ingin bekerjasama dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan sesama insan dan dangan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan ibarat tersebut di atas menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama.[24]
Akhir dekade 1980-an dunia pendidikan Islam memasuki kala integarsi alasannya lahirnya UU Nomor 2/1989 wacana Sistem Pendidikan Nasional.[25] Implikasi dari UUSPN terhadap pendidikan madrasah sanggup diamati pada kurikulum dari semua jenjang madrasah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, hingga dengan Aliyah. Secara umum, penjenjangan itu pun paralel  dengan penjenjang pada pendidikan sekolah, mulai dari sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, hingga dengan sekolah menengah umum. Di bawah ketentuan yang terintegrasi itu, madrasah ibtidayah intinya yakni ’’sekolah dasar berciri khas Islam’’ madrasah Tsanawiyah yakni ‘’sekolah lanjutan tingkat pertama berciri khas Islam’’ kedua-duanya, MI dan MTs, termasuk dalam kategori pendidikan dasar. Sedangkan madrasah Aliyah intinya dikategorikan sebagai’’sekolah menengah umum bercri khas Islam.’’[26] Kenyataan di atas sanggup dilihat dengan adanya keputusan Menteri Agama RI nomor 372 tahun 1993 wacana kurikulum pendidikan dasar berciri khas agama Islam.[27]
Sedangkan kurikulum Madrasah Aliyah telah dikeluarkan Keputusan  Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 tahun 1993 wacana kurikulum Madrasah Aliyah. Dalam ketentuan ini, isi kurikulum terdiri dari dua kegiatan pengajaran khusus sebegaimana berlaku dalam sekolah menengah umum.[28]
Demikian pula dengan keluarnya Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) tahun 2003, menyebutkan bahwa pasal 17 ayat (2) menyebutkan pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan bentuk lain yang sederajat serta SMP (SMP) dan madrasah Tsanawiyah dan bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pasal 18 ayat (3) pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) dan bentuk lain yang sederajat.[29]
Posisi integrasi pendidikan nasional bagi pendidikan agama tercermin dalam beberapa aspek, yaitu:
a.   Merupakan aspek yang paling penting-pendidikan nasional menjadikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenis pendidikan.
b.   Dalam sistem pendidikan nasional, madrasah dengan sendirinya  dimasukkan ke dalam kategori pendidikan  jalur sekolah. Dengan kebijakan ini sanggup dikatakan bahwa madrasah pada hakekatnya yakni sekolah.
c.   Meskipun madrasah diberi status pendidikan sekolah, tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, madrasah mempunyai jurusan-jurusan khusus ilmu-ilmu syariah.[30]       
Memperhatikan perkembangan pendidikan Islam Indonesia cukup umur ini, maka SKB 3 Menteri sebagai tonggak penyatuan pendidikan agama dalam pendidikan nasional telah memperlihatkan imbas yang demikian besar terhadap kebijakan pemerintah mengenai pendidikan agama.
SKB 3 Menteri secara umum mempunyai imbas positif dan negarif bagi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
a.   Dampak Positif
1)   Lulusan/tamatan SD bisa meneruskan ke MTS dan lulusan/tamatan MI bisa meneruskan ke SMP.
2)   Lulusan/tamatan MTs bisa meneruskan ke SMA/SMK dan meneruskan sekolah SMP bisa bisa meneruskan ke MA.
3)   Tamatan MA bisa bisa meneruskan ke Universitas Umum dan tamatan SMA/SMK bisa bisa meneruskan ke IAIN/STAIN.
4)   Dari SD bisa pindah sekolah ke MI dan sebaliknya. Dari MTs bisa pindah sekolah ke SMP dan sebaliknya. Dari SMA/SMK bisa pindah sekolah ke MA dan bisa melamar ke Instansi Pemerintah baik DEPAG maupun Instansi Umum lainnya.
b.   Dampak Negatif
1)   Kurangnya motivasi dari Madrasah dan Pesantren mendalami pendidikan agama, alasannya biasanya sudah dipengaruhi oleh bidang studi yang di Ujian Nasional-kan.
2)   IAIN sudah sedikit waktu untuk mendapat input penguasaan kitab kuning.
3)   Belum semua Madrasah mempunyai gedung/lokal sendiri (masih menumpang) Belum semua Madrasah mempunyai guru bidang studi (umum).
4)   Guru madrasah masih sangat kurang dibandingkan sekolah umum (30% dari kebutuhan yang sebenarnya).
SKB 3 Menteri sudah mendatangkan kelegaan yang merata di kalangan madrasah, dan telah menjadikan kedudukan madrasah menjadi lebih mantap dan lebih terjamin. Tetapi hal demikian tidak berarti, bahwa pelaksanaan selanjutnya akan sanggup berjalan tanpa problema-problema yang beberapa di antaranya, hanya sanggup diatasi dengan kerja tekun serta senantiasa memelihara perilaku sabar dan bijaksana. Ada dua kasus penting, yaitu pertama, kurikulum dan peningkatan mutu serta kedua, menyediakan tenaga pengajar. Persoalan penyusunan kurikulum senantiasa harus memperhatikan kurikulum agama yang akan dipakai oleh madrasah-madrasah terutama madrasah swasta. Persoalan tenaga pengajar merupakan belahan yang paling menentukan, tetapi juga yang paling sulit mengatasinya dalam problem meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah. Terutama guru-guru banyak sekali mata pelajaran umum, yang melihat besarnya jumlah madrasah yang kurang memadai fasilitasnya. Tidak hanya itu, guru-guru mata pelajaran agama pun memerlukan penanganan yang serius dan bersifat kontinyu.[31] Dengan demikian, SKB Tiga Menteri tetap masih menyisakan permasalahan kompleks yang perlu diselesaikan di masa-masa yang akan datang.

C.  Kesimpulan
SKB 3 Menteri yang dikeluarkan pada tahun 1975 telah menjadi landasan yuridis formal bagi pendidikan agama di Indonesia dan pengaruhnya terhadap pendidikan Islam Indonesia telah melahirkan sejumlah perundang-undangan, kebijakan pemerintah, penyamarataan pendidikan umum dan pendidikan agama, sehingga masyarakat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya telah sanggup mengenyam pendidikan secara terpadu dalam satu sistem pendidikan yaitu sistem pendidikan nasional, dimana pendidikan Islam terintegrasi di dalamnya.

Oleh : Nurhasanah Seprianita



[1]Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 181.
[2]Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 181.
[3]Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 83
[4]Depag RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Binbaga, 1986), hal. 77.
[5]Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 195-196
[6]Depag RI, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, hal. 80-81.

[7]Bahrul Ulum Munir, ”SKB 3 Menteri Tahun 1975 Dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan Islam”, candysweet-aina.blogspot.com/search?q=skb-3-menteri-tahun-1975-dan, 25 Juni 2011, hal. 1.

[8]Bahrul Ulum Munir, ”SKB 3 Menteri Tahun 1975 Dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan Islam”, hal. 1.

[9]Zainuddin Sardar, Sains, Teknologi dan Pembagunan Dunia-Dunia Islam. (Bandung: Pustaka, 1989), hal. 212.
[10]Muslim Abdurrahman, Islam Alternatif. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hal. 204.
[11]Lihat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri Pasal Ayat (1) dan (2) dan Pasal 2.
[12]Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 199.
[13]A. Aziz Martunus, Laporan Lokakarya Pelaksanaan SKB  3 Menteri, (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, 1978/1979).
[14]Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 216.
[15]Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1991), hal. 123.
[16]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 66.
[17]Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 152.
[18]Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, hal. 152.

[19]Bahrul Ulum Munir, ”SKB 3 Menteri Tahun 1975 Dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan Islam”, hal. 2-4.

[20]Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1991), hal. 102
[21]Muhaimin A. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 305.
[22]M. Arfin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), hal. 232.
[23]Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 156.
[24]Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 156.
[25]Diknas, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1994).
[26]Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, hal. 155.
[27]Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, hal. 155.
[28]Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, hal. 158.
[29]Diknas, Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hh. 5-6.
[30]Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, hh. 159-160.

[31]Bahrul Ulum Munir, ”SKB 3 Menteri Tahun 1975 dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan Islam”, hal. 5.



Sumber http://pintubelajarcerdas.blogspot.com

0 Response to "Makalah Skb 3 Menteri Tahun 1975 Ihwal Peningkatan Mutu Madrasah Dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Islam Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel