Peninggalan Bercorak Islam Di Semarang
Warak Ngendog
Sumber : artenergic.blogspot.com |
Kata warak berasal dari bahasa arab “Wara’i” yang berarti suci dan ngendog yang artinya bertelur disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang sehabis sebelumnya menjalani proses suci. Secara harfiah, Warak Ngendog sanggup diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Bulan Ramadhan, kelak di selesai bulan akan mendapat pahala di Hari lebaran. Ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendog ini mengandung arti filosofis tersendiri. Bentuk lurus tersebut menggambarkan gambaran warga Semarang yang terbuka, lurus dan berbicara apa adanya. Tak ada perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan. Selain itu Warak Ngendog juga mewakili akulturasi budaya dari keragaman etnis yang ada di Kota Semarang. Pada setiap bulan puasa tiba Warak Ngendog gampang dijumpai dalam bentuk mainan khas Kota Semarang yang muncul sekali dan hanya hadir di perayaan tradisi Dugderan. Mainan ini berwujud makhluk rekaan yang merupakan adonan dari beberapa hewan yang merupakan simbol persatuan dari banyak sekali golongan etnis warga kota Semarang, yaitu Cina, Arab dan Jawa. Kepalanya mirip kepala naga (Cina), tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat kakinya mirip kaki kambing (Jawa).
Dugderan
Sumber: batiksemarang.com |
Munculnya tradisi “Dugderan” yang tetap dilestarikan sampai sekarang. Dimulai pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat pada tahun 1891 guna menandai dimulainya bulan suci Ramadhan, diselenggarakan upacara dengan membunyikan bunyi bedug (Dug-dug-dug) dan dentuman bunyi meriam (Der). Sehingga jadilah istilah Dug-der, dug-deran. Dalam keramaian tersebut dimeriahkan juga dengan mainan bawah umur yang disebut dengan “Warak Ngendog”. Maka tradisi ini tetap dilestarikan sampai kini dan menjadi ciri khas budaya Kota Semarang menjelang datangnya bulan puasa bagi umat Islam.
Nyadran
Sumber: catatanrafikaaditiya.wordpress.com |
Berasal dari kata sraddha, nyraddha, nyraddhan, jadinya luruh menjadi nyadran. Dari buku Kalangwan karya PJ Zoetmulder, pakar bahasa Jawa dan juga kebudayaan Jawa, upacara Sraddha di Jawa terlacak dilakukan semenjak zaman Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, sekitar tahun 1350 Masehi. Sraddha kala itu untuk memperingati wafatnya ratu Majapahit Tribhuwana Tungga Dewi. Seiring masuknya efek Islam ditandai runtuhnya dinasti Majapahit dan berganti Kerajaan Demak, ritual itu tetap ada. Namun, kini Nyadran tidak hanya untuk raja, tetapi untuk arwah leluhur masing-masing keluarga dengan napas islami.
Nyadran di Jawa juga ada sebutan lain, mulai dari ziarah kubur, besik, punggahan, dan ruwahan. Maknanya tetap sama, yakni mendoakan arwah leluhur. Menyambut datangnya bulan suci Ramadan, warga Semarang melaksanakan ritual Nyadran semenjak memasuki bulan Ruwah. Nyadran ialah ziarah kubur. Mereka mendoakan arwah leluhur. Pemakaman di Semarang setiap harinya didatangi banyak keluarga untuk mendoakan kerabat mereka yang telah meninggal dunia.
Acara Nyadran itu ada yang dilaksanakan secara pribadi, ada pula yang dilakukan secara serempak satu dusun. Ini mirip yang dilakukan warga Dusun Pucung, Kelurahan Pudak Payung, Semarang, Jumat (27/6) pagi. Ratusan orang tiba ke daerah Sendhang Gedhe—mata air di dusun itu—untuk berdoa bersama yang diakhiri pesta makan bersama. "Ini bentuk pelestarian budaya untuk mengirim doa kepada arwah leluhur. Di sisi lain, kami membersihkan mata air di sini sebagai wujud memelihara alam. Di sini ada harmoni kehidupan," kata Poerwa Kasmanto, Lurah Pudak Payung.
Sementara itu, sesepuh warga Atmorejo mengajak semua warga untuk selalu mengingat leluhur mereka. Warga di sana percaya bahwa cikal bakal desa itu ialah Kiai dan Nyai Tayem yang dimakamkan di pemakaman di erat sendang itu. Dari sisi antropologi, Kiai dan Nyai Tayem ialah sosok pahlawan kebudayaan (culture hero). Orang Jawa kemudian menyebutnya sebagai danyang. Sosok danyang itu dipercaya selalu mengikuti kehidupan perkembangan desa yang pernah dikembangkannya.
Masjid Kauman Semarang
Sumber : dailynewscj |
Masjid Kauman Semarang merupakan rangkaian dari sejarah perkembangan Islam di Semarang. Masjid ini di bangkit oleh Ki Ageng Pandanaran pada awal masa ke-16 yang dikala itu sedang hijrah di Semarang. Pembangunan Masjid Kauman dikala itu merupakan masjid yang paling besar di Semarang.
Masjid Kauman telah mengalami renovasi berkali-kali. Pemugaran pertama dilakukan oleh Kiai Adipati Suromenggolo III pada tahun 1759-1760 yang dikala itu menjabat sebagai Bupati Semarang. Pembangunan renovasi masjid ditandai dengan tiga buah inskripsi yang tertempel di gapura utama masjid yang bertuliskan abjad jawa, latin dan arab. Meskipun goresan pena tersebut telah lama dimakan waktu namun goresan pena tersebut masih sanggup dibaca dengan jelas. Ditahun 1867 di bawah kekuasaan RM Tumenggung Ario Purboningrat, kembali merenovasi masjid tersebut. Pada23 April 1889 masjid kembali dipugar. Arsitek berkebangsaan Belanda GA Gambier mendapat iman dalam membangun masjid tersebut dan renovasi masjid pada 23 November 1890.
0 Response to "Peninggalan Bercorak Islam Di Semarang"
Posting Komentar