iklan banner

✔ Sungguh Paradoksnya Pns

Oleh: Alimuddin Baharuddin (Kompasianer)

Sejak penyelenggaraan pemilihan kepala kawasan secara pribadi baik gubernur dan bupati/ walikota yang dipilih pribadi oleh rakyat, selalu menjadi ajang pertarungan oleh para calon pasangan beserta tim pemenangannya untuk meraup bunyi sebesar besarnya. Selain partai politik dan tim pemenangannya sebagai mesin pengumpul suara, maka banyak sekali simpul-simpul pun digerakkan demi meraih suara. Komunitas, kelompok bahkan organisasi massa dan keagamaan lainnya pun tidak segan-segan menawarkan pemberian untuk calon pasangan tertentu. Bahkan PNS dijadikan sebagai lumbung bunyi yang rill pada setiap perhelatan pemilukada. Sementara PNS sebagai aparatur negara yang idealnya tidak terlibat dukung mendukung pun harus terjebak oleh arus politik simpel demi suatu jabatan atau takut untuk ditempatkan pada posisi tanpa jabatan (non job), alasannya ialah kelak sang kepala daerah-lah yang menentukan jabatan-jabatan strategis pemerintahan daerah.

Merujuk hukum tehnis pada PP 53 tahun 2010 ihwal disiplin PNS pada pasal larangan salah satunya menyebutkan kalau setiap PNS tidak boleh menawarkan pemberian kepada calon Kepala daerah/Wakil kepala kawasan dengan cara terlibat kampanye, memakai kemudahan yang terkait dengan jabatan dalam acara kampanye, menciptakan keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan satu pasangan calon selama kampanye dan mengadakan acara yang mengarah pada keberpihakan terhadap pasangan calon. Tapi coba kita amati, setiap ada momentum pemilihan kepala daerah, selalu PNS-lah yang tampil sebagai salah satu mesin penggagas massa untuk menawarkan pemberian kepada calon pasangan tertentu, belum lagi kalau calon tersebut masih pada posisi incumbent maka dengan leluasa seorang kepala kawasan menggerakkan PNS atas nama kiprah kedinasan oleh atasan. Bahkan lebih menariknya kalau mendekati tahun pemilihan kepala kawasan tersebut, tak ayal lagi secara serta merta hembusan gerbong mutasi kepada para pejabat yang nota bene sebagai PNS yang tidak loyal dan tidak siap mendukung kepala kawasan incumbent akan dicopot atau bahkan dilepas jabatannya (non job) untuk menghilangkan pengaruhnya.

Aparatur Negara

Sebagai aparatur negara maka ada beberapa kewajiban PNS yang harus menempel pada dirinya, salah satunya sebagai aparatur yaitu menawarkan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Memberikan pelayanan inilah yang harus menjadi concern seorang PNS sesuai unit kerjanya masing-masing. Bukan mengurusi hal-hal yang bukan domainnya, salah satunya keterlibatan pada politik praktis.

Belum lagi salah satu penafsiran ihwal salah satu kewajiban PNS yaitu melaksanakan kiprah kedinasan yang dipercayakan kepadanya. Tugas ini juga yang terkadang salah ditafsirkan oleh PNS dan dimanfaatkan oleh para kepala daerah. Atas nama kiprah kedinasan tapi melaksanakan kerja-kerja yang sifatnya menjadi hal yang tidak boleh oleh aturan. Contohnya atas nama kiprah kedinasan melaksanakan acara yang sengaja di-design secara sistematis dengan acara yang menguntungkan salah satu calon pasangan pada pemilukada. Bahkan secara terang-terangan meminta kepada masyarakat untuk mendukung calon tertentu.

Politik Praktis

Sebagai bab dari masyarakat yang mempunyai hak politik untuk menentukan dan dipilih, tidak serta merta dibolehkan untuk menawarkan pemberian kepada pasangan calon tertentu pada pemilukada. Inilah kenyataan yang terjadi sekarang, suatu kondisi yang tidak jauh beda pada jaman orde baru. Jika pada orde gres PNS bahkan diwajibkan untuk menentukan dan memenangkan partai tertentu pada pemilu, sekarangpun sudah hampir menyerupai dengan jaman tersebut, bedanya hanya pada persolan dukungan. PNS bukan lagi diwajibkan kepada partai tertentu tetapi pemberian tersebut diwajibkan kepada calon pasangan tertentu pada hajatan pemilukada.

Inilah paradoksnya, bagai 2 sisi mata uang yang sangat sulit dipisahkan. Pertama harus menjalankan kiprah kedinasan dan setia kepada atasan tetapi satu sisi harus menghindari acara yang memberi pemberian atau terlibat pada acara kampanye. Idealnya seorang PNS harus menempatkan dirinya sebagai seorang aparatur negara dan pelayan masyarakat/public. Tidak usah melakoni peran-peran partai politik dan para politisi untuk tejerumus pada acara politik simpel menyerupai dukung-mendukung calon pasangan tertentu pada setiap momentum pemilukada. Pertanyaaan yang muncul kembali, apakah bisa seorang PNS murni hanya menjalankan fungsi-fungsi pelayannya, jikalau tidak terlibat politik simpel maka ketakutan untuk menduduki jabatan strategis pemerintahan sangat kecil peluangnya. Walaupun idealnya ada analisa ataupun pertimbangan yang dilakukan untuk mendudukkan seorang PNS pada jabatan pemerintahan tertentu.

Sahkan RUU ASN

Maraknya dukung-mendukung oleh para PNS di seluruh Indonesia pada setiap momentum pemilukada, menciptakan Pemerintah dan dewan perwakilan rakyat membahas Rancangan Undang-Undang ihwal Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). Menariknya, RUU ASN ini dalam masa uji publik muncul banyak sekali tanggapan, terutama oleh kalangan pemerintah daerah. Point-point penting yang menjadi perdebatan ialah hukum masa pensiun. Aturan yang berlaku ketika ini ialah usia pensiun PNS yang duduk di jabatan eselon I & II ialah 56 tahun kemudian sanggup diperpanjang lagi sampai 58 dan 60 tahun. Inilah juga yang menjadi kenyataan di daerah, banyak pejabat yang di perpanjang usia pensiunnya alasannya ialah mereka sebelumnya menawarkan pemberian politik pada ketika pemilukada, tapi bagi PNS yang walaupun mempunyai kompetensi tapi bukan bab pendukung pasangan calon pada ketika pilkada dan atau dianggap musuh, maka kesempatan untuk pengajuan perpanjangan akan niscaya akan ditolak.

Point inilah juga yang menjadi salah satu usulan dalam RUU ASN tersebut, seorang pejabat eselon I & II sudah pribadi diperpanjang usia pensiunnya tanpa pengajuan ke atasannya, alasannya ialah RUU ini sudah mangatur usia pensiun pejabat eselon I & II ialah 60 tahun. Butir lain juga yang diatur dalam RUU ASN ini hukum promosi jabatan. Jika yang terjadi selama ini ialah kecenderungan para kepala kawasan melaksanakan promosi jabatan menurut like or dislike, atau menurut keterlibatan seorang PNS pada pemilukada menjadi tim sukses. Yang juga semakin berkembang ialah model KKN gaya baru, seorang PNS dipromosikan jabatan kalau punya relasi keluarga dengan kepala daerah. Belum lagi isyu-isyu yang banyak beredar ihwal transaksi jual beli jabatan yang dilakukan oleh oknum tertentu demi menduduki jabatan yang sifatnya berair (banyak anggarannya).

Harapan kami selaku seorang PNS ialah kalau kelak RUU ini bisa disahkan menjadi UU maka upaya pendayagunaan aparatur Negara dan reformasi birokrasi bisa dilaksanakan sedikit demi sedikit. Utamanya upaya meminimalisir praktik-praktik yang sifatnya politik simpel dilakukan oleh para PNS pada setiap pemilukada. Dalam RUU ASN ini juga menyebutkan kalau ke depan dalam hal promosi jabatan akan dilakukan oleh sebuah forum khusus yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). KASN ini juga yang nantinya bertujuan untuk menjamin supaya PNS bebas dari campur tangan politik dan melaksanakan training pada jabatan-jabatan yang selama ini menjadi wewenang para kepala daerah. Kita hanya menunggu, semoga RUU ini secepatnya bisa disahkan menjadi UU.


*candysweet-aina.blogspot.com/search?q=02/paradoksnya-pns-573507

Sumber http://magister-pendidikan.blogspot.com

0 Response to "✔ Sungguh Paradoksnya Pns"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel