Peta Pergerakan Mahasiswa Islam

Membahas perihal Pemira BEM fakultas bahu-membahu soal sepele, tapi walau sepele hendaknya mahasiswa perlu diberikan peta biar terperinci mau ke mana, alasannya ialah kalau tidak tahu ya selamanya mahasiswa akan buta politik. Padahal hidup ini penuh dengan politik, ada politik praktis, politik kampus, politik kebudayaan, bahkan juga politik cinta (pretz..).
Ketika saya di suatu tempat dan iseng bertanya pada mahasiswa, “Mau milih calon ketua BEM siapa teman-teman ini? No 1 atau no 2?”. Ternyata suasana malah ramai, guyon, saling sikut dan ketawa, “Milih Juventus bro! Milih Gayus gan! Milih yang ganteng! Milih abang kelas dong..!”
Ya, begitulah, bagi sebagian mahasiswa pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dianggap hanya lawakan belaka. Karena sering dianggap tidak berefek pada diri mereka yang memang sehari-hari lebih suka konsentrasi menuntaskan kiprah kuliah, mencar ilmu kelompok, bermain game online, shopping-shopping di mall, Nangkring di Dunkin Donuts, hangout, atau kongkow-kongkow di cafe. Mereka lebih peduli pada hal-hal yang berkaitan eksklusif dengan dunia mereka.
Tapi bahu-membahu di balik upaya pencalonan ketua BEM yang terjadi tidaklah sesederhana dan sebatas mencar ilmu berdemokrasi di kampus. Ada motif dan dorongan politis dan ideologis di balik itu semua. Dan ironisnya inilah yang tidak banyak disadari oleh mahasiswa awam, apalagi mahasiswa baru.
Chapter 1 (Kurang Penting): Politik kampus
Saya dulu masuk kampus sebagai mahasiswa gres beberapa jam sudah menerima banyak dongeng mengenai kompetisi antar grup/kelompok dalam upaya memperebutkan dingklik Ketua BEM. Yap, alasannya ialah saya sendiri mengikuti perkumpulannya wkwkwk Terdapat kekuatan ideologis Seperti (GMNI, LMND, HMI, KAMMI, KMNU, PMII, HTI, MPI, DLL), mengenai pergerakan-pergerakan ini ada ikhwan-akhwat dari gerakan Tarbiyah Ikhwanul Muslimin yang berada di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan punya basis berpengaruh di organisasi kerohanian Islam (Rois) kampus, ada juga sahabat-sahabat dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berlatar Nahdliyin, ada juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang sangat berpengaruh mempertahankan kekuasaannya, dan lain-lain.
Sejak awal tahun 2000-an pula bahu-membahu Rohis telah menjadi motor gerakan politik yang cukup masif. Dan hal itu saya amati terjadi hingga sekarang. Untuk momentum sederhana mirip pemilihan ketua BEM Rohis berperan penting sebagai penggalang massa untuk mencoblos calon, tentu saja calon yang mereka jagokan. Kaitan Rohis, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dengan gerakan Tarbiyah Ikhwanul Muslimin kian terperinci kalau kita telusuri model kaderisasi dan ideologi Islam yang diajarkan. Pasti tidak jauh dari Hassan al Banna, Sayid Quthb, dan kawan-kawan. Kaitan politisnya juga terperinci dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Beberapa ketua BEM yang dulu didukung oleh KAMMI dan Rohis contohnya biasanya naik pangkat ke struktur partai di PKS. Kalaupun tidak ya menjadi simpatisan, Ustadz yang berideologi Ikhwanul Muslimin, dan sejenisnya. Ya semudah kita sanggup lihat kaitan Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan dengan Hizbut Tahrir. Oleh alasannya ialah itu jangan heran kalau ketemu anggota Rohis baik yang merangkap anggota KAMMI maupun tidak menggalang massa untuk mendukung calon dari partai tertentu (biasanya PKS) dalam perhelatan Pilkada dan lainnya.
Sementara itu kisaran tahun 2005-an hingga 2013-an kelompok-kelompok mahasiswa yang berideologi nasionalis maupun Islam lainnya tampak menarik diri dari percaturan politik kampus. Baru tahun 2014 terlihat geliat terutama di kalangan mahasiswa yang berlatar tradisi Nahdliyin (Nahdlatul Ulama), yaitu dari PMII, IPNU dan IPPNU, serta KMNU.
Bedanya adalah: NU bukan PKS yang terperinci merupakan partai politik, hingga pada kesudahannya kesadaran dan gerak infiltrasi politik PKS –> KAMMI –> Rohis menjadi lebih kentara dan masif dibandingkan dengan NU –> PMII di kampus. Terlebih lagi IPNU dan IPPNU, nyaris tidak terlihat gerak politiknya di kampus dan luar kampus. Di balik PKS bahu-membahu terdapat gerakan “tanpa bentuk” yaitu gerakan Tarbiyah yang kadernya sering disebut sebagai kader dakwah, bentuk formalnya ialah PKS. Sementara itu NU tidak punya partai, secara formal dulu Gus Dur memang pernah mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai sah NU, tapi kini tidak lagi. Begitu banyak kader NU yang ada di banyak partai lain, mirip Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, dan lainnya.
Struktur yang berbeda dimiliki oleh HMI. Secara ideologis sanggup dikatakan “terbelah” menjadi dua, yakni HMI Dipo dan MPO. Dulu HMI punya Masyumi sebagai organisasi induknya, namun kini tidak lagi. Oleh alasannya ialah itu kondisinya mirip dengan PMII, yakni tidak lagi menjadi underbow dari partai politik manapun, baik PKB, PAN, PPP, atau lainnya. Namun para kadernya dibebaskan untuk masuk dalam organisasi dan partai politik apapun itu. Hal inilah yang membedakan dengan KAMMI dan PKS.
Chapter 2 (Mainan Anak-Anak): Berebut kader potensial masa depan
Mungkin banyak pembaca, mahasiswa terutama, akan bertanya: mengapa begitu repot-repot organisasi-organisasi besar semacam PKS, NU, Muhammadiyah, dan lainnya perhatian betul dengan mahasiswa dan ingin menarik massa banyak dari kalangan mahasiswa untuk menjadi bab darinya. Jawabnya adalah: mahasiswa punya potensi besar sebagai pemanggul masa depan bangsa Indonesia dan Islam. Gerakan Tarbiyah Ikhwanul Muslimin-PKS perlu kader dari kalangan sarjana terdidik untuk menjadi bab dari garda depannya, demikian juga NU dan Muhammadiyah, juga HMI yang kekuatannya sangat luar biasa kuat.
Salah satu caranya ialah dengan menduduki dingklik presiden BEM. Melalui kekuasaan yang bahu-membahu tidaklah prestise-prestise amat tersebut BEM sanggup mengadakan agenda yang menghadirkan tokoh-tokoh dari kalangan mereka. Jelasnya: kalau ketua BEM-nya didukung Rohis-KAMMI-PKS maka tokoh dan kajian yang dilakukan tidak jauh-jauh dari tokoh-tokoh dan tema-tema di bundar gerakan Tarbiyah Ikhwanul Muslimin. Demikian juga kalau ketua BEM-nya didukung oleh kalangan HMI maka pembahsannya perihal kebebasan yang berdasarkan saya pribadi mengarah pada ideologi kiri, kelihatannya lebih banyak yang bernuangsa mengagung-agungkan pemikiran-pemikiran marxis dan kebebasan.
Mungkin banyak juga yang akan bertanya lagi: rasanya kok kampus dengan model infiltrasi kepentingan politik dan Ormas tersebut malah menjadi ajang perseteruan dan ditarik ke upaya “Islamisasi”, yang satu “Islamisasi” ke arah yang bercorak Ikhwanul Muslimin, sisi yang satunya berideologi Hizb, lain sisi ke ahlusunnah waljama'ah serta nasionalis dan di sisi lain ke arah marxisme-lenimisme dan Paham-paham Lainnya?
Ya, alasannya ialah memang begitulah karakteristik BEM. Karakternya lebih bersifat politik ketimbang intelektual. BEM tidak diorientasikan untuk peningkatan kualitas akademik, alasannya ialah pihak kampus sudah melakukannya melalui agenda kreativitas mahasiswa, lomba mahasiswa berprestasi, bahkan ada juga unit kegiatan mahasiswa bidang keilmiahan mirip LK/UKM. BEM ialah replikasi, simulasi, atau cermin wajah perpolitikan nasional kita di Indonesia yang tak sanggup dilepaskan dari keberadaan politik aliran.
Dalam perspektif pedagogi kritis Freirean, kampus ialah arena pertarungan kepentingan ideologi, politik, ekonomi, budaya, bahkan agama. Pendidikan tidaklah netral, selalu ada motif dan kepentingan ideologis di baliknya. Bagi yang tidak percaya ideologi ambil kiprah penting dalam semua hal ada baiknya membaca bagaimana tatanan sosial ekonomi-politik neoliberal remaja ini yang digerakkan oleh WTO, IMF, Bank Dunia dan didukung oleh negara-negara maju telah menyetir perekonomian Indonesia bahkan hingga selera konsumsi kita. Pandangan Anda perihal tujuan pendidikan, karakteristik guru ideal, dan sistem ekonomi ideal tak lepas dari yang namanya ideologi.
Jadi masuk akal memang kalau orientasi BEM perguruan tinggi lebih ke arah politik ketimbang intelektual. Wajar juga kalau banyak pihak termasuk NU, Muhammadiyah, PKS, Hizbut Tahrir, HMI, PMII dan lainnya berupaya menarik simpati dan menjaring kader sebanyak-banyaknya dari kampus.
Chapter 3 (Sebaiknya) : Menjaga Keragaman dan Kedamaian
Jika ditelaah lebih jauh, hasil analisis terhadap kontur PKS, NU, PMII, HMI, HIZB, pun tidaklah seragam dan satu warna. Tentu di tiap organisasi di kampus ada gradasinya dan huruf dominannya walau terdapat keragaman. Yang penting ialah tidak memaksa mahasiswa yang bermazhab keislaman berbeda untuk mengikuti yang mazhabnya berlainan. Contoh sederhananya ialah Mahasiswa berkultur tradisi NU yang semenjak dari kampung dan pesantren punya amalan dzikir, Yasin, dan Tahlil hendaknya jangan dipaksa untuk mengamalkan Ma’tsurat dari Hassan al Banna—walau sejatinya juga tidak banyak berbeda secara substansi. Mahasiswa yang gemar maulidan, bersholawat, dan diba’an jangan dihentikan biar ikut mazhab yang tidak suka dengan aktivitas-aktivitas tersebut. Demikian juga sebaliknya. Itulah yang penting, yakni menjaga keragaman dan saling menghormati satu sama lain.
Chapter 4 (Si MBAH) : Buta politik kampus
Hal yang tabu dan hendaknya dihilangkan dalam prosedur demokrasi adalah: menentukan tanpa tahu yang dipilih dan risiko konsekuensi dari pilihannya. Sama halnya kita menentukan Wakil Rakyat, Gubernur, atau Presiden yang tanpa kita ketahui pribadinya, karakternya, maka menyerupai membeli kucing dalam karung. Pada kesudahannya yang terjadi adalah: Wakil Rakyat, Gubernur, dan lainnya yang kita pilih lebih banyak disetir oleh kepentingan partai politik, para konglomerat, dan kelompok-kelompok yang mendukungnya.
Dari warta yang berseliweran di media umum hari-hari ini maka sanggup saya simpulkan kira-kira begini: (1) kalau mau pilih pasangan Si fulan dan Paijo misalnya, harus tahu bahwa ia membawa visi ideologis HMI (2) mau pilih Inem dan mbak yeyen, juga harus tahu bahwa ia membawa visi ideologis ikhwan-akhwat KAMMI. Bisa saja Si fulan dan Paijo tidak mengaku, sanggup juga Inem dan mbak yeyen tidak mengaku atau bahkan tidak tahu. namun itulah setidaknya simpulan sementara saya, yakni terdapat risiko dan potensi untuk dikendalikan oleh organ pengusungnya.
Lalu, apakah mahasiswa lain yang tidak masuk dalam firqah tersebut, atau mitra satu jurusan atau fakultas yang telah mendukung akan sanggup menyetir calon yang didukung? Jawabnya: kalau yang mendukung berdasarkan pertimbangan sahabat sekelas, abang kelas, satu jurusan atau fakultas biasanya tidak punya kesadaran kritis dan tidak paham politik dan kepentingan ideologis, sehingga tidak akan punya posisi vital saat calonnya jadi ketua BEM. Paling hanya sebagai penggembira yang sanggup undangan namun potensi diterimanya undangan amat kecil, terlebih saat usulnya berlawanan dengan kepentingan ideologis dari gerbong lain yang juga mendukungnya. Apalagi kalau tidak masuk di kabinet, lha wong masuk di kabinet saja niscaya kalah bunyi dengan yang secara umum dikuasai tadi.
Terkadang banyak calon dalam perpolitikan tingkat RT, kampung, kampus, daerah, atau nasional yang bahagia didukung oleh kelompok keagamaan tertentu, partai tertentu, atau korporasi tertentu. Tapi semua orang juga tahu tidak ada makan siang gratis, tak ada pemberian yang tanpa pamrih. Secara ideologis percaturan politik memperebutkan ketua BEM memang bukan soal menaikkan gambaran jurusan atau fakultas, tapi ialah soal ideologis. Dan tiap kali beberapa pihak menyatakan tak ada kaitannya dengan ideologi dan politik, sejatinya itu ialah upaya untuk menyembunyikan kepentingan ideologi dan politik itu sendiri.
Kalau soal niat baik saya percaya semua calon punya niat baik itu. Soal kritis dengan pemerintah juga relatif sama (kecuali BEM-nya disetir oleh invisible hand dari partai politik tertentu yang menginstruksikan untuk kritis atau tidak, mendukung atau tidak), keberpihakan pada mahasiswa dan rakyat juga saya percaya sama, yang perlu diperhatikan ialah soal potensi dan risiko dari intervensi kelompok-kelompok di balik semua calon tersebut.
Saya yang mengklaim diri sebagai mboh ra eroh seng penting islam contohnya terperinci punya kepentingan biar Islam yang rahmatan lil ‘alamin tersebar di kampus dan amalan-amalan tetap eksis dan dilakukan oleh mahasiswa yang berlatar islam baik secara pribadi maupun kolektif. Saya sebagai pengamat tanpa ikut-ikutan tentu punya kepentingan biar organisasi mahasiswa selalu bersuara terkait neoliberalisasi, kapitalisasi, diskriminasi, dan ketidakadilan dalam praksis pendidikan, demikian seterusnya. Namun alasannya ialah saya tidak mau ikut ikutan kayak gituh, dan ini ialah perhelatan mahasiswa umum (sepertinya) ya terserah mahasiswa mau ke mana. Toh saya dan kawan-kawan sudah punya gerakan sendiri yang terperinci visi dan orientasinya jauh ke depan, yaitu di menaikan Town Hall Clash Of Clan supaya level 11, biar gampang jaga basenya.
Kalau mau secara satir, saya katakan: makanya biar tidak buta politik baca buku-buku ideologi dan sejarah, bergaul dengan orang-orang yang tahu betul “jeroannya” gerakan mahasiswa, partai politik, dan organisasi sosial, atau praktisnya ikut saja pergerakan-peregrakan mereka, ambil baiknya buang buruknya. dan satu lagi goresan pena ini tudak bermaksud atau bertujuan menjatuhkan dan menjelekkan, penulis hanya ingin semua mahasiswa tahu dan faham bahwa islam itu rahmatan lil'alamin, semua muslim dan muslimah ialah saudara, maka dari itu tidak sepantasnya kita saling gigit dan sikut. sekian
Wallahu a’lam bish shawab
0 Response to "Peta Pergerakan Mahasiswa Islam"
Posting Komentar