iklan banner

✔ Bukan Autobiografi

baru inget kalo gue pernah nulis ini. Tulisan ini sebenernya goresan pena gue waktu Sekolah Menengan Atas dan untuk kiprah TIK. Gak nyambung memang sama mata pelajarannya tapi entah kenapa Guru gue Pak Dendi nyuruh buat itu. baiklah this it, happy reading

ALDHA RIZKI UTAMI, nama itulah yang diberikan kedua orang tuaku. Sebenarnya nama itu yaitu singkatan, A yaitu anak, L itu lahir, D berarti dari, H dan A yaitu inisial dari nama orang tua. Tapi sebab nama itu menyerupai dengan nama penyanyi Alda Risma, banyak orang yang memanggilku dengan sebutan “Alda Risma” Padahal namaku itu ALDHA bukan ALDA. Walaupun nama hanya sebuah kata, tapi menurutku itu yaitu hal terpenting dan dilarang dipandang sebelah mata. Ya lupakan soal nama, kini beralih ke keluarga. Aku terlahir sebagai anak pertama di keluargaku, saya lahir pada hari Sabtu, tanggal 12 Juni 1993. Aku merasa beruntung mendapat keluarga yang sangat menyayangiku. Aku mempunyai dua saudara laki-laki. Adik pertamaku berjulukan Fransetya Alfi Syahrin atau biasa dipanggil “Alfi” dan adikku yang kedua namanya Alfasya Nuhri Ahlan. Nama kami bertiga berawalan “AL”, tak tahu kenapa ayahku menyamakan nama kami dengan berawalan “AL”. Mungkin tujuannya untuk kekompakan atau supaya anak-anaknya bisa rukun.

Aku hidup tak kekurangan maupun berlebihan, keluargaku selalu menerapkan bahwa semua hal harus adil, seimbang dan seperlunya. Awal kehidupanku bisa dibilang berjalan mulus menyerupai jalan tol, tidak ada duduk kasus yang berarti. Tapi sehabis kelahiran adikku yang kedua semua berubah. Adikku yaitu anak yang mempunyai “kebutuhan khusus” atau kini popular dengan nama AUTIS. Dulu saya tak mengerti apa itu AUTIS ? Tapi usang kelamaan saya mengerti. Autislah yang menciptakan adikku berbeda dari belum dewasa lain. Ia tak mau bersosialisasi, tak mau menatap mata orang yang diajak bicara, bersikap hirau dan lambat bicara. Orang tuaku merasa ini tak adil, kenapa harus keluargaku yang mendapatkan cobaan ini, kenapa bukan orang lain. Tak ada gunanya juga menyesal, semua telah terjadi. Orang tuaku  membawa adikku ke dokter dan berkonsultasi, dokter menyuruh semoga adikku harus menjalani terapi. Mulai ketika itu adikku pun menjalani terapi, kadang kala saya menemaninya menjalani terapi. Meskipun hanya bisa melihat dari balik jendela beling ruang terapi, saya tak tega melihatnya. Alfasya menangis… tangis yang menciptakan hatiku ingin menariknya keluar dari sana. Tapi apa boleh buat, hanya itulah yang akan membuatnya lebih baik. Sedikit lebih baik.
           
 Beberapa tetanggaku menganggap adikku tidak normal, aneh, idiot atau semacamnya. Rasanya saya ingin sekali mereka mencicipi apa yang selama ini keluargaku rasakan. Aku merasa keluargaku itu istimewa, Tuhan sudah mengirimkanku seorang “malaikat yang tersesat” dan keluargaku diangap pantas untuk menerimanya. Biarlah orang mau berkata apa saya akan selalu menjaga “malaikat yang tersesat” ini.
            
Malam itu yaitu malam yang paling membuatku takut setengah mati. Adikku terbangun dari tidurnya kemudian nafasnya sesak. Badannya pun lemas, saya bertanya dalam hati “ya Tuhan apa ini waktunya ? Malaikat yang tersesat ini harus kembali ke Surga-Mu ?” Ibu dan ayahku panik, mereka berkata  bahwa jika ini yang terbaik mereka akan mengikhlaskannya. Tidak !! Bukan ini yang kuharapkan, bukan !! Adikku dibawa ke rumah sakit dan masuk ruang gawat darurat. Selang oksigen mulai dipasang, adikku mulai membaik. Tapi semalaman ia tak sadarkan diri. Menurut dokter adikku mengalami epilepsy. Karena ada busa yang keluar dari mulutnya. Tapi menurutku adikku mengalami serangan jantung mendadak. Ya entahlah, yang penting adikku selamat. Setelah 3 hari dirawat di rumah sakit, adikku pulang dan kembali menyerupai biasa.
            
Setelah beberapa tahun adikku mulai mengalami perubahan, ia sudah mau menatap mata orang, sudah bisa mengendarai sepeda meskipun masih menggunakan roda bantuan. Tapi belum bisa berkomunikasi lancar, kata-katanya terbatas. Aku sebagai anak sulung dari keluarga ini tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menciptakan adikku tertawa atau menangis. Aku ingin sekali membantu, tapi apa daya saya merasa tak berguna.
            
Sekarang saya duduk di kelas XII, disinilah awal dari sebuah impian. Mungkin bukan harapan tapi kewajibanku sebagai seorang kakak. Aku ingin menyembuhkan adikku, saya ingin membuatnya menyerupai belum dewasa lainnya. Bagaimanapun caranya saya harus melakukannya. Kalaupun tak bisa, saya ingin anak autis yang ada di potongan bumi lain dianggap sebagaimana mestinya. Aku yakin anak autis itu adalah“malaikat yang tersesat” dan kita wajib membimbingnya menuju jalan kembali ke surga. 

malaikat yang tersesat

my lovely brother

Setelah kiprah ini dikirim via email, Pak Dendi tanya ke gue kondisi adik gue kini dan ia nyemangatin gue untuk kuat. Sekarang Alfasya rutin diterapi wicara dan udah mulai bisa bicara meskipun sedikit, tapi itu aja udah buat gue seneng. Ia juga udah bisa naik sepeda tanpa roda bantuan, makan minum sendiri. Usianya hampir 10 tahun tapi keimutannya gak berubah dari dulu. Gue yakin suatu hari nanti, entah kapan pun itu akan ada keajaiban. ya keajaiban yang bisa buat semuanya jadi lebih baik tentunya. Amiiiiiiin

Sumber http://uniquely-biology.blogspot.com

0 Response to "✔ Bukan Autobiografi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel